Showing posts with label Sutardji Calzoum Bachri. Show all posts
Showing posts with label Sutardji Calzoum Bachri. Show all posts

Saturday, September 22, 2012

Melawan Dehumanisasi Sastra Sutardjian

Hasnan Bachtiar *
http://sastra-indonesia.com/

“Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita.” (Azhar Ibrahim Alwee)

SUATU artikulasi estetis yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah kata-kata tanpa mutu, karena selalu memiliki kualitas-kualitas makna. Makna hidup, makna dunia, dan makna-makna yang terlahir dari nurani penciptanya. Namun yang jarang disadari adalah, sebagai goresan pena penyair, bahwa syair-syair (termasuk kritik sastra) merupakan ungkapan intelektual. Bila demikian, kata kunci intelektual akan membawa kita kepada dua hal: yang pertama adalah bagaimana konstruksi sosial di balik teks, sedangkan yang kedua adalah untuk tujuan apakah teks tersebut ditulis. Dalam konteks ini, Nurel Javissyarqi yang memperkarakan sastrawan terkemuka Sutardji Calzoum Bachri dan kritikus sastra Ignas Kleden, menarik untuk diapresiasi.

Bila dahulu kita mengenal istilah “Paus Sastra” yang ternisbat kepada nama H.B. Jassin, dalam dunia sastra Indonesia kini, terbit “Presiden Penyair” yang tertuju pada Sutardji. Penobatan Sutardji sebagai presiden, mendapat dukungan intelektual secara mantap oleh Kleden. Anugerah megah ini, tentu lebih prestisius dibanding dengan gelar-gelar akademik semacam doktor kehormatan (honoris causa) dari universitas. Sebagai gelar kultural yang dianggap mendapatkan konsensus sekaligus legitimasi publik, maka tidak jarang masih menyisakan pertanyaan, pengujian lebih lanjut dan tantangan dari pelbagai jalan. Persoalan “otoritas” inilah yang menjadi masalah utama dalam perkara yang diajukan oleh Nurel.

Paling tidak, soal otoritas yang digugat ini memiliki lima poin penting yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Pertama, sandangan gelar “Presiden Penyair” bukan menunjukkan absolutisme, namun sekedar pengakuan (psikologis) oleh beberapa pihak yang setuju untuk mengangkat derajat Sutardji; Kedua, diamnya suara-suara kritis menunjukkan betapa kuatnya diskursus Sutardjian dan boleh jadi membentuk dogma tertentu; Ketiga, pengakuan terhadap suatu hal yang dianggap tinggi dan penting tanpa pengungkapan kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini; Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, namun lebih menitikberatkan pada soal kepantasan, kerabat, pertemanan atau nepotisme, berarti merupakan korupsi sejak dalam pikiran; Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, mengingat kompleksitas kondisi sosial (kemanusiaan) yang dialami oleh kebanyakan rakyat miskin negeri ini.

Pertama, “Presiden Sastra” yang kultural ini boleh digugat oleh siapapun, bila memiliki alasan-alasan yang sekiranya rasional dan masuk akal. Dengan demikian, berarti absolutisme tidak pernah ada. Betapapun masyarakat sastra tidak pernah menyebut istilah absolut, namun tidak adanya suara lain yang muncul untuk mencoba menguji kualitas ilmiah sastra tersebut, berarti menunjukkan betapa anggapan absolut telah mengendap di dalam alam bawah sadar dan menunjukkan betapa kritisisme telah tumbang termakan oleh trend, tersilap oleh semarak bungkus yang mewah dan melenakan. Adanya yang absolut bukan berarti karena yang relatif telah diasumsikan terlebih dahulu, atau keduanya saling mengisi. Dalam perbincangan filsafat kontemporer pun, persoalan ini tidak terselesaikan. Bukan hal ini yang menjadi soal penting untuk kita bahas, namun menganggap gelar kultural sebagai pengakuan yang taken for granted, kiranya lebih baik untuk dipikirkan ulang. Semua sastrawan memiliki sisi kemanusiaan yang wajar, setimbang, sederajat dan dengan demikian tidak perlu secara natural menumbuhkembangkan benih-benih feodalitas dalam khazanah ini.

Kedua, tanpa disadari “masyarakat bisu” telah hadir dalam pergumulan dan pergolakan sastra tersebut. Ini menunjukkan bahwa betapa kuat diskursus yang menguasai ruang publik. Jika demikian, dampak yang paling mungkin adalah terseret kepada arus popularisme dan bahkan popularisme narsistik, desublimasi represif dan dalam bahasa yang lebih jernih sebenarnya hal-hal itu adalah dogmatisme. Diagnosa psikoanalisa memberi kejelasan pada elemen-elemen alam bawah sadar bahwa sesungguhnya dogmatisme terhadap diskursus tertentu, sebagian sebagai ketidakberdayaan perlawanan, sementara sebagian yang lain adalah hukum moral yang menjelma secara natural, per se, otonom dan sesungguhnya itulah yang mengisi imajinasi, di samping sisi lain bahan-bahan imajiner dari yang faktual. Manusia sastra merasa “biasa saja” terhadap dogma Sutardjian atau melakukan pembelaan, keduanya sama-sama terpenjara oleh kekuasaan psikologis yang menumpulkan dimensi kritisisme. Dengan demikian, the silence community merupakan representasi yang paling tepat untuk menyebut diskursus – yang mestinya diteliti ulang ini – sebagai kekuasaan yang sangat besar, terlepas bahwa apakah hal itu berkualitas, berfungsi, baik, bermutu dan memiliki fondasi epistemologis yang kokoh.

Ketiga, pengakuan terhadap Sutardjian, namun alpa kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini. Artinya, ini persoalan politik. Di mana pun, perbincangan mengenai politik selalu dua arah: pusat dan pinggiran. Selalu ada yang dekat dengan kekuasaan, dan selalu ada yang dikuasai. Konteks di mana kontestasi susastra terjadi kini, menampakkan kejelasan bahwa berdirinya Sutardjian di hadapan publik berarti berdiri berdasarkan aktivitas politik sastra. Bukan sastra sebagai kewajiban moral, hukum alam dan hukum akal sehat untuk menjunjung humanisme sosial, tetapi sastra sebagai perangkat, komoditas, alat jual beli dan lain sebagainya. Meskipun Sutardji sendiri pernah mengungkapkan bahwa, “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Pernyataan ini sangat janggal ketika terjadi kemenangan politik dan penaklukan sastra (dominasi), berarti kata-kata, puisi, prosa, kritik sastra yang ditulisnya hanyalah alat politik, sementara di lain pihak dinyatakan bahwa, “Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Ini membingungkan karena bebas dari apa? Adakah kata bebas dari permainan relasi kuasa? Sementara bila pengertian kata yang bebas berarti benar-benar bebas, akan memberi beban pembenaran bahwa dogma Sutardjian tidak memberikan kepedulian terhadap naturalitas hukum alam dan kemanusiaan. Menjadi pertanyaan di sini, hendak dibawa ke mana kontradiksi argument Sutardjian ini?

Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, jelas merupakan nepotisme. Bila sudah demikian, tidak heran bila terjadi korupsi intelektual, atau dengan kata lain, korupsi sejak pada pertimbangan akal sehat. Penganut Sutardjian sebenarnya bukan tidak memiliki kehendak kritis untuk menunjukkan di mana kekuarang maupun kelebihan atas apa yang didukungnya. Semua manusia punya potensi bawaan untuk membekali dirinya dengan ketajaman mata genealogis. Kiranya sulit dibantah bila ada argumen bahwa nepotisme-lah penyebab alpa kritisisme ini. Membawa persoalan ini lebih mendasar kepada relung kemanusiaan, maka tengah terjadi “korupsi intelektual” yang tengah menjangkiti para pengiman dogma Sutardjian. Lolosnya popularitas “resmi” Sutardjian (Presiden Penyair) menunjukkan bahwa, betapa kecurangan demi kecurangan ditampilkan, dilakukan terus-menerus, menjadi tradisi dan gaya sastra yang seksi, namun tercela. Apakah tidak ada yang memahami bahwa korupsi intelektual ini menghianati hukum akal sehat dan hukum hati nurani? Ataukah barangkali bergelimang dosa yang bersenjatakan penipuan-penipuan dan kelincahan metodis lebih memuaskan hati mereka?

Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, yang menginjak martabat realitas. Pelbagai kredo kebebasan tanpa batas, nihilisme dan kekosongan religious menjadi kunci-kunci hermeneutis yang menjadi simbol Sutardjian. Hal ini tidak akan dianggap aneh, jika seorang penyair tidak pula memiliki tanggungjawab intelektual. Dengan demikian, “bila tidak memiliki tanggungjawab sosial.” Karena hakikat intelektual bukanlah kera yang berpikir, namun kepedulian untuk mengangkat martabat sesamanya (humanisasi) yang sedang berkesusahan oleh pelbagai persoalan sosial. Menjadikan sastra berfundamen kebebasan tanpa batas (nihilisme) yang menopang mazhab dekonstruksionisme adalah hidup yang melanggar kodrat, yaitu kodratnya sebagai manusia yang eksistensial. Manusia yang semestinya memanusiakan dirinya dan manusia di sekitarnya, berbuat baik, membikin sastra berfungsi-sosial, artikulasi estetis untuk perjuangan perlawanan terhadap rezim kekuasaan politik yang korup, untuk dogma-dogma dan ideologi-ideologi yang membelenggu, serta berjuang untuk mengentaskan kemiskinan, sangat berbeda dengan sastra untuk sastra, sastra untuk hura-hura, kenikmatan religious individual, egoisme dan keengganan berlaku ma’ruf. Hukum alam yang benar, menata agar manusia hidup rukun, berdampingan dan makan bersama-sama, serta hidup dengan penuh cinta, memberikan petunjuk bahwa itulah hidup berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Tentu saja hal ini sama sekali berbeda bila berhukum pada diri sendiri yang termangu dalam kekosongan yang hampa, tanpa ujung pangkal realitas yang mengemuka, kecuali hanya mimpi di dalam mimpi yang sedang dimimpikan.

Mempertimbangkan kelima persoalan di atas, maka tulisan-tulisan kritis Nurel ketika menelaah Kleden merupakan hal yang patut untuk dipikirkan secara serius. Tidak sembarang orang yang berani melawan dehumanisasi sastra Sutardjian. Hanya mereka yang memiliki ketajaman mata genealogis, kekuatan kritisisme, fundamen epistemologis yang kokoh dan keberanian untuk menantang otoritas, ideologi dan dogma-lah yang mampu melakukan humanisasi sastra, agar berfungsi sosial, agar berjalan selaras kodrat hukum alam, hukum hati nurani dan hukum akal sehat. Beberapa kali penulis secara khusus mencermati tulisan-tulisan Nurel penuh dengan konsistensi dan kedisiplinan untuk menimbang dan member catatan kritis atas dogmatisme sastra kontemporer dan adanya gejala-gejala sindrom kultus teori. Lebih dari itu semua, selaras dengan pendapat kritikus Azhar Ibrahim Alwee bahwa, “Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita”. Segala ikhtiar kritis Nurel janganlah pernah dianggap sebagai aktivitas untuk memperkeruh persoalan dan berniat membuat kegaduhan. Kritik sastranya adalah upaya untuk menetralkan segala dominasi sastra dan kritik sastra, agar kebebasan dan kemanusiaan berjalan beriringan, dengan penuh pertimbangan yang masuk akal. []

*) Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM
Diambil dari: http://sastra-indonesia.com/2012/08/melawan-dehumanisasi-sastra-sutardjian/

Saturday, January 7, 2012

Mata Kanan Mata Kiri Sastra Indonesia?

Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XIII kupasan keenam dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Mitos angka 13 senomor kesialan, mungkin ada yang sampai ke tataran mempercayai. Karena kini menemui bilangan tiga belas, saya kan buka selaputan penuh paragraf satu-dua esainya IK dengan kaca mata tiga dimensi.

"Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi."

"Dalam sebuah esainya Sutardji menulis "puisi adalah alibi kata-kata". Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut."
***

Sebelum mengudarnya, apakah mitos? Ia hadir kala kesepakatan realitas dan angan belum nyambung, dapat dikata putus. Lewat ungkapan tertentu berhadap adanya ikatan memaknai peristiwa secara tepat yang diikuti kerjanya imaji di ruang kesementaraan atau kesepakatan bisa berubah menurut jenjang kedewasaan masyarakat menerima / menolaknya. Misalkan 'bidadari menggendong kucing di bulan.'

Ia hadir ada yang melontarkan. Pengungkap dapat disebut penanda yang menandai sesuatu. Sering penanda lebih kuat dari petanda, di sini hukum dialog mitos muncul, kabar diberitakan membentuk wacana lantas menjadi hidup ditafsirkan. Pula bisa berganti balik, petanda lebih menguasai jalannya cerita daripada penanda, saat kata-kata dibentuk mengikat kuat suara awalnya. Tapi betapa pun pewarta menentukan jalannya kisah pada namanya alam mitos.

Apa pun bahasanya; lisan, tulisan, isyarat, sampai bahasa tubuh di ruang senggama, memungkinkan masuk menghidupi mitos, kala harapan lebih mendengung datang sambil merangkai kekuatan tak terjangkau yakni Realitas Tunggal. Ini terjadi karena bahasanya merebak dikonsumsi masyarakat, menjalar sejalur wicara atas kekuatan bahasa itu. Dan keseluruhan alam bisa terperangkap jaring mitologi, manakala lahan mensugesti masih subur mendiami setiap kepala. Hanya yang mawas bercuriga tak gampang jatuh ke jurang akal-akalan.

Olehnya kehendak saya menawarkan kaca mata ini; penanda, petanda dan tanda, di balik itu waktu lampau, sekarang, serta masa depan. Barangkali setelah dedahan ini, tidak mudah terima ungkapan meski dari seorang ternama dengan silap menelan mentah, tapi benar mewaspadai, minimnya duduk di kursi kesadaran seorang terdidik / tidak taklid buta, gampang dibodoh-bodohkan karena tidak melawan arus berkesungguhan.

Pun bahasa seni pahat, gurat lukisan, gambar bergerak / film, iklan-iklannya, sanggup memasuki alam kesementaraan mitos atas dukungan perangkat dimiliki menjebol indra terlena, terpukau diserang dari pelbagai penjuru. Sebab napasan mitos sejenis tambahan, balon udara dipompa berangin -karbit (zat gas), memungkinkan melambung disaksikan banyak orang dengan keheranan awal. IK meniup balon udara / memberi sorot lampu di ruang pameran keramik, kerajinan patung, lukisan juga televisi menyuguhkan tayangan, atau penanda menginformasikan petanda dari tandanya SCB.

IK penyihir, penyulap membuat orang-orang penasaran, jelas di atas tingkatan sebagai penanda. Dengan 'asap dupa kemenyan,' merobah kata ‘bebas’ SCB ke ‘terobos’ seular melungsungi, tepatnya akrobatik koin hilang dari telapak tangan dengan kemunculan di telapak lain, atau memberi wejangan ini-itu kepenyairan Sutardji. Jelas SCB saat itu dalam keterpengaruhan gravitasi kecendekiawanan IK, seampuh-ampuhnya petanda lebih mempuni penanda, selukisan van Gogh lebih bernilai ketika ada kurator; mereka memitoskan keberadaannya salah satu pelukis terbaik dunia dipunyai Belanda. Di seberang itu lukisan van Gogh tak luput pembajakan dan masih berkelas dibanding yang diperjualbelikan di trotoar Malioboro. Di sini tanda palsu terimbas mitos, ketika wicara merebak memenuhi semesta wacana.

Sinyal mitos adanya kesepakatan tak menutup ruang manipulasi dan bisa serempak sebunyi-bunyian lagu himne di media massa, olehnya gerak terpaksa pun saat dalam satu komando, terciptalah sejarah? Ini bisa juga lantaran musiman, pasar kaget tak mendiami bangku hakiki, suara kabur dengungan keras menyumbat telinga. Mereka minder kala para empu mengamini, lalu mitos terjadi tak sanggup dipertanggungjawabkan, akal-akalan dari turunanya. Nyata tergantung pengucapnya, meski porsinya lemah di dalam yang diungkapkannya dan bukan keilmuan, oleh menggeser realitas dengan angan. Atau tingginya bukit mengajak mendongak menyaksikan penyeru walau terpaksa pun manut. Misal pembeli lukisan repro dari karyanya van Gogh berbahagia mengoleksi dengan kebanggaan menelan mitos!

Jika pembaca di posisi bagian III lalu menyimak paragraf IK di atas, tampak ia memainkan musik keras, ibarat musikus klasik Mussorgsky sekehendak menjatuhkan batu besar ke jurang kesunyian, keheningan, sebab kita sudah tercengang heran, takjub barangkali tersihir; kok bisa ya batu sebesar bukit diangkut ke gunung lalu diterjunkan? Di sisi lain ungkapan Dami N. Toda; "Kalau mata kanan sastra Indonesia Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri mata kirinya" sudah dikutip banyak kritikus. Pada wawancara disiarkan koran Republika "Sang ‘Mata Kiri’ yang Mengembara" 19 Agustus 2007, Sapardi Djoko Damono yang menempatkan julukan itu, demikian labut mitos merebak menguap. Lalu dikemanakan lainnya?

Mitos tak sanggup bergerak seperti SCB di manapun pengulangan, tiada upaya menerobos gagasannya secara jantan.’ Istilah ‘presiden penyair Malioboro’ pun kandas alias mandul kekaryaannya, barangkali oleh tingginya angin memitos tidak menjabarkan kata-katanya, jua hasil pemikiran menjurus pengertin dipakainya. Kebangkrutan menguat dikarna penerusnya tidak memberi dedahan menakjubkan di alam kesadaran wacana ke jenjang nan digayuh. Bentuk memitos mendapat topangan denting permainan ‘piano’ IK di permukaan Pidato Kebudayaan, yang disampaikan di Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM 19 Juli 2007, dimuat Kompas 04 08 2007 tersebut.

Barangkali sejarah sastra Indonesia dibangun lewat mitos melihat deretan di atas, terbuai seanak balita diayun ibundanya sambil bercerita; 'kalau ada bidadari menggendong kucing di bulan,' 'hujan melalui jendela langit,' 'bidadari mandi keramas di sendang pelangi.' Mitos datang berbentuk buaian, angan melambung merayu orang turut merasai lamunannya, diperkuat puja-puji nyanyian menyenyakkan, kritik bercampur penyedap rasa bahan pengawet tak menyehatkan. Tindak ketidakalamiahan ini saya geser pisaunya Roland Barthes, bahwa mitos menjelma gossip di sini, mungkin iktikatnya mengikuti ungkapan Victor Hugo menjuluki Arthur Rimbaud sebagai 'Putra Shakespeare.'

Gossip lelucon itu saya tulis berjudul FENOMENA PRESIDEN PENYAIR DAERAH SEBAGAI DAGELAN POPULER, 18 Nov 2008 atau klik http://sastra-indonesia.com/2008/11/fenomena-presiden-penyair-daerah-sebagai-dagelan-populer/ Sebelum berlanjut mari hening sejenak; adakah tiang-tiang susastra kita dengan kritik tajam, selain pujian memabukkan yang dihasilkan dari mitos pun gossip? Bukankah selama ini kita sudah kenyang sanjungan sampai ada ingin jadi tuhan? Tidakkah nalar hidup mengolah bahan melimpah dijadikan santapan lezat nan menyehatkan, setonggak keadaban pantas disegani? Atau terlelap saja dalam lamunan panjang oleh bisikan?
***

Jika Barthes menyebut mitos ialah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech), saya mengatakan ‘kedalaman bahasa mata;’ bayang-bayang pula angan di kegelapan.

Selama ini ‘indra penglihatan’ digunakan sealat melihat saja, saksi kejadian tampak lalu terekam di ruang ingatan, seolah tak memiliki kemampuan mandiri kesadarannya! Kini rasakan bagaimana ‘kedalaman bahasa mata’ membentuk asosiasi, melahirkan sebuah pandangan (pemikiran) yang tak kalah penting mempengaruhi jalannya pengetahuan.

Saya ambil contoh ‘bidadari menggendong kucing di bulan,’ ‘Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare’ pun ‘Gunung Tangkuban Perahu.’ Pada orang-orang tak mengetahui Arthur Rimbaud pula Shakespeare secara langsung, kehadirannya sebayang-bayang seorang belum pernah ke Gunung Tangkuban Perahu, seorang buta tidak melihat raut bulan di malam hari. Tapi hasananya kuat terekam angan kegelapan, melekat ditopang bacaan cerita sekitar, dan kemampuan berimajinasi ke sebuah ungkapan yang terpaksa diterima seolah masuk akal.

Demikian ‘SCB Presiden Penyair Indonesia’ yang awalnya dikatakan sendiri sebelum membaca puisinya lantas diperkuat Dami N. Toda; "Kalau mata kanan sastra Indonesia Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri mata kirinya." Itu jadi suatu bentuk (a form -istilah Barthes) yang terjadi diperkuat, diturunkan orang berbahasa menyihir pesonakan mata pada teks -mendengar muatannya, entah sebab titel yang mengatakan membentuk keumuman oleh diumumkan di media. Kita tahu salah satu melemahkan penelitian ialah berharap dipandang, mencari muka seperti yang dikatakan Ibn Khaldun di awal Muqoddimah-nya.

Barangkali Sejarah Sastra Indonesia dibangun lewat mitos. Ini kelihatan hampir seluruh penelitian di lapangan sastra pujian, kecil sekali kritik tajam apalagi pengoreksian ulang pada kisaran sekelilingnya. Sejenis dongengan, seakan hidup di awang-awang bersama mimpinya akan sejarah sastra dunia digayuh, seolah sederajat hasil temuannya dengan mensejajarkannya, atas minimnya mencurigai kelemahan yang menjegal diterimanya wawasan. Yang terbit maka persamaan kulit, jika ditelusuri kurban diberikan belum seberapa. Olehnya paling ditekankan mentalitas guna tak cepat puas, apalagi merasa sekelas tapi bertepuk sebelah, kecuali beberapa peristiwa saja dapat didudukkan bijak.

Ungkapan melambung paragraf IK satu-dua berbentuk meyakinkan seajaib mungkin, namun sudah saya preteli hingga bagian tiga belas ini berlanjut. Jika dapat turunan lagi tanpa penyangkalan, tentu bayangan memitos hidup di angan kegelapan, sastra awang uwung segelembung leher katak bersenandung, itulah mitos memperkosa penalaran. IK berupaya menarik mitos ke dalam bahasa revolusi, tindakan realitas ilmu pengetahuan, lewat merubah kata ‘bebas’ ke ‘terobos.’ Ini sungguh cantik tapi tak lagi menggetarkan, saya juga tak menutup kemungkinan yang tertulis ini kelak malahan jadi mitos terbesar SCB, bagi yang kelebihan muatan angan-angan.

Andai menerima nafas realitas tentu jenjang pengetahuan terarah, misal sejarah sastra baru di tingkatan mitos di beberapa kasus. Lalu membekukan sampai penelitian dalam hingga terkuak kelopak kembang sumekar menebarkan harum berangin wacana, yang diberikan kesuntukan mengolah bahan. Tetapi rasanya tidak, serupa ketakmungkinan para astronom awal kali meneliti bulan oleh perkiraan adanya bidadari. Victor Hugo menjuluki Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare tentu sampai, karena orang-orang tidak masuk akal jika mencari siapakah ibundanya? Dan turunan ke berapa? Mereka paham logika ungkapannya sekadar penghormatan, yang tidak mematikan langkah di alam kenyataan.

Bandingkan ‘SCB Presiden Penyair Indonesia,’ dimana kekuatan politik negara ini sangat kuat mencengkeram kehidupan rakyatnya, maka memaksa angan tersebut siapa rakyatnya? Apa seluruh warga negara Indonesia penyuka sastra? Siapa wakil-wakilnya? Ini jadi lelucon seperti negara federal, karena ada presiden penyair Malioboro, presiden penyair Cirebon, Presiden Penyair Jawa Timur, seterusnya. Seakan obsesinya mereka membentuk negri bayang-bayang, mitos sampai kini diterima tanpa kajian mendalam. Ini berbeda kalau menengok plakat diberikan Hugo, mungkin tertutupi istilah 'anak haram.' Saya kira paling pas, Presiden Penyair Indonesia adanya di dunia ludruk / panggung Petruk, Gareng dan Bagong.

Penggambaran saya mengenai mitos ‘kedalaman bahasa mata;’ bayang-bayang pun angan di kegelapan, dapat ditaruh perluasan paham Barthes melukiskan tata surya, ia sendiri kemungkinan tidak sengaja / barangkali menyembunyikan langit inspirasinya. Coba cermati tulisannya di buku “Mythologies” (1972), diterjemahkan sedari bahasa Prancis oleh Annete Lavers, “The Eiffel Tower and Other Mythologies” (1979), diterjemah dari bahasa Prancis atas Richard Howard, pada penerbit yang sama New York: Hill and Wang, yang diindonesiakan penerbit Jalasuta, 2007, halaman 299:

"Zhdanov mengolok-olok Alexandrov sang filsuf, yang berbicara tentang 'struktur bulat planet kita.' Zhdanov berkata, 'Sampai sekarang dianggap bahwa hanya bentuklah yang dapat bulat.' Zhdanov benar: kita tidak dapat berbicara tentang struktur dalam sudut pandang bentuk dan sebaliknya. Namun di atas bidang 'hidup,' tidak terdapat apapun kecuali totalitas tempat struktur-struktur dan forma-forma (bentuk-bentuk) tidak dapat dipisahkan. Tetapi ilmu tidak berguna bagi hal yang tidak terucapkan itu: ilmu harus berbicara tentang 'hidup' jika ingin mentransformasikannya. Menentang angan-angan tertentu tentang sintesis, yang sangat platonis, semua kritik harus setuju pada kecermatan, pada kecakapan analisis, dan dalam analisis, kritik harus sesuai dengan metode dan bahasa."
***

Sambil mempertontonkan saya jawab beberapa lubang belum tertutupi di larik-larik sebelumnya. Jika Oktavio Paz mengakui dirinya ‘antropolog amatir’ yang memiliki iktikad baik di bukunya "Claude Lévi-Strauss An Introduction." Sebagai pengelana, saya girang turut berbagi yang tidak menutup kemungkinan perluasan, meski baru sampiran di sini.

Perihal mitos dapat dibilang hampir tuntas dibahas Barthes, namun saya memaklumi mengenai ‘ke-sakral-an’ luput dari pengamatannya, mungkin terlalu terpikat 'Mitos Dewasa Ini,' sehingga hal-hal lampau menghantui dunia kini, walau kecil diabaikan. Disadari atau tidak, yang dimitoskan membentuk alam tersendiri, ini wajar sebab mitos membuat pribadinya terpencil. Seperti 'kesunyian bidadari di rembulan,' 'sepi pahitnya hikayat Tangkuban Perah' pun 'kisah Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare yang menjulang.' Mitos menjauhkan dirinya dari penalaran, memang seungkapkan Barthes “tiada mitos abadi.” Tapi setidaknya mendiami ruang-waktu antara, masa-masa terikat gravitasi sendiri selepas diterima khalayak, meski dengan keragu-raguan penuh sebagai imbas sesuatu 'tak ternalar.'

Saya tersedot legenda dara langsing Roro Jonggrang dari Kerajaan Boko, insan dikutuk dijelma patung bersama patung-patung kembarannya di Candi Prambanan oleh Raden dari Kerajaan Pengging, Bandung Bondowoso, cukup itu mitos setelah para arkeolog bersetia mengidentifikasi usia batuan dll. Dan ketakmampuan orang buta melihat yang didongengkan menjadi 'bayang ingatan,' seperti langkah dikaburkannya beberapa esais sastra mengungkap Sumpah Pemuda serta lainnya, dengan menghapus nama para tokoh penting demi mengekalkan orang-orang berucap setelahnya. Sejauh itu mitoslah terbangun, intinya berhasrat disakralkan sejarah, tentu tak lama sebab secara naluriah insani menginginkan kejujuran, bukan informasi gagah-gagahan.

Kita di dunia Timur kerap terlupa, mungkin terlena atas alunan alamnya ditiup angin mendayu setarikan gegaris katulistiwa, tropis nan sentausa. Sampai kejadian beberapa jengkal masa lalu sudah mendiami pekabutan mitos, kadarnya tergantung seberapakah kesadaran membaca realitas. Tengok peristiwa meletusnya Gunung Krakatao, jikalau arsipnya tak ditemukan dan disebar atau terlalu percaya cerita mulut gossip, mitoslah berkembang, lalu terhilangkan kekayaan hikmah yang terbit di sana. Pun menuliskan sejarah tanpa ditali di tonggak semestinya, malah turunannya, dipastikan putus gairah besar yang sepantasnya berkembang senyala api penelitian di masa datang. Maka tiada lain disalahkan tidak jelinya menyerap kabar berita membentuk gemawan memanjakan mereka di bawahnya, padahal dapat terjadi dikala itu sang surya tengah di ubun-ubun sebuah kesaksian terbesar.

Upaya para kritikus meninggikan orang-orang dianggapnya jempolan, melupa bandingan hasil capaian mereka pada sandaran dianggapnya –telah pantas, terbentuk nuansa kejauhan namun kental, seakrab warna langit membiru di mata teramat jauh jaraknya; kedekatan ini berasal perasaan “fanatik juga melemahkan daya penelitian,” menyitir Ibnu Khaldun. Seperti kecondongan IK pada esai saya dedah kini serta para penganalisa lain serupa penyeritaan atau tangan menyuarakan ‘wicara’ istilah Barthes, menurunkan mitos lantas otomatis jarak tersebut melembaga ‘kesakralan.’ Setidaknya pandangan lain olahan pengupas mendiami ruang berbeda, pada waktu tertentu ibarat kepercayaan nenek moyang pada animisme, dinamisme. Atau sesegan santri pada kyai juga tempat-tempat keramat yang pendekatannya cenderung keimanan, dengan ragu takut kuwalat mendekati secara kritis, meski beriktikat kedinamisan pada derajad keadaban membangun, misalnya.

Dapat saja di titik tertentu berkadar masing-masing, contoh lukisan wajah Monalisa karya Leonardo Da Vinci menjelma teka-teki misteri wajah pelukisnya, lukisan Van Gogh, Picasso, menjadi nyanyian tersendiri bagi pelukis pemula. Atau Kitab Hang Tuah, Hikayat Perang Sabil, Syair Lampung Karam 1883, Faus-nya Goethe, Siddhartha-nya Hermann Hesse, Wirid Hidayat Jati-nya R.Ng. Ronggowarsito, Sabda Zarathustra-nya Nietzsche, sekali lagi sebatas tertentu di benak-kepala pembaca bisa membentuk mitos, lantas kembangkan kabut kesakralan serupa kitab suci agama ardhi dst. Kerapkali alam mitos menjauhkan dirinya dari kenyataan, membatasi untuk diteliti / kurang menginsyafi harga penalaran kritis, sehingga terperosok ke jurang kekaguman. Seperti sindiran Hassan Hanafi kepada ulama'-ulama' klasik ditiap pengantar karyanya / ketawadhuan menjerat pencari sejati di jalan kembaranya, yakni tidak berbuat lebih sedari terpesona, tiadanya tindakan dialektika nan dinamis.

Kala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi. Lebih fatal diskusi kejar tayang di setiap minggu pagi, tak lebih polemik itu petasan cepat habis di malam lebaran -yang secara logis Ilahi pun tak mungkin ada rembulan di atas kuburan di malam lebaran, kecuali pembesar keadaan, puitisasi peristiwa agar terlihat bermakna nan mengusung logika sekenanya. Ini jauh panggang dari arang, membaca kilauan hasil tanpa menyelidiki prosesnya, seperti perihal Barthes tiada bisa menolak mitos, misal kaum pedalaman yang tidak percaya jikalau ada manusia turun ke bulan.

Selanjutnya agak menyanggupi kaca mata tiga dimensi bagi tafsiran pada Barthes yang menyembunyikan langit inspirasinya, yakni ‘tata surya’ bidang 'hidup' daripada sebuah bentuk yang hanya bulat pada Zhdanov. Kelak dan mungkin tengah terjadi, webset atau situs-situs perpustakaan beredar di google membentuk kewibawaannya, dan pada drajat tertentu menjelma bahasa ucap antar blogger sampai menempati ruangan mitos, kesakralannya terpantul atas wibawa yang disuguhkannya sebagai mitos jaman mendatang. Seperti gemintang beredar terang ketika malam, dimana alam bawah sadar terangkat, timbullah hawa kurang percaya diri atas hidup. Sehingga berpegangan akar rapuh, ketika temuan mutakhir melecuti hati pikiran insan seakan sia-sia hidup di muka bumi, atau terkenanglah pada kematian Jacques Derrida, Paris, Prancis, 8 Oktober 2004.

Sebagai penutup saya kutip ujaran Pablo Picasso; bahwa seni adalah kebohongan yang memungkinkan kita untuk menyadari kebenaran. Ini sangat berbeda jauh dengan alibi!

Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/01/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_06.html

Thursday, December 22, 2011

Gugatan untuk MASTERA 2006 dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000.*

Yang meloloskan pengertian “Kun Fayakun” dirombak ke dalam bahasa Indonesia membentuk makna; “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!”
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Awalnya masih menaruh pikiran positif. Di kepala seakan tertera kata-kata, “pasti pidatonya mbeneh, bukan awut-awutan,” nyata tebakan itu meleset. Pun ingin husnudzon, mungkin tak tahu sumber aslinya. Namun apakah mungkin, sastrawan terkenal yang banyak mendapati penghargaan, cuntel keilmuan?

Bagian XVI ini berkehendak mengupas paragraf tiga dan empat tingkatan kedua esainya Ignas. Sengaja membabar kandungan lebih dulu, sebelum lingkaran luar. Secara tak sengaja temukan kefatalan sangat pada data saya telusuri. Terus terang agak canggung mengudar sastra ke wilayah agama, di sisi usia belum genap matang pun keilmuan durung mencukupi dalam mewedarkan. Lantaran ini soal serius dan seperti belum ada ahli bahasa memperkarakannya. Mungkin dianggap kesalahan ketik, kewajaran dari kenyentrikannya, jangan-jangan takut keliru meluruskannya. Ataukah begitu, “Kun Fayakun” dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia, menghilangkah ‘ruhaniah kata kerja’, fi’il amar (‘perintah’ pada kata ‘Kun’), sehingga tampak sulapan ‘jadi’-nya?

Saya kira sudah banyak pembaca bukunya Sutardji “Isyarat” pun membeludak mengutipnya, mungkin telah berjubel buku-buku turunan mengamininya. Tidakkah hal tersebut merusak nilai-nilai Al-Qur’an dalam pemaknaan, disaat benih-benihnya menyebar ke seluruh dataran subur Nusantara? Jika hendak ambil khasana luar, berhasrat mencawuk ujaran tertentu, sepantasnya tak mengurangi pun melebih-lebihkan, apalagi bersumber dari agama. Di sana sering saya singgung, asal tempel!

Padahal firman Allah swt. mengenai “Kun Fayakun” telah mengispirasi para ulama’ nan tertera dalam kitabnya, ada dikhususkan tersendiri semisal Ibnu ‘Arabi pada kitabnya “Syajaratul-Kaun.” Dari mereka, mewujud gugusan ilmu pengetahuan, bukan alibi kata-kata. Yang dari huruf ‘kaf’ dan ‘nun’ atas kata ‘Kun’ merambahi dataran firman-firman-Nya, pula hadits-hadits ke tingkatan perciptaan awal, Isra’ Mi’raj, di atas jagad kecil dan besar, juga di luarnya dalam lingkup kekuasaan-Nya. Saya tak sanggup membayangkan, kata ‘Kun’ diganti lain dengan merangkaikannya!

Jika MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2006 serta Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000, menghargai ayat-ayat Al-Qur’an sebagai Kitab Suci. Sepertinya teks-teks pidato tersebut wajib direvisi, yakni mengenai “Kun Fayakun” ['Kun (wujudlah), maka ia pun jadi (wujud), terjemahan ‘Syajaratul-Kaun’ Ibnu 'Arabi, penerbit Risalah Gusti, Surabaya, 2001: “Syajaratul-Kaun dan Hikayat Iblis” (Mesir: Mushthafa al Babi al Halabi wa Auladuh, 1360/1941)] (makna wujud / jadi di belakang, sebagai pemberhentian bacaan). “Kun Fayakun” [“Jadilah," maka jadilah ia, penghujung Surat Yaasiin ayat 82, penghujung Surat An-Nahl ayat 40, dari terjemahan "Kitab tafsir Jalalain," Imam Jalaluddin Al Mahalli dan Imam Jalaluddin As Suyuti, diterbitkan Sinar Baru Algensindo, Bandung]. Bukan “Jadi, lantas jadilah!” atau “Jadi maka jadilah!” Ini kesengajaan SCB demi menopang pahamnya!

Mari simak paragraf-paragrafnya: “Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, ‘Isyarat’ hal 20).

“Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan” Sutardji Calzoum Bachri -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-, “Bentara” Kompas, 11 Januari 2003, ‘Isyarat’ hal 22).

”Jadilah, maka jadilah ia” atau ‘Kun (wujudlah),’ maka ia pun jadi (wujud; pemberhenti dalam bacaannya) adalah kalimat sempurna, hukum ketentuan. Sedang “Jadi, lantas jadilah!” atau “Jadi maka jadilah!” Ialah bukan jumlah mufidah (tidak kalimat sempurna); cabang kering tak berbuah, mentah rontok sebab batang pohon kejadian dihentakkan tangan memaksakan diri membebaskan setelah kata ‘jadi.’ Mencerabut akar, kematian, bebijian kering, lebih tepatnya membusuk.

Presiden sungguhan misalkan SBY punya sekretaris, mungkin SCB yang melantik dirinya sendiri sebagai presiden penyair, punya sekretaris juga. Benarkah ini kefatalan bawahannya? Karena “Jadi, lantas jadilah!”, “Jadi maka jadilah!” Masih gelap, jadilah apa? Toh sebelumnya sudah ‘jadi’? Kalau di permainan sulap bolehlah, sebab barang dimunculkannya sudah ‘ada’ sebelumnya! Bandingkan dengan kalam mufidah (kalimat sempurna) dalam Al-Qur’an: “Jadilah, maka jadilah ia,” sederhana lagi, “Jadilah, maka jadilah.” Di sini jadilah apa? Yang terjadi, ‘keterangan kata kerja’ sedurungnya.

Kenapa SCB menyematkan kata ‘jadi,’ bukan ‘jadilah,’ ini sengaja memegang ujung kata yang selanjutnya berbunyi “kata adalah benda”, “Jadi adalah Jadi itu sendiri”? Seperti ungkapannya yang terkenal pun didukung sebagian kritikus, kalangan penyair, bahwa “Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera.” Padahal mantra sendiri suatu ritual, tidak patung, mematung, pula bukan ‘puisi kongkrit’ yang pernah dipamerkannya!

Tuhan Allah swt. berfirman mengenai “Kun Fayakun” tidak dengan kata lain. Sepengetahuan saya terdapat di dua surat, berikut lantunan ayatnya. Yang dalam kurung terjemahannya, yang di luar tafsirannya dari Kitab tafsir Jalalain:

(Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami meghendakinya) artinya, Kami berkehendak untuk mengadakannya. Lafaz Qauluna adalah Mubtada, sedangkan khobarnya (Kami hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia) artinya, maka sesuatu yang dikehendaki-Nya itu ada seketika. Menurut qiraat lafaz Fayakuunu dibaca Nashab sehingga menjadi Fayakuuna karena di’athafkan kepada lafaz Naqula. Ayat ini menunjukkan makna menetapkan kekuasaan Allah di dalam membangkitkan mahkluk. (Surat ke 16 An-Nahl (lebah) ayat 40, termasuk surat Makkiyyah. 128 ayatnya, kecuali 3 ayat terakhir Madaniyyah yang turun sesudah surat Al-Kahfi).

(Sesungguhnya perkara-Nya) keadan-Nya (apabila Dia menghendaki sesuatu) yakni berkehendak menciptakan sesuatu (hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah”, maka terjadilah ia) berujudlah sesuatu itu. Menurut qiraat yang lain lafaz Fayakunu dibaca Fayakuna karena di’athafkan kepada lafaz Yakula. (Surat ke 38 Yaasiin ayat 82, termasuk surat Makkiyyah. 83 ayatnya, kecuali ayat 45 Madaniyyah yang turun sesudah Surat Jin).

Ibnu ‘Arabi dalam mengawali kitabnya “Syajaratul-Kaun” memilih ayat yang terdapat di Surat An-Nahl, mungkin se-tindak kehati-hatian demi ‘mengurangi’ bentuk penguat di hadits maudhu’ menurut sebagian ulama.’ Seperti berikut artinya, “Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedangkan hatinya Al-Qur’an ialah Surat Yaasiin. Barang siapa membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qur’an sebanyak sepuluh kali”. [HR. At-Tirmidziy di dalam As-Sunan (4/46), Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)].

Dapat pula pilihan itu lantaran lantunannya berkelok, tak menohok seharum kembang menyengat aromanya. Atau didasari kesastrawiannya, yang napasannya lebih mudah dimengerti semua kalangan. Lantas timbul pertanyaan; apakah ‘tanda seru’ pada kata-kata SCB; “Jadi, lantas jadilah!”, “Jadi maka jadilah!” sudah mampu menggantikan kata ‘kerja awal’ pada kata ‘jadi’, sebagaimana ‘jadilah’?

Ini seperti bukan soal salah ketik pun bukan ketidaktahuan para kritikus. Itu saya sesalkan kenapa para ahli kritik tidak memperotes, sedang mereka mengantongi keilmuan, malah melapangkannya di beberapa tempat. Jika saya tak leruskan kasus Asy-Syura yang diselewengkan tafsirannya, kayaknya langgeng juga. Mari tengok Kitab Suci Al-Qur’an di hadapan SCB, dikutip dari esai A. Rahim Abdullah “Sutardji Calzoum Bachri: Penjatidirian Dalam Proses Pembangunan Negara Bangsa”

“Sebagai penyair yang jujur dapat kita tangkap sikapnya pada sajak “Enso!” walaupun Sutardji dianggap semacam sangsi dengan peranan kita suci (al-Qur’an)

Di Qur’an kini hanya aljabar
Beratus persamaan-persamaan tersamar.

Aku tak mengurusnya lagi
Jemu. Cahaya sebentar datang,
Lalu hilang kembali.

Sebenarnya dia bukanlah sangsi terhadap kesucian al-Qur’an, tetapi disebabkan ayat-ayat dalam kitab itu juga tidak lebih daripada menyuarakan Tuhan secara samar-samar belaka (Nyoman Tusthi Eddy, 1980:4). Bagi penyair ini, kitab suci belum tentu mampu menjadi jaminan bagi hasrat manusia yang ingin menemui Tuhannya. Dengan sikapnya ini mungkin Sutardji dituduh murtad. Namun, esensi hubungan antar makhluk dengan Khaliknya tidak selamanya berlangsung dalam kitab suci. Setiap orang (sebagai makhluk) bebas mencari hubungan dengan Khaliknya. Dilihat dari aspek nilai spiritual, hubungan di luar kitab suci tidak berbeda dengan hubungan yang dijalin dengan kitab suci. Sebaliknya, hubungan yang bersifat bebas dan pribadi mungkin dapat menumbuhkan kenikmatan spiritual yang lebih besar (ibid). (halaman 224 – 225, buku “Raja Mantra Presiden Penyair,” terbitan Yayasan Panggung Melayu, Juli 2007).”

Lagi-lagi saya suka kaum sastrawan pun kritikus, tersebab lihainya bercakap. Bagaimana SCB menghadapi firman “Kun Fayakun”, dirombak ke dalam bahasa Indonesia membentuk makna: “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” Di bawah ini agak saya urai dengan harapan kelak ada sikap kehati-hatian dalam mengartikan ayat-ayat Kitab Suci Al-Qur’an. Dari segi alat baca (nahwu shorof), yang tak ada sedetik pun maksud saya mendangkalkan kesuciannya.

Kata ‘jadi’ sebelum kata-kata ‘lantas jadilah!’, apalagi tanpa tanda koma lalu ‘maka jadilah!’ merupakan fi’il madhi, artinya pekerjaan yang sudah terjadi dan tulisannya tak sebagaimana ‘Kun,’ tetapi ‘kana.’ Bayangkan jika kelak ada yang lebih ugal-ugalan dari SCB, merombaknya ke fi’il mudhore’ (pekerjaan baru terjadi) seperti ‘Yakuuna’, makin rancu jadinya. Apalagi dipolitisir membentuk fi’il nahi bersuara ‘La Yakuna’ (menunjukkan larangan), maka kacau bukan? Padahal dalam kitab tafsir pun kitab-kitab para ulama yang membahas ‘Kun’, tidak hanya menulis ‘Kun’ semata, tapi sering dibarengi tanda petik saat memasuki terjemahan Indonesia. ‘Kun’ adalah kata perintah, ‘Jadilah.’ Bukan ‘jadi’ yang merujukkan kata benda!

Bandingkan kata ‘jadi’ dengan ‘puisi kongkrit’ yang saya singgung. Kalau SCB memperhatikan ‘teguran samar, dukungan samar’ dari Dami, sedikit banyak kemungkinan membenahi pandangan, berhati-hati sebelum bukunya diterbitkan. Dami mengatakan: “Sutardji pun kelihatan menghindari definisi itu, kecuali menerangkan soal proses kreatifnya,” paragraf sebelum kalimat di atas isinya hampir sama pada awal esai Tardji bertitel “Sekitar Puisi Kongkrit:”

“Kembali pada pokok yang disinggung pada awal pembicaraan ini, lalu apakah definisi “Puisi Kongkret” mereka itu? Seperti halnya penegasan Ikra Negara dalam sebuah koran ibu kota ketika itu, bahwa Definisi tidak perlu! Dengan kata lain, “definisi” karya-karya itu adalah sebagai “penampilan” yang begitu itulah. Tetapi mungkin tidak salah agaknya, kalau kita pun mendengar apa penegasan Sutardji Calzoum Bachri dalam pengantar pameran tersebut. Kata dia “salah satu elemen yang menyebabkan timbulkan puisi kongkrit ialah ide untuk membikin kata atau bunyi menjadi berwujud dan kehadiran kata yang tidak begitu saja menerima kehadirannya dalam gramatika, di samping huruf sebagai gambar dari kata yang diusahakan tidak bersifat netral untuk mengantarkan kata-kata.” (‘Menonton dan Mendengar Puisi Kongkrit,’ di buku “Hamba-hamba kebudayaan” Dami N. Toda, terbitan Sinar Harapan 1984).

Paragraf kedua dari akhir esainya SCB: “Bagi saya mantera adalah puisi kongkret paling berakar dan orisinal yang kita miliki. Konstelasi kata-kata atau bunyi dari mantra menimbulkan bentuk yang unik yang hanya berfungsi dalam keutuhan konstelasinya sendiri dan bisa diharapkan menimbulkan komunikasi atau efek tertentu. Situasi (tempat) di mana mantera itu diletakkan (tertulis) atau diucapkan banyak menentukan sampai atau tidaknya komunikasi atau efek yang diharapkan. Mantera adalah puisi terpakai (applied poetry) yang pada masa kini peranannya antara lain diambil alih oleh puisi kongkret dalam periklanan.” (‘Isyarat’ hal 110).

Jelas, kata ‘jadi’ diingini tumbuh dari kata ‘Kun’, itu kesengajaan luar biasa nekat demi “menumbuhkan kenikmatan spiritual yang lebih besar” (A. Rahim Abdullah), yang dipatenken seturut melanggengkan gagasannya, “Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” atau “Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi.” (petikan paragraf di dua pidato SCB).

Kenyataannya ngawur, merombak ‘kata perintah’ menjelma ‘kata benda.’ Lebih serampangan tanpa perhitungan matang, mendingan para orientalis yang licin sekali pun. SCB tak sekadar menyelewengkan tafsir, juga gagah merombak susunan Kitab Suci Al-Qur’an demi kenikmatan berdalih atas nama sastrawan! Pembikin ‘suara palsu’ yang menyesatkan pembaca tidak kritis mengamini karyanya, seolah dari kitab agamanya! Pada kesempatan ini saya teringat ungkapan penyair sekaligus ulama’ Mustofa Bisri, yang mengistilahkan ‘bolo’ pada sesama Muslim. Karena ini saya anggap masalah serius, olehnya diketengahkan di sini!

Lebih menyedihkan ‘pesulap kata-kata’ Sutardji Calzoum Bachri yang dikenal Raja Mantra, Presiden Penyair Indonesia, perombak sekaligus penghancur pesona “‘Kun,’ Fayakun” diturunkan rendah, dihapus maknanya sekelas permainan kata-kata: “Jadi, lantas jadilah!”, “Jadi maka jadilah!” Kenyataannya terpukau pesulap kelas dunia ‘David Copperfield’ yang tampan dan kaya, dibandingkan aura agung firman Allah swt. Mari simak paragraf lain esainya A. Rahim Abdullah, hal 132-233:

“Sajak-sajak terbaru Sutardji sudah berubah bentuk tipografinya, ia seolah-olah kembali pada bentuk puisi konvensional. Ini terlihat pada “David Copperfield, Realities ’90 ″, “Tanah Airmata”, dan “Jembatan” (Horison, XXXII. Juni 1998:28-29), bagaimanapun sajak kedua dan ketiga dihasilkan sejak 1993-97. Dalam “David Copperfield, Realities ’90 ″ Sutardji melahirkan rasa kagumnya setelah menonton pementasan “Illusion ’90″ oleh tokoh silap mata itu di Jakarta, antara lain seruannya.

aku dipukau David Copperfield
aku dicekam Haudini
aku terkagumkan sama pesulap kakap.

aku terperangah melihat pesulap
ngubah derita jadi gedung gemerlap
aku tercengang menyaksikan
luka jadi waduk raksasa.

aku heran nonton pesulap
mampu mengkristalkan air mata kita
jadi etalase indah
di berbagai plaza.

aku kagum pesulap
yang bikin rimba
jadi emas
membuat hutan
jadi-pasir.

Allah
inilah tardji
terperangah takjub
heran daif
terasing tumpul dan takut
di negeri sulapan.”

Setidaknya SCB berbahagia, sebab telah berhasil menyulap “‘Kun,’ Fayakun” menjelma arti “Jadi, lantas jadilah!”, “Jadi maka jadilah!” di muka dunia kesusastraan Indonesia atas kritikus silap, di depan para penyair pengagum akrobatik kata-kata!

Secara umum terketahui Al-Qur’an ialah firman Allah swt. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dengan lafaznya yang hingga kini menjadi pembacaan kaum Muslimin sejagad. Sejak diwahyukan sampai sekarang, bahkan ke akhir zaman mempertahankan bentuk keasliannya. Tidak mengalami perubahan tambahan atau pengurangan, walau sehuruf pun. Sebenarnya tak diperkenankan mensitir ayat-ayat Al-Qur’an dengan hanya menyebut arti juga maksudnya tanpa menyertakan lafaz aslinya. Namun, rujukan saya kemukakan setidaknya jadi pegangan untuk dibuka, dibaca ulang, dibenahi jika terdapat kesalahan. Selain menghindari bentuk fatal salah cetak, kala berubah layout di percetakan.

Lalu apakah MASTERA, Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau dapat menjamin ungkapan SCB “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” bukan berasal firman Allah swt. “Kun Fayakun”? Bagaimana kalau dipakai para pengutip di Indonesia, kebanyakan latah tidak mencari rujukannya? Sebab begitu percaya ketokohan seseorang, misal; Menurut SCB, “Jadi, lantas jadilah!” Seperti yang pernah saya jumpai di salah satu buku mengambil kata-kata Sutardji, tapi tak menautkan akarnya. Andai soal ini dilepas dari agama, saya pikir lebih terhormat pelukis Van Gogh yang memotong telinga sendiri, tak pengambil ayat-ayat kitab suci, apalagi dipenggal seenaknya. Agak ‘genap’ memang, mencari legitimasi kepenyairan dalam kitab suci. Tapi fatalnya ketika al-Kitab tak sesuai pandangannya, lantas dirombak semaunya.

Kalau SCB menulis “kun faya kun” seperti di esainya “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” agaklah aman daripada kedua pidatonya tersebut. Dan jika berwawasan luas yang bisa dipertanggungjawabkan, tentu teks itu diperluas rupa ceramah ‘Mochtar Lubis’ tanggal 6 April 1977 di bukunya “Manusia Indonesia.” Yang pasti tidak kebanyakan kata ‘adalah’! Kita kerap memaklumi kesalahan senior, membetulkan tempat duduk kita disesuikan mereka, sehingga terlupa kursi sebenarnya! Tidakkah ini racun mematikan kreativitas pula membebalkan kefitrian kalbu pikiran dari-Nya? Nalar jadi tumpul, otak beku mengamini, dianggap lumrah kehilafannya? Sampai membuang susunan firman-Nya demi segelintir manusia-manusia fana?

Ini bukan masalah kajian modern, postmodernisme, hipermodernisme, transformer-post-hipermodern dan sebangsanya. Tapi rujukan-rujukan itu tentunya tidak berbeda, tak berubah daripada kemunculan awalnya. Kalau hendak menciduk kekayaan lain, seyogyanya memakmurkan lewat bacaan berkisar di antaranya, bukan asal njeplak serupa sulapan mak’ bedunduk! Coba semisal ungkapan filsuf René Descartes (1596 – 1650), “Cogito ergo sum” artinya “aku berpikir maka aku ada” lantas dirombak “aku pikir maka aku ada.” Tentu seluruh dunia terpingkal-pingkal menertawakan anda sambil berkata, “orang Indonesia sok cerdas ya!”

Pun tersebut tak sama derajadnya, tapi sepantasnya menghargai suara keasliannya. Pula dirunut ke dunia filsafat adanya kata benda, sifat dan seterusnya kerap saling membuai, tetapi suara asli tetap sebagai kunci keluar-masuknya gagasan! Kalau kunci duplikat lurus nan tak merusak lubang keasliannya, paling dianggap pembobol! Celakanya, kunci duplikat merusak tidak bisa dipakai lagi. Maka pepintu mengalami kejadian sama menyesatkan banyak orang, para pengunjung berjumpa jalan buntu! Terus di mana letak kearifan khasana sastra, melihat demikian nan tertera?

Padahal sebuah teks pidato kebudayaan, penghargaan sastra, pidato kepala pasar sekalipun tetap ditimbang, dihitung pengucapnya secara matang. Serupa catatan kesaksian, pandangan ideologinya, sikap berpendirian dari pergolakan proses kreatif. Entah dongengan perebutan wilayah pasar tradisional, peta susastara dirambahnya yang seruannya dihajatkan gemilang, agar kelak tiada pemberontakan. Maka dipilih ‘kata-kata’ kokoh berwibawa sebagai penanda capaian dilarungnya! Teksnya bisa diambil pedoman, rujukan, setidaknya keseluruhan laku terpancang pada ungkapannya. Senyawa teks telah membulatkan tekad, membaja di keseluruhan jiwa-raga seperti janji setia, sumpah ditanggung atas kepenuhan hidup. Saya teringat “Sumpah Palapa” yang diserukan lantang Gajah Mada pada pengangkatannya sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka /1336 Masehi. Yang menelan tumbal seketika itu juga pada jiwa-jiwa tanggung mengejek tidak percayai maklumatnya!

Andai kaum kritikus, para sastrawan Indonesia pula MASTERA, menerima dengan jujur teguran realitas dari Sang Maha Realitas, atas kesembronoan yang disengajakan di tiga teks pidato SCB, “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair (1),” “Sambutan Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera (2),” serta “Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau (3).” Insya Allah, hikmah musibah tersebut terbuka manfaatnya. Di sana, gumpalan materi padat kegagalan dirinya sebagai sastrawan. Gagap meramukan konsepnya menjelma utuh. Lalu mencari-cari kepurnaan lewat ayat-ayat sedari kitab suci, yang disunat maknanya serta susunannya!

Bolehlah di kelas-kelas SCB mengatakan kata ‘jadi’ di awal kata-katanya tersebut menunjukkan ‘kata kerja perintah’ meski bukan! Lewat tekanan nada tertentu, kata ‘jadi’ di dalam lingkaran ataupun perkumpulan para penjudi dadu misalnya! Atau kata-kata ‘sim sala bim’ di dunia pesulap yang membuatnya terpukau pingsan, tercekam melotot, terkagum terbirit-birit, terperangah mendelik, tercengang geleng kepala sampai heran sepuyengnya bintang toedjoe umpamanya! Namun jangan samakan firman Allah swt. yang agung mengenai “Kun Fayakun” di ruang-ruang kelas itu! Kalau memang sastrawan jempolan, tentu paham membedakan teks-teks dunia gelap di sebelah yang bercahaya.

Sebelum masuki kilau cahaya kekaryaan Ibnu ‘Arabi. Mungkin ada baiknya saya turunkan sedari dua teman, satunya semasa di Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Munib Junaidi yang sama penuturannya dengan saudara Muflih Khoiri. Mereka tidak bertitel Prof pun Dr., jadi anda tak perlu sungkan jika ingin mendampratnya. Kata ‘Kun’ yang pertama menunjukkan azali, tiada kata depan ‘jaman’ di muka kata ‘azali’, sebab belum menunjukkan masa (kata Muflih). Dan ‘Kun’ yang kedua merupakan peristiwa di alam dunia.

Ini saya rujuk ke Hadits Qudsi: 55 di kitabnya Muhammad Tajuddin Bin Almanawi Alhaddadi, alihbahasa H. Salim Bahreisy, terbitan Bina Ilmu halaman 38, tahunnya tidak tertera, sebagaimana berikut; Al-Umamah r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Allah ta’ala berfirman: Akulah “Allah” tiada Tuhan melainkan Aku. Aku telah menciptakan dan menakdirkan kejahatan, maka celakalah orang yang telah Ku-takdirkan kejahatan baginya dan melaksanakannya. (R. Albaihaqi). Yakni, yang “telah menciptakan dan menakdirkan kejahatan,” dapat dimasukkan di azali, dan “maka celakalah orang yang telah Ku-takdirkan kejahatan baginya” sebentuk tarik-menarik antara tentara setan dan bala tentara malaikat di dunia. Sedangkan kata-kata “dan melaksanakannya.” merupakan wujud kemenangan atau kekalahan di atas takdir tersebut. Wallahu’alam Bishowab.

Setelah lewati gerhana bulan total kedua tahun ini, pertama 16 Juni 2011, kemarin 10 Desember 2011, sesuai perkiraan Hakim L. Malasan atau baca bagian XIV Babad Nuca Nepa (Flores). Dan malam senin wage kini 16 Muharrom 1433 /16 Suro 1945, pelahan saya ingin memetik hikmah “Syajaratul-Kaun” buah ilmu manfaat sedari Penghimpun Agama (Muhyiddin), Ibnu al-’Arabi. Semoga Allah swt. meridhoi hambanya sangat hina ini di dalam meneguk hikmahnya.

Asy-Syaikh al-Akbar Ibnu al-‘Arabi pada kitab saya pegang, mengawali cahaya inspirasi dengan firman Allah swt: “Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertancap kuat dan cabangnya (menjulang tinggi) ke langit.” (Q.s. Ibrahim: 24).

Atas keluhuran itu sepantasnya yang percayai berhati-hati dalam penulisan, apalagi terjemahannya. Tidak membolak-balikkan ‘kata kerja’ menjadi ‘kata benda’ dan seterusnya. Umpama di suatu negara yang kerap melihat kritik dianggap pujian, maka dengungan keras pantas disuarakan. Sekiranya luput terlepas kembali ke jalan keselamatan. Bukan malah mencari pembenaran lewat dalil akli demi menutupi malu. Karena apalah perangai dunia, toh sebentar lagi semuanya binasa.

Beliau (Ibnu ‘Arabi) memuja-muji kebesaran-Nya, selantunan harum melati suci pula mawar sedap dipandang, indah didengar telinga: “Dia menciptakan segala di alam raya dengan kata ‘Kun’ (Wujudlah), tiada pernah apa pun wujud kecuali keluar dari hakikat tersembunyi dari kata ‘Kun,’ sementara tiada sesuatu pun tersembunyi kecuali dari rahasianya yang selalu terjaga.”

Ditulislah Surat An-Nahl ayat 40 yang menyebut “Kun Fayakun.” Beliau “merenungi alam raya, pembentukannya, memperhatikan yang tersimpan.” Lantas bersaksilah, “keseluruhan tersebut suatu Pohon, pangkal cahayanya berasal satu benih ‘Kun’ dimana Kaf; al-Kauniyyah, dikawinkan dengan serbuk benih ‘nahnu khalaqnakum’ Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (Q.s. al-Qamar: 49). Dari sini muncul dua dahan berbeda dari satu akar. Akar tersebut al-Iradah (Kehendak), sedangkan cabangnya al-Qudrah (Kuasa).”

Saya sendiri merenungi dalam, teringat gagasan Nietzsche pada ‘Kehendak Berkuasa,’ lalu evolusi Darwin mementingkan fisikal. Tetapi semuanya lebur serupa keraguan saya ludes di ujung tahun 2001, satu jam sebelum berangkat ke Solo demi pementasan bersama komonitas Lapen 151. Terus ditempa pemahaman dikala membaca bulir-bulir mutiara Al-Hikam buah karya Ibn Athaillah. Alhamdulillah ungkapan saya; “bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!” (Balada di Bukit Pasir Prahara, 21 September 2000, Parang Tritis Yogyakarta), telah terjawab sudah.

Kembali ke petuah Beliau, “‘Kaf’ dari kata ‘Kun,’ memunculkan dua makna. Pertama ‘Kaf’ al-Kamaliyyah (Kesempurnaan), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” (Q.s. al-Ma’idah:3). Dan ‘Kaf’ al-Kufriyyah (Kekufuran), “Maka di antara mereka ada yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kufur.” (Q.s. al-Baqoroh: 253).”

“Sementara dari jauhar (esensi) ‘Nun’ dari kata ‘Kun’ muncul ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan) dan ‘Nun’ Ma’rifat (pengetahuan tentang Tuhan). Ketika ditampakkan mereka dari ‘Kun’ ketiadaan pada hukum yang dikehendaki oleh keqadiman, maka Dia memercikkan sinar pada mereka dari Sinar-Nya. Yang terkena sinar kemudian memandang gambaran “Pohon Kejadian (Alam)” yang tumbuh dari benih ‘Kun,’ akan bahagia di dalam rahasia ‘Kaf’-nya sebagai gambaran firman Allah swt. “Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Q.s. Ali Imron: 110). Dan tampak jelas ‘Nun’-nya pada Q.s. aZ-Zumar:22).”

“Yang tak terkena sinar, lalu diminta mengungkap makna dari kata ‘Kun,’ maka akan salah dalam mengejanya dan nista dalam harapannya. Melihat bentuk ‘Kun,’ mengira ‘Kaf’ Kufriyyah (kekufuran) dengan ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan), karena ia termasuk kelompok orang kafir.” Beliau terus berujar: “nasib (bagian) setiap mahkluk dari kata ‘Kun,’ sesuai yang diketahui dari pengejaan hurufnya, disaksikan dari rerahasia terkandung di dalamnya. Sabda Rasululloh saw.: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Dia memercikkan kepada mereka dari Sinar-Nya. Barangsiapa terkena Sinar tersebut akan mendapatkan petunjuk, sementara orang yang luput dari percikan Sinar tersebut akan sesat dan menyimpang.” (Lihat H.r. at-Tirmidzi, Kitab al- Imron: 2566).”

“Tatkala Adam as. melihat lingkaran wujud, menemukan segala wujud berkisar di lingkaran kejadian; Satu terdiri api, yang lain tanah (thin). Adam melihat lingkaran berada dalam rerahasia ‘Kun.’ Bagaimana pun berputar tetap mengikuti, dimanapun terbang tetaplah (tidak kan lepas, tak kan berubah). Satu di antara mereka menyaksikan ‘Kaf’ Kamaliyyah (kesempurnaan) dan ‘Nun’ Ma’rifat (pengetahuan tentang Tuhan), yang lain menyaksikan ‘Kaf’ Kufriyyah (kekufuran) dan ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan). Sehingga kebijakan hukum padanya akan kembali di titik lingkaran ‘Kun.’ Yang diciptakan (al-mukawwan) tidak pernah melampaui yang dikehendaki Dzat Yang menciptakan (al-Mukawwin).”

“Apabila anda memperhatikan berbagai macam dahan ‘Pohon Kejadian’ dan jejenis bebuahnya, akan tahu sumber utamanya berasal dari satu benih ‘Kun’ yang jauh berbeda. Ketika Adam as. diajari seluruh nama, melihat misal ‘Kun’ lalu menyaksikan yang dikehendaki Sang Pencipta melalui apa yang diciptakannya, menyaksikan “Sang Guru” dari ‘Kaf’-nya ‘Kun,’ ‘Kaf’ al-Kanziyyah (Gudang Rahasia) “Aku adalah Gudang simpanan rahasia yang tersembunyi dan tidak dikenal, lalu Aku lebih suka diketahui.” (al-Hadits). Melihat rahasia pada ‘Nun’ al-Ananiyyah (Keakuan) “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” (Q.s. Thaha:14). Ketika pengejaan itu benar dan harapannya terealisasi, maka “Sang Guru” mengambilkan suatu intisari dari ‘Kaf’ al-Kanziyyah, suatu ‘Kaf’ al-Takrim (pemuliaan) “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (Q.s. al-Isra’: 70) dan ‘Kaf’ al-Kuntuyyah (Keakuan) “Aku akan menjadi Pendengar, Penglihatan dan Tangan baginya.” (al-Hadits).”

“Dari ‘Nun’ al-Ananiyyah (Keakuan), “Sang Guru” mengeluarkan untuk Adam ‘Nun’ an-Nuriyyah (pencahayaan) “Kami menjadikan sinar untuknya.” (Q.s. al-An’am: 122). ‘Nun’ tersebut bersambung ‘Nun’ Ni’mah, “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menjumlahnya dalam hitungan tertentu.” (Q.s. Ibrahim: 34). Sementara iblis -semoga Allah melaknatnya- selama empat puluh ribu tahun memahami huruf-huruf ‘Kun.’ “Sang Guru” telah memasrahkan segala padanya, menyerahkan segenap upaya, kekuatan pada kekuatannya sendiri. Maka iblis melihat bentuk ‘Kun,’ menyaksikan ‘Kaf’ Kufriyyah (kekafirannya), lantas sombong, membangkang dan merasa paling besar. Ia juga menyaksikan ‘Nun,’ ‘Nun’ Nariyah (api asal kejadiannya) “Engkau menciptakanku dari api.” (Q.s. al-A’raf: 12). ‘Kaf’ kekufurannya bersambung ‘Nun’ keapiannya, maka dimasukkan dalam neraka, “Maka mereka dijungkir-balikkan ke dalam neraka.” (Q.s. asy-Syu’ara’: 94).”

“Kala Adam melihat perbedaan terjadi pada Pohon ini, berbagai macam bunga dan bebuahnya, ia berpegang erat dahan, “Sesungguhnya Aku adalah Allah Tuhan semesta alam.” (Q.s. al-Qashash: 30). Lalu Adam dipanggil, “Makanlah dari berbagai buah tauhid dan teduhlah di bawah Naungan Yang Mahatunggal.” Selain perintah ada larangan, “Janganlah kalian mendekati pohon ini.” (Q.s. al-Baqoroh: 35 dan al-A’raf: 19). Tapi iblis menginginkan Adam sampai ke dahan, “Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka (Adam dan Hawa).” (Q.s. al-A’raf: 20). Mereka memakan buah terlarang, membawanya tergelincir ke tempat-tempat menggelincirkan, “Dan ‘durhakalah’ Adam kepada Tuhannya dan ‘tersesatlah’.” (Q.s. Thaha: 121). Tetapi Adam tetap berpegang teguh dahan istighfar (Lihat Q.s. al-A’raf: 23). Akhirnya merunduk dan turun untuknya buah dari Tuhannya: “…Allah menerima tobatnya.” (Q.s. al-Baqoroh: 37).”

Sebelum meneruskan untaian mutiara Ibnu ‘Arabi, saya tulis beberapa paragraf. Siapa tahu berjembatan untuk yang menganggap kekaryaannya sulit dipahami. Atas sebagian orang, karya-karya ulama’ berat dimengerti, sebab beliau-beliau kerap menerapkan berbagai jenis pendekatan. Kaum terpelajar, mungkin mengistilahkan bertumpuknya metodologi seperti “Syajaratul-Kaun” ini.

Bagi pembaca berpikir runut bisa-bisa deladapan lantas mengiranya karya ‘gelap.’ Ringkasan alunan di atas saya penggal, karena di letak ini Beliau bikin sambungan halus antara pandangan sebelumnya menuju cara pandang lain. Yang dapat mengecoh apalagi tanpa dilandasi keheningan.

Yang saya udar sekadar dinaya tangkap, lain soal pancaran hikmah yang butuh pengekangan lebih. Memang tak semua karya mereka berat, ini bukan berarti menganggap ringan, tidak! Karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Imam al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, atau yang berada pada keilmuan secara umum, para santri kaum terpelajar tentu bisa mengendarai. Yang sulit bercampuran “filosofis, sufistik” pada karya Ibnu Rusyd (Averroes), Al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Mulla Sadr?, Suhrawardi, Ibnu Sina, Ibnu Atha’illah, Rumi… Ini juga bersifat kecenderugan serta perlunya ‘kebeningan,’ selain pengetahuan tak bisa lepas keilmuan lain ibarat lingkaran.

Saat baca karyanya namun kurang buku-buku pendukung, diperkirakan bernapas di ruang ‘gelap.’ Ini bukan spekulasi, tapi sesimbul terikat kedudukannya, yang kadang berbeda letak di hadapan mereka. Kesuntukan dituntut ingatan kuat pada kisaran pemikiran mereka. Di sana meraba memahami waktu khusus dan tiada beban selain keilmuan. Demi peroleh kesaksiannya betapa berwarna-warna setangguh keinsafan kita.

Sebaiknya santun meski berbeda paham, serupa ketawadhuan para santri sebagai alat kepada pendekatan mereka. Mungkin berwudhu sebentuk menghargai keilmuan, pun bulir airnya mengurangi kantuk, bosan, ringankan lelah. Saat bersihkan sesuatu, merapikan kitab di rak, menyapu atau seluruh gerak betapa nikmat sambil mengingat. Untuk yang percayakan nalar, sepantasnya beningkan pikiran, guna yang masuk berkeindahan tanpa bayangan. Pastilah kemauan keras demi paham tidak menganggap ringan, meski di hal tertentu patut diseimbangkan.

Karya nan sulit dimengerti biasanya terdapat beberapa ‘kata kunci’ memindahkan soal. Ini dapat dicermati pada ahli tafsir mengurai sesuatu. Terkadang bukan sebuah kata, tetapi huruf semisal karya Ibnu ‘Arabi ini. Mungkin kurang tepat karyanya dibebani benang metodologi, persisnya ialah warna jenjang penyingkapan hijab dibukakan Sang Pemilik Ilmu. Mari baca pendapat Masataka Takeshita terhadap karyanya Ibnu ‘Arabi;

“Sebagai seorang sufi sejati, dia menulis berdasarkan inspirasi. Kemudian ide memancar dari penanya, laksana air yang mengalir dari sebuah mata air. Sistematisasi yang sederhana dari sebuah karya yang sesungguhnya tidak pantas baginya. Sekali ia tersistematisasi, ia kehilangan dinamikanya dan menjadi sebuah mistisisme skolastik yang statis.” (terjemahan Moh. Hefni MR, “Manusia Sempurna, menurut konsep Ibn ‘Arabi,” terbitan Pustaka Pelajar 2005). Dan saya pikir, Louis Massignon, William C. Chittick, Karen Armstrong, Sachiko Murata, Annemarie Schimmel, R. A. Nicholson… punya wewaktu khusus menenangkan diri di dalam menghargai ilmu diteguknya, sehingga merambahi dataran bencah pemikiran atas kalbu hayatnya.

Atau kaum filsuf tiada jemu menggali hikmah, kadang sedari sepeleh jatuhnya daun. Karena bacaan meluas diperolehnya percik kilatan cahaya referensi saling bergesek. Pesonanya menguraikan pikiran, lalu jawaban muncul berbeda dari sebelumnya. Saya condong menganggap meraka tidak terpengaruh ‘langsung.’ Nyata punya jalan sendiri, oleh kesungguhan menggali kedirian serupa penyaksi lainnya. Kalau terdapat kesamaan ibarat berpapasan di tikungan, tampak tulisannya mengeduk pribadi keilmuan. Bukan sulapan bacaan atau mencari-cari bentuk di lelembar penyesuaian.

Yang agak sulit dipaksa ‘gelombang’ atau mengawali bacaan kuranglah elok dipaksakan, jika dirasa belum tepat masanya. Ini berdekatan kejiwaan sehari-hari. Maka seyogyanya perkirakan ruang-waktu, kesibukan mengelilingi tidak mengganggu dan menentukan yang dibaca pada kondisi itu. Ini berkaitan irama batiniah pikiran percepatan, kelambanan, kepadatan, longgar; semua dihitung semisal naik bus ke suatu kota membuka buku mana dan apa saja ke depannya. Merasai kehadiran mereka sewaktu belajar pun tempat lain memungkinkan berdialog dalam ‘pikiran.’ Sehingga perpindahan masa terisi kegalauan mereka dan kita di antaranya serasa maya.

Dalam kekhusukan itu biasanya bisa keluar-masuk gelombangnya di mana saja, tinggal menyetel. Kala mendapati beberapa gelombang, maka ambil demi meningkatkan ombak mengalami debaran kepada taraf pemahaman. Kesimpulan ibarat tapak langkah dilanjutkan, sambil tak lupa menyapa situasi. Saya pikir benda-benda dapat diajak akrab, merasakan tekstur guratan nasibnya, misal kayu terkena hujan kedinginan. Kelembutan sedikit-banyak membantu mengelus batin memasuki batiniah teks-teks mereka.

Ada pula diharuskan kala volume gelombang jiwa dengan buku terbaca sesuai, sepantasnya dilanjut meski dipukuli kantuk walau sedang sakit. Kondisi itu pengetahuan masuk berakar membekas daripada sekadar ingin tahu sejalan baca pengantar. Mungkin merasakan cukup kebutuhan hidup dapat meringankan diri dalam pengoreksian oleh bacaan. Selalu tenang meski kurang waktu atas percepatan terlalu bodoh hingga mewajibkan belajar. Keakraban ini merangsang haus jika tak membaca. Gesekannya menimbulkan kepekaan dalam memudahkan paham kepada karya sulit dimengerti. Tidakkah enak membaca ulang karya mereka, dalam perenungan kita?

Sambil menutup jarutan kata, mari masuk pelahan ke karya Beliau lagi. Antara bagian saya penggal dan di bawah nanti, Ibnu ‘Arabi tak memberi batasan jelas yang dapat membuat pembaca kebingungan, kalau tidak cermat seksama. Padahal uraian sebelumnya, dengan bagian belakang terang berbeda. Sederhananya, awal menyebut dua dahan namun lanjutannya tiga, padahal satu pokok masalah. Ini bukanlah menghapus pengertian semula, di antara keduanya punya referensi serta saling menopang kuat. Pula tidak berjalan di dua arus, namun sejenis lelipatan penyingkapan, jenjang kesaksian.

Dengan jujur Beliau mengawali benang sambungan lewat memunculkan “hari kesaksian” di dalam paragraf depannya. Ini jalinan lembut sedari kata-kata “berbagai macam dahan” dikala menerangkan Adam as. di muka. Selain kata ‘hari kesaksian’, Beliau menaburkan pengertian di dalamnya, sehingga saling memperkokoh untuk masuki pandangan berikutnya. Jika pada filsafat materialisme ilmiah, bagian pertama seperti inti atom terdiri dua jenis nukleon; proton dan netron. Maka dapat dimengerti berikutnya partikel-pertikel quark yang diawali munculnya tiga dahan. Kepada kelembutan jiwa, penyingkapannya pasti didukung data. Di bawah ini benang halusnya, meski sebentuk ringkasan semoga tertangkap pembaca.

Beliau berkata; “Ketika dipanggil di hari kesaksian di depan mata para saksi untuk dimintai kesaksiannya, “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” (Q.s. al-A’raf: 172). Masing-masing memberi kesaksian dengan kadar ia saksikan dan ia dengar, semua menjawab, “Benar, tentu Engkau Tuhan kami.” Tapi perbedaan terjadi dari sisi kesaksiannya. Yang menyaksikan ber-Keindahan Dzat-Nya, memberi kesaksian tiada sesuatu pun yang sama dengan-Nya. Yang menyaksikan-Nya ber-Keindahan sifat-sifat-Nya, bersaksi tiada Tuhan selain Dia, Yang Raja lagi Mahasuci. Yang menyaksikan-Nya di atas keindahan pada makhluk-Nya, kesaksiannya berbeda akibat berbedaan yang mereka saksikan. Sekelompok orang menjadikan-Nya terbatas, yang lain menganggapnya tiada, lain lagi menjadikan-Nya batu karang yang keras. “Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (Q.s. at-Taubah: 51). Kebijakan hukum ini hanya dapat diketahui rahasianya tersimpan dalam kata ‘Kun,’ yang akan berputar di titik lingkarannya, tertanam kokoh di pangkal benihnya.”

“Sebutir benih ini bibit Pohon Kejadian, cikal bakal buah, dan makna bentuknya, saya (Ibnu ‘Arabi) berkeinginan menjadikan yang dibentuk suatu misal diwujudkan menjadi gambaran. Berbagai ucapan (firman), pekerjaan dan kondisi muncul di dalamnya kita jadikan jalan mencari pengertian. Kemudian saya mencontohkan sebatang Pohon tumbuh dari sebutir benih ‘Kun.’ Yang terjadi pada alam ini dari berbagai fenomena baru; kekurangan, kelebihan, pertumbuhan, yang tak bisa disaksikan (ghaib), yang dapat disaksikan (syahadah), kufur dan iman, muncul sedari berbagai kegiatan, pembersihan tingkah laku, atas ucapan indah, kerinduan, perasaan, berbagai pengetahuan rumit, yang tumbuh oleh kedekatan terhadap Tuhan (al-muqarrabin), kedudukan orang-orang bertaqwa (al-muttaqin), derajad kejujuran (asy-shiddiqin), berbisik (munajat) para arif (al-’arifin), ‘musyahadah’-nya kaum pecinta Allah (al-muhibbin). Semua itu buah dihasilkan Pohon ini dan mayang serbuk yang dimunculkan Pohon Kejadian ini.”

Beliau… (sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada penerjemah buku terbitan Risakah Gusti, Wasmukan. Meski tak memberinya pengantar, tapi hasil terjemahannya masih menunjukkan kata-kata penting, yang Alhamdulillah dapat saya telusuri). Beliau Ibnu ‘Arabi menghadirkan kata “hari kesaksian,” seakan tengah dibukakan lelembar makna dari Sang Pemilik Ilmu. Pelahan ‘bergeser,’ pastinya merasai perubahan besar di batinnya terangkat secahaya kepastian lebih. Saya ibaratkan gambaran lalu; pohon memunculkan dua dahan sedang berada di kaca cermin, dan Beliau diperlihatkan lukisan sejati berasal kasih sayang dari Sang Maha Realitas, hingga ‘penglihatan’ bertumpuk mematangkan imannya. Mungkin teks asli dua paragraf tersebut sehalaman nan menampung persoalan rumit mengudar lelapisan cahaya, pula tak terkena goncangan keraguan sedari pancaran awal. Ibarat mengendarai percepatan mempertebal udara pengertian, mengisi seluruh relung jiwanya.

Meski ada kemungkinan ‘perpindahan’ yang Beliau olah dari penyesuaian besar dalam jiwanya atas teks para ulama lama. Namun alur tenang berketetapan nikmat, setanggungjawab kekasih kepada pasangannya. Raga-batin menempa dibeningkan air berkah, maka kitab-kitab terbaca bercahaya memberi terang jalan keberadaannya. Seperoleh kebugaran lebih menggetarkan dari mula mengawali karangannya. Keringat dingin melebihi harum lama mendidih atas perangai firman-Nya, teringat masa-masa kembara di tanah kelahiran Andalusia, menuju Sevilla, Córdoba, Maroko, Mekkah, Romawi, Mesir, Syria, Aljazair, Baghdad, Mosul hingga Asia Kecil. Angin bertakbir, daun-daun bertasbih. Perubahan iklim yang rukuk, burung-burung bersujud, belulang berserak. Kala melihat rembulan teringat Rasulullah saw. Semua mewarnai pelajaran kalbu kediriannya Bersahadat ke dalam penciuman lama di tanah yang dipijaknya.

Makna kata-kata bersap-sap ditopang data akurat, ingatan memadatkan wujud dan keyakinannya menyelubungi setiap arti diguratnya. Umpama bayu diterbangkan daun tak terasa mencipta pembaca melarut, sehingga kerap membingungkan. Pribadinya bukan seperti al-Ghazali menerangkan lekuk detail tingkatan penyingkapannya sampai pada umatnya. Barangkali kelancarannya bertutur menyamai ‘ilmu laduni’ Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tak ada penyangkalan, setatapan khidmat tertunduk di hadapan kata ‘Kun.’ Sebuah kata kerja besar perintah, prosesi agung yang tak pantas dibolak-balikkan dinaya suara serta wujud keasliannya. Nafasnya teratur sedari sejarah panjang peribadatan, memaklumatkan denyar sampai ricikan tak terdengar selain dalam gelombang sama. Berkali-kali terpancari hikmah surat pembuka, menggenapi kesilapan sedari bisikan lain, dipukul mundur di atas kursi keilmuannya.

Hafalannya pada kitab suci segembelan mushaf emas memantulkan sinar, huruf-hurufnya kecil rapi laksana ‘stambul’ ajaib yang terbuka dalam mimpi berkeadaan suci. Jika di dunia pesantren ada unen-unen; seorang santri yang pernah ditemui harimau berbulu putih, maka perihal hafalan sudah teratasi. Komunikasi terjaring tak cuma dari orang-orang masih hidup, sebab cinta taklah mampu menampung jasad bernyawa. Dan cintanya pada para pendahulu, direstui jalan-jalan tak tersangka. Memudahkan lelangkah kasih serta pemikirannya menguliti bulir-bulir masalah sebawang putih tinggal intinya. Raganya memasuki lautan hikmah, gayuhan jemari memberkah melajui sampan hayati. Gelombang demi ombak diarungi, karang jahiliah badai memamah kandungan dirasuki sesikap pembenahan. Maka diudarlah misal-misal manusia dari rimba belantara ke padang keangkuhan hingga gemawan memayungi, setebal hujan memberi pengertian di ladang kemakmuran jiwa. Kelapangan berpikir, pilihan bukan berasal kemauannya, tapi dari dorongan gaib nan mengetahui segenap kerahasiaan.

Kesadaran Beliau menginsyafi gambaran masa lalu diperoleh laksana turunnya wahyu kepada para nabi, tak langsung ke bentuk hukum. Paham ini diperkuat ayat-ayat berikut yang nanti saya tulis seperlunya. Lukisan di kaca cermin semakin jelas, misal batang pohon rindang di tengah malam dikelilingi gemintang. Dedahan, reranting serta dedaunannya bercahaya sepohon putih penghasil minyak, yang di sekitarnya bebatuan memantulkan cahaya purnama. Kembali Beliau digetarkan perenungan, dirasakan akar-akar Iradah bertenaga besar menyapa cecabang Qudrah dari sebutiran benih ‘Kun’ di genggamannya. Lewat susunan kalimat cahaya sambungan pada dua paragraf, menterakan kemungkinan sayap-sayap sholawat menduduki pengertian lebih berkelembutan, longgar lagi menjulang kesaksiannya di bawah nilai penuh keyakinan. Mari mengaji pancaran dari penglihatan lepas lirikan pandang.

Beliau malanjutkan: “Pertama kali yang dimunculkan Pohon berasal dari benih ‘Kun’ ini tiga dahan; satu mengarah ke kanan (ashhabul-yamin), kedua ke sebelah kiri (ashhabusy-syimal), sedangkan dahan ketiga lurus menjulang tinggi, mereka para pendahulu memiliki kedekatan dengan Allah (as-sabiqun al-muqarrabun). Kala dahan kokoh batang menjulang tinggi, muncul dari ranting-ranting bagian atas dan bawah, suatu alam bentuk dan alam makna, kulit dan tutup bagian luar yang tampak alam al-Mulk. Isi terpendam, inti makna-makna tersembunyi itu alam Malakut, sementara air mengalir melalui jaring-jaring urat nadi penunjang hidup tumbuh serta tingginya Pohon, memunculkan putik bunga, memekarkannya, mematangkan buahnya adalah alam Jabarut, yang merupakan rahasia dari kata ‘Kun.’”

“Pohon ini dikepung dinding dibatasi oleh bebatas, gegaris tertentu, batas tersebut arah; atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang. Yang atas pembatasnya bagian atas, yang bawah batasnya bagian bawah, sedangkan gegaris pembatasnya ada di dalamnya, dari berbagai orbit serta bebenda langit, segala hak milik, berbagai ketentuan hukum, jejak para pendahulu juga para tokoh, maka tujuh lapis langit ibarat daun digunakan berteduh, gemintang bersinar ibarat bunga di atas ufuk, malam-siang ibarat dua helai selendang; satunya hitam kelam dikenakan menghalangi pandangan mata, yang lain putih dikenakan menampakkan diri (tajalli) pada orang-orang sanggup melihatnya. ‘Arasy rumah menyimpan segala kekayaan juga senjata Pohon ini, darinya diperoleh berbagai manfaat yang dikendalikan pelayannya; “Dan engkau akan melihat malaikat-malaikat melingkar berputar di sekeliling ‘Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya.” (Qs. az-Zumar: 75).”

“Allah swt. mewujudkan ‘Arasy hanya untuk menampakkan Asma’ dan sifat-sifat-Nya.” Beliau mengudar panjang lebar sebelum-sesudah kalimat itu lalu berujar; “Dia menciptakan Lauh Mahfuzh dan al-Qalam ibarat Buku Sang Maha Raja, di dalamnya terdapat berbagai keputusan hukum. Yang dibatalkan, ada pula ditetapkan, ada yang diwujudkan, ditiadakan, yang keluar dari kebaikan-Nya, pemberian nikmat, pahala, siksa. Sedangkan Sidratul-Muntaha ibarat batang dahan dari dedahan, di bawahnya malaikat yang mengabdi-Nya, “Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan tertentu.” (Q.s. ash-Shaffat: 164). Dan Sang Maha Raja memerintahkan mereka untuk dikirimkan ke salah satu dari dua gudang penyimpan buah Pohon ini. Gudang itu antara lain surga dan neraka; buah yang baik di simpan di surga, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam surga ‘Illiyyin.” (Q.s. al-Muthaffifin: 18), buah yang jelek dimasukkan ke neraka, “Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang durhaka tersimpan dalam neraka Sijjin.” (Q.s. al-Muthaffifin: 7).”

Lelembar saya lalui tak menuangkan di sini, sampai filsuf Andalusia berkata; “Orang yang pertama kali berbuat di sekitar Pohon ini untuk mencapai asal benih ‘Kun’ -ia memeras unsur terbersih, menyarikan, memunculkan buihnya, menyaringnya hingga murni dari unsur-unsur yang membahayakan itu hilang. Sari sangat murni ini ditambah Sinar Hidayah-Nya, menerbitkan jauhar-nya, lalu ditenggelamkan dalam lautan ar-Rahman sehingga keberkahannya merata. Dari proses ini diciptakan Nur (cahaya) Nabi Muhammad saw., lantas dihiasi sinar alam arwah seterang mulia. Dijadikan-Nya Nur Muhammad sebagai asal-muasal segala cahaya -dialah orang pertama tercatat dalam Kitab-Nya, yang terakhir kali muncul, pemimpin di hari Kebangkitan, pembawa kabar gembira, menemui para manusia bersenang hati. Ia dititipkan di ‘kebun, damai menggembirakan.’ Nilai-nilai spiritualnya ditutupi fisiknya, alam Syuhud ditutupi alam wujudnya. Ia dilahirkan ke alam dunia yang juga karenanya alam ini diwujudkan.”

Beliau terus mengudar panjang-lebar dengan data maksimal, dari firman-firman-Nya maupun hadits-hadits, sampai menerangkan Nur Muhammad diciptakan pada kening Adam as. hingga pada puncaknya mengisahkan Isra Mi’raj. Tuturan naik-turun kekisah sesuai irama telah dikehendaki takdir-Nya pada Asy-Syaikh al-Akbar tersebut, kekisarannya sekaki melewati titian panjang di bawahnya jurang neraka, pada jalan lurus munuju ke surga. Di sana tanggungjawab kelak mengsle atau selamat ialah pertarungan iman, serta rayuan menjerumus ke tempat-tempat menggelincirkan. Baktinya tulus terhadap ilmu tak menimbang sejumput pun dedebu duniawi, karena apalah kejayaan fana pasti lenyap tertelan.

Jika boleh menarik benang simpul, mungkin Beliau pancaran lain sedari Ibnu Rusyd. Yang agaknya condong kepada Imam Tirmidzi, seperti kata penelitiannya Masataka Takeshita pada bukunya “Ibn ‘Arabi’s Theory of Perfect Man and Its Place in Islamic History.” Mungkin juga “Syajaratul-Kaun” ini digarap di antara penulisan kitabnya yang terkenal, “al-Futuhat al-Makkiyyah” mulai disusun di Mekkkah tahun 598 H / 1202 M, selesai di Damaskus tahun 629 H / 1231 M. Ataupun sewujud lentikan ilhamnya sedurung “Fushush al-Hikam” yang khusus mengetengahkan dahan ketiga menjulang tinggi sebagaimana di atas.

Akhirnya jika ada kesalahan mohon ditegur keras, tapi tentu dengan sumber lebih meyakinkan! Jikalau ada kebenarannya, kenapa tidak ditindaklanjuti? Saya pikir semua berharap hasil bacaan dapat bermanfaat yang tidak ‘saling memangfaatkan!’

Hari Jum’at Pon, 20 Suro 1945 Saka.
16 Desember 2011, Lamongan, Jawa.

*) Membaca “kedangkalan” logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XVI, kupasan kedua dari paragraf tiga dan empat)
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/01/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_154.htmlLink tulisan Dr. Ignas Kleden:
http://sastra-indonesia.com/2011/09/puisi-dan-dekonstruksi-perihal-sutardji-calzoum-bachri/

Wednesday, December 7, 2011

Perburuan dan Kelincahan Metodis

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

Selalu tidak ada titik temu dalam polemik sastra. Di satu sisi, ada sebagian masyarakat sastra yang menghendaki bahwa karya sastra adalah media komunikasi, sekaligus estetika. Di seberang sisi yang lain sangat berbeda. Karya sastra hendaknya dibebaskan dari beban-beban komunikatif tersebut. Karena itu, sastra adalah estetika. Sastra tiada lain hanyalah seni.

Golongan yang pertama, mewakili golongan modern yang mempertahankan nilai fungsional sastra. Sedangkan golongan yang kedua, adalah para sastrawan pascamodern yang menghendaki kebebasan penafsiran atas teks sastra, secara terus-menerus tanpa henti, sesuai dengan selera pembacanya.

Sekilas, golongan pertama adalah moralis. Sastra memang digunakan sebagai strategi moral dan kepentingan sosial. Hal ini dapat ditemui di mana saja, misalnya tatkala teks sastra, menuliskan penderitaan orang-orang kecil dan tertindas, pemihakan sosial, kritik sosial, ungkapan religius kebudayaan tertentu dan lain sebagainya.

Pada golongan pascamodern, awalnya ingin memberikan kritik yang konstruktif bagi pemikiran modern. Jika sastra itu fungsional dan komunikatif, memang menjadi hal yang menggembirakan saat sastra digunakan sebagai alat untuk ibadah atau berbuat baik. Dari sini, tentu saja ada celah-celah yang mudah dibelokkan. Sastra bisa jadi, dimanfaatkan untuk hal-hal yang kurang baik, tercela dan merugikan orang lain.

Sastra yang bermanfaat ini, baik itu manfaat yang benar maupun sebaliknya, selalu bermakna atas apa yang dikehendaki penciptanya. Di samping itu, bermakna pula atas keinginan pembacanya. Bagi pembaca, jelas, adalah mereka yang punya kepentingan yang sama dengan penciptanya. Secara lebih sederhana, sastra modern, adalah untuk kepentingan moral tertentu. Makna, selalu mengikuti tuan pengendali kepentingan.

Dengan bahasa yang lugas, sastra modern disebut pula sastra moral atau sastra kepentingan. Lazim diketahui bahwa, setiap moral atau kepentingan adalah kekuasaan yang dijalankan untuk tujuan tertentu. Di sinilah pemikir pascamodern memberikan kritik atas kekuasaan, agar setiap kuasa tertentu, tidak terlampau berlebihan dalam melampiaskan hasratnya.

Dalam memberikan kritik, sastrawan pascamodern tentu saja tidak menggunakan metode yang sama seperti yang dijalankan sastrawan modern. Dialektika modern atau saling beradu argumen dan bertukar pikiran atas makna-makna, sangat beresiko pada debat kusir yang tidak berujung. Tetapi yang paling penting, mengikuti arus jalannya sastra modern, maka akan selalu tidak mandiri dan tidak pula dapat lepas dari tuntunan moral yang agung.

Jalan alternatif yang ditempuh adalah keluar dari dialektika modern dan beralih pada metode yang sama sekali berbeda. Barangkali, secara lebih terus terang, bahwa jalan yang ditempuh adalah bukan jalan dalam kungkungan moral. Dengan kata lain, bukanlah jalan yang didikte oleh kekuasaan.

Metode pascamodern menghendaki bahwa sastra hendaknya terlepas dari beban-beban komunikatif dan fungsional. Kebebasan itu berarti adalah kemandirian teks sastra. Konsekuensinya, bisa saja bahwa teks itu bukanlah bahasa formal maupun informal dalam komunikasi massa, tetapi hanyalah tenunan huruf. Beruntung pula tenunan itu dapat dibunyikan secara oral, jika terajut huruf-huruf vokal. Di sini, justru makna sangatlah penting. Makna akan berdiri bebas, mengikuti kehendak-kehendak pembaca, tanpa melulu didikte oleh kuasa apapun.

Secara umum, pemikiran pascamodern, menolak setiap kekuasaan mutlak. Tentu bukanlah hal yang sungguh-sungguh mutlak di dalam dirinya sendiri. Misalnya saja Tuhan. Tuhan berbeda dengan sesuatu tentang Tuhan: ketuhanan. Maka, kebenaran mutlak, yang hendak ditantang dan diserang pemikiran pascamodern, bukanlah yang benar-benar mutlak. Namun, nampak mutlak. Manusialah yang bisa menentukan adanya yang “nampak” mutlak, kendati dengan istilah benar-benar mutlak.

Demikianlah, yang ditentang oleh pemikiran pascamodern adalah kebenaran yang “seolah” tunggal, yang seringkali ditampilkan oleh pemikiran modern. Sesungguhnya sekali lagi, bukan ketunggalan itu yang coba dipersoalkan. Namun, arogansi manusia-manusia yang merasa dirinya sendirilah yang paling benar. Kebenaran dalam hal ini, bisa berarti makna, pikiran, rasionalitas, moral, pengetahuan dan segala dimensi etis.

Kebebasan dan ketiadaan moral yang dimiliki manusia pascamodern, bukanlah berarti bahwa manusia kehilangan pijakan. Tidak demikian. Pijakan tetaplah ada, kebaikan tetaplah diapresiasi dan kebenaran tetaplah diinginkan. Kendati demikian, semua itu tidak tunggal ataupun selesai, final. Tetapi, terus-menerus memperbaharui segala maknanya, tanpa batas dan akhir, sepanjang manusia itu hidup.

Terlalu beresiko, menyebutnya “ketidakmungkinan” maupun kebalikannya, “keabadian”. Ketidakmungkinan dan keabadian adalah masa yang belum tertempuh. Manusia yang hidup sekarang, kekinian dan kedisinian, hanyalah mengangankan, mengimajinasikan, berkarya akan masa depan tersebut. Dari sini, teranglah bahwa, ketidakmungkinan, kekosongan dan makna yang tidak pernah selesai, sesungguhnya adalah apa yang belum dijumpai.

Menyoal hal ini melalui cara pandang filsafat, akan ditemui istilah relativisme, bahkan nihilisme. Relativisme atau makna bagi setiap pembaca adalah relatif, bisa dimengerti dengan mudah. Namun, kerelativan itu sendiri, tidak seliar yang dibayangkan. Betapapun manusia itu memaklumi relativitas pemaknaan, tatkala memberi makna atas teks sastra, maka berhentilah pembaca atau penikmat sastra dalam “satu” persinggahan kekinian. Begitu juga dengan nihilisme, ketidakadaan kebenaran, hanyalah ilusi. Sejajar dengan persoalan kebenaran tunggal itu sendiri. Klaim nihilisme dan kebenaran tunggal, adalah dua hal yang berada di luar pemikiran kekinian. Termasuk pula, jika saat ini seorang pembaca sastra mengimani nihilisme, maka sesungguhnya itulah suatu terjemah akan karya sastra, suatu iman nihilisme sebagai kebenaran tunggal saat itu juga, kekinian.

Namun, kalaupun relativisme dan nihilisme itu ada, atau sederajat dengan kebenaran tunggal yang sejati itu ada, tidaklah bisa manusia berkomentar atau memberi catatan kritis atasnya, terlebih mengkomunikasikannya.

Mengatakan kebenaran itu tidak ada (nihilisme), berarti telah mengatakan satu kebenaran. Begitu pula, mengatakan bahwa sesuatu itu benar sejati, maka hilanglah kesejatiannya karena sifat manusia yang alpa. Tidak jauh berbeda, bahkan lebih ironis jika mengkomunikasikan keduanya, berarti telah memanfaatkan untuk kepentingan atau moralitasnya.

Pemikiran sastra pascamodern, khususnya yang menghendaki kebebasan mutlak atas makna dan mengkritik dimensi fungsional-komunikatif dari teks sastra, “seperti” memiliki sayap yang ingin terbang bebas dengan sejati. Hal itu, tidak sepenuhnya benar. Realitasnya, mereka hanya memiliki kelincahan metodis dan kecerdikan dalam berpolemik pemikiran sastra.

Kelincahan metodis adalah persoalan mudah. Jelas, dengan kehendak untuk menetralisir segala petunjuk moral sebagai perwujudan kuasa dalam proses pemaknaan teks sastra, akan mempersilahkan setiap pembaca untuk melewati tahapan berikutnya, yaitu tafsir yang dikehendaki atau yang disukai, “secara bebas”. Kembalilah tahapan pascamodern, pada pemaknaan yang serupa pada metode sastra modern. Kendati demikian, hal ini tetaplah berbeda satu sama lain. Metode sastra modern terlihat mantap dengan keyakinan, sedang pascamodern, tidak terlalu penting menyoal keyakinan, yang terpenting adalah kebebasan pemaknaan.

Memberikan kritik pada pemikiran pascamodern, bisa saja dengan pemikiran modern, maupun dengan kelincahan metodis yang serupa. Bagi kritik yang pertama, berarti memberikan kritik dengan moral-moral atau dengan kekuasaan kehendak pengkritik. Memburu celah-celah pemikiran pascamodern yang cela dengan metode pascamodern, punya geliat yang sama dengan kehendak modern, kendati perbedaannya bahwa hal ini lebih pada kegiatan menafsirkan ulang tanpa selesai dan selalu menggapai makna kebaruan.

Apapun itu, segala yang tergolong sebagai pembacaan ulang, kritik atau penafsiran tertentu, adalah operasi penindakan terhadap obyek tertentu. Singkat kata, kritik seutuhnya adalah modus operandi penguasaan. Kritik adalah perburuan.

Sebagai perburuan, entah apa yang diburu, baik pemikiran modern maupun pascamodern, baik menggunakan senjata tradisional maupun dengan yang lebih canggih, senantiasa menginginkan agar hasrat berburunya terpenuhi.

Cara berburu ini akan lebih kentara di permukaan, jika menunjukkan bahwa obyek buruannya memiliki kekuasaan, kehendak, niat, hasrat tertentu, maka setiap pemburu punya hal yang serupa untuk menyerang binatang buruannya (teks sastra). Persoalan perburuan, adalah persoalan pertarungan, tarik-menarik kehendak dan dalam bahasa yang lebih terus terang adalah kompetisi, kontestasi, rivalitas dan lain sebagainya. Tapi tetap, dalam bahasa sastra sehari-hari, perburuan atau kritik, adalah suatu upaya penafsiran.

Berikut ini, akan dijelaskan soal polemik sastra yang ada di Indonesia. Secara spesifik bahwa, yang hendak dikritik adalah pemikiran pascamodern, yang diwakili oleh Sutardji Calzoum Bachri (Sastrawan Indonesia) yang didukung oleh Ignas Kleden (Kritikus Sastra), khususnya dalam esai yang berjudul, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007). Pemikiran yang punya kelincahan metodis ini, hendak diburu oleh penafsir lainnya, yang juga memiliki kehendak pemaknaan terhadap sastra, khususnya oleh Nurel Javissyarqi, sastrawan dan kritikus yang bergaya Surealis dan eksentris.

Perburuan Nurel ini, telah ditulis secara sistematis di dalam esai bersambungnya yang berjudul “Membaca ‘Kedangkalan’ Logika Dr. Ignas Kleden?”. Pada bagian pertama dan kedua esainya, akan diuraikan dalam diskusi berikut ini.

***
Segala sastra adalah metafora. Berarti, setiap pencipta seni, akan melepaskan karyanya untuk hidup sendiri secara mandiri. Dengan kata lain, seperti melepaskan burung dan membiarkannya hinggap dengan sesuka hatinya.

Sastra, barangkali akan sangat mudah dipahami orang, pembaca atau penikmatnya. Namun adakalanya sebaliknya. Sastra, menuruti sifatnya untuk menyembunyikan makna, sehingga sangat sulit dan beragam pemaknaan atasnya.

Seorang sastrawan terkemuka, Sutardji Calzoum Bachri misalnya, memiliki ciri khas tatkala menuliskan puisi-puisinya. Kadangkala bagian awalnya hanya berupa tenunan huruf-huruf yang tidak selesai sehingga layak dimengerti sebagai kata. Rasa-rasanya sepintas, kalau dibacakan seperti membunyikan sesuatu. Mungkin tidak bermakna atau sulit sekali menemukan maknanya secara sederhana, tetapi berasa sesuatu, yang mana dapat dinikmati baik oleh pelantun maupun pendengarnya, sesuai dengan selera masing-masing.

Itulah, tidak heran jika Sutardji dalam bukunya yang berjudul Isyarat (2007: 10), menjelaskan bahwa puisinya adalah ruh, semangat, mimpi, obsesi, dan igauan serta kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata. Dengan kekhasan ini, masyhur ciptaannya menyandang gelar “mantra”.

Dalam bidang studi antropologi, “mantra” itu sangatlah unik dan fungsional. Orang membaca mantra, biasanya punya kehendak agar orang lain mengikuti kehendaknya tersebut, hanya dengan mendengarkan lantunan-lantunan yang menuntun batin. Entah energi, entah keajaiban, yang jelas, tanpa penjelasan secara rasional, mantra seringkali bekerja secara ampuh, menuruti kehendak tuannya. Mantra di sini, sejenis kata-kata, namun bukan bahasa, karena tidak memiliki makna yang lazim dipahami secara komunikatif. Itulah keunikan mantra.

Tentu saja berbeda, antara mantra sebagai tradisi masyarakat adat, dengan mantra dalam khazanah sastra, khususnya mantra Sutardji. Kendatipun memiliki kesamaan, baik itu dalam dimensi kesakralan, religiusitas, magis, mistis dan estetika, dari segi kelahirannya, kedua jenis mantra tersebut memiliki ibu, rahim, ruang, waktu dan falsafah yang berbeda.

Para penikmat sastra, bisa saja larut dalam keheningan dan terbawa dalam suasana ruhaniah, tatkala puisi mantra Sutardji dibacakan. Namun hal ini, tidak berlaku bagi masing-masing masyarakat adat yang memiliki tradisi mantra, bahkan kelahiran tradisi tersebut jauh sebelum zaman-zaman perkembangan sastra Indonesia menjadi marak.

Seorang gadis adat Osing dari Banyuwangi, akan jatuh cinta secara tergila-gila, karena batinnya telah tertuntun oleh mantra pengasihan Jaran Goyang, yang dibacakan oleh seorang pria yang menginginkannya. Gejala-gejala magis dari mantra Osing, sangat berbeda dengan mantra Sutardji yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat berpendidikan.

Namun, ada sisi menarik dalam mantra Sutardji. Jika padamulanya bahasa, selalu berfungsi sebagai alat komunikasi, kini tidak lagi demikian. Karena, seperti dijelaskan sebelumnya, kata, tidak selalu sebagai bahasa. Kata yang bukan bahasa.

Kata itulah burung yang terbang bebas. Sedangkan puisi, lebih luas lagi dari itu. Bagaikan langit, puisi menjadi ruang bagi burung-burung yang terbang tinggi, menari dan pergi sekehendak hati.

Dari sini jelaslah bahwa, puisi atau teks sastra bagi Sutardji, karena bukan dalam kategori bahasa, bukan berarti tidak bisa dikomunikasikan. Namun, cara komunikasi, baik itu makna maupun bunyinya, diberikan seutuhnya bagi pembaca secara bebas, tanpa batas secara terus-menerus.

Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) membenarkan pendapat ini. Ia mengungkapkan bahwa, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

“Puisi sebagai alibi kata-kata” itulah kata yang paling pas untuk membayangkan teks sastra gaya Sutardji. Dengan puisi, pembaca bisa lari dari makna yang hendak dipatenkan, sekehendaknya. Dengan puisi, yang paling pasti adalah ketidakpastian yang liar. Inilah yang dimaksud dengan kelincahan metodis. Selalu menemukan jalan untuk kabur dan pergi ke sana ke mari sesuka hati. Sebenarnya, inilah deklarasi kebebasan Sutardji. Semacam kredo yang sedang dirayakan.

Dalam kesempatan lain, Sutardji menyampaikan bahwa, “Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”

Sekali waktu, Ignas Kleden dalam Pidato Kebudayaan Pekan Presiden Penyair (19 Juli 2007) sangat berharap agar kredo Sutardji tersebut akan diwujudkan.

Dari sini, mulailah pelbagai kritik dilancarkan oleh Nurel. Bukan pada Sutardji, namun pada penafsirnya, yaitu Ignas Kleden. Jelas dalam uraian esainya, baik itu bagian pertama maupun kedua, belumlah secara terus terang memberi kritik pada teks sastra Sutardji. Kritikus surealis ini hanya menjelaskan bahwa, logika yang dipakai Ignas Kleden untuk menjelaskan kelincahan metodis Sutardji, belumlah tepat.

Misalnya dalam dukungan Kleden akan Sutardji, diungkapkan bahwa kelincahan metodis, serupa dengan penerobosan makna, jenis, bentuk kata dan tata bahasa. Hal itu dinilai sebagai dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, karena memberi peluang bagi pelbagai gaya baru yang lebih otentik melalui karya sastra. Jadi di sini, bukan sekedar teks sastra yang mengalami pembebasan, namun juga metodologi dan filsafat sebagai dasar pijaknya.

Dalam memberikan kritik, Nurel mendiagnosa bahwa Kleden menafsirkan kata “pembebasan” dengan “penerobosan”. Pilihan kata “menerobos” sangat beresiko untuk mendapati arti yang dirasa tepat dengan maksud kelincahan metodis Sutardjian. Menerobos barangkali, lebih tendensius dan memanggul cita rasa resentimen terhadap lawan. Sedangkan pembebasan tentu saja, kendatipun berkehendak untuk melawan, kata ini mengandung unsur moral kebaikan.

Menurut Nurel, menerjemahkan kata “membebaskan” dengan “menerobos” berarti membelokkan maknanya. Jelas sah, bagi seorang penafsir, siapapun, untuk menafsirkan suatu kata tertentu. Tapi satu penafsiran, jika ditafsir ulang, maka tidak akan luput dari kritik.

Kalau konsekuen dengan kebebasan dan pembebasan penafsiran, maka dekonstruksi Sutardjian oleh Kleden, akan lebih mengarah kepada upaya yang destruktif, sekedar merusak atau menghancurkan, tanpa menata kembali. Namun, sebagai suatu jalinan kata yang utuh (kalimat), Kleden bisa saja membela bahwa, maksud dari menerobos telah dijelaskan oleh kata berikutnya, yaitu untuk, “...melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.”

Dalam esainya, Nurel mencoba menjelaskan, “Kata ‘menerobos’ yang diulang-ulang, tak lebih bentuk usaha keras IK dalam mengaburkan pemahaman, membuat buyar pelahan-lahan atas tatanan konsep SCB, disesuaikan pola IK dalam pijakannya berfikir kali itu, dan upaya menekankan, meyakinkan pembaca bahwa kata ‘(mem)bebaskan’ sama dengan ‘menerobos’. Ini awal pembelokan manis teruntuk pembaca sastra yang sungguh menghipnosis, kalau yang bilang bukan IK, tentu ada tuntutan, tetapi karena yang berkata-kata Dr. Ignas Kleden, siapa berani?”

Di sinilah yang dimaksud dengan penafsiran ulang atas tafsir tertentu. Padamulanya, Kleden mentransformasi kata “membebaskan” menjadi “menerobos”. Ini adalah tenunan baru dari sebelas tenunan huruf-huruf m-e-m-b-e-b-a-s-k-an menjadi sembilan tenunan huruf-huruf: m-e-n-e-r-o-b-o-s. Lalu prosesnya, Nurel mengudarnya menjadi banyak tenunan huruf, dan jalinan kata yang lain pula. Misalnya, “’Menerobos’, masihlah fokus dengan jalan pintas seperti sorot cahaya, sedangkan kata ‘(mem)bebas(kan)’ bermakna membuyarkannya.

Makna menerobos menurut Nurel, seperti halnya makna tunggal tertentu yang secara spesifik, memiliki kebenaran yang erat dengan penulisnya. Sangat berbeda dengan kata membebaskan, yang bermakna “membuyarkan” sesuatu. Kata membuyarkan, jika dikehendaki, bermakna pula sebagai diseminasi atau penyebaran teks, dengan demikian, juga penyebaran jaringan jejak teks (gramma) ke teks yang baru, yang tidak tunggal, namun berlaku “bebas” sesuai kehendak penafsir.

Dalam persoalan ini, penulis memaklumi penjelasan Kleden soal “menerobos” dan tafsiran Nurel soal “keberatan terhadap kata menerobos”. Menurut kacamata sastra pascamodern, terjadi dialektika intertekstualitas. Tapi secara jujur, pastilah itu semua adalah tarik-menarik kehendak antara Kleden yang selesai menuliskan karyanya, lalu diburu untuk dikritik oleh Nurel yang kurang sependapat dengannya. Dengan demikian, bukan melulu intertekstual, tetapi intersubyektif. Apalagi jelas-jelas dalam komentar Nurel disebutkan bahwa, “Siapa berani?”

Hal ini tidak selesai. Seperti dijelaskan di muka, aktivitas tafsir-menafsir, tidak akan pernah selesai. Selalu menemui makna baru yang dikehendaki secara terus-menerus. Reproduksi teks dalam ketidakpastian yang paling pasti.

Mungkin kata “kebebasan” sangat cocok untuk diselidiki lebih jauh. Pertimbangannya adalah karena polivokalitas yang dimiliki, juga sifat interpretatif dari pembacaan terhadapnya. Nurel mengungkapkan bahwa, “Kelicinan IK tidak menampakkan kata ‘kredo’ pada paragraf awalnya, padahal secara ruhaniah makna merujuk padanya, yang terbukti munculnya kalimat ‘memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi’.”

Seluruhnya adalah teks. Bagi penulis, untuk menunjukkan tafsir baru, berarti mereproduksi teks. Namun mengurai metode, berarti menunjukkan bagaimana cara kerja filsafat penulisan teks berlaku. Di sini, Sutardjian menghendaki pembebasan makna. Demikian pula dengan kedua kritikus, baik itu Kleden maupun Nurel. Kemungkinan bagi konstruksi baru adalah teks baru yang berasal dari reproduksi. Begitu pula dengan catatan Nurel, bahwa tantangan kritis terhadap Kleden adalah teks baru yang juga dari hasil reproduksi. Tentu saja, dapat disimpulkan bahwa inti dari kebebasan adalah reproduksi teks yang sekali lagi, terus-menerus dan tidak selesai.

Misalnya saja, Kleden menyatakan, “...dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik...” Tentu saja jika dekonstruksi berlaku, maka barangkali kungkungan gramatika bahasa Indonesia yang menjerat akan terbebaskan dan teks otentik baru akan tercipta. Namun, bagi dunia pascamodern, bukankah hal ini adalah biasa saja? Apa yang hendak didekonstruksi? Tidak ada. Sekiranya mendekonstruksi jejaring teks, maka jejaring baru adalah pengulangan yang lama. Seandainya makna yang didekonstruksi, maka makna barulah yang akan menggantikan kekuasaan makna lama.

Sama halnya dengan Nurel, apa yang hendak dikritik? Makna? Jejaring teks? Kekuasaan Sutardji? Kebesaran citra Kleden? Bukankah itu hal yang biasa? Demikianlah, perburuan-perburuan serupa dialektika modern atau pascamodern yang tidak terlalu rumit, bahkan biasa saja. Teks hanyalah teks. Subyek adalah subyek. Dialektika kehendak, sebenarnya tidak pernah ada. Kehendak untuk saling berkuasalah yang sedang beroperasi. Hubungan antar kehendak, dalam jejaring interpretasi, lazim disebut dengan intersubyektivitas.

Mana yang lebih baik dalam berkomentar atau upaya kritisisme, bukanlah hal yang penting. Bahkan benar dan salah adalah hal yang sepele saja. Ini juga teks.

7 Desember 2011
Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: Sutardji Calzoum Bachri Template by Bamz | Publish on Bamz Templates