Showing posts with label Wawan Eko Yulianto. Show all posts
Showing posts with label Wawan Eko Yulianto. Show all posts

Sunday, August 28, 2011

Kepada Dingin (yang) Tak Tercatat P: Kehandaitolanan Kreatif Goenawan Mohamad dan Saut Situmorang*

Wawan Eko Yulianto

http://sastra-indonesia.com/



Minimal, sekali atau dua kali seorang pembaca sastra Indonesia (yang tidak hidup membaca dan berkarya secara soliter tentu saja) pasti pernah mendapati nama Saut Situmorang dan Goenawan Mohamad muncul nyaris bersamaan, bahkan dalam satu hela nafas atau dalam satu kalimat. Entah itu dalam esai, perbincangan, postingan blog, atau status facebook. Mungkin memang itu tugas mereka dalam sejarah sastra Indonesia: yang satu di awang-awang dengan komunitasnya yang terbilang mapan dan satunya lagi blusukan bersama penulis-penulis muda, mengobarkan semangat anti kemapanan sastra. Dampak ekstremnya, mungkin seorang pembaca sastra akan beranggapan Saut itu benci karya Goen (saya sebut Goen, demi bersikap adil karena memanggil saut juga dengan hanya 4 huruf, tanpa mengabaikan hormat kepada orang yang lebih tua) dan begitu pula sebaliknya. Tapi, buat saya, sulit rasanya membawa pertikaian “politik sastra” mereka ke ranah kreatif. Saya tidak akan sebutkan sebabnya dalam sebuah pernyataan positif. Saya akan ajak Anda ke satu pembacaan saya atas masing-masing satu karya dari kedua penyair tersebut, yang pada tataran tertentu, menunjukkan kepada saya “kehandaitolanan kreatif” antara kedua penyair itu.



Saya menikmati puisi secara swasta, dan ada kalanya, dalam proses itu saya benar-benar menemukan kenikmatan. Kenikmatannya sih sederhana saja: hati senang, pikiran seperti menjadi berpacu dan ngelayap ke sana-sini, dan dalam pikiran yang ngelayap itu, segala yang tak akur tampak seperti karib yang berdesak-desakan. Terkait bunyi, saya tentu juga bisa merasakan kenikmatan saat bunyi bersaut-sautan dengan kuat. Tapi, karena saya lebih banyak memutar puisi untuk mendapatkan sensasi imaji, dan karena memang saya bukan seorang deklamator yang baik, maka seringkali elemen bunyi dari sebuah puisi berhenti begitu saya menemukan bahwa rima, aliterasi dan asosiasi bunyi sebuah puisi cukup menghibur–saya tidak pernah sampai mengeksplorasi kekuatan bunyi lewat deklamasi.



Salah satu buku sajak yang sering saja jenguk di malam-malam yang dingin, di remang lampu 5 watt (saatnya menidurkan anak, tapi sekaligus saya pingin napak tilas Malcolm X yang membaca suntuk dengan tempias cahaya dari luar selnya), adalah buku Otobiografi karya penyair protes Saut Situmorang. Sajak-sajaknya selalu memancing saya mereka-reka jejak sajak atau karya sastra lain terdahulu–apalagi Saut juga menjelaskan dengan tegas di esainya adanya ketegangan abadi antara “tradisi” atau intertekstualitas dan bakat murni seorang penyair. Sekilas saja akan terlihat berbagai jejak, mulai jejak peringatan bungkus rokok, novela Hemingway, , Goenawan Kundang, dll.



Tadi malam, sajak dari buku Otobiografi yang kebagian tugas memberi saja kenikmatan adalah sajak “Kepada P” yang begini bunyinya:



di kotaku

yang pernah merasakan

panas bibirmu, malam turun

memperkelam segala.

jalanan

cuma aspal hitam

kerontang kehilangan basah

hujan birahi musim.

kata kata pun

menghilang ke bukit tandus



tempat dikubur segala yang mati.



bayang bulan

menambah sunyi malam. tak ada

gonggong anjing yang dulu

mencoba menyesatkan

langkahku dari hangat hitam rambutmu.

cinta dan penyair keduanya

matikah? atau cuma

sekedar rindu?

2007 (Situmorang, 160)



Saat membaca lagi puisi ini tadi malam itu (entah mengapa saya tiba-tiba sadar tidak pernah benar-benar menyuntuki puisi Saut yang satu ini) saya merasa seperti pernah merasakan sensasi yang saya rasakan saat membaca saat ini. Seperti ada Deja Vu yang tidak sempurna. Saya merasa pernah berpapasan dengan sajak serupa ini, entah sekuat atau selemah apapun kemiripannya?



Setelah membaca beberapa kali, perhatian saya terfokus pada “malam turun memperkelam segala” yang tentu saja di mata ingatan saya terdengar seperti gema terdistorsi dari “gerimis mempercepat senja” dari “Senja di Pelabuhan Kecil” sang binatang jalang. Saut tidak langsung saja menerima dan mengulangi gagasan bahwa gerimis bisa membuat senja semakin kelam. Dia membawanya ke level yang lebih jauh: malam, yang merupakan wujud matang dari senja, menyempurnakan segala bentuk kekelaman. Bahkan, buat aku lirik dalam sajak ini, “segalanya” (yang notabene tidak terbatas pada sesuatu yang sejak awalnya sudah muram) bisa dibikin kelam oleh malam. Kalau dalam pembacaan saya, tentu saja bukan kebetulan eksplorasi ini muncul dari Saut Situmorang. Di suatu kesempatan, dia pernah mengaku melakukan penelitian terhadap karya-karya Chairil Anwar ketika menjalani kuliah S2 di Selandia Baru.



Yang kedua menarik-narik saya adalah “jalanan cuma aspal hitam kerontang kehilangan basah hujan birahi musim.” Konstruksi kalimat “bla-bla-bla HANYA bla-bla-bla” ditambah dengan adanya imaji tentang “basah” di sini tak urung menyeret ke sebuah sajak yang buat saya mampu menghadirkan imajinasi yang kuat: Dingin Tak Tercatat. Betul, sajak Dingin Tak Tercatat karya Goenawan Mohamad, yang bisa disamakan dengan musuh terbesar yang pengaruhnya ingin Saut obrak-abrik, andaikan jagad sastra Indonesia ini adalah “dunia kang ouw” istilah jagad persilatan yang lazim dipakai di karya-karya Kho Ping Ho (cerita silat kegemaran Saut). Bagaimana bisa imaji saya terbawa ke Dingin Tak Tercatat? Mari kita baca lagi selengkapnya sajak Dingin Tak Tercatat:



Dingin tak tercatat

pada termometer



Kota hanya basah



Angin sepanjang sungai

mengusir, tapi kita tetap saja



disana. Seakan akan



gerimis raib

dan cahaya berenang



mempermainkan warna



Tuhan, kenapa kita bisa

bahagia?

1971 (Mohamad, 47)



Baris ketiga yang hanya terdiri dari tiga kata itu ternyata sangat kuat tertancap di kesadaran saya. Struktur sintaksisnya sangat sederhana tapi khas: kata benda + hanya + kata sifat. Jalan hanya basah, kira-kira sepadan dengan: saya hanya ngeri, tapi dalam artian “yang saya rasakan hanya kengerian,” bukan “saya sekadar ngeri (tapi tidak takjub atau dll).” Sepertinya itulah yang membuat struktur itu khas, atau paling tidak jarang saya temui dalam perbincangan sehari-hari. Maka, ketika saya membaca kalimat yang agak-agak mirip secara sintaksis agak berbeda, yaitu “jalanan hanya aspal hitam kerontang kehilangan basah hujan birahi musim,” saya pun terbawa kepada Dingin Tak Tercatat (mohon maaf kepada Saut yang, andai bisa, pasti akan memarahi kalimat ciptaannya ini karena telah menghadirkan Goen–tapi, Saut tahu pasti, setelah tertulis, penulis sama sekali tidak punya otoritas atas karyanya).



Tapi, lagi-lagi, dalam puisi “Kepada P” ini, imaji dari “Dingin Tak Tercatat” itu tidak digunakan secara siap-pakai. Imaji tentang “Jalan hanya basah” itu justru dibalik menjadi “Jalanan hanya aspal hitam yang KERONTANG KERONTANG KEHILANGAN BASAH hujan birahi musim.” Imaji yang dihadirkan Saut mengesankan sesuatu yang “keras.” Jalanan basah yang terkesan sendu itu diporak-porandakan dengan imaji tentang jalan dengan aspal yang kerontang. Pada titik ini, saya mulai curiga, jangan-jangan “Kepada P” ini benar-benar bisa “menghancurkan” imaji sendu bin muram al-romantis dalam “Dingin Tak Tercatat”?



Maka mulailah saya baca keduanya secara berdampingan. Tapi, mohon maaf, saat pembacaan puisi sudah diiringi dengan hipotesa-hipotesa seperti ini, bisa jadi segala hal bisa terjadi. Apa yang mungkin tidak ada dalam sebuah puisi bisa jadi benar-benar ada. Seringkali, saat bertindak ekstra kritis, kita tidak mampu lagi membedakan antara apa yang benar-benar terlihat dan apa yang ingin kita lihat. Tapi sudahlah, toh yang saya kejar adalah kenikmatan. Begini ceritanya:



Oh ya, karena kecurigaan saya adalah “Kepada P” berpotensi menghancurkan imaji yang dibangun “Dingin Tak Tercatat,” maka pembacaan saya akan cenderung berangkat dari bangunan yang citranya akan dihancurkan, yaitu “Dingin Tak Tercatat,” dan kemudian dilanjutkan dengan bangunan penghancur citra, “Kepada P.” Teknisnya, saya akan mengiris kedua puisi itu masing-masing ke dalam lima bagian. Karena kedua penyair ini adalah pengguna kalimat yang setia, yang puisi-puisinya terlihat jelas terdiri dari kalimat-kalimat lengkap, maka pembagiannya pun berdasarkan kalimat, bukan baris. Anda boleh saja menuduh saya orang yang suka memutilasi puisi dan memperlakukannya sebagai objek. Boleh saja. Tapi saya tegaskan di sini, saya mengiris-iris puisi itu demi melihat anatomi yang mungkin bisa tercermin pada tiap irisannya. Dan saya juga tidak berhak memisahkan antara irisan satu dengan lainnya.



Baiklah, mari kita mulai:



Irisan pertama:



Dua baris pertama “Dingin tak tercatat” langsung membentuk suasana dingin yang luar biasa, yang tak terbaca pada termometer (oh ya, sebenarnya termometer bukan untuk “mencatat” temperatur, Oom Goen, tapi untuk MENGUKUR temperatur). Sepertinya, puisi ini berlatarkan sebuah musim dingin di sebuah tempat yang kemungkinan besar bukan Indonesia. Lazimnya, cekaman hawa musim dingin dan gersangnya pasca musim gugur memberikan kesan kemurungan, kehilangharapanan. Sementara itu, pada “Kepada P,” tidak dijelaskan seperti apa latar suhunya. Yang jelas, imajinasi yang ditawarkan oleh aku lirik adalah sebuah tempat “yang pernah merasakan panas bibirmu.” Tidak dijelaskan/ditentukan apakah sekarang masih panas atau malah sebaliknya sangat dingin, yang pasti saat ini si kota tidak lagi merasakan BIBIR itu. Kota ini sekarang dalam keadaan telah “kehilangan.” Ada yang berkurang dari kota ini. Tak hanya ada suasana kehilangan, aku lirik menambahkan dengan “malam memperkelam segalanya”: hadirnya malam itu membuat segalanya semakin suram. Bukan suhu yang jadi masalah, tapi “kehilangan” dan “kemuraman.” Selain itu, bukan kelembutan bibir atau kehangatan bibir yang membantu membentuk suasana, tapi “panas” atau gairah yang membara yang ikut membentuk suasana itu.



Irisan kedua:



Di baris “Kota hanya basah,” kalau kita sudah membaca tentang dingin yang luar biasa pada dua baris selanjutnya, kita akan semakin mendapatkan cekaman kemurungan yang terasa lembut. Tapi, yang terjadi di sektor Saut semakin liar. “Jalanan cuma aspal hitam,” tidak ada apa-apa di sana; cuma aspal hitam biasa. Selain itu, aspal tersebut sudah kerontang tanpa hujan. Untuk semakin memperkuat hujan, maka dipadankanlah ia dengan “birahi musim:” hujan adalah puncak gairah musim. Tapi, di sini yang seperti itu tidak ada. Maka, yang kita dapatkan adalah jalanan yang hanya aspal hitam biasa tanpa hasil keliaran nafsu musim. Lagi-lagi, kita diajak untuk membicarakan sesuatu yang lebih dari sekadar ruang; “Kepada P” mengajak kita membicarakan tentang perasaan.



Irisan ketiga:



Pada kalimat selanjutnya, “Dingin Tak Tercatat” menghadirkan “Angin sepanjang sungai mengusir.” Tentu, dalam dingin tak bahkan di termometer pun tak terbaca, hembusan angin akan menghasilkan “wind chill,” yang artinya semakin menurunkan suhu. Dari yang normalnya, katankanlah, -10 derajat Celsius, bisa-bisa suhu menjadi -12 hingga -15. Inilah yang mengusir aku lirik. Tapi, si aku dan seorang lirik lainnya tak juga mau meninggalkan TKP. Mereka terus bertahan di cekaman dingin. Di akhir kalimat ini, kita sudah tahu bahwa puisi berbelok arah, dari dingin yang sangat dan mengesankan suasana yang tidak menyenangkan, menjadi kebersamaan yang dinikmati.



Sementara itu, dalam “Kepada P,” melanjutkan baris-baris yang sebelumnya memberikan imaji tentang hilangnya panas bibirmu, tidak adanya lagi gairah, kini aku lirik bertutur tentang “kata-kata yang menghilang ke bukit tandus, tempat dikubur segala yang mati.” Di sini, aku sudah benar-benar sendiri, dan tidak ada lagi yang namanya berkata-kata. Imaji kehilangan demi kehilangan yang dibangun pada baris-baris sebelumnya semangkin dilengkapi di sini: kata-kata sudah kabur, dan kaburnya ke tempat segala yang mati. Seolah-olah, yang tersisa hanya sunyi, sunyi yang semakin intens.



Ah, turut berduka atas kemurunganmu wahai aku-lirik. Betapa senjangnya: sementara di tempat Oom Goen sana si aku lirik tetap bertahap bersama dengan seorang lainnya (saya bayangkan dia seorang kekasih), abai pada dingin yang mengiris-iris daun kuping.



Irisan keempat:



Di baris-baris selanjutnya dalam “Dingin Tak Tercatat”, si aku lirik semakin membanggakan diri (meskipun wujud kebanggaannya sangat tersamar): Seakan-akan gerimis raib dan cahaya mempermainkan warna. Kalimat ini mulai mendukung pernyataan si aku lirik yang sebelumnya, yaitu meskipun dingin angin di sepanjang sungai mestinya mengusir dia, mereka tetap saja bertahan. Kini, gerimis bahkan seakan raib, seakan tak terasa, dan cahaya yang ada mempermainkan warna. Mestinya, warna yang dipermainkan menghasilkan efek yang menyenangkan, atau setidaknya tidak menambah kemurungan, atau mendukung seakan raibnya gerimis. Sekali lagi, dijelaskan di sini bahkan si aku lirik dan kau lirik tidak terlalu merasakan kesusahan meski dingin luar biasa.



Dari “Kepada P”, saya ingin mengambil empat baris (dua kalimat) sekaligus, yang berbunyi “bayang bulan menambah sunyi malam. tak ada gonggong anjing yang dulu mencoba menyesatkan langkahku dari hangat hitam rambutmu.” Di kalimat pertama terlihat jelas bahwa bayang bulan–apakah yang dimaksud di sini bayang-bayang dari segala hal yang tercipta karena cahaya bulan? ataukah bayangan bulan di atas air? ataukah bulan yang membayang atau terlihat samar-samar karena tertutup sesuatu?–malah menambah kesunyia malam. Bulan atau cahaya minim yang ada hanya membuat malam yang, kalau dirasakan sejak awal puisi tadi, dipenuhi dengan rasa kehilangan kini menjadi semakin sunyi. Ah, kalau sudah sunyi, cahaya pun hanya menambah sunyi. Kalau sedang susah, dikasih hiburan sedikit pun tambah membuat kita merasa bahwa kita sebenarnya sedang kesusahan. Bahkan, di malam yang sunyi ini, “tak ada gonggong anjing yang dulu mencoba menyesatkan langkahku dari hangat hitam rambutmu.” Kalimat ini juga cukup menonjol dalam pembacaan saya, karena, terus terang, saya tidak begitu saja memahami apa yang dimauinya. Ketika saya coba urai, kesan yang muncul adalah: suatu kali, si aku lirik pernah mencoba menikmati “hangat hitam rambutmu.” Penikmatan atas rambut hangat hitam itu seolah sebuah perjalanan yang mempunyai tujuan tertentu. Tapi, lagi enak-enaknya menikmati perjalanan di hangat hitam rambut itu, ada gongggongan anjing yang mengganggunya, yang membuatnya hilang konsentrasi dalam perjalanan tersebut, hingga akhirnya sempat tersesat. Puisi “Kepada P ini ternyata tidak berbelok arah. Dia berjalan lurus: dari kota yang hampa, adanya sesuatu/sesosok yang hilang, dan adanya suasana kesepian, berlanjut terus hingga di titik ini kembali dikuatkan dengan ingatan tentang sesuatu yang pernah ada tapi kini tak ada lagi.



Maka,



Irisan kelima:



ketika aku lirik bertanya “Tuhan kenapa kita bahagia?”, yang dia tanyakan adalah kok bisa ya dalam suasana sedingin ini, setidak nyaman ini, yang dia rasakan hanya bahagia? Ketika membaca puisi ini untuk pertama kalinya dulu, saya cenderung melepaskan pertanyaan ini dari keseluruhan puisi. Saya cenderung kata “kita” di sini mengacu pada aku lirik dan saya sendiri sebagai pembaca. Kayaknya, kegenitan saya lah yang membuat pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Padahal, kini, setelah membaca baris-per-baris, yang terasa adalah, “kita” di sini mengacu kepada si aku lirik dan kamu lirik dalam puisi ini. Siapa kamu liriknya? Ya, tentu saja sosok yang bersama dengan si aku lirik menikmati jalanan ketika suhu dingin luar biasa dan bahkan ada wind-chill di sepanjang sungai yang membuat dingin semakin intens. Jadi, si aku lirik ini sebenarnya mengajak berbicara aku lirik (dan saya pembaca jelata ini hanya seperti orang menguping!): ya Tuhan, kok bisa ya, dingin-dingin kayak begini kita merasa bahagia? (Oh ya, saya sela sebentar, kata “Tuhan” di sini juga–dalam pembacaan saya ini–bukan sapaan kepada tuhan, tapi sebuah ungkapan seru, seperti saat kita bilang “masya allah, kamu ini kok ya repot-repot datang dari Jakarta ke Surabaya cuma untuk ngembalikan buku tulis anakku yang terbawa di kopermu?”) Kembali lagi, kok bisa ya bahagia? Mungkin jawabnya ada pada Jamal Mirdad: “kalau cinta sudah melekat, gula jawa (jadi ter)rasa cokelat.”



Sebaliknya, “Kepada P” diakhiri dengan dua pertanyaan sekaligus yang, ah, lebih to the point: “cinta dan penyair keduanya matikah? atau cuma sekedar rindu?” Kenapa si aku menanyakan apakah cinta dan penyair sudah sama-sama mati? Apakah dia mempertanyakan dirinya sendiri yang tidak bisa “menikmati” kesunyian ini selain sebagai ketidaknyamanan? bukan sesuatu yang bisa dinikmati? Mungkin. Yang pasti, dia berbeda dengan aku lirik dalam “Dingin Tak Tercatat” yang 1) memiliki cinta dan 2) mampu bertahan atau bahkan menemukan sesuatu untuk dinikmati di tengah ketidaknyamanan (misalnya ya permainan cahaya itu tadi). Aku lirik yang mempersembahkan lirisismenya blak-blakannya “Kepada P” ini jadi bertanya-tanya tentang keadaannya sendiri: apakah dia bukan lagi penyair yang bisa mempuitisasi ketaknyamanan? Ataukah memang tidak ada lagi cinta itu, dus tidak ada lagi yang perlu diindah-indahkan? Atau, jangan-jangan, sebenarnya keduanya masih ada tapi dia saja yang “cuma sekedar” merasakan “rindu”? Dia memaklumi kalau saja perasaan kosongnya yang intens itu mungkin saja ada karena dia dibius kerinduan (sehingga masih menginginkan kebersamaan, panas bibir, penikmatan atas hangat hitam rambutmu).



Dari kelima irisan “Dingin Tak Tercatat” dan “Kepada P” yang saya patut-patutkan itu, saya menemukan sejumlah hal yang membedakan pilihan estetika Goen dan Saut.



Yang pertama adalah secara struktur, “Dingin Tak Tercatat” menggunakan ciri mendasar soneta: membelokkan cerita. Dalam tradisi soneta, biasanya delapan baris pertama, atau oktet, berisikan tentang satu hal dan enam baris sisanya (sekstet) berisikan tentang hal yang bertolak belakang atau berbeda arah dengan yang disampaikan pada oktet. Dalam “Dingin Tak Tercatat” meskipun secara fisik tidak ada yang namanya oktet dan sekstet (karena jumlah baris puisi ini sendiri cuma 11, kita bisa merasakan pembelokan tersebut pada baris ke enam, ketika ternyata aku dan kamu lirik tetap berada di sana meskipun udara dingin digambarkan semencekam itu. Sejak baris keenam itu, dingin yang mencekam dikalahkan oleh kekukuhan para tokoh lirik bertahan di sana, hingga bahkan pada dua baris terakhir diindikasikan bahwa mereka berdua bahagia dalam kondisi begitu.



“Kepada P” tidak menerapkan pembelokan bergaya soneta. Bahkan, kalaupun memang dianggap belokan, itu hanya terjadi pada baris terakhir. Saut di sini tampak membangun puisi ini seperti sebuah tanjakan yang dimulai di kedudukan agak tinggi dan kemudian terus menanjak hingga ke puncak. Dan ketika si aku lirik betanya “ataukah cuma sekedar rindu?” kita seperti dijatuhkan dan kita pun berpikir: kalau cuma rindu kan berarti “ngglethek”, cuma segitu doang. Saut tidak membelokkan asosiasi pembaca. Dia membawa pembaca naik ke puncak sajak, dan dari puncak dia memberi pembaca pilihan untuk terus naik sendiri atau menjatuhkan diri ke gigir tebing.



Kedua, ada sikap terhadap hubungan manusia dan kosmos. Dalam puisi “Dingin Tak Tercatat”, terlihat Goen menyajikan ruang fisik yang mestinya dapat memberikan kesan bagi pembacanya dan memantik imajinasi. Dikisahkannya dingin yang bahkan tidak terukur di termometer, angin yang dinginnya semestinya mengusir orang dari jalan, jalan yang basah oleh gerimis, dan permainan cahaya malam. Semua itu belakangan mengarah pada aku dan kamu lirik yang bertahan di luar dan terheran-heran kenapa mereka bisa bahagia dengan keadaan seperti itu. Sajian-sajian deskripsi fisik ini, baik dalam bentuk ruang (jalan, sungai), warna (cahaya), inderaan kulit (suhu dan angin dan gerimis), semua seakan mengajak kita untuk ikut serta merasakan dunia yang serba tidak nyaman dalam dunia itu. Dan ketika pada akhirnya aku dan kamu lirik tetap bahagia, maka kita akan tersugesti bahwa seganas apapun alam, manusia dengan perasaan di dalam hatinya mampu bertahan dan bahkan abai dengan cekaman alam itu.



Sementara itu, pada level yang sama ini, Saut memilih menunjukkan alam secukupnya dan menyelipkan komentarnya sendiri. Dia sajikan alam, tapi dia bandingkan alam itu dengan memorinya. Lingkungan di sekelilingnya saat ini dibandingkan dengan dulu ketika masih ada panas “bibirmu”. Aspal yang kini kerontang dia komentari: karena tidak ada basah hujan berahi musim. Saut memakai majas personifikasi “berahi musim” untuk hujan (wah, ada gunanya juga akhirnya belajar majas-majas di SMP dulu, hehehe), yang menurut saya adalah salah satu cara “mengomentari” alam. Di agak akhir, Saut menunjukkan sunyinya malam ini dengan membandingkan dengan dulu, ketika masih ada suara anjing yang mengganggunya menikmati tenggelam menjelajahi rambut hitamnya yang hangat. “Kepada P” memilih untuk tidak membiarkan alam berbicara dengan sendirinya, harus ada manusia dan aktivitasnya untuk mendefinisikan alam.



Meski menggunakan pendekatan yang berbeda (Goen membiarkan alam berbicara sendiri dan Saut turut campur mengomentari alam), mereka berdua sama-sama mengunggulkan manusia atas alam. Mungkin ini yang membedakan mereka berdua dari para penyair romantik, yang melihat manusia sebagai sosok yang terpengaruh oleh alam. Goen melihat manusia dan alam bisa menunjukkan kekuatannya sendiri-sendiri tapi masing-masing (setidaknya manusianya) tidak bisa terpengaruh oleh yang lain. Sedingin apapun alam, mereka tetap bahagia dan tak terusir. Sementara, Saut membawa ketegaran manusia ini ke sisi yang lebih jauh: alam hanya berarti dalam puisinya saat dijajarkan dengan manusia.



Perbedaan khas ketiga berkaitan dengan kesan yang diberikan saat membaca kedua puisi ini. Pada “Dingin Tak Tercatat”, pembaca puisi bisa dengan mudah mendapatkan kesan kelembutan, kesenduan dan kesantunan. Saking kuatnya kesan ini, saya pribadi membayangkan seorang deklamator membacakan puisi ini dengan biasa saja, seperti seorang kakek yang berkata kepada istrinya yang telah menua bersamanya. “Dingin tak tercatat pada termometer” kata si kakek sambil tatapannya kosong. “Jalan hanya basah” kata si kakek sambil mulai memandang nenek. “Angin sepanjang sungai mengusir, tapi kita tetap saja di sana,” kata si kakek sambil mulai memegang tangan nenek. Begitulah seterusnya. Kata-kata dan asosiasi dari bunyi yang dihasilkan mendukung pembacaan seperti itu.



Sedangkan untuk puisi “Kepada P” saya bayangkan si aku lirik di sedang berada di sebuah telepon umum dan berbicara kepada P yang berada di ujung entah. Dan sambungan telpon sedang tidak terlalu jernih, sehingga aku lirik harus berbicara dengan agak keras dan mengartikulasikan kata demi kata dengan tegas. “di kotaku yang pernah merasakan panas bibirmu, malam turun memperkelam segala,” begitulah si aku lirik membuka percakapan di telepon umum. Kata-kata semacam “panas bibirmu”, “aspal hitam kerontang”, “bukit tandus” dan gonggong anjing” membantu menciptakan kesan kasar itu. Dan kesan kasar itu seperti menuntut adanya ekspresi yang tidak lembut saat dideklamasikan.



Yang terakhir, saya merasakan bahwa kedua sajak ini berhubungan secara serial. “Dingin Tak Tercatat” adalah sajak tentang sebuah kebersamaan di tengah dingin, pada suatu musim dingin, di suatu kota sub-tropika. Di latar ini, aku dan kamu lirik bersama memadu kebersamaan yang mengatasi segala bentuk ketidaknyamanan lingkungan. Dan kalau boleh kita ambil tahun penulisannya sebagai latar waktu penulisnya, maka musim dingin atau akhir musim guugr ini terjadi di tahun 1971. Di manakah? Kita bisa tanyakan pada Goen: Di mana Anda waktu itu, Oom Goen? Untuk “Kepada P”, kisah terjadi di sebuah kota dalam suatu jenis suhu yang tak didefinisikan, tapi yang pasti si aku dan kamu lirik tidak lagi bersama dan kota dipenuhi suasana kehilangan. Untuk kesenangan saya sendiri, saya bayangkan saja aku dan kamu lirik di kedua sajak ini adalah orang yang sama. Bedanya, “Dingin Tak Tercatat” terjadi pada suatu masa ketika aku dan kamu lirik bersama merajut kebersamaan yang membuat windchill serasa anget-anget kuku dan “Kepada P” terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika aku dan kamu tak lagi bersama dan si aku mengunjungi TKP (Tempat Kejadian Percintaan[?]) dan mengingat-ingat kembali, menapaktilasi yang dulu-dulu, tapi kali ini dengan lebih blak-blakan, tidak ada sentimentalisme, hanya kekosongan, kehilangan yang memuakkan, tapi dia sadar mungkin juga dia rindu.



Sementara sampai di sini dulu saya membaca karya kedua pendekar dari dua kubu di kang ouw sastra Indonesia ini. Memang keduanya menunjukkan gaya yang berbeda dalam bersastra, kecenderungan berbeda dalam ber”politik sastra”, tapi mau tidak mau, dalam kedua ini, mereka terasa begitu “dekat,” tentu dekat dalam artian yang sangat meluas. Tak apalah, apa boleh saya sebut ini “kehandaitolanan kreatif Saut dan Goen”? Silakan rasakan…



* Draf kasar dari tulisan yang direncanakan ilmiah ?



Sumber Acuan:

Situmorang, Saut. Otobiografi. Yogyakarta: sic. 2007. Cetak.



Mohamad, Goenawan. Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Jakarta: Metafor. 2001. Cetak.



Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2011/07/13/kepada-dingin-yang-tak-tercatat-p-kehandaitolanan-kreatif-goenawan-mohamad-dan-saut-situmorang/#more-734



Saturday, July 2, 2011

Nurel Javissyarqi Gugat!

Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/

Seperlu apakah kita menggugat Sutardji Calzoum Bachri? Sangat, bagi Nurel Javissyarqi. Kenapa? Sepertinya cukup banyak alasan untuk melakukannya. Apa saja yang perlu digugat? Saya akan coba mendaftar beberapa saja yang berhasil saya tangkap dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.

Gugatan Nurel dipicu oleh esai Tardji yang berjudul “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” di mana Nurel menemukan paragraf mono-kalimat ini:

“Peran penyair menjadi unik, karena–sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya–secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggunjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.” (89)

Selanjutnya, Nurel pun mulai menggugat panjang lebar. Dalam perjalanan gugatannya, Nurel juga mendudukkan satu esai lagi sebagai biang ketidaksesuaiannya dengan Tardji, yaitu esai “Menulis di atas Mantra.”

Sebelum membicarakan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, saya ingin meringkas sebentar kedua esai Tardji tersebut.

Pada esai “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” Tardji menyatakan bahwa Tuhan menciptakan semesta dari imajinasinya. Pada gilirannya, salah satu ciptaan Tuhan, yaitu penyair, juga menggunakan imajinasinya untuk mencipta. Tuhan dan penyair tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas ciptaannya. Bahkan, penyair, sebagaimana disitir dalam surat Asy-Syu’ara, cenderung tidak melakukan apa yang dia katakan, KECUALI penyair yang beriman, yang “jika ditafsirkan secara duniawi bisa berarti para penyair serius yang selalu melandaskan dirinya pada Kebenaran dalam meningkatkan atau mengembalikan martabat manusia sebagai makhluk termulia di bumi” (90). Yang dilakukan “penyair beriman” inilah yang menjadikan puisi penting, karena selain “meninggikan dan meluhurkan martabat manusia” (fungsi individunya), dia juga “bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah.” Puisi yang menurut Tardji bisa menjadi contoh puisi semacam itu adalah teks Sumpah Pemuda, yang sebenarnya juga imajinasi (karena waktu itu belum ada nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia) yang sarat makna dan menjadi inspirasi “para pembaca dan pendengarnya yang kemudian merealisasikannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan agar mimpi dalam sumpah pemuda menjadi kenyataan” (92). Kelak, cita-cita Sumpah Pemuda itu menggiring Indonesia pada pemahaman kebangsaan yang bersifat homogen. Adalah perpuisian tahun 70-an yang selanjutnya menunjukkan anak-anak bangsa yang mau merangkul kembali “unsur-unsur daerah yang mereka akrabi.” Bagi Tardji, ini merupakan sumbangan sekaligus koreksi atas Sumpah Pemuda. Tapi, pengangkatan unsur daerah (yang dianggap Tardji sebagai “aspirasi kultural”) ini tidak menunjukkan dampak terhadap kehidupan sosial. Ketika pada tahun 2000-an marak diterapkan otonomi daerah, yang memunculkannya bukanlah aspirasi kultural tadi, tapi “respons terhadap kebutuhan atau tekanan politik” (93). Akhirul esai, Tardji menyayangkan pemerintah kita yang tidak menganggap puisi sebagai aspirasi kultural, tidak seperti John F. Kennedy yang pernah bilang “Jika politik bengkok, puisi yang meluruskan.” Padahal, sekali lagi, menurut Tardji, puisi-puisi yang baik itu mencerminkan “aspirasi hati nurani bangsa.” (93).

Pada esai “Menulis di atas Mantra,” Tardji menyatakan bahwa landasan estetiknya adalah mantra. Tetapi, dia memilah-milih bagian dari landasan tersebut yang harus ditebalkan dan harus dihapus. Dia memandang landasan itu bukan sesuatu yang siap pakai, dan butuh kerja kreatif untuk menggunakannya. Yang dia lakukan itu banyak dilakukan oleh penyair 70-an lain. Mereka kembali ke tradisi alih-alih menjadi “binatang jalang” yang mengagungkan humanisme universal atau menjadi “malin kundang” (96). Menjadi “binatang jalang” dan “malin kundang” merupakan upaya pencarian karakter. Penyair tahun 70-an menemukan tempat nyaman di unsur-unsur yang mereka akrabi, yaitu unsur lokal. Lalu Tardji melompat dan ujug-ujug menyatakan bahwa puisi merupakan buah sekaligus bibit sejarah. Salah satu puisi yang menjadi bibit sejarah adalah teks Sumpah Pemuda (dengan argumen seperti di paragraf di atas). Tardji mengakhiri dengan penyesalannya kenapa para penyair tahun 70-an tidak mendapatkan “ventilasi politik” atas aspirasi mereka. Padahal, kalau berhasil, semestinya otonomi daerah sudah bisa dimulai 30-an tahun yang lalu. Hal itu karena “politik yang berlandaskan kultural memang masih merupakan cita-cita” (99).

Begitulah singkatnya kedua esai Tardji yang membuat Nurel “menggugat tanggung jawab kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.” Selanjutnya, saya akan COBA mendaftar poin-poin penting dari gugatan Nurel tersebut.

Pada bagian pertama buku Menggugat, Nurel berargumen bahwa penyair tak beda dengan profesi lain, dan bila Tardji dalam esai pertama mengatakan bahwa penyair lebih tinggi dari orang berprofesi lain, maka “Hanya perasaan berlebihanlah yang menganggap capaiannya yang lebih agung” (21). Nurel berargumen bahwa syair cenderung jauh dari masyarakat karena “mereka membangun patung-patung mitos sebagai sesembahan. Dielu-elukan sebagai warisan kenabian tanpa memiliki fungsi yang jelas bagi masyarakat, sebagaimana napas kerja lain di belahan bumi kekinian” (23). Nurel juga berargumen bahwa kekeliruan penyair sepanjang jaman adalah karena mereka tergoda “meloloskan diri dari tanggung jawab dengan memanfaatkan ayat-ayat, nilai, dan corak lelaku sedurungnya, sehingga abai pada ikhtiar kehidupan” (23). Dia mengakhiri dengan pandangan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah hardikan kepada para penyair.

Pada bagian kedua, Nurel mengkritik Tardji yang menyatakan dalam esai pertama bahwa Tuhan mencipta dari imajinasiNya. Nurel memandang ini sebagai kesembronoan Tardji dalam memahami salah satu pemikiran Ibnu Arabi (1165-1240). Padahal, yang sebenarnya: jagad raya adalah hasil Tuhan bertajalli atau beremanasi atau memancarkan cahayanya. Nurel pun menyuruh Tardji membaca Asy-Syu’ara dengan lebih serius. Kenapa? Karena, menurut Nurel, “Dalam pandangan Tardji, penyair seolah-olah tugasnya berleha-leha, mengigau kata-kata indah yang memabukkan, seakan-akan kesurupan Tuhannya, sebentuk umpatannya (tuduhannya) Fir’aun dan orang-orang celaka kepada para utusan Allah, di kala kalah di dalam perdebatan” (34). Jadi, kesalahan Tardji adalah pada penggunaan kata “imajinasi” yang bagi Nurel berasosiasi negatif, atau terlalu ringan.

Pada bagian ketiga, Nurel berargumen bahwa Tardji yang beraliran mantra itu posisinya cenderung tak tersentuh, dan “belum ada yang mengupas konsepnya lebih dalam (dari dalam), yakni watak ‘perdukunan’ intelektualnya, mantranya, dari akar-akar lokalitas, sehingga mewujud karya-karyanya” (35). Nurel mencurigai Tardji sebagai penyair yang berfaham, sekali lagi, “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.” Padahal, bagi Nurel, semestinya mantra sangat “sarat makna, karena dari maknanyalah, daya aura menembus segala yang dikehendaki menuju batas-batas takaran dan terketahui” (36). Bagi Nurel, ini merupakan ketidaktepatan, dan semestnya Tardji mau merevisinya, bukannya “tiadalah perlu memusingkan perevisian pandang [karena] di sanalah dianggapnya tugas dari para kritikus” (37). Kemudian Nurel menarasikan dengan puitis kisah mulai diturunkannya waktu ke jagad raya hingga bagaimana kelak muncul yang namanya mantra dan jimat. Nurel mengakhiri dengan mempertanyakan apakah mantra Tardji “benar-benar karya pemilik rohaniah sekelas mantra” (44).

Di bagian keempat, Nurel membahas esai Mochtar Lubis yang berbicara tentang kecenderungan bangsa Indonesia yang mudah terpukau oleh mantra, jimat, lambang, yang dalam manifestasi mutakhirnya bisa berbentuk slogan-slogan Sukarno–btw, Pancasila juga termasuk dalam kelas ini. Separuh jalan bagian empat ini, Nurel berargumen bahwa Tuhan sebenarnya bertanggung jawab, tidak seperti yang tertulis dalam esai pertama Tardji. Sekali lagi, dalam bagian ini, Nurel mempertanyakan kemujaraban mantra Tardji. Nurel membayangkan bahwa jika saja Tardji mempertunjukkan puisinya, “sungguh kentara puisi-puisi Tardji sekadar muslihat kata, tipu daya bahasa tak mengandung unsur dinaya mantra” (52).

Di bagian kelima, Nurel mengawali dengan adanya mantra-mantra tertentu dalam bahasa Jawa yang memutar balikkan ayat Al-Qur’an, sehingga menghasilkan “pamor terbalik,” sebagaimana dipraktekkan para dukun penghamba jin. Dia juga menghardik, jangan-jangan Tardji yang ingin “membebaskan kata [dengan niat awal] mengeramatkan bahasa Indonesia lewat mantra” itu malah berdampak negatif? “Apakah kredonya tak menjerumuskan umat ke jurang jahiliah, kreativitas pembodohan?.” Di sini kemudian Nurel menguraikan tiga kelompok dalam ilmu kebatinan, yaitu 1) para nabi, rasul, wali, dan orang-orang diberkati, 2) syaman, dan 3) ilmu hitam (termasuk di dalamnya “mantra mengundang roh gentayangan, arwah nenek moyang berwatak buruk, dll”). Selanjutnya, saya tidak berhasil menangkap maksud dari bagian kelima ini.

Pada bagian keenam, Nurel mengurai tulisan Taufik Ikram Jamil tentang Tardji, yang menurut Nurel “membelejeti” Tardji meskipun disampaikan dalam bahasa yang seperti memuji. Hal ini berbeda dengan para kritikus yang cenderung meneruskan puja-puji kepada Tardji dan melupakan landasan awal penciptaan Tardji, niat Tardji dalam berpuisi. Tentu, ini berbeda dengan Taufik, yang mengenal Tardji secara personal, sehingga bisa mengkritiknya.

Pada bagian ketujuh, Nurel membahas tentang pernyataan sikap Tardji dalam pengantar buku Tardji Isyarat: Kumpulan Esai. Dalam pengantar ini, Tardji membela sajak-sajaknya karena para kritikus tidak dapat mengapresiasi sajak-sajaknya dengan kadar yang semestinya. Pembelaan Tardji tersebut adalah dengan cara menjelaskan pandangan-pandangan kepenyairannya dalam tulisan-tulisan seperti yang terkumpul dalam buku isyarat tersebut. Itulah bukti tanggung jawab penyair terhadap karyanya. Bagi Nurel, itu “bukan tanggung jawab, melainkan [indikasi/bukti bahwa] karyanya memang bobrok, sehingga butuh alat pengantar si empunya” (72). Sikap Tardji membela karya-karyanya itu mengindikasikan bahwa “batinnya belum ikhlas melepas” (72) atau “belum diuji” (73) atau konsep si penyair belum matang (75). Nurel mengkritik kegusaran Tardji karena para pandangan para kritikus tidak sesuai dengan pandangannya pada awal penciptaan, padahal “tidakkah penilaian orang lain cenderung mengisi?” (76).

Demikianlah kira-kira poin-poin penting dari buku Menggugat yang berhasil saya tangkap. Sekarang waktunya saya menyampaikan sejumlah pertanyaan kepada Nurel dan siapa saja yang berkesempatan membaca buku Nurel ini, dan memberi perhatian yang sepantasnya kepada kedua esai Tardji yang dibahas di sini.

Pertama, apakah benar Tardji berpandangan bahwa “penyair tidak bisa dimintakan pertanggunjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”? Kata-kata tersebut memang dapat ditemukan dalam esai Tardji yang dibidik Nurel. Tapi sepertinya kita perlu urai lagi esai tersebut. Paragraf tersebut muncul sebelum Tardji mendedah bagaimana Al-Qur’an memandang para penyair sebagai kelompok orang yang “cenderung tergoda untuk bisa bebas tidak mempedulikan pertanggungjawaban terhadap karya-karyanya” (90). Tapi tepat setelah pembahasan terhadap kecenderungan penyair tersebut, Tardji juga menyatakan bahwa Tuhan memperingatkan penyair tentang kecenderungannya yang bisa dibilang negatif tersebut. Nah, bukankah ini berarti Tardji tahu bahwa sebenarnya tidak demikian sikap penyair yang beriman atau yang serius itu? Lagipula, di bagian selanjutnya esai tersebut Tardji membahas tentang “puisi” yang baik, yang menjadi bibit sejarah, yang mempersatukan Indonesia ke dalam satu nusa, bangsa, bahasa: Sumpah Pemuda?

Dengan itu, terjawab sudah bahwa sebenarnya Tardji tidak mendukung penyair kebanyakan sebagaimana dihardik dalam surat Asy-Syu’ara. Jadi, tidakkah kini saatnya Nurel membaca lagi pembacaan Tardji atas surat Asy-Syua’ra ini? Dan tentu dia kini perlu membaca tulisannya terkait gugatannya terhadap pembacaan Tardji atas ketiga ayat itu.

Kedua, bagaimanakah sikap Tardji terhadap mantra? Nurel berulang kali mempertanyakan keampuhan mantra Tardji. Dan sebenarnya saya juga pernah mendengar penyair lain mempertanyakan ini. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa dari kredo Tardji yang berjumlah kata 306 (termasuk nama dan tanggalnya) itu para penyuka puisi Indonesia begitu terpukau oleh kata “mantra” yang hanya muncul dua kali itu? Padahal kata “kata” muncul 23 kali (10 kali lipat dari kata “mantra”). Eh, kok jadi itung-itungan? Saya ingin mencoba memahami kalimat-kalimat penutup dalam kredo tersebut:

“Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.

Dan kata pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.”

Di sini Tardji tidak ingin menjadikan kata-kata (dalam puisinya!) sebagai pengusung makna. Dia ingin membebaskannya dari beban itu. Dia mengembalikan kata kepada kata pertama, yaitu “Kata.” Di sini, bisa ada dua versi. Dalam versi Injil, setahu saya yang dimaksud kata ini adalah “Yesus.” Dalam Yohannes 1:1, tertulis “In the beginning was the Word, and the Word was with God, and the Word was God” Tapi kalau buat orang Islam, sepertinya yang dimaksud kata di sini adalah “Kun.” Apa maksud Tardji mengembalikan kata kepada “Kun”? Mungkin Tardji mengacu pada fungsi “Kun” itu sendiri. Jadi, dalam puisinya Tardji menggunakan kata untuk menjadi kata itu sendiri, bukan untuk membawa pesan lain (seperti misalnya kata “laptop” membawa pesan sebuah komputer tipis yang bisa dijinjing dan dipangku). Dan saya beranggapan bahwa Tardji menganggap “Kun” itu sebagai mantra Tuhan. Mantra apa? Apakah mantra yang mempunyai kemujaraban supra natural?

Pertanyaan barusan sepertinya dapat dijawab dengan melihat pembahasan Tardji atas sikapnya menulis di atas mantra. Dia menyebutkan dalam esai itu bahwa “kadang mantra itu malah tertutup, terhapus, atau terlupakan karena tulisan [Tardji] yang berada di atasnya” karena menurut Tardji

“salah satu peran menulis ialah upaya untuk menutup atau melupa, yakni melupakan nilai-nilai atau ihwal yang tak lagi relevan untuk masa-masa kini atau masa depan, dengan demikian lebih terfokuskan (tambahan makna) pada bagian-bagian atau nilai-nilai yang masih bermakna untuk masa kini ataupun untuk masa mendatang.” (95)

Jadi, terlihatlah di sini bahwa bisa jadi kemujaraban mantra itu merupakan satu dari sekian hal yang ingin Tardji lupakan karena tidak lagi relevan dengan konteks zaman.

Atau, bisa jadi Tardji, sebagaimana telah dituduhkan banyak orang, telah berubah. Mantra yang Tardji bahas dalam kredonya bisa jadi bukan lagi mantra yang dia bahas dalam esai-esai terkininya. Apalagi, dalam kedua esai yang digugat Nurel ini mengisyaratkan bahwa yang menjadi sumpah pemuda itu serupa mantra adalah karena memiliki “irama dan pengulangan kata-kata” (91), bukan kemujarabannya. Jika perkiraan yang terakhir ini memang berpotensi benar, maka saya menyarankan kepada Nurel agar membandingkan dulu pandangan Tardji yang dulu dengan yang sekarang tentang mantra. Dengan begitu, mungkin telaah Nurel jadi lebih terfokus.

Omong-omong soal fokus, sepertinya pembahasan tentang mantra dan kemujarabannya yang cukup merajalela dalam buku ini malah mengurangi fokus gugatan Nurel. Atau, jika memang ingin terus menyertakan mantra dalam pasal-pasal gugatan kepada Tardji, mungkin Nurel harus bersedia menyampaikan gugatan-gugatannya dengan cara yang koheren dan lebih tertata, sehingga pembahasan tentang mantra itu bisa benar-benar mendukung gugatan atas tanggung jawab kepenyairan Tardji.

Karena waktu sudah habis, maka sementara begini dulu pembacaan saya atas gugatan Nurel.

Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2011/07/03/nurel-javissyarqi-gugat/
Pelangi Sastra Malang [On Stage] # 12

Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: Wawan Eko Yulianto Template by Bamz | Publish on Bamz Templates