Monday, July 18, 2011

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

V

Ada beberapa mantra Jawa mengadopsi nilai ajaran Islam, salah satunya lewar, malah mengotori ruhaniah kedalamannya, semisal ajian kulhu sungsang, diambil dari surat Al-Ikhlas, tapi diputarbalikkan hingga jempalitan tak tentu arah.

Mantra-mantra berdaya ruhani rendah yang paras auranya merah, mudah dipelajari karena menghamba jin atau manunggaling kawulo jin; bentuk-bentuk penyimpangan dari ajaran murni yang sengaja dirombak demi pamor berbalik. Biasanya dipakai para dukun yang tidak bertanggung jawab.

Apa jadinya jika Sutardji dalam mantra-mantranya memutar-balik bahasa sekenanya hingga makna jungkir-balik tidak punya kandungan isi, kecuali hembusan mendat-mentul tak berdaya filosofinya. Terlena gagasan keblinger membebaskan kata yang berniat awalnya mengeramatkan bahasa Indonesia lewat mantra malah meracuni jika dibaca anak didik belum faham udelnya pun sudah. Semisal sajaknya Shang Hai.

SHANG___________________________HAI

ping diatas pong

pong diatas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

tak ya pong tak ya ping

ya tak ping ya tak pong

kutakpunya ping

kutakpunya pong

pinggir ping kumau pong

tak tak bilang ping

pinggir pong kumau ping

tak tak bilang pong

sembilu jarakMu merancap nyaring

(1973/Sutardji Calzoum Bahri, dari buku O Amuk Kapak, tiga kumpulan sajak).

Jika tak hendak keramatkan bahasa, lantas apa yang digagas sekadar membebaskan kata-kata sebebas-bebasnya dan orang baru menulis huruf, dapatlah membuat puisi segayanya. Apakah kredonya tak menjerumuskan umat ke jurang jahiliah, kreativitas pembodohan?

***

Secara umum, ilmu kebatinan (Prof. Dr. Koentjaraningra, memasukkan ini di bab Sistem Religi dan Ilmu Gaib), pada pengetahuanku, terkelompok menjelma tiga gunung keyakinan, tiga belahan benang atau tiga pilar; putih, merah, dan hitam.

Pertama; Para nabi, rasul, wali, dan orang-orang diberkati. Dalam kitab A’maar Al Anbiyaa’, dituliskan Jihad Muhammad Hujjaj, penerbit Maktabah Al Imam Al Manshurah-Kairo, diterjemahkan Team Azzam, Cendekia Sentra Muslim 2004, tertulis: “Para nabi berjumlah 124 ribu sedangkan rasul 313, seperti tertera pada hadist yang diriwayatkan Abu Dzar Al Ghifari, dalam Kitab Al Bidayah wa An-Nihayah, hal 535”. Jumlah tersebut termasuk para nabi, para rasul yang terketahui, dan mungkin saja di antaranya Siddhartha, Tao Te Ching, serta kaum pengikut ikhlas menjalani ajaran-ajarannya. Tuhan menganugerahi keutamaan perbuatannya sejenis mukjizat, ilmu pengetahuan berlimpah tetap melingkupi hukum kausalitas pun keajaiban yang muncul ternalar, juga tak menjerumus pada sikap angkuh pula tamak. Mereka dinaungi hawa sesejuk salju tidak sembarangan, tidak sembrono tapi penuh perhitungan. Teguran-Nya cepat menyadarkan balik ke jalan keselamatan, di samping banyak yang gagal mencapai derajat itu, dan angka-angka di atas wallahualam bissawab.

Kedua; Syaman atau shaman (syamanisme semisal upacara sanghiyang dedari di Pulau Bali), praktek perdukunan, jinjangraja, pedande, pendeta, orang-orang alim (berilmu kanuragan, sikep, pelet atau mahabbah). Kehendak mereka merapalkan mantra untuk memohon Yang Kuasa, tapi lantaran disusupi niatan kurang baik sewujud keduniawian, biasanya dirasuki kekuatan kurang terpuji, semisal jin. Tidakkah kita ketahui, sebaik-baiknya bangsa jin ialah seburuk-buruknya manusia.

Mereka berangkat dari tirakat tapabrata-berpuasa yang abaikan ritus-ritus syariat serta menampakkan wujud kelebihan atau ditonjolkan hingga membuat kagum orang, karena hasil terperoleh seolah-olah dari perhitungan alamiah. Biasanya tidak merugikan orang lain, sekadar mempermudah kelancaran hasrat, tapi ujung-ujungnya kurang baik, kalau tak dilambari watak kasih sayang tulus.

Ketiga; Ilmu hitam seperti mantra mengundang roh gentayangan, arwah nenek moyang berwatak buruk, begejil, wewegombel, kuntilanak/matianak dan sebangsanya. Mereka diundang lewat pembakaran dupa-kemenyan disertai komat-kamitnya mulut bermantra. Yang awal rapalannya berasal bisikan jin (setan) ke telinga-telinga para dukun tak pernah menyucikan jiwanya bersifat wes asih lemah lembut, tapi berangasan terhanyut nafsu belaka.

Tanda orang memperdalam keilmuan ini, matanya merah seperti dalam keadaan mabuk, pundaknya memberat, telinganya panas, mudah marah, dan serampangan. Jika berwatak cerdik, akan menutupi dengan kepura-puraan merendahkan diri, padahal di hatinya angkuh luar biasa, pun kata-katanya ganjil sulit ditangkap, seolah ngelindur tiada pijakan. Kalau ditanyakan ulang, ia segera beralih perhatian.

***

Ibarat gelombang, tiga sinyal tersebut dirasai semua insan, khususnya kaum pemikir juga yang dikaruniahi indra tajam, dengan naik-turun derajat sesuai amal perbuatan serta pantulan sekeliling. Pun gelombang mantra saling bertaut nan berbenturan (pengertian mantra di sini membiak, bisa sebenarnya, krentekan hati, berpikir keras, dan keserupaan lain bersimpan aura pancaran keyakinan), di samping roh pepohon, gunung-gemunung keseluruhan alam bertautan silang-saling mencahayai-menggelapkan.

Para penyair seperti kaum pemikir lain, sejarahwan, filsuf, para hamba menyetiai lakunya ditujukan demi beribadah, ditinggi-rendahkan derajatnya di dunia pun alam lebih. Percepatan naik-turunnya gelombang itu sebolak-baliknya hati dibenturkan goda, diringkus bujuk rayu, ditaburi serpihan cahaya kesadaran malaikat Ruhaniyyuun.

Begitulah manusia dalam kehidupan serbaterbatas tempat-waktu, senantiasa berkeadaan rapuh, goyah, waswas laksana sandiwara; lakon pewayangan telah ditentukan alur ceritanya. Hanya yang ingat waspada dalam keikhlasan juga corak dipertajam kesungguhan tirakat, ikhtiarnya memperjelas wajah ombak berkecenderungan ke mana terdekat, sedari ketiga benang tersebut.

Ketiga pegunungan besar itu sejatinya berasal dua cabang, Ibnu Arabi menyebutkan dari satu “pohon kejadian” dalam kitab Syajaratul-Kaun. Serupa kitab Daqooiqul Akhbar, karya Al Imam Abdur Rohim bin Ahmad Al Qodhi yang permulaannya berawal cahaya satu benih kun: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘Kun (wujudlah), maka ia pun jadi (wujud).” [Q.S. an-Nahl: 40].

Al Qodhi dengan bahasa klasik, penjelmaan perihal di atas menyerupakan seekor burung, seperti peradaban primitif yang baru mengenal kesadaran jiwa dan tetap bertengger pada dahannya yang bergetar meneteskan keringat. Sedangkan Ibnu Arabi lebih maju, akar pohon itulah kehendak, cabangnya kuasa, satunya menuju kesempurnaan, kedua menemui kekufuran.

Aku sendiri lebih condong mengenai “pohon kejadian” ialah “sejarah penciptaan” bersumber dari kehendak-kehendak membangun kekuasaan mulia di sebelahnya penghancuran, kemakmuran di sisinya keserakahan. Sementara munculnya ketiga cabang besar, tidak lebih pantulan keduanya; keraguan manusia, sifat waswas, khilaf, ruang-waktu remang yang dekat pemaafan juga terperosok dalam.

Pada Thasin IV, Kitab Tentang Lingkaran, bagian I, di buku Ana al-Haqq, menyingkap teosofi al-Hallaj dalam kitab thawasin/oleh Gilani Kamran, diterjemahkan Wahyudi, S. Ag., diterbitkan Risalah Gusti, Cetakan Kedua, April 2001, menyebutkan:

Lingkaran pertama di dunia penampakan
adalah dunia yang menuju ke arah dia,
Lingkaran kedua adalah yang mencapai dia
dan terputus; dan lingkaran ketiga adalah
Yang memasuki Realitas dan
kehilangan arah dalam hutan belantara.
Dan melalui lingkaran pertama ada
kemungkinan untuk mencapai dia;
tetapi melalui lingkaran kedua semua
kehilangan arah; dan dalam lingkaran
ketiga hanya terdapat pepohonan,
padang-padang pasir dan hutan belantara yang luas.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►