Showing posts with label Sitnas. Show all posts
Showing posts with label Sitnas. Show all posts

Friday, December 31, 2010

Catatan Akhir Tahun 2010 (Ekonomi)

Pada saat memasuki tahun 2010, ekonomi dunia sedang mengalami dua kejadian penting, yaitu: pertama, krisis ekonomi kapitalisme global yang sangat mendalam dan struktural, dan kedua, pergeseran kekuatan ekonomi dunia dari utara (AS dan eropa) ke Asia timur (Tiongkok) dan amerika latin.
Amartya Sen, seorang ekonom India, dalam tulisannya di Newyork review menyebut tahun itu sebagai “tahun krisis”, dan tahun berikutnya akan disertai dengan penurunan tajam ekonomi dunia melebihi depresi besar tahun 1930-an.
Perkiraan Amartya Sen ada benarnya, sebab di tahun 2010 krisis ekonomi dunia bukannya menjinak, malah semakin mengganas dan melahap ekonomi negara-negara kuat di eropa, seperti Yunani, Spanyol, Portugal, Inggris, dan lain sebagainya.
Sementara ekonomi Indonesia, yang sebagian besar tumpuannya bergantung kepada ekonomi kapitalis global, turut merasakan pukulan telak dari keberlanjutan krisis ini. Jika pada tahun 2009 tenggelamnya ekonomi Indonesia baru mencapai leher, maka pada tahun ini tenggelamnya ekonomi Indonesia sudah mencapai dagu.
The Economist, majalah mainstream paling bergengsi, pernah menulis, “ekonomi Indonesia memang tumbuh, tapi sayang sekali, kemiskinan juga tumbuh.” Meskipun pertumbuhan ekonomi diprediksi akan menembus 6,3%, tetapi hal tersebut tidak menciptakan “Trickle down effect”.
Penghancuran Industri Nasional
Tahun 2010 dapat dikatakan sebagai tahun kematian industri nasional. Beberapa jenis industri yang selama ini menjadi benteng terakhir, seperti baja, kretek, produk pertanian, dan lain sebagainya, telah dihancurkan dengan jalan dijual atau dibangkrutkan.
Pada tahun 2006, Indonesia diperkirakan mempunyai 29 ribu perusahaan manufaktur skala menengah, tetapi sekarang jumlahnya tidak melebihi 27 ribu. Industri skala mikro dan kecil pun anjlok 2,1 persen dan 5 persen dihantam oleh kebijakan neoliberalisme.
Jika di masa sebelumnya, proses de-industrialisasi baru menghantam perusahaan-perusahaan menengah dan kecil, maka sekarang ini (tahun 2010) korbannya sudah mencakup perusahaan-perusahaan tulang punggung
Sementara itu, sebagian sektor industri telah menurunkan kapasitas produksinya hingga 25% dari potensi produktifnya, antara lain, industri baja, sepatu dan tekstil. Salah satu penyebab penurunan kapasitas produksi itu adalah turunnya permintaan, terutama di pasar dunia, yang sekarang ini memang sedang dilanda krisis over-produksi.
Ada keterkaitan langsung antara krisis kelebihan produksi di negara maju dengan praktik penghancuran industri di negeri dunia ketiga. Sebab, dengan menghancurkan industri negeri dunia ketiga, maka industri negara maju kehilangan pesaing potensialnya dan dapat menguasai pasar negara dunia ketiga tersebut.
Fonemena inilah yang menjelaskan mengapa pemerintahan SBY-Budiono sangat agressif untuk menjalankan program privatisasi terhadap sejumlah BUMN paling strategis, yaitu PT. Krakatau Steel (penguasa baja nasional), PTPN III, IV, VII (penguasa sektor perkebunan/agrobisnis), dan dua raksasa perbankan nasional, Bank Mandiri dan Bank BNI.
Pada tahun 2010 ini, rejim SBY-Budiono berusaha memastikan privatisasi terhadap delapan BUMN, yaitu PTPN III, PTPN IV, PTPN VII, PT C Phrimissima, PT Kertas Padalarang, PT sarana Karya, Bank Mandiri, dan Bank BNI.
Industri kretek, salah satu industri yang tumbuh dengan corak nusantara dan mempergunakan modal/sumber daya di dalam negeri, juga sedang berada di mulut kehancuran. Sejumlah lembaga asing, seperti Bloomberg Initiative, telah menggelontorkan dana kepada sejumlah lembaga pemerintah dan ormas untuk mengkampanyekan “anti-rokok” dan pembatasan tembakau.
Perusahaan asing juga sangat berjaya dalam mengusai sumber energi nasional, terutama migas dan batubara, yang menyebabkan industri nasional kesulitan mendapatkan pasokan energi. Hal ini semakin diperparah dengan kebijakan energi pemerintahan SBY-Budiono, yang justru mengutamakan ekspor gas dan batubara ke luar negeri sebelum kebutuhan domestik terpenuhi.
Ada pula program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), yang oleh penganjurnya dimaksudkan untuk mencegah kerusakan hutan lebih lanjut di seluruh dunia, justru menjadi kesempatan baru bagi imperialis untuk menguasai hutan kita dan menghidupi bisnis karbonnya.
Penghancuran ekonomi Rakyat
Sampai tahun 2010 jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diperkirakan mencapai 51 juta unit atau 99% dari total unit usaha yang ada. Namun, sejak ekonomi nasional berayun ke arah liberalisasi, UMKM telah menjadi korban paling pertama yang bertumbangan.
UMKM ini sangat bergantung pada dua hal, yaitu jaminan kredit dan pasar. Jauh sebelumnya, UMKM sudah menderita akibat kenaikan harga BBM dan TDL. Pada tahun 2010, bersamaan dengan diberlakukannya China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), sektor UMKM Indonesia seperti digiring ke liang pembantaian.
Misalnya Industri batik, yang sekarang ini juga banyak dibuat oleh China, telah mengancam masa depan industri batik di dalam negeri.
Namun, cerita sedih mengenai penghancuran ekonomi rakyat belum berhenti di sini, tetapi terus berlanjut dengan keputusan pemerintah membiarkan peritel modern memasuki kampung-kampung dan pelosok-pelosok.
Sebagai perbandingan mengenai hal ini, dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, ekonomi nasional atau rakyat (UMKM) yang berjumlah 51 juta atau 99% dari total pelaku ekonomi hanya menikmati 39,8% dari PDB, sementara korporasi besar asing menikmati hingga 60,2%. Dalam hal pasar, ekonomi nasional atau ekonomi rakyat hanya menempati 20% pangsa pasar nasional, sementara korporasi besar asing dan domestik menguasai 80%.
Pasar rakyat, yang selama ini menjadi tempat bagi ekonomi mikro dan menengah memasarkan produknya, semakin terancam oleh ekspansi peritel raksasa modern, seperti Carrefour, Giant, Hypermart, 7-eleven, Circle K, Lotte Mart, dan lain-lain. Peritel modern didukung oleh modal yang lebih besar, fasilitas, tekonologi, dan ruang yang strategis, sementara pasar rakyat identik dengan kumuh, semrawut, dan bau kurang sedap.
Jika pasar rakyat hancur, maka hal itu akan membawa konsekuensi luas, yaitu, pertama, menghancurkan produsen kecil, khususnya produk petani dan usaha kecil (mikro dan menengah), dan kedua, menyulitkan konsumen klas menengah ke bawah.
Penguasaan asing terhadap perbankan
Sejak UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan di berlakukan, sebagian besar perbankan nasional sudah jatuh ke tangan asing, yaitu antara 65%-70%. UU perbankan ini, yang memperbolehkan kepemilikan asing terhadap bank lokal hingga 99%, adalah salah satu UU perbankan paling liberal di dunia.
Sebut saja, misalnya, Bank haga, Rabobank dan Hagakita (seluruh sahamnya dikuasai Rabobank Belanda, BTPN (71% sahamnya dikuasai Texas Paicific AS), Bank Permata (44,5% dikuasai Standard Chartered Inggris), SCB (seluruh sahamnya dikuasai Standard Chartered Inggris), Bank Panin (35% sahamnya dikuasai ANZ Bank Australia), BII (55,85% sahamnya dikuasai Maybank Malaysia), CIMB Niaga (60,38% sahamnya dikuasia CIMB group Malaysia), dan lain-lain.
Penguasaan asing terhadap perbankan nasional akan berdampak serius terhadap perekonomian nasional, yakni mempengaruhi aliran modal dan penyaluran kredit terhadap industri nasional.
Pada tahun 2010 ini, sebagaimana dibangga-banggakan pemerintah dan ekonom neoliberal, bahwa perbankan indonesia telah kebanjiran arus dana asing yang masuk (capital inflow), yang keberadaannya sangat bebas untuk masuk dan keluar kapan saja. Hal ini membuat cadangan devisa melonjak menjadi USD 92,75 miliar per akhir November 2010 yang bisa mencapai USD100 miliar pada akhir 2010.
Namun, tidak dapat dibantah bahwa pihak asing sudah mengusai lebih dari 60% kepemilikan di pasar modal, dan hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan ekonomi Indonesia di masa depan.
Alih-alih bahwa dana itu bisa memperkuat sektor real kita, arus dana asing itu malah berpotensi menjerumuskan perekonomian kita. Karena BI menganut sistem capital free flow, maka investor asing dapat dengan bebas mengambil keuntungan di Indonesia kapan saja.
Penumpukan utang luar negeri
Hanya lima tahun memerintah, berdasarkan catatan Buku Statistik Utang Indonesia yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), SBY berhasil menambah utang luar negeri Indonesia Rp300 triliun. Hingga bulan April 2010, total utang luar negeri Indonesia sudah menghampiri Rp2000 trilyun, atau setara dengan dua kali APBN kita.
Terakhir, bulan desember ini, SBY kembali menambah utang melalui ADB sebesar 200 juta US Dollar, dan katanya, ini akan dipergunakan untuk mendanai reformasi ekonomi di Indonesia.
Meski terjadi peningkatan utang yang sangat signifikan, tetapi pemerintah berusaha mengelak dengan menyatakan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) telah menurun, yaitu dari 89 persen menjadi 32 persen.
Ada dua hal yang perlu dibantah terkait pernyataan pemerintah di atas: Pertama, Utang luar negeri tidak bisa dibandingkan dengan PDB. Sebab, PDB tidak mencerminkan produksi Indonesia, tetapi juga ada porsi asing yang besar di dalamnya. Peningkatan PDB bukan karena naiknya produktifitas nasional, melainkan karena aktivitas perusahaan atau bisnis pihak asing. Kedua, meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, namun stock utang justru terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Ada peningkatan stock utang sekitar 30% dalam lima tahun ini.
Persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, tahun 2010 juga merupakan ‘tahun penderitaan”. Meskipun tahun-tahun sebelumnya TKI Indonesia memang sudah sangat menderita, tetapi pada tahun ini kasus kekerasan terhadap TKI telah mengundang kemarahan rakyat terhadap pemerintah.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya kita mendengar kasus Nirmala Bonat dan Siti Hajar, maka tahun ini kita mendengar nasib yang lebih tragis dari dua TKW Indonesia, yaitu Sumiati dan Kikim Komalasari.
Berdasarkan catatan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu RI), pihaknya mempunyai catatan mengenai 4.532 laporan kasus terkait tenaga kerja Indonesia (TKI) selama 2010, yang sebagian besar adalah pelanggaran kontrak, beban kerja, jam kerja, pembayaran gaji, serta pelecehan seksual.
sementara Kepala Litbang Kemenkum HAM, Prof Dr Ramly Hutabarat SH, menyampaikan kepada peserta diskusi “Hubungan Bilateral Indonesia – Malaysia”, yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP UNS, bahwa sepanjang tahun 2010 saja, terjadi 3.835 kasus penganiayaan dan 2.500 kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan TKW.
Persoalan buruh migran, sebagaimana diterangkan dengan jelas sekali oleh Lenin, adalah juga persoalan imperialisme. Negara-negara imperialis telah memobilisasi pekerja-pekerja dari dunia ketiga untuk dipekerjakan pada sektor pekerjaan ber-upah rendah di negeri kapitalis maju, sekaligus untuk mengistimewakan pekerja tertentu di negeri imperialis.
Sementara itu, akibat dari praktek neoliberalisme dalam sepuluh tahun terakhir, sebagian besar rakyat kita, di desa dan di kota, telah kehilangan pekerjaan. Akhirnya, sebagian besar diantara mereka telah direkrut dan dikirim sebagai pekerja migran. Pendek kata, neoliberalisme punya andil besar dalam mengeksploitasi pekerja migran.
Kesimpulan: Sifat kolonialisme semakin mendominasi dalam perekonomian Indonesia
Kenyataan ekonomi pada tahun 2010 ini semakin mempertegas, bahwa sebagian besar ekonomi Indonesia telah dikuasai oleh kaum kapitalis besar asing, terutama kapitalis besar dari Amerika, Eropa, dan Jepang. Penguasaan itu meliputi bagian terbesar dari perusahaan industri, perdagangan, dan keuangan: bank-bank, pabrik-pabrik, tambang2, pengangkutan, perkebunan, dsb.
Dengan dikuasainya perbankan dan pasar modal (lebih dari 60%), maka pihak asing sudah mengontrol sebagian besar kapital di dalam negeri. Dan, dengan begitu pula, maka sebagian besar keuntungan dari aktivitas ekonomi di dalam negeri telah diangkut ke negeri-negeri imperialis.
Kecuali perusahaan-perusahaan kecil, seperti industri rokok, batik, tekstil, dan kerajinan tangan, hampir semua perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional telah dipegang oleh pihak asing; a) perusahaan berteknik modern (elektronik, otomotif, dll), pabrik-pabrik besar (tekstil, garmen, makanan dan minuman, bijih besi, baja, logam, dll), perusahaan-perusahaan pertambangan (migas, batubara, emas, timah, dll). b) perusahaan alat-alat perhubungan dan telekomunikasi, seperti penerbangan, perusahaan telekomunikasi, stasiun penyiaran, dll. c) perusahaan bank dan asuransi.
Corak kolonial juga terlihat dalam penerimaan kas negara, yang sebagian besarnya didapatkan dari pajak, baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan, hampir seluruh aktivitas ekonomis rakyat telah dikenakan pajak.
Orang-orang melarat dan para penganggur, meskipun berusaha disembunyikan dengan memanipulasi angka statistik, tetapi terlihat jelas berkeliaran di kota-kota besar untuk mencari makan dan pekerjaan. Mereka tidur di trotoar, di kolong-kolong jembatan, emperan toko, dan gerobak-gerobak. Di Jakarta, ada yang disebut dengan “manusia gerobak”, yaitu orang miskin yang sudah tak punya rumah dan keluarganya tinggal di gerobak yang dibawanya kemana-mana.
Tidak salah kemudian jika ada yang menyebut bahwa tahun 2010 sebagai tahun “menuju kebangkrutan”. Meskipun akhirnya banyak perusahaan nasional yang tumbang, tetapi situasi itu telah melahirkan sentimen nasionalisme dan anti-penjajahan yang semakin kuat.

Sumber:berdikarionline.com

Monday, December 27, 2010

Catatan Akhir Tahun 2010 (Sosial Dan Budaya)

Dalam usahanya memperkuat penjajahan di bidang politik dan ekonomi, sebagaimana sudah dijelaskan dalam catatan akhir tahun sebelumnya, pihak imperialis telah berusaha keras untuk menghancurkan jiwa dan karakter bangsa Indonesia.
Dengan mengobrak-abrik kehidupan sosial dan budaya, kaum imperialis percaya bahwa bangsa Indonesia tidak punya lagi kebanggan nasional, tidak punya lagi jiwa dan karakter sebagai sebuah bangsa, dan dengan demikian, sangat mudah untuk dipecah-belah dan dihancurkan.
Perjalanan bangsa selama setahun ini, tahun 2010, membenarkan hal itu, bahwa penetrasi imperialis paling nyata juga terjadi di lapangan sosial-budaya, yang ditandai dengan semakin tergerusnya martabat dan kehormatan bangsa kita.
Memproduksi Manusia Bermental Inlander
“Pada waktu itu kaum Bumiputra diinjak, diperas dan diambil kekuatan dan uangnya. Akan tetapi, bumiputera (lebih-lebih bangsa Jawa) yang biasa membedakan orang tinggi dan rendah, memandang bangsa Belanda sebagai bangsa yang tinggi….Mulai itu, mulai belanda disangka patut dihormati,” demikian ditulis Mas Marco Kartodikromo, seorang pejuang anti-kolonial Indonesia.
Pernyataan Mas Marco ini sangat tepat menyindir manusia-manusia baru di Indonesia, terutama mereka kaum intelektual dan kalangan elit, yang suka sekali memuji-muji keunggulan barat di luar batas.
Ini juga terlihat jelas di sebagian besar elit politik kita dan kelas menengah hasil didikan barat, khususnya kaum intelektual, yang cakrawala berfikirnya sangat disesaki ketundukan terhadap apa yang disebut “keunggulan barat”.
Mereka pula yang menjadi arsitek kebijakan neoliberal di Indonesia, menjadi pembela setianya, dan sekaligus kelompok sosial yang menikmati “keuntungan” dari proyek neoliberalisme di Indonesia.
Kapitalisme dan imperialisme memang berkepentingan untuk menciptakan perasaan inferior, rendah diri, perasaan tidak mampu kepada rakyat jajahan, agar mereka tidak pernah bertindak merdeka dan bebas dari kunkungan penjajah. Anehnya, perasaan inferior ini justru sangat mudah merasuknya di kalangan sebagian intelektual, yang selama ini dianggap sebagai kelompok tercerahkan.
Mereka pula yang paling berkontribusi dalam merusak bahasa nasional kita, yaitu bahasa Indonesia, dengan meluaskan penggunaan bahasa inggris dalam alam pergaulan mereka.
Mereka pula yang paling antusias, dan atas dukungan media massa yang dikontrolnya, mengelu-ngelukan kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, presiden negeri imperialis terbesar di dunia. Pantas saja mereka begitu gegap gempita menyambut obama, karena memang “way of life” mereka adalah Amerika.
Para inlander ini pula yang banyak bekerja untuk melayani kepentingn asing, seperti di lembaga-lembaga imperialis asing (USAID, Bank Dunia, dll), LSM/NGO pro-imperialis, dan perusahaan-perusahaan asing. Bahkan, tidak sedikit diantara kaum intelektual yang menjadi juru-bicara kepentingan imperialisme di Indonesia.
Menguatnya Pertikaian SARA
Tidak cukup dengan merusak mental dan jiwa bangsa Indonesia, kaum imperialis juga berusaha menghancurkan persatuan nasional, yaitu dengan memicu pertikaian suku, agama, dan ras di berbagai tempat.
Beberapa kejadian tahun ini cukup menyakiti perasaan nasional sebagai bangsa yang berlandaskan pada “bhineka tunggal ika”. Sebut saja, diantaranya, kasus penutupan gereja di berbagai kota, penyerangan terhadap jemaat HKBP, penyerangan terhadap jemaah ahmadiyah, dan penurunan patung budha di tanjung Balai.
Kelompok radikal kanan, misalnya Front Pembela Islam (FPI), menjadi salah satu tangan yang dipergunakan kaum imperialis untuk mengusik semangat “bhineka tunggal ika”. Meskipun organisasi seperti FPI dan radikal kanan lainnya sering mempergunakan sentimen anti-asing, namun tindakan politik mereka justru merusak persatuan nasional bangsa kita.
Selain itu, kerusuhan berbau SARA juga meletus di berbagai tempat, khususnya yang terjadi di Tarakan, Kalimantan Timur. Konflik-konflik horizontal juga mewarnai perjalanan bangsa kita dalam setahun ini. Konflik-konflik horizontal ini semakin dimungkinkan karena dipanas-panasi oleh ormas-ormas reaksioner.
Pendidikan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
Meskipun persoalan putus sekolah sudah menjadi sorotan setiap tahun, namun pemerintah tetap saja tidak bisa mengatasi persoalan ini di tahun 2010 ini. Menurut catatan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010, terdapat 13 juta anak Indonesia yang terancam putus sekolah.
Anehnya, kendati pemerintah mengklaim telah menggratiskan biaya pendidikan untuk anak SD sampai SMP, tetapi kenyataannya para siswa justru dibebani begitu banyak biaya tambahan. Inilah mengapa banyak orang yang menyebut program pendidikan gratis SBY sebagai “gratis bohong-bohongan”.
Disamping itu, sampai tahun 2010 ini, masih ada siswa SD/SMP di Indonesia yang belajar dengan melantai, atau juga belajar di bawah kondisi ruangan yang buruk dan terancam roboh. Selain anggaran pendidikan yang sangat minim, situasi ini diperparah oleh praktik korupsi di dinas pendidikan.
Di tingkat pendidikan tinggi, para mahasiswa sedang berjuang keras melawan kenaikan biaya pendidikan akibat kebijakan neoliberalisme. Isu paling disoroti mahasiswa masih persoalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang isinya memang sangat berbau neoliberal.
Sudah begitu, mahasiswa juga diperhadapkan dengan pasar tenaga kerja yang fleksibel, yang ditandai dengan pemberlakuan sistim kerja kontrak dan outsourcing. Untuk diketahui, jumlah keluaran Universitas yang menganggur setiap tahunnya mencapai 60%, sedangkan yang terserap lapangan kerja hanya 37%.
Ada kecenderungan yang semakin nyata, bahwa neoliberalisme hendak mengembalikan sistim pendidikan Indonesia seperti jaman kolonialisme dulu, dimana pendidikan hanya diberikan kepada golongan tertentu dan keluarannya pun sekedar menjadi pelayan sistem yang sedang berkuasa.
Budaya Individualisme
Sementara itu, gempuran budaya asing juga menciptakan apa yang disebut oleh pelukis revolusioner, Amrus Natalsya, sebagai masyarakat “happy”. Masyarakat happy ini, sebagaimana diterangkan Amrus, dicirikan oleh kecenderungan orang berfikir untuk dirinya sendiri dan kurang memikirkan kepentingan kolektif (umum).
Jika dulu orang Indonesia dikenal dengan semangat “gotong royong” dan solidaritasnya, maka sekarang anda jangan berharap bisa menumpang di rumah orang lain ketika terhalang oleh hujan lebat. Jika dulu orang luar disambut oleh masyarakat dengan tangan terbuka dan bersahabat, maka sekarang mereka disambut dengan rasa curiga dan bermusuhan: tudingan teroris, pengacau keamanan, dan sebagainya.
Ada banyak kejadian mengharukan di tahun 2010 ini, seperti ibu yang rela membunuh anaknya, bunuh diri secara mengenaskan, dan lain sebagainya, menjelaskan bahwa solidaritas dan kerjasama di kalangan rakyat sudah menipis. Beban seorang tetangga tidak lagi dirasa sebagai beban kita pula.
Budaya individualisme, terutama sekali, dipasokkan dan disebarluaskan oleh kalangan atas dan klas menengah. Mereka suka berkumpul dan berasosiasi berdasarkan hobby dan kesenangan mereka, sangat jarang asosiasi atau acara kumpul-kumpul sebagai sesama tetangga atau warga masyarakat.
Konsumerisme, misalnya, sangat berperan dalam menghancurkan budaya solidaritas, dan memaksakan setiap individu untuk memaksakan pencarian sumber-sumber keuangan untuk menopang belanjanya. Orang dipaksa dengan biaya hidup dan konsumsi yang tinggi, entah dengan utang ataupun menjual diri, sehingga berdampak pada kerusakan moral dan nilai kolektivitas.
Jika dicermati dalam laporan perbankan, kredit konsumsi malah tumbuh lebih pesat dibandingkan kredit modal kerja (KMK), dimana kredit konsumsi tumbuh 22,7% sedangkan kredit modal kerja hanya 20,1%. Ini dapat diartikan pula, bahwa orang indonesia lebih suka makan dan belanja ketimbang berproduksi.
Gempuran kebudayaan imperialis, terutama melalui iklan hingga film-filmnya, telah membius ratusan juta kaum muda kita, sehingga di kepala mereka hanya soal bagaimana berbelanja dan mengkonsumsi barang-barang terbaru.
Mereka bukan saja menciptakan ketergantungan rakyat terhadap barang impor dari negeri imperialis, lalu menghancurkan perekonomian nasional, tetapi juga membuat kebudayaan rakyat kita menjadi tidak produktif.
Perkembangan Olahraga
Praktek neoliberalisme, yang menghendaki segalanya membawa keuntungan (profit), turut berkontribusi negatif terhadap prestasi olahraga nasional, disamping karena praktik korupsi dan nepotisme di kubu pengurus cabang olahraga.
Di ajang perhelatan akbar Asian Games XVI di Guangzhou, Tiongkok, kontingen Indonesia hanya membawa pulang empat medali emas, sembilan perak, dan 13 perunggu. Ironisnya lagi, tiga dari empat emas Indonesia berasal dari cabang perahu naga yang sempat nyaris tidak diberangkatkan. Hasil ini sangat jauh dibawah prestasi negara tetangga, Malaysia dan Thailand.
Cabang Bulu tangkis, yang dulu pernah mengantarkan nama Indonesia di panggung internasional, juga sudah merosot. Di ajang piala Thomas 2010 di Malaysia, bulan Mei lalu, Indonesia gagal meraih juara setelah dikandaskan oleh Tiongkok dengan skor telak:0-3.
Meski begitu, Indonesia boleh tersenyum dengan prestasi pemuda-pemudi Indonesia di cabang olahraga angkat besi, yang berhasil menyumbangkan medali emas dalam kejuaraan dunia dan medali perak di Asian Games XVI.
Dan, setitik harapan kini sedang ditunggu-tunggu bangsa Indonesia dari ajang sepak bola di piala AFF Zuzuki 2010, dimana sekarang ini Indonesia sedang berlaga di final melawan Malaysia. Keperkasaan Indonesia di laga awal bukan saja menaikkan optimisme kebangkitan sepak bola, tetapi juga membangkitkan kembali “nasionalisme Indonesia” yang sedang terpuruk.
Sayang sekali, dalam laga pertama final piala AFF di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, kesebalasan Indonesia ditekuk 0-3. Sebagian orang menganggap bahwa kekalahan ini akan mengakhiri efhouria nasionalisme, sementara yang lain memaki-maki politik pencitraan dan gaya bombastis media dalam menceritakan Timnas.
Namun, satu hal yang tidak dapat ditutupi, bahwa rakyat Indonesia sangat merindukan sebuah prestasi, bukan saja untuk mengangkat nama baik persepak-bolaan Indonesia tetapi juga untuk menyakinkan bahwa bangsa Indonesia masih bisa bangkit.
Perkembangan Seni-Budaya
Berita mengenai kriminalisasi KPK telah menyulut kemarahan rakyat di mana-mana, termasuk para pekerja seni. Mengawali tahun 2010, kaum seniman berpartisipasi dalam berbagai panggung seni mengecam korupsi dan menuntut skandal bank century segera dituntaskan.
Slank, salah satu group musik yang paling tegas menentang korupsi, mendapat cekal dari pihak berwajib dan baru dibolehkan konser pasca tanggal 2 Januari 2010. Sementara di bulan Februari, pemusik balada Indonesia, Iwan Fals, menggelar konser bertajuk “keseimbangan”, yang tidak lain dan tidak bukan juga merupakan judul album yang diluncurkannya.
Pada bulan Mei 2010, dunia perfilm-an Indonesia menghasilkan karya yang cukup inspiratif, yaitu film ‘Indonesia Tanah Air Beta, yang dikaryakan oleh Ari Sihasale. Film ini menceritakan kehidupan sosial-politik masyarakat pro-NKRI pasca referendum di perbatasan Indonesia-Timor Leste tahun 1999.
Kemudian, sutradara muda Hanung Bramangtyo memproduksi film berjudul “Sang Pencerah”, yang menceritakan perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam melakukan reformasi di dalam islam.
Dan, pada bulan Agustus, film kedua dari trilogi Merdeka, yaitu “Darah Garuda” diluncurkan menjelang peringatan HUT Kemerdekaan, sekaligus menjadi film perjuangan satu-satunya dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun begitu, jumlah film-film yang berbicara patriotisme, nasionalisme, ataupun kemanusiaan masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan film-film yang merusak mental dan karakter bangsa kita; film porno, film horor, film percintaan, dan lain sebagainya.
Film, lagu-lagu, majalah, tarian-tarian masih didominasi oleh kebudayaan imperialis, yang bersifat cabul, membodohi, dan merusak moral rakyat. Lihatlah bagaimana kasus video porno Ariel dan Luna Maya mendominasi pembicaraan sepanjang tahun ini.
Kemudian, akibat kehancuran karakter dan mental bangsa kita, karya-karya yang tidak mempunyai mutu sama sekali, seperti Sinta-Jojo dengan “Keong Racun-nya”, bisa meluncur cepat menjadi selebriti.
Begitu pula dengan film yang sangat melecehkan nasionalisme dan patriotisme pahlawan, yaitu “Laskar Pemimpi”, menjelaskan betapa rendah nasionalisme dan tidak bermutunya gagasan pekerja film. Mereka menggunakan segala macam cara untuk mencari popularitas, termasuk dengan melecehkan perjuangan bangsa.
Pada bulan Agustus, para pekerja seni yang tergabung dalam Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) menggelar festival kemerdekaan, yang berlangsung selama sebulan penuh. Acara diiisi dengan diskusi, pameran lukisan, pementasan seni, pemutaran film, dan pengumpulan karya tulis mengenai perjuangan kemerdekaan.
Sampai akhir tahun 2010 ini, lapangan seni dan budaya kita masih terdominasi oleh kebudayaan asing, yang pada umumnya menawarkan apatisme, nihilisme, eksistensialisme, dan individualisme.
Sementara kebudayaan nasional, yang kata Pramoedya Ananta Toer, berakar pada kebudayaan daerah dan media baru yang diberikan dunia modern, semakin tersingkirkan dari panggung kebudayaan. Tidak seluruhnya memang, karena masih ada pekerja budaya yang tetap berjuang keras menyelamatkan kebudayaan rakyat ini.
Karya-karya literatur juga mengalami perkembangan signifikan, terutama penerbitan literatur progressif revolusioner. Orang dengan mudah dapat menerbitkan buku sekarang ini, bahkan temanya pun cenderung dilonggarkan.
Apalagi, sebagai hasil perjuangan keras para penulis dan intelektual progressif, maka Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963 yang memberikan kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku, telah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK).
Kesimpulan: Penghancuran sosial-budaya untuk menaklukkan bangsa
Untuk melapangkan jalan penjajahan, neoliberalisme telah menargetkan penghancuran terhadap kehidupan sosial dan budaya.
Di lapangan kehidupan sosial, neoliberalisme telah mengubah masyarakat menjadi atom-atom yang terpisah satu sama lain, yang merasakan demoralisasi dan secara sosial tidak berdaya.
Di tengah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang sangat lebar, masyarakat yang sudah tidak berdaya ini dikonflikkan satu sama lain, bahkan terkadang dengan membakar sentimen etnis, pribumi dan pendatang, agama, dan lain-lain.
Kesemuanya ini menjelaskan kepada kita, bahwa neoliberalisme bukan sekedar ideologi tentang penjarahan sumber daya alam dan pemiskinan, tetapi juga sebuah ideologi yang mengubah manusia menjadi “pasif, nihilis, dan tidak berdaya”. Masyarakat yang terfragmentasi ini, pada gilirannya, akan sulit mengejar kepentingan-kepentingan sosialnya, apalagi berbicara soal kepentingan nasionalnya.
Untuk menjajah jiwa dan kepribadian, Neoliberalisme memiliki sebuah pedang dengan kedua sisinya yang sangat tajam; individualisme dan konsumtivisme. Individualisme disebarkan melalui pola dan gaya hidup, dan metode fragmentasi sosial; proses penghancuran bentuk-bentuk kolektifisme dan komunalitas. Konsumtifisme juga demikian, dia menyerang sel-sel otak kira bagaikan virus mematikan.
Dengan demikian, terjadilah seperti apa yang dikatakan ahli linguistik Amerika, Noam Chomsky, bahwa neoliberalisme menciptakan manusia seperti kawanan gembala yang dapat dibawa kemanapun.
Dengan demikian, kami dapat menyimpulkan bahwa penghancuran sosial-budaya merupakan bagian dari proyek “penghancuran bangsa”, dan demikian, para kolonialis merasa yakin untuk berkuasa lebih lama lagi.

Sumber:berdikarionline

Wednesday, September 15, 2010

Situasi Nasional- Pendidikan

1.Rakyat Miskin (Dilarang) Pintar.
Setelah di bom atom---yang menimbulkan kerusakan dan kehancuran berat---Jepang mencoba untuk membangun kembali negaranya, salah satu variabel yang menjadi modal utama dan optimisme mereka adalah pendidikan. Jepang kemudian mengirim pemuda dan pemudinya belajar keluar negeri untuk mempelajari tekhnologi modern dengan biaya pemerintah, didalam negeri pemerintah Jepang mengutamakan pembangunan fasilitas Pendidikan dan memberi porsi anggaran yang besar untuk sektor pendidikan. Itulah kenapa Jepang bisa bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa negara maju. Sangat beda halnya dengan kenyataan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, alih-alih untuk memajukan sektor pendidikannya malah pendidikan komersialisasikan dan dibiarkan dikuasai oleh Nafsu mengakumulasi modal(Baca; Kapitalisme).
Di bawah Pemerintahan Neoliberal nasib dunia pendidikan Indonesia sungguh sangat dramatis, pendidikan nasional sebagai salah satu variabel untuk memajukan pendidikan justru di jadikan lahan akumulasi modal(pendidikan Layaknya komoditi yang siap di perdagangkan). Problem utama pendidikan saat ini bisa di simpulkan menjadi (1) Biaya Pendidikan yang semakin Mahal; lihat bagaimana mahalnya biaya sekolah di RSBI atau SBI. Dalam kesepakatan pemerintah dan DPR untuk 2007 dana yang dianggarkan untuk sektor pendidikan hanya Rp.51.3 Trilyun atau 10,3% dari total APBN, hanya Naik sedikit dari tahun 2006 sebesar Rp. 36,7 Trilyun atau 9,1 % dari APBN. Sedangkan alokasi anggaran pendidikan dari tahun 2006 sampai 2009 adalah sebesar 210 trilyun dan pada 2010 anggaran pendidikan berubah meningkat menjadi Rp221,4 triliun dan pada APBN-P 2010 menjadi 225,299 trilliun, sebuah angka yang tidak sedikit memang bila di banding dengan APBN sebelumnya. Namun dari total anggaran tersebut, 70 persennya lebih banyak untuk menggaji guru. Dan hanya tersisa 15 persen untuk kebutuhan peningkatan sarana infrastruktur pendidikan. Demikian dikatakan oleh Muhammad Nuh, Mendiknas KIB II pada 23 Juni 2010 di Jakarta. Dalam pernyataannya, disinggung juga tentang pendapatan negera bukan pajak yang berasal dari SPP Perguruan Tinggi hanya 8 trilliun, ini sangat berpotensi untuk dinaikkan perolehannya melalui kenaikan SPP.
Menurut data Balitbang Depdiknas tahun 2003, murid SD dan madrasah ibtidaiyah (MI)-negeri dan swasta-berjumlah 25.918.898 orang dan murid SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs)-negeri dan swasta-berjumlah 7.864.002 orang. Jadi, jumlahnya adalah 33.782.900 orang. Dari jumlah itu akhirnya yang putus sekolah dan berhenti tamat SD ada 56,2 persen dan yang hanya tamat SMP 16,65 persen. Jadi, putus sekolah dalam wajib belajar 62,67 persen. Penyebab Utama mereka untuk putus sekolah karena faktor ekonomi orang tuanya(baca; Miskin), Meskipun Pemerintah memberikan beasiswa, memilih 9,6 juta dari 33,78 juta orang bukan pekerjaan gampang, apalagi yang miskin jumlahnya 21,16 juta. Memberikan beasiswa hanya kepada sebagian kecil orang miskin sia-sia saja. Lebih baik adalah sekolah gratis kepada seluruh siswa wajib belajar (SD-SMP-SMA). Data sensus tahun 2003 menampilkan gambaran bahwa penduduk berusia 10 tahun ke atas terdiri atas 8,5 persen tak masuk SD, 23,0 persen drop out SD, dan 33,0 persen hanya tamat SD, atau penduduk berpendidikan SD ke bawah 64,5 persen. Yang bisa menamatkan SMP dan dilanjutkan ke SMA hanya 16,8 persen. Dari 42 juta usia belajar, wajib belajar hanya mencapai 32,9 persen, atau gagal 64,5 persen. Maknanya apa? Bahwa 62 tahun Indonesia merdeka Rakyat Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan lebih banyak ketimbang yang bisa menikmati pendidikan. Ini tidak ada perkembangan yang significant paska politik etis.
Untuk daerah DKI Jakarta, untuk menyekolahkan anak di TK-SD orang tua mesti mengeluarkan biaya kira-kira ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Untuk SMP dan SMA lebih parah lagi harus mengeluarkan Jutaan rupiah, untuk sekolah tipe –Unggulan biaya yang dikeluarkan bisa puluhan juta. Sedangkan bagi orang tua untuk mengirimkan anaknya di bangku perguruan tinggi/Universitas harus piker-pikir dulu, karena untuk biaya pangkal saja minimal 1- sampai 3 Juta, untuk jurusan elit seperti kedokteran bisa mengeluarkan puluhan sampai ratusan juta. Ini sangat bertentangan dengan realitas bahwa menurut data resmi yang diluncurkan Bank Dunia hasil studi tentang kemiskinan di Indonesia (Kompas, 11 Desember 2006) estimasi jumlah orang miskin hampir 109 juta (49 persen) dari total penduduk Indonesia dengan indicator pendapatan 2 Dollar perhari. Jika di hitung secara matematis maka di dapatkan data ada sekitar 109 juta orang dengan pendapatan 30 × 2 US$(18.000)=Rp.540.000 per bulan harus menanggung biaya pendidikan yang berkisar 1 sampai ratusan juta rupiah.
Problem ke(2) adalah infrastruktur/fasilitas pendidikan yang sangat minim; jumlah TK-SD,SMP,SMA dan perguruan tinggi belum memenuhi kapasitas peserta didik di Indonesia. Banyak sekolah-sekolah yang ruangnya di pakai secara bergiliran, bahkan di beberapa daerah klas-klasnya di gabung padahal ini sangat tidak efektif untuk proses belajar mengajar. Selain itu keterbatasan infrastruktur ini semakin di perparah dengan kenyataan bahwa infrastruktur ini banyak yang ber-usia sudah tua dan tidak layak pakai. Sebagai contoh kejadian di Serang, Banten sebuah bangunan sekolah ambruk karena hujan terus menerus selama tiga hari. Maka tidak heran kondisi mengenaskan dari bangunan sekolah-sekolah ini menjadi kekhwatiran dari para guru, murid, dan orang tua murid sehingga sering berbuntut protes terbuka seperti kejadian pada peringatan hari pendidikan Nasional tahun 2006 di Stadion Manahan(Solo) yang membuat Yusuf Kalla ngomel-ngomel.Belum kalah mirisnya, terkadang bangunan sekolah yang terbatas ini di robohkan, (sengaja) ditutup karena arealnya mau dijadikan lahan untuk pembangunan Mall, perkantoran, atau karena komflik lahan dengan pihak swasta. Pemerintah yang mestinya berdiri melindungi kepentingan sekolah justru lepas tangan dan membiarkan hal tersebut terjadi.
Infrastruktur/fasilitas juga terkait dengan fasilitas laboratorium, buku-buku pelajaran, sarana olahraga, sarana kesenian, tempat ibadah, kantin, pusat bahasa, perpustakaan, Internet, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah unggulan di Jakarta yang (ber-status Internasional) manpu menyediakan fasilitas ini secara lengkap Namun problemnya hanya bisa di akses orang-orang kaya ( Anak pengusaha, Pejabat, selebriti).
Problem ke(3) adalah Kurikulum, system pendidikan dan pelembagaannya. Semasa orde baru kurikulum pendidikan di arahkan untuk kepentingan mendukung ideologis penguasa, lembaga pendidikan di control ketat oleh pemerintah. Namun di bawah pemerintahan SBY-JK pendidikan justru di arahkan untuk kepentingan Neoliberalisme; kurikulum pendidikan sama sekali tidak berkualitas (beberapa masih sesuai dengan kepentingan orde baru seperti pencantuman kata “PKI” dalam buku pelajaran sangat tidak sesuai dengan semangat reformasi), pendidikan di arahkan untuk kepentingan neoliberalisme. Kurikulum berbasis kompetensi-pun tidak mengangkat pendidikan menjadi ilmiah dan demokratis, malah aspek kekerasan buah dari hubungan sub-ordinat subjek –Objek masih terus terjadi seperti kematian siswa akibat penganiayaan oleh gurunya, atau kasus penganiayaan di IPDN. menurut Dave Meier - seorang pakar accelerated learning - Sekolah saat ini kadang-kadang mencekik dan melumpuhkan orang dan merenggut kegembiraan belajar anak didik, sehingga dapat menghalangi mereka mengasah pikiran dan mewujudkan potensi sepenuhnya. Tentu kita tidak mau anak-anak kita menjadi tumpul potensinya, dan juga tidak mau jika melihat potensi anak-anak kita mati sia-sia karena harus mempelajari yang bukan minatnya
Persoalan lainnya adalah kesejahteraan guru yang sangat minim, gaji seorang guru belum memenuhi standar hidup laya keluarganya(kebutuhan ekonomi keluarga), sehingga tidak jarang guru-guru terlibat kerja sampingan( buka usaha, jadi tukang ojek, dan lain-lain), dan ini sangat mengganggu konsentrasinya untuk mengajar. Tidak ada upaya pemerintah menambah kualitas tenaga pengajar dengan memberikan beasiswa untuk untuk melanjutkan kuliah. Di media massa seringkali kita mendengan nasib memprihatinkan dari guru-guru, seperti kasus di Mandar, Sulawesi barat seorang guru harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer lebih untuk menghemat ongkos daripada naik angkot atau ojek(Koran SINDO). Nasib ratusan ribu guru kontrak di Indonesia sekaligus kenyataan bagaimana kondisi perbudakan modern yang di jalankan pemerintah, yang kemudian dalam beberapa kasus seperti kegagalan Ujian Nasional(Unas) kelompok inilah(guru Bantu dan guru kontrak) yang banyak di salahkan. Bagaiamana mungkin mereka bisa memaksimalkan kinerjanya kalau statusnya saja tidak jelas, apalagi kesejahteraannya.
Untuk mencari muka mendorong pendidikan nasional, sejak jaman orde baru sudah di canangkan wajib belajar 9 tahun, tetapi sama sekali tidak manpu mengurangi jumlah orng putus sekolah atau memberantas buta huruf. Penyebabnya Wajib belajar ala Indonesia tidak identik dengan wajib belajar (compulsory education) seperti yang dipersepsi oleh negara-negara maju, yang secara ekonomis telah lebih makmur. Dalam pengertian negara maju, compulsory education mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; (2) pemerintah menggratiskan sekolah(SD,SMP,SMA); (3) tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tiadanya orangtua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah; dan (4) ada sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.
Masih ada program dana Biaya Operasional Pendidikan(BOS) tetapi hitung-hitung manfaat dari program ini, malah banyak di selewengkan(baca; dikorupsi) oleh pihak kepala sekolah dan birokrasi Depdiknas. Kalaupun ada yang sampai ketangan sekolah itupun banyak yang salah sasaran, mestinya mengurangi biaya yang di keluarkan siswa/orang tua siswa malah dana BOS dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak pokok; menge-Cat dinding sekolah, memperbaiki pagar dan gerbang sekolah dan lain-lain. Program MDG,S yang juga di jalankan oleh SBY-Kalla tidak manpu mengankat martabat pendidikan nasional, hanyalah sebuah tipuan antara SBY-Kalla dan Tuannya(Modal Internasional).
2. Neoliberalisme di Lembaga Universitas
Lembaga Universitas Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami perubahan fundamental, seiring dengan di berlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dari 4 kampus percobaan( UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Univ, Airlangga(Unair), Univ Diponegoro(Undip), dan Univ Sumatra Utara(USU), dan untuk tahun 2007 jumlah Perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa lembaga Unversitas di Indonesia mulai mengarah pada privatisasi Kampus(Neoliberalisme). Semakin agressifnya ingin menjadikan kampus-kampus di Indonesia sebagai lahan akumulasi modal maka pemerintah dan DPR pun memaksakan penegsahan RUU BHP-Badan Hukum Pendidikan.
Komersialisasi pendidikan Universitas meskipun belum berjalan sepenuhnya namun dampaknya sudah sedemikian buruknya. Pada tahun 1999(awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee(untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri(PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik ---bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada(UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik(SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Argumentasi dari pendukung neoliberal bahwa biaya pendidikan sebesar itu di peruntukkan untuk kualitas pendidikan agar mengikuti standar internasional(syarat memasuki free trade). Sehingga keterlibatan swasta, atau para pemodal dalam lingkup kampus adalah untuk menolong pembiayaan kampus(konsep Otonomi Kampus) bukan lagi mengandalkan subsidi pemerintah. Mari kita lihat kebenaran argumentasi tersebut? Akibat pemberlakuan uang masuk(Biaya pendidikan) yang mahal maka bisa di pastikan bahwa banyak orang-orang yang secara IQ cerdas namun karena tidak mampu membayar sehingga tidak di terima di PTN. Pemberlakuan jalur khusus(dengan biaya puluhan juta hingga ratusan) justru lahan subur nepotisme, hanya anak-anak orang kaya yang belum tentu kualitasnya bagus masuk ke dalam PTN. Universitas seperti UGM hanya menempati urutan 77 dari 77 Universitas di kawasan Asia-Australia, apalagi universitas-universitaslain yang hanya mengandalkan “Papan nama” harus bersaing dalam kompetisi global.
Dalam persoalan fasilitas setelah BHMN juga tidak ada perubahan, di UGM mahasiswa masih memiliki problem dengan ruangan kelas yang terbatas sehingga harus berdesak-desakan. Di beberapa kampus memang di bangun fasilitas seperti jasa Internet M-Web, atau pembangun Toko buku(gramedia,dll) tetapi harganya susah di akses oleh semua mahasiswa terutama dari klas menengah kebawah. Di kampus Universitas Hasanuddin(Makassar) setelah BHMN di lakukan renovasi dan pembangunan fasilitas besar-besaran(satelit, Bis Kampus, AC untuk tiap ruangan, kamera CCTV) tetapi semua fasilitas ini harus di bayar mahal oleh mahasiswa dengan mengbengkaknya biaya pendidikan SPP dan lain-lain, belum lagi untuk mengakses fasilitas tersebut harus membayar Fee—dengan kedok biaya penelitian.
Korporasi yang merambah kampus sekarang bukan hanya dalam bentuk penempatan orang di Majelis Wali Amanat(MWA), tetapi juga pembentukan Unit Komersil yang berada di bawah naungan WMA. Di berbagai PTN/bahkan PTS di Indonesia kita bisa menjumpai minimarket (semisal Alfamart), layanan Bank dan ATM-nya(BNI, BCA, Mandiri), Jasa komersil internet-an, Mc. Donald, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas kampus yang di bangun dengan dana mahasiswa dan Subsidi pemerintah( Pajak Masyarakat) justru kini di komersilkan seperti Aula, Gelanggang Olahraga, asrama mahasiswa, hingga perpustakaan. Gedung alumni IPB lebih sering di pakai untuk seminar umum ketimbang di pergunakan oleh mahasiswa, Baruga AP Pettarani(Auditorium UNhas) lebih sering dipergunakan oleh pihak luar untuk acara-acara seminar, pernikahan, dan lain-lain ketimbang di manfaatkan mahasiswa.
Ancaman terbesar mahasiswa saat ini (selain UU Sisdiknas, PP Nomor 61/Tahun 1999 yang sudah berlaku) adalah pengesahan RUU-BHP, Alih-alih menjadi lembaga universitas menjadi mandiri secara finasial. Justru semangat utama RUU-BHP adalah swastanisasi dan Komersialisasi pendidikan, pendidikan akan berubah menjadi bahan dagangan yang tidak lagi menitikberatkan kualitas. Dalam RUU BHP antara lain disebutkan kepemilikan PTS oleh yayasan, perorangan, atau badan hukum maksimal memiliki saham 35 persen dan sisanya "dijual" kepada masyarakat yang berminat. Memang tidak adalagi kesenjangan swasta dan PTN tetapi kenyataannya adalah bahwa pendidikan semakin mahal dan susah di jangkau oleh warga masyarakat. semua kebijakan ini hanyalah pelaksanaan dari kebijakan World Trade Organization(WTO) yakni General Agreement on Trade and Service(GATS), sebuah aturan pemaksaaan bagi Negara-negara dunia ketiga untuk meliberalkan sector pendidikan, dan sekaligus membuka kampus untuk para pemodal menanamkan modalnya.
Jelaslah bahwa biaya pendidikan yang semakin mahal semakin menghalangi keinginan lulusan SMA dari klas menengah dan bawah untuk mengandalkan otak dan prestasi akademiknya karena itu tidak di hargai dalam kampus neoliberal. Akibatnya jumlah orang yang kuliah di Universitas terus menerus turun, lihat saja untuk tahun 2003 hanya 10% dari penduduk usia mengenyam pendidikan Perguruan tinggi yang bisa mengenyam pendidikan. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Van Hoof & Van Wieringen (1986)mengatakan dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat."
Perubahan struktur ekonomi-politik kampus kea rah neoliberalisme, telah merubah paradigma pendidikan kapitalisme bukan hanya sekedar sebagai penyedia robot-root untuk industri, menyediakan riset, media transmisi ideology Negara tetapi di jaman sekarang(baca; Neoliberalisme) kampus telah menjelma sekaligu tidak ubahnya pasar. Dimana hanya orang-orang yang memiliki kesanggupan daya beli-lah yang bisa mengaksesnya, sedangkan orang-orang miskin cukup melihat-lihat dari luar.
Selain persoalan biaya pendidikan yang semakin mahal(komersialisasi) akibat utama reformasi neoliberalisme di perguruan tinggi adalah kurikulum yang sangat mengabdi kepada pasar tenaga kerja(Labour Market). Dalam kasus BHMN kampus telah berubah status menjadi reserarh University(dulu di cetuskan di jerman Untuk mendukung pemerintahan NAZI melakukan penemuan baru dalam persenjataan). Yang salah dari konsep ini penemuan technology dan IPTEK bukan di peruntukkan untuk kepentingan seluruh umat manusia, tetapi nantinya akan di kuasai oleh Korporasi Asing dalam bentuk Hak Cipta dan hak paten. Selain itu pendidikan di Universitas akan menjalin kerjasama dengan korporasi-korporasi dengan pola Link and Match atau pola magang di korporasi untuk ketersediaan tenaga professional. Jelas status BHMN tidak menghasilkan kualitas seperti yang dimitoskan, malah status ini menjerat pendidikan sekedar mesin penjaga kestabilan akumulasi modal dalam alam kapitalisme. Hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial,
seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT. Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi.
Imbas lain dari BHMN-isasi ini adalah persoalan tatahubungan kelembagaan dalam Universitas yang tidak demokratis, penyebabnya posisi lembaga mahasiswa tidak sederajat dengan birokrasi kampus. Status Badan Hukum telah merubah wajah kampus menjadi anti Unionisme(serikat mahasiswa),di berbagai kampus yang menjalankan Badan hukum ini sangat anti dengan aktivitas gerakan mahasiswa. Di UI tahun 1990/2000 dilakukan DO/skorsing terhadap mahasiswa kritis, di Universitas hasanuddin hal yang sama juga dilakukan terhadap mahasiswa(Korbannya si penulis Makalah ini), di USU, dan berbagai kampus di Indonesia. Penyempitan ruang demokrasi bagi mahasiswa untuk melakukan aktivitas kemahasiswaan(kecuali untuk minat dan bakat/UKM) hampir terjadi dimana-mana. Di IKIP Mataram protes mahasiswa karena keluarnya kebijakan yang tidak melibatkan mahasiswa memakan korban mahasiswa (Ridwansyah, tewas terbunuh oleh preman yang dibayar rektorat). Di berbagai kampus di keluarkan kebijakan pelarangan melakukan aktivitas mimbar bebas, melakukan diskusi, pelarangan mengedarkan selebaran, bahkan pelarangan berorganisasi(terutama organisasi radikal).
3. Neoliberalisme Anti Kemajuan Pendidikan Nasional (Sumber Daya Manusia Yang berkualitas-Modern-Kerakyatan).
Kebohongan Pemerintah dengan realisasi anggaran 20 % dalam APBN adalah bukti bahwa Pemerintah tidak punya itikad baik untuk memajukan pendidikan nasional, ini sangat beda dengan komitmen seorang Bupati Jembrana yang berani menggratiskan Pendidikan di daerahnya kendati Jembrana bukanlah kategoti daerah ber-pendapatan Asli Daerah(PAD) tinggi. Upaya memaksakan pemberlakuan UU BHP-sebagai implementasi dari kehendak WTO dalam General Agreement On Trade and Service(GATS) adalah bukti persekongkolan pemerintahan dan DPR untuk mendorong pendidikan kearah Liberalisasi dan privatisasi. Pendidikan nasional terus di remehkan, di hilangkan watak ilmiahnya, dan rasionalitasnya semakin terjebak dalam pragmatisme korporasi-korporasi. Di bawah panji-panji neoliberalisme Universitas dipaksa mencari sumber pendanaan sendiri, anggaran pendidikan dari pemerintah semakin di perkecil bahkan coba untuk dihilangkan. Data dari PBB dan Bank Dunia menunjukkan bahwa dana untuk mencapai target pendidikan dasar secara global memerlukan US$ 8 milyar dolar setiap tahunnya, atau setara dengan dana untuk kegiatan militer secara global selama 4 hari saja. Dalam setahun, kegiatan militer global menghabiskan biaya sebesar US$ 780 milyar, atau US$25 ribu per detik. Mengingat fakta ini, patut dipertanyakan, apakah memang terhambatnya pendidikan lebih dikarenakan kurangnya sumber dana atau tidak adanya kemauan politik dari negara-negara dunia, khususnya negara-negara utara yang telah memberikan komitmennya untuk mengalokasikan dana hibah yang lebih besar bagi pendidikan di negara-negara berkembang?

Pemerintah mencoba menutupi kebohongannya dengan sejumlah ilusi baru; misalnya pemberian beasiswa kepada aktivis mahasiswa, kemudahan untuk beasiswa luarnegeri, program bantuan untuk penyelesaian study, dan lain-lain. Namun program tersebut tidak sanggup menghentikan kesenjangan sosial dalam memperoleh pendidikan layak dan berkualitas, tetap saja orang miskin tidak tertolong. Sementara itu, Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Sofian Effendi mengingatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN itu tidak berpengaruh banyak pada biaya pendidikan tinggi. Biaya pendidikan tinggi tidak serta merta akan murah. Dengan asumsi total APBN mencapai 550 sampai 660 trilyun rupiah, maka anggaran 20 persen itu sama dengan 120 trilyun rupiah. Dari jumlah tersebut, perguruan tinggi diperkirakan mendapat 20 persen atau sekitar 24 trilyun rupiah. Dana itu harus digunakan untuk seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta dengan total mahasiswa sekitar 4 juta orang. Padahal, kata Sofian seperti ditulis Media Indonesia (3/4), anggaran mahasiswa standar nasional untuk Strata Satu adalah 18,1 juta rupiah per mahasiswa per tahun, atau sama dengan 72 trilyun pertahun. Dengan demikian, anggaran yang ditetapkan MK pun tidak mencapai standar nasional. Dan tidak bia diharapkan akan menurunkan biaya pendidikan tinggi.
Dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.
Jika Mau sebenarnya Pemerintah bisa menggratiskan pendidikan, selama ini Anggaran negara banyak di hambur-hamburkan untuk sektor yang bukan kebutuhan mendesak (darurat) Rakyat. Selain itu, pemerintah dapat menggenjot penerimaan negara dari sektor MIGAS. Sektor MIGAS selama ini menyumbang tak lebih dari 25% APBN. Pada APBN-P 2010, pendapatnya hanya 164,716 trilliun. Sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan pendapatan pajak yang membebani rakyat Indonesia, yakni sebesar 743,428 trilliun dimana 720,764 trilliunnya merupakan penerimaan pajak dari dalam negeri.

Porsi APBN untuk membayar hutang luar negeri masih sangat besar, (contoh untuk tahun 2005) alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Bayangkan untuk total anggaran yang direncakan pemerintah dari tahun 2006-hingga 2009 yang hanya sebesar 210 trilyun. Selama ini perangkat Hutang telah di jadikan jerat/debt Trap bagi negara-negara selatan (baca;negara miskin) Karena itu sangatlah tepat thesis yang mengatakan bahwa utang merupakan instrumen utama yang digunakan imperialis untuk mempertahankan akses bahan baku murah di negara lain, terutama negara-negara berkembang. Untuk menutupi hutangnya kepada negara-negara maju, negara-negara berkembang tersebut saling berlomba memacu ekspornya ke negara- negara maju. Akibatnya terjadi kejenuhan pasar, sehingga harga komoditas tersebut semakin tertekan yang berdampak pada penurunan pendapatan produsen (misalnya, petani) di negara berkembang. Sementara negara-negara maju yang terletak di belahan utara menikmati surplus dan produk harga murah dari negara berkembang.

Janji-janji bohong Pemerintah SBY-Boediono untuk menggratiskan pendidikan hanyalah sebahagian kecil bukti bagi kita untuk membuktikan bahwa pemerintahan ini tidak akan mau mencerdaskan kehidupan bangsa. Partai-partai borjuis yang kini berkuasa diparlemen dan tidak berjuang mencabut/menolak keberadaan UU/RUU yang berbau Komersialisasi/Privatisasi seperti UU sisdiknas No. 20 tahun 2003, PP nomor 61/tahun 1999, RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. RPP ini tidak membicarakan tentang tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, dan RPP Wajib Belajar yang tidak konsisten dari pemerintah(mengharuskan wajib belajar tetapi tidak menciptakan syarat-syaratnya).

4. Perlawanan Terhadap Upaya Meng-Komersialisasikan Pendidikan
Perubahan status BHMN di berbagai kampus negeri mendapat penolakan mahasiswa, di UI mahasiswa yang menolak di kenakan DO/skorsing, di Universitas hasanuddin juga dilakukan D.O/Skorsing terhadap aktivis mahasiswa yang menolak BHP, bahkan pembekuan lembaga kemahasiswaan yang ber-posisi menolak kebijakan rektorat. Di USU ketua Presiden Mahasiswa USU di D.O karena berupaya membongkar kasus korupsi rector USU. Di Universitas Sam Ratulangi(Unsrat) Manado sosialisasi BHP di gagalkan oleh aksi spontan mahasiswa, karena Unsrat juga di prediksikan akan mengarah ke BHMN. Naiknya biaya pendidikan telah menimbulkan perlawanan dari massa mahasiswa, di UGM aksi mahasiswa mendapat dukungan dari tenaga pengajar(dosen), demikian pula di Unsrat Manado aksi mahasiswa mendapat sokongan penuh dari tenaga pengajar. Kejadian serupa juga pernah terjadi di kampus UPN (Surabaya), Unila(Lampung), Univ.Udayana(Bali) dan beberapa kampus lainnya di Indonesia.
Catatan untuk perlawanan mahasiswa dan (sedikit) tenaga pengajar(dosen) ini adalah bahwa(1) perlawanan ini masih relatif kecil, belum melibatkan massa luas mahasiswa padahal persoalan biaya pendidikan adalah kepentingan mayoritas mahasiswa.(2) perlawanan ini masih ber-sifat lokalis dan spontan, tidak ada jaringan antar kampus yang mengkoordinasikan perlawanan mahasiswa. Padahal kebijakan ini akan merambah keseluruh Universitas di seluruh Indonesia, sehingga butuh perlawanan dalam skala nasional pula yang di organisasikan oleh sebuah komite nasional. (3) pemahaman aktivis mahasiswa masih cupet, terkadang persoalan –persoalan di kampus dianggap terpisah dengan akibat proyek neoliberal di sektor rakyat lainnya. Sehingga menurut pandangan cupet ini, agenda menolak BHP/BHMN cukup menjadi agenda mahasiswa saja.
Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: Sitnas Template by Bamz | Publish on Bamz Templates