Friday, January 13, 2012

Ingin Pahlawan Tetap tanpa Tanda Jasa

Ramadhan Batubara
http://www.hariansumutpos.com/

Putu Wijaya mengajak teaternya yang bernama Mandiri untuk ‘bertolak dari yang ada’. Tentu ini soal proses hingga berlabuh pada pementasan. Karena itu, Putu dikenal mampu berkarya tanpa mengenal lelah. Ya, dia adalah pabrik karya. Namun, apakah dia dianggap pahlawan tanpa tanda jasa? Oh, tidak, Putu sudah cukup berjasa dan jasanya pun telah diberi ‘tanda’. Bukankah penghargaan yang telah dia terima cukup banyak; baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Dan, bukankah dia telah menerima hasil dari semua karyanya itu; baik material maupun nonmaterial. Lalu, jika begitu, apa yang menarik dari Putu? Nah, saya tertarik dengan kalimat Putu soal ‘bertolak dari yang ada’ itu tadi. Begini, Jumat 25 November lalu, guru se-Indonesiadiperingatiulangtahunnyayang ke-66. Secara umum di berbagai pelosok negeri, peringatan itu tetap saja menyinggung soal guru yang dikatakan sebagai ‘pahlawan tanpa tandajasa’. Pertanyaannya, adakah nasib guru memang tetap semacam itu? Maka, sang Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistyo, kembali mengungkapkan kehidupan tak menyenangkan kaum guru dalam acara ulang tahun itu. Dia katakan, gurubukanlahburuh, jadiupahnya harus lebih tinggi. Ini soal profesi, yang tentunya mmbutuhkan kemampuan tersendiri dan jenjang pengetahuan khusus. Dari bimbingan gurulah seseorang menjadi presiden dan sebagainya. Ufs, kenapa mereka tidak dihargai?

Tidak itu saja, sebelumnya dalam sebuah kesempatan menjelang acara ulang tahun, Sulistyo pun berang. Dia mendapat kabar kalau di sebuah daerah di Sumatera Utara dana insentif untuk guru non PNS dialihkan menjadi mobil anggota DPRD. Bayangkan, apa yang ada dalam benak para guru, pendapatan yang belum cukup, eh, malah tambahannya dialihkan untuk kepentingan orang lain. Fiuh. Ayolah, mereka bukan PNS yang sejatinya memiliki sekian kelebihan dibanding honorer, kenapa dana untuk mereka yang dipotong. Hm, atau, para pemimpin daerah itu segan untuk memotong dana PNS, takut bermasalah? Wah, kalau berpikir semacam itu tentu salah, toh, honorer itu juga guru kan? Tapi sudahlah, setidaknya tidak semua guru bernasib naas semacam itu. Pemerintah telah banyak memikirkan nasib para guru bukan? Misalnya, soal sertifikasi yang ujung-ujungnya mampu mendongkrak pendapat para pengajar itu. Tapi, sekali lagi, sayangnya hal itu juga tidak maksimal. Masih ditemukan penyelewengan.

Akh… sesuatu yang ada kenapa tidak digunakan dengan baik ya. ‘Bertolak dari yang ada’ ala Putu Wijaya tampaknya bisa menjadi cermin yang baik. Ayolah, Putu cukup berhasil memberikan karya yang tidak berlebihan dalam persiapan. Misalnya dalam sebuah pementasan, dia dikenal tak membuat naskah yang berpakem. Dia biarkan aktor-aktornya berekspresi. Dia lihat kemampuan itu, dia eksplorasi lagi agar lebih mantap. Maka, naskah pun selesai ketika pentas usai. Sang aktor bangga, mereka tidak dibatasi dengan keras. Sebagai sutradara, Putu, cukup bijak. Pos yang dia tetapkan dia jaga, namun tidak kaku dan mendewakan pos yang dia ciptakan tadi. Karena itulah, ‘yang ada’ bagi Putu harus dimanfaatkan dengar benar. Tidak ada istilah mubazir atau apapun namanya, jika serius ‘apa yang ada’ bisa menjadi sesuatu yang berarti. Jadi, tidak perlu bermimpi terlalu muluk; injak bumi dan melangkahlah. Hal ini, konsep Putu, juga bisa diterapkan di mana saja, misalnya di sebuah perusahaan. Seorang pemimpinharuslahjelimelihat potensi yang ada. Dia wajib melihat dan menilai bawahannya; baik kemampuan hingga kegemarannya. Setelah mengetahui itu,mulailah sang pemimpin merancang pekerjaan yang sesuai. Tentu, bawahannya itu memiliki berbagai kemampuan dan kegemaran yang beragam. Nah, hal itulah yang diolah.

Jadi, dalam penerapan, sang bawahan akan merasa memiliki program yang diluncurkan sang atasan. Dengan begitu, ada jiwa yang bermain; tidak sekadar menjalankan tugas semata. Yang terjadi di kebanyakan tempat, sang pemimpin malah sibuk dengan kepalanya sendiri. Ukh…. Hm, persis dengan kasus pengalihan dana tadi kan? Seandainya saja pimpinan daerah berpikir tentang nasibguruhonoreritu, tentunya tak akan ada masalah kan? Ya sang guru honorer pun akan semakinrajindansemakinmencintai sang pemimpin. Pasalnya, dana untuk mereka ada dan langsung disalurkan untuk mereka. Lalu, sang pemimpin, jika memang harus membeli mobil untuk anggota dewan yang terhormat, kan bisa dicarikan dana dari tempat lain. Jadi, tidak menggunakan dana yang ada untuk orang lain. Atau, mungkinkah sang pemimpin berpikir seperti Putu Wijaya; bertolak dari yang ada? Ya, yang ada kan dana insentif tadi. Hehehehe. Tapi sudahlah, diperingatan ulang tahun ke-66, guru tetaplah guru. Dia tetap diinginkan jadi pahlawan yang tanpa tanda jasa bukan? Tentu, beberapa kalangan juga tak siap jika para guru diberikan tanda jasa. Toh, jasa berupa dana insentif dan sertifikasi saja tidak digunakan dengan baik. Maka, Iwan Fals terus saja mengalunkan Oemar Bakri: Empat puluh tahun mengabdi// jadi guru jujur berbakti memang makan hati// Oemar Bakri … Oemar Bakri // banyak ciptakan menteri….(*)

27 November, 2011

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►