Wednesday, June 1, 2011

TAK ADA BAKAT, HANYA SEPERCIK DENDAM

Nurel Javissyarqi *
http://sastra-indonesia.com/

Jangan melihatku, sebab ketika kau mengedipkan mata. Kau sudah terbawa ke alamku,… kuburan.

Jika diri ini kusejajarkan dengan tokoh-tokoh semisal Pramoedya Ananta Toer, Yukio Mishima pun lainnya, dapatlah dibilang terlalu. Namun bolehlah kusebut sisi kesamaan yang menyebar ke sebagian orang, sebelum dan sesudah penyampaian kini terlayarkan.

Terus terang aku kurang mempercayai kekuatan bakat, ia sejenis efek situasi memerah, kondisional memanasi air di perapian atau sepyuran air ke udara menjelma pelangi. Terbentuknya reruang-waktu ketegangan dari gelisah, ketakutan serta harapan terpegang bara.

Sisi tertentu laksana agen penyalur memanfaatkan segenap lelapis kebutuhan demi kembangkan fitroh sambil menutupi kebocoran. Selanjutnya membentuk kesan berbakat ialah evolusi kemakmuran, dikala kesungguhan ditempa merasai perbuatan yang sebelumnya tak diinginkan.
***

Kebetulan, dulu orang tuaku lelaki berprofesi guru. Persisnya di bidang matematika, tepatnya aku pernah menemukan foto masa lalunya bersama beberapa guru tertanda penemu. Mungkin hanya kebenaran meringkas teori untuk kemudahan pemakaiannya. Foto tersebut usang kala diriku masih bocah.

Kondisi lain kutanggung, sebagai murid terbodoh baru bisa membaca-menulis mendekati kelas V ibtidaiyah. Resikonya tidak naik kelas, kerap diolok-olok, dipermalukan para guru serta kawan sebaya; “Masak anaknya guru goblok.” Itulah pukulan keras menyayat hatiku hingga terlempar ke jurang kelam kesunyian. Tiada hiburan selain pelajaran mewarnai, tapi yang punya keahlian menggambar tak dikatakan pandai. Maka nasib ketololan kubawah sampai kapan pun kusunggi di setiap tapak perjalanan.

Hantu cemooh menyumbat telinga membutakan mataku. Putus asa berjangkit; lari dari kampung halaman atau bunuh diri dan jenis kepicikan lain menemani. Ini awalkali pergulatanku mematahkan yang kerap menghardikku ke sudut gelap kamar, ke pematang pesawahan memandang hamparan hijau pepadian. Naluriku tumbuh dari kekuatan sisa-sisa rasa malu dan muak mendera.

Perihal menyenangkan saat menemukan kata-kata ini: “Si bodoh yang bisa membodohi orang pintar ialah keberhasilan terbesar.” Ini tipu daya siasat tempur dekat dengan kelicikan, namun jauh dari penjiplakan. Yakni membaca kecenderungan mereka lewat memberi titik tekan di atas taksiran rata-rata. Kesungguhan berlipat menyebarkan kemungkinan mencipta gagasan menjulang, lantas penerimaan menghadirkan sungkan dihadapannya bergeleng kepala. Tertipu.

Semua itu melalui uji coba berulang atas daya goda seancaman mental, menyelidiki tahap kegagalan pun jenjang keberhasilan. Menganalisa yang berkisaran menuju corak penentu perhitungan lanjut, misalkan sikap berpakaian menumbuhkan kesan. Di sana bisa diambil yang dimaui pula ditolak; persandiwaraan ini hadirkan nilai-nilai pemikiran demi topangan berikut. Tidakkah cahaya pengalaman dari kilatan kesadaran dilakoni dan ditancapkan, maka dendam kebodohan menjelma manis berolah sayang.
***

Hampir yang kulakoni oleh pantulan kerja orang-orang meremehkan, padahal dalam diriku tiada menyerupainya. Karena menyadari keterbatasan kutanggung, namun darinyalah aku berangkatkan segala menjawab sikapnya kepadaku.

Secara umum mereka berucap: “Kau ini siapa? Atau bentuk peniadaan lain.” Aku menerima tekanannya secara reflek teringat proses kreatifku mulai kanak hingga sewaktu kata-katanya memukulku. Dalam kondisi ini aku terdiam, kadang menjatuhkan air mata saja. Atas pribadiku tak menganggap entang pergaulan, tiba-tiba mereka meneror diriku seperti srigala kelaparan di malam gulita menyergap jiwa.

Peristiwa ketersinggungan karena salah penerimaan meluncur anggapan mengsle. Yang kusayangkan tak ada kesabaran. Tidakkah jiwa tertindas batin tergilas makbul doanya, mujarab langkahnya, kharismatik semangat juangnya. Serupa bangsa dipecundangi pemerintahan dholim kan sadar mencanangkan kerja sampai pangling diperbuatnya. Ialah burung terbang tak pedulikan bayangannya pula lemparan batu, ia seimbangkan hembusan bayu dan fitroh gravitasi yang disandang.
***

Efektif-efisien, dua kata mendarah daging dalam diriku. Kata-kata itu pernah meluncur dari orang tuaku, dulu memarahiku entah kala mengerjakan apa. Lalu dua kata itu selalu kuterapkan padanya jika menyuruhku melakukan sesuatu. Kalau tidak masuk kriteria, takkan kukerjakan sampai kapan pun. Padahal ruang keduanya sangat elastis pula berlainan cara menghadapinya. Begitulah teror membentuk coraknya, maka hukum kausalitas menjadi jawabanya.

Bentukan itu menyebar perluas kekuasaan, sehingga aku diharuskan menandingi jika ingin tetap bernafas dalam kemerdekaan. Idealitas, ukuran disepakati dan faham para tokoh menjadi bacaan wajib pun sembunyi. Terus kucari karakternya, aku tantang sebagai bahan dialog menerus.

Tak selamanya perihal kebenaran terdengung tiada kebocoran, wewujud kembaran yang bisa menjegal di tikungannya. Ruang perhatian, waktu merenung terfokus di depan paras pemikiran. Makanya garam kecurigaan patut ditaburkan sejauh debu menyusupi sela-sela. Pada gilirannya yang tak mereka fikir, kita sudah di sana. Minimal bayang-bayang kegelisahan senantiasa melampaui pandangan.

Musuh adalah pembodohan. Menutupi rahmat-Nya seperti sungai mandek tidak dialirkan, juga bentuk pembelokan, sekelembutan memanfaatkan terlena. Olehnya pembongkaran harus dan menancapi ulang niat, merekonstruksi yang lewat demi penjumlahan tepat. Kesuntukan ikhtiar baik diharuskan istirah di kamar hening, ke segala warna pun tindak-tanduk terucap, lalu ditariknya demi perolehan gemilang.

Menyenangkan belajar dari pembodohan mereka, pula merangkak. Usaha membutuhkan kurban, tapi apalah artinya, jikalau peroleh lelimpahan berfikir, malah timbul kecerobohan. Maka tak guna bangga, semua mengalir ke muara. Mendambai keindahan memperkaya wawasan tak melukai, dari perbedaan rahmat dengan roh kemerdekaan dinaungi berkah.
***

Hadirnya corak lain benturan faham di atas jalinan merekatkanku dengan musuh bebuyutan, semisal: “Mungkin mereka hanya menggoda, menguji dan semacamnya.” Pada jarak ini kian mawas hatiku: “Kenapa? Toh aku tak membuat daya singgung? Cekcok tidaklah bijak, kalau tiada penyelesaikan membangun.”

Kesempatan ini kupandang pelbagai kemungkinan: Kenapa terjadi? Lantas menarik benang perkiraan menyisiri rambut mengurai pelahan. Pada derajat tertentu mereka laksana guru mengajarkan. Jelas tak kuterima, aku cukup nikmati kegelisahan diri. Tidakkah pergerakan mereka telah ada segelombangan peradaban yang aku baca juga?

Aku curiga mereka berharap daya singgung demi gesekan kreatif, aku kira kejiwaan ini rendah. Oleh menggali pengetahuan pun ketersinggungan pasti mengucurkan mata air tersembunyi, lebih bening daripada kisaran di permukaan.

Serupa keanehan orang tuaku yang berbicara serius melalui perantara lewat guruku. Corak pikir berbeda, kaca mata lain mengamati sudut. Sang pengantar biasanya lunak, sedeburan ombak pelahan diikuti. Dipastikan menemui keinsafan tak melukai ikhtiar.

Perbedaan tempat-waktu seukuran pendewasaan pada kidungan naik-turun melodi hayati menjadi pendaran berguna, butiran manfaat. Kan berharga sampai waktunya, merasakan jalan tidak disangka atau pesona yang terlambat datangnya.

Peran perantara mendekati buku pengantar yang menjemukan. Kondisi terpaksa membaca untuk mengetahui sejauh gairah penulisnya mengolah dinaya hidup dipunyai sebagai suara perwakilan. Demikian kuhormati setiap tulisan, kegiatannya, watak berlainan secermin lain, arus tak selamanya mulus. Benturan ke batu-batu mewaktu, pukulan pembodohan kan menyadarkan posisi sebenarnya.

Ini bukan berhutang belas kasih. Alam semesta tersirat pula tersurat mewarnai bebayangannya, menjadi jejakan rasa menemui keheningan purna. Selepas menyimak tanda di atas bumi menafsirkan sebaik-baiknya, sekuat tirakat diraih kepada setiap jenjang yang dipunggah.

Atau kematangan takdir ditentukan gesekan masa. Tidak berguna mengelak, olehnya selalu menancapi pribadi lain dari suara lain atas kesetiaan menelisik, seperti sajak Octavio Paz Lozano:

TETANGGA JAUH

Semalam pohon abu
Nyaris bicara-
Tapi tak.

Lantas aku diingatkan larik terakhir puisiku dari Balada Jala Suta:

Lalu datanglah semboyan;
“akulah Jala Suta, memberontak
adalah siasatku menghormati nenek moyang.”

——–
Pengelana asal Lamongan, 12 Mei 2011.

0 comments:

Post a Comment

◄ New Post Old Post ►