Saturday, September 10, 2011

KRETEK SEBAGAI KRITIK KEBUDAYAAN

Waskiti G Sasongko
http://senimana.com/

3 Juni 1953, Agus Salim dan Sri Paku Alam beserta rombongan duta besar Indonesia mendapat tugas dari Soekarno untuk menghadiri upacara penobatan Ratu Elizabeth II. Di tengah-tengah jamuan serimoni agung tersebut Agus Salim menyalakan sebatang kreteknya, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan keluar kuat-kuat. Pangeran Duke of Endiburgh, sang suami Ratu Elizabeth itu, tampak tidak senang menoleh ke kiri dan ke kanan sembari bertanya-tanya pada hadirin, dari mana bau tidak sedap itu datang? Maka Agus Salim menjawab, “Yang Mulia, bau yang tidak sedap itu adalah bau rokok kretek yang sedang saya hisap yang dibuat dari tembakau dan cengkih. Boleh saja yang mulia tidak menyukainya. Tapi justru bau inilah yang menarik minat pelaut-pelaut Eropa datang ke negeri kami tiga abad yang lalu”. Duke of Edinburg pun terdiam beku oleh sindiran Agus Salim itu.

Inilah sepenggal kisah, bagaimana kretek, atau lebih tepatnya produk olahan hasil bumi Indonesia, tembakau dan cengkih, merefleksikan kekuatan produksi masyarakat nusantara sejak dulu. Kita memang tidak pernah tahu pasti sejak kapan kretek telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, jika kita menoleh ke belakang kita dapat melihat bagaimana kisah Roro Mendut yang sukses menjajakan rokok di zaman kekuasaan raja Amangkurat I, sebagaimana kisah ini ditulis ulang oleh Romo Mangun, setidaknya secara literal menandai bahwa produk rokok telah dikenal oleh masyarakat nusantara sejak lama. Bahwa, kemudian dalam kesejarahan modern produk kretek lebih kita kenal sejak Haji Djamari yang asli Kudus ini meramu tembakau dan cengkih sebagai ramuan obat batuk, pada abad ke 18an, ini tentu sebuah tafsiran historis tersendiri.

Namun, apa yang menarik kita catat di sini adalah bahwa, kretek adalah produk khas bangsa kita, eksistensinya adalah satu-satunya di dunia. Sebagaimana keris pamor yang adalah warisan budaya bangsa yang telah beroleh pengakuan dunia internasional, Unesco, produk kretek pun sebenarnya muncul tercipta dari kecerdasan lokal bangsa ini. Bahkan, dapat kita katakan bahwa kretek — meminjam istilah Denys Lombard — adalah suatu hasil dari kerja “osmosis kebudayaan” bangsa kita. Saya katakan osmosis kebudayaan karena kretek sendiri adalah sebuah difusi kebudayaan yang datang dari luar dan bersimbiosis dengan kekayaan lokal bangsa kita. Konon, tanaman tembakau masuk menjadi kekayaan nabati bangsa kita sejak memasuki abad ke 17.

Di sini kita mungkin akan sedikit berjalan memutar. Seperti kita tahu, istilah osmosis digunakan oleh Denys Lombard dalam karya monumentalnya, ”Nusa Jawa: Silang Budaya.” Untuk kasus di Indonesia, demikian Lombard, kita tak bisa memakai perspektif dialektika dalam pengertian Hegelian. Karena di situ pasti ada unsur aufgehebung, kebudayaan pemenangnya. Yang terjadi dalam sejarah seni atau kebudayaan di sini adalah suatu proses perembesan kultural, dan bukanlah dialektika. Suatu kegiatan saling serap antara warisan-warisan budaya lokal dan pengaruh ideologi-ideologi yang datang dari ‘negeri atas angin’, yang membuat terjadi mutasi budaya terus-menerus, baik saat Indonesia masa kuno maupun modern. Apa yang khusus dari bangsa kita bukanlah sejarahnya yang khusus, melainkan, masih merujuk Lombard, ialah posisi geokulturalnya yang khusus, di mana kita berada pada lokus persimpangan budaya dunia, kita berada pada jalur perdagangan besar dunia yang mau-tidak-mau senantiasa membawa pengaruh dari luar.

Apa yang menarik ialah, jika pada masa kuno katakanlah kita sanggup membangun sebuah sinergi pluralitas ideologi yang datang dari luar menjadi suatu kebudayaan yang baru dan besar, di mana budaya kemaritiman masyarakat nusantara akhirnya bertumbuh menjadi dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit.

Andai kita jeli dalam menelisihnya Indianisasi yang terjadi bukanlah sesuatu pengambil alihan secara mutlak unsur-unsur budaya India, tapi lebih bersifat paduan dengan budaya lokal. Bahkan, banyak antropolog Barat yang mengatakan bahwa yang sesungguhnya terjadi ialah Jawanisasi India. Karena bukan rahasia jika paham-paham keagamaan Hindu dan Buddha yang di negeri sononya India bertikai, ternyata di sini dapat bersanding selaras, rukun satu sama lain. Ahli-ahli dari India datang ke Indonesia untuk melihat peninggalan candi-candi Hindu dan Budha berpendapat bahwa, memang ada kemiripan dengan apa yang ada di India tapi samasekali bukan budaya India. Di India secara tegas dipisahkan antara Hindu dan Budha. Borobudur disamping ada unsur Budha terdapat relief yang berisi kisah Mahabarata yang Hindu, bahkan ada relief yang notabene bukan Budha dan sekaligus bukan Hindu tapi kisah-kisah dari budaya lokal.

Namun, pada masa modern ini , proses mutasi fase ketiga kebudayaan lokal kita melalu difusi sejarah pembaratan ternyata tidak sanggup memunculkan sebuah sinergi kebudayaan yang baru dan besar, sebagaimana kisah masa lalu itu. Masih saja kita lihat, sampai saat ini, ada retakan-retakan yang cukup menganga antara pandangan dunia tradisionalisme dan modernism. Dualisme dua kebudayaan ini terjadi karena di dalam masyarakat Indonesia sendiri kita lihat adanya dua arus besar paradigma yang berbeda, yaitu golongan-golongan masyarakat Indonesia yang mendorong pembaratan lebih lanjut di satu sisi, dan golongan-golongan yang menolak tegas determinasi serta merta pengaruh budaya Barat dan mencari sumber Timur atau lokal dalam membentuk masyarakat Indonesia di sisi lain. Kebangkitan budaya lokal ini juga diperkuat dengan pengaruh Islam di pesantren-pesantren, yang pada zaman Belanda tetap mengajarkan agama Islam beserta budaya lokalnya yang mengacu pada ajaran “wali sanga”. Bahkan pada saat itu sesuatu yang berbau Barat ditabukan di pesantren-pesantren. Kedua pandangan ini, yang pro Barat dan pro Timur, jelas tercermin dalam Polemik Kebudayaan tahun 1930 dan silang sengkarut polemik Lekra-Manikebu di tahun 1960an.

Nah, ideologi Pancasila itu sendiri adalah suatu upaya merekatkan retakan-retakan pandangan dunia Timur dan Barat itu, tradisional dan modernisme, ideologi kapitalisme dan komunisme, namun lebih jauh sebenarnya juga membawa spirit untuk membendung pengaruh berkembangnya ideologi yang bersumber dari Barat (Nekolim). Pemimpin masa lalu yang lebih kita kenal sebagai “founding father” selalu mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi yang lebih unggul dari ideologi apapun yang berasal dari Barat.

Dengan begitu masyarakat Indonesia sebenarnya mempunyai kecenderungan sinkretik, atau heterodok, atau osmosis, yaitu dalam pengertian bahwa sejak dulu selalu bersikap terbuka terhadap pengaruh budaya-budaya yang datang dari ‘negeri atas angin’, namun secara bersamaan memiliki spirit hendak tetap menjaga nilai-nilai lokal yang berakar sangat dalam itu. Dalam perspektif inilah konsep politik “berdikari” yang dicanangkan Bung Karno adalah suatu usaha penolakan hegemoni budaya Barat melalui kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian dibidang ekonomi, Indonesia punya kebebasan menentukan nasib budaya Indonesia ditangan bangsa Indonesia sendiri. Sungguh suatu pemikiran yang jauh ke depan, namun ironisnya proyek pemikiran besar ini saat ini jelas boleh kita katakan telah gagal total.

Nah, pada titik inilah sebenarnya kretek sebagai warisan tradisi bangsa ini dapat kita dudukan sebagai kritik atas kebudayaan globalisme. Pada titik ini, kretek sebagai warisan budaya tentu saja tidak sekadar kita lihat sebagaimana keris dan candi, atau barang-barang artefak yang sekadar diuri-uri, melainkan harus kita dudukkan dalam kerangka perspektif gerakan sebagai bagian dari kerja politik kebudayaan kita. Kretek sebagai salah satu soko guru kemandirian ekonomi dan industri nasional haruslah kita desain sebagai pemantik tumbuh mekarnya ‘politik identitas’ kebangsaan (nasionalisme). Sebab, di tengah-tengah gerusan perang dagang dan ekspansi pasar neoliberal yang berjubah paradigma kesehatan “satu dimensional” ini, sebenarnya eksistensi kretek memenuhi syarat-syarat multi-spektrum dimensional untuk menjadi kekuatan kritik ideologi atas muslihat dari apa yang menyebut dirinya sebagai kebudayaan globalisme ini. Kretek dapat menjadi kekuatan politik yang mendudukkan “kebudayaan sebagai sebuah panglima”.

Apa yang kita butuhkan di sini adalah menggeser perspektif “osmosis kebudayaan” menjadi suatu kerja “dialektika kebudayaan”. Dengan mendudukkan kretek sebagai bagian gerakan tradisi lokalisme yang poskolonial, yakni suatu gerakan politik kebudayaan yang berpamrih membangun kekuatan lokalisme sebagai counter hegemoni terhadap upaya-upaya penyeragaman “budaya putih”, barangkali saja ke depan kita dapat merengkuh kembali cita-cita besar akan Indonesia Berdikari itu.

Nah, pada titik inilah, hari ini kita sharing dan berdiskusi.
Salam Hangat.
Sumber: http://senimana.com/berita-154-kretek-sebagai-kritik-kebudayaan.html

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►