Saturday, January 15, 2011

12 Sajak Nurel Javissyarqi

[PERCAKAPAN PANTAI]

Kerutan dahi ke jalan sunyi
menyusuri anakan sungai,
membisikkan suara-suara
ke telinga kalem nan tegar,
menuruni lembah-lembah hati
melonjaki sakit berseri-serasi.

Saat tersandung batu atau
ranting patah kemarau lalu,
hendak cita menuju samudra
menemui mata air nasibmu;
kau tinggalkan pedalaman
berkelana semata pelangi.

Ada suara-suara panggilan
bergaung tidak dihiraukan
walau memecah hening
menimpa butiran pasir;
bekunya kalbu di udara
bercampuran gemintang.

Malam meleburkan jiwa-raga
sejumlah dunia mengucapkan,
terhempas ke ceruk terpejam
sunyi nan tenggelam;
kereta kencana ditarik taupan
menuju negeri-negeri kegaiban.

Melepaskan beban tubuh berulang
memutari ketinggian,
awan-gemawan terlelap kemabukan
diayunnya kelembutan,
sehelai sampur pengikat kenangan
diusapnya kesaksian,
sederai gayuhan gelombang
membasuh wajah penantian.



[SERAUT BAYANG LUKISAN]

Kupu-kupu ke puncak biru
bila tengah malam tiba
kerlip kunang-kunang,
jikalau lelah beterbangan
sayap cahayanya kan padam.

Mata penjajah berkedipan pandang
buah bergelantung di pinggiran jalan
menanjaki udara tawarkan kenangan,
bertiduran melamun awan menggulung
melipat pucuk pinus sedingin pebukitan.

Barisan bangau merapatkan kesedihan ditinggalkan musim
kabut memanggil diajak menuruni lembah ngarai mata air
gemerincing melonjaki batu-batu mengaliri petak sawah,
merasuk persendian jiwa karang lepas disapu gelombang
bunga-bunga terhanyut berlayar terhempas pada pantai.

Keringat menguap memanggang pundak,
suara tersuling membumbung ke angkasa
diikuti pusaran angin ke pegunungan badai
menitipkan kabut perawan ke pucuk-pucuk.

Hawa malam mengelus kulit tipis gemetaran,
bara percakapan api di relung gelap berulang
di sebelah senyuman terkumpul tali keraguan.

Membenamkan dada bulan
bintang berdegup meriap
hilang kuas bebulu kuda
seraut bayang di lukisan.



[PENYAIR TAK DIKENAL]

Sejauh padang-padang sepi
desiran bayu titian hari hampa.

Pada perburuan debur air mata,
debu tubuh takdir yang terbelah.

Bayangan ruh membuncah beku
sepulang gerimis deras membatu.

Jiwa tersuruk perkelahian kekal
harumkan asap dupa kata-kata.

Mata ajal melesat. Mencapai
guguran daun-daun kaki bukit.

Menebah pekuburan besi baja
menyobek duka lara sejarah.

Kertas-kertas membisu
malam hujan abu-abu.

Muka memar dihajar waktu
sehalus sum-sum ragu-ragu.



[NAFAS KASIH]

Kepadamu nafas-nafasku menyatu
debur ombak menggulung nadimu.

Gemuruh dikoyak kalbu cemburu
menelisik dalam ceruk rahasia
menapaki janji mencipta rindu.

Senyanyian abadi kaki-kaki kembara
menyapa duri-duri kaktus liar-meliar
; kerikil cadas wetan halangi ingatan.

Sejauh bayu mekarkan bunga tulus
menanjaki hari kesungguhan batu
dibopongnya ke pelaminan kabut.

Adakah keraguanmu terkumpul?
Cepatlah, pantai memanggilmu.

Rindu cemburu bertalu-talu
menaiki tangga awan kelabu.

Menghujani kota bumi pulaumu
fahami lamunan segenap waktu;
sang surya taburkan cahaya rasa.

Duhai kasih, kecup kalbuku di sebrang
tuntun jalan tempuh menyatukan restu.

Seair hangat pegunungan kapur
membasahi rambutmu tergerai.

Di malam-malam tak berujung
kepada setingkap letih jemarimu;
pergumulan kertas, tinta hitammu.



[NAFAS PANJANG PENGELANA]

Kala ribuan embun mencipta pagi
kupunguti kata-kata tanpa wujud.

Sebening kalbu tebarkan kalimah
mewangi hidupi nafasmu-nafasku
dalam kisah panjang dunia kelana.

Berbaca kitab airmata sampai muara
mengajak ke ujung tlatah peraduan.

Lautanmu serupa langitku membiru
dan burung-burung camar bercanda
melewati gemawan batas kenangan.

Seair kesucian gemerincing abadi
melafalkan mantra di dedaun jati
diterpa bayu malam para petapa.

Adakah yang datang kepadamu
membawa segenggam cahaya?

Hanya sakit demam dekati maut
aku mencoba ulang menulis sajak
lantas lenyap bertarian mata pena.

Kepakkan masa telusuri rongga dada
berkeringat selubungi jantung angin
kumpulkan reranting tebarkan daun.

Di setiap hembus berpeluk rintian
menyisiri anak-anakan rambutmu.

Saat sangkala menikam petang
sesulur hutan rimba raya agung
sehitam tinta nyanyikan kalam.



[DI UJUNG PERPISAHAN]

Awan berbondong menutupi bayanganmu
hasrat mengendap mencuri lewat jendela
: hujan mengaliri riuh ombak sungai jiwa.

Melewati keletihan lama menggerus masa
selembut aroma kohwa di ruang terpencil
dihuni malam menyibak sunyi daun ganjil.

Jikalau siang terbakar langit bara pebukitan
batuan api menyekutui badai digulung angin
pada ketinggian ruh memanjat dada cahaya.

Memandangi senjakala di akhir pelabuhan
pohonan menarikan bayu menanti petang,
pulang membelakangi bulan ditunggu rindu.

Oh helaian masa harapan melangkah
berdentingan memusari mata pena,
ke tebing-tebing cakrawala kecewa.



[NYANYIAN KEMBARA]

Ketika embun dendangkan laguan pagi
deras arus sungai berkelok syair abadi
menuju lereng jiwamu menyibak fajar.

Jika saksi langit awan malam tertunda,
kabut menebali menyelimuti kota-kota.

Ia anak pebukitan memetik pelajaran,
hingga kini berbagi kenang memaknai.

Mengusik dentingan air petikan angin,
lagu busa di pantai-pantai menggapai
dedaunan kalbu menyimak keguguran.

Bisikan kantuk, kaki-kaki bayangan
sayap-sayap kekupu berhamburan,
menabur sangsi di sepanjang jalan.

Ke lereng-lereng malam kesunyian
ia dendangkan jejiwa setiai mawar.

Duri kata-kata berbicara kembara,
sayap elang berbaur angin udara.

Cakar-cakar sujud di atas kepala,
langit tak berjarak rambut basah.

Sayang, tiada kecup kasih mesra.



[STASIUN SENJA]

Menunggu waktu gelisah memandang
berlalu-lalang getaran menanti kasih,
sambil menghitung warna kedatangan.

Mendengar degup dada meninjau kereta,
menuju batas pandangan di stasiun senja
menantikan janji dengan jantung terluka.

Lembayung jingga senyum menebar bunga,
di ladang perburuan memikat merpati putih
ke sangkar hitam nyawa menemui kekasih.



[BUNGA ABADI]

Di astana langit, suara terompa menapaki tangga gemawan
di sekitar jembatan mengulum degup jantung gentayangan,
menyisiri kemalaman kasih pantai, janji luluh dalam dekapan.

Ombak-gelombang membuncah memecah nafas-nafas bintang,
saat bulan hadir menciummu bunga keabadian. Membaca luka
singgah sebelum terbang kucurkan keringat darah perjuangan.

Kaki-kaki kuasamu sesusu madu mengaliri bibir para pemberani,
sekepak sayap paling pekat, dalam goa sunyi kelembutan lautan.

Berpakaian kekekalan, di ujung maut menyongsong fajar jaman;
anak-anak bermain di tepian keasingan, tak ada penuntun mimpi
menjadi buta memandang, ketika ketakmampuan tetap bertahan.



[MEMAKNAI LANGKAH]

Telah kukosongkan perut untukmu
sehaus tenggorokan mencipta rindu,
tapi belum kukenal sedekat leher dulu.

Menumpang kapalmu menyusuri waktu,
pantai mencari awan berkaki senyummu,
langit tentramkan kantuk di ruang tunggu.

Bercerita butiran pasir perjalanan mata lelah,
meleleh timbunan kenang hari-hari atas api.

Tak terpegang sehabis disergap pekabutan,
lalu hasrat beku menemukan tujuan faham.



[LANGGAM LAUTAN]

Gulungan gelombang saling tabrak berkejaran,
pecah tersimpan gemawan ditelan arus lautan.

Menemui kasih di astana samudra bintang berkedipan,
sederup air redupkan tembang mekarkan lekuk malam.

Setubuh meliuk lambaian sampur menyimak tarian masa,
berseri-serasi setaburan tembang puji membahana sukma.

Menjelajahi kisah percintaan di senggang langgam pertemuan,
dimulai surutnya gairah rahasia, meninggi tenggelamkan nalar.

Batasan mimpi mewujud kesadaran hening kerinduan terdengar,
tetabuhan bertalu-talu diselipan hujan melambungkan rentangan.

Kembara menemukan ajal tiada sia-sia ke ujung asmara berlayar,
diterjang ombak jejiwa, membelah senyum langit nafasnya ganjil.

Memasuki telinga timangan nada sunyi mengigau galaukan nasib
; kesendirian mengisi lewat membisikkan lafal-lafal ruh semesta.



[RINDUNYA GELOMBANG]

Ruang malam mencipta sayap di selat kerinduan
dan punggung pertemuan awan ditempa purnama.

Saat batasan dada ombak bergulung menghempas
sederuan kelelawar melintasi panggung gemintang.

Menghampiri anak-anak kangen lukisan ketegaran
:
karang petapa hening angin ribuan tahun silam turun
persembah kabut perasaan menunggu dipukuli cemas.

Selendang timur tersibak elusan tangan lautan pemuda
menjala ikan-ikan di hamparan luasnya fajar prasangka.

Seekor burung terbang pada layar gumpalan mendung,
menyambut mentari sepenggala membuka kulit siang.

Diganti warna biru menindas kepak dendam menawan,
panasnya cahaya bersekutu angin ribuan mil di pantai.

Tangis percikan ombak pada petak ladang tersapu terik,
lagu gelora kandas atas pertanyaan tak kunjung jawab.

Menanti bertepat waktu berbulir-bulir garam semangat
:
hari-hari berlalu bisu semusim lupamu perjalanan bayu
ke pebukitan lembah, garam geram asam rontok sudah.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: 12 Sajak Nurel Javissyarqi Template by Bamz | Publish on Bamz Templates