Monday, April 30, 2012

Propinsi Para Penyair

Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/

Di antara warna-warna kesedihan wajah, ada tersisa gurat ceria. Di sebaliknya, gelimang absurd gelak tawa senantiasa diintip rasa cemas, dan siap meluas. Ajaran Tao menekankan kepercayaan pada perimbangan kalkulasi kenyataan. Begitu pula yang terjadi di Surabaya kini. Di antara ruap gelibat kasus (sampah, penggusuran PKL, sakitnya walikota, dll), kabar gembira mesti diyakini. Surabaya, ibukota propinsi Jawa Timur, kota pahlawan yang kini lebih dikenali sebagai kota banjir, merasang bakal para penyair nasional. Penyair dengan tawaran estetika tertanggung-jawab, alias bukan penyair sekadar.

Berita gembira ini datang dari jurnal kebudayaan Kalam. Usia belum begitu tua, Kalam mampu “melanjutkan tradisi sastra/ seni yang pernah ada di tanah air”. Para penyair Jawa Timur ada di dalamnya. Mereka turut mengangkat, mencecapi, serta memberi peran lebih terhadap Kalam.

Kalam, dari edisi pertama (1994) sampai edisi terkini (2001), mencatatkan 8 (delapan) penyair dari Jawa Timur. Surabaya tampil sebagai ibukotanya, pusat propinsi Jawa Timur. Akhudiat, D. Zawawi Imron, HU. Mardi Luhung, W. Haryanto, Beni Setia, Arief B. Prasetyo, Mashuri, dan Deni Try Aryanti. Delapan penyair yang tidak saja terpublikasikan di jurnal Kalam, media massa lokal dan nasional kerap disinggah-tempati. Mereka saling membesar, sekaligus saling membedakan secara puitik.

Pertanyaan patut disorongkan terhadap fenomena. Mengapa Jawa Timur, pusatnya ada di Surabaya, terkondisikan sebagai tempat lahir para penyair handal. Sedikit sosiologis, memang. Tetapi, kekhawatiran estetik tidak perlu terlalu meluap. Cynthia Ozick, sastrawan Amerika, menandaskan dalam sebuah interviu di The New York Times, “penulis (baca: penyair) mau tidak mau merepresentasikan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan”. Jerman memberi dan diberi karakter oleh Goethe melalui Doktor Faust. Yasunari Kawabata tidak terlepas dari mencerap dan mengondisikan tradisi Jepang lewat Penari-penari Itzu.

Agar berimbang letak posisinya, penyair dengan tempat tinggal dan penyair dengan karya puisi, estetika puisi patut dibedah. Organ-organ pembentuk puisi dicatat. Simpul-simpul kode puisi ditafsirkan. Pun juga, diketengahkan pertautan antar penyair dari Jawa Timur. Estetika puisi ada pada cara membentuk kenyataan, ini penting dicermati, bahasa puitik.

Gambaran Prulalitas Estetik

D. Zawawi Imron, penyair Madura yang tidak pernah tahu tanggal kelahirannya, menuliskan puisi bermetaforik susul menyusul. Puisi berjudul “Utang”: Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami, menjadi rambut dan bulu ketiak kami, utang itu akan mendesir dalam aliran darah kami, dan mendetak dengan sejumlah detak jantung kami, serta tak sempat kami lunasi, sebelum kami mati, utang itu akan menjadi nanah tempat berkubang anak-anak kami, utang itu akan menjadi samudera tempat berlayar cucu-cucu kami.

Paralelistik kata dipergunakan Zawawi untuk menegaskan arus pemikiran. Kata “utang” digulirkan berurutan dengan identitas berlainan. Masing-masing bermain di lingkungan tersendiri, sekaligus masing-masing kait berkait sebagai jalur peristiwa. Seperti kelak kelok sungai, kata “utang” merebak dari mata air dan menempuh tempat-tempat asing. Ketika bertemu sawah, ia berbau tunas padi dan racun tikus. Ketika melewati hutan, ia terjatuhi guguran daun jati, dan menjadi lembab karenanya. Ketika singgah di kota, ia menjadi asin. Masing-masing lingkungan membentuk sifat dan sikap pada kata “utang”.

Keberadaan wilayah-wilayah kata “utang” tidak saling memisahkan diri. Atau sebagai kematian. Masing-masing menjadi rangkaian utuh genetik. Sifat-sifat khas metamorfosa muncul dalam kata, sekaligus kata tidak bisa dikategorikan pada aspek historis di luar dirinya. Sebuah pola kronologi metamorfosa kata dari arti tunggal ke wujud jamak. Konsepsi utang terbentuk lalu bergerak melebar hingga menyentuhi persoalan yang lebih universal.

Arief B. prasetyo, penyair yang hingga kini masih disibukkan “perjuangan mencipta personalitas teks”, menuliskan puisi yang serasa chaos. Struktur puitik mecah memecah, pendar memendar, saling menyingkir, dan saling berpusaran. Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus, terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar menggapai-gapai akar darah…

Akrobatik diksi puisi “Mahasukka” tersebut amat lincah. Kalau pada puisi Zawawi, diksi “utang” menjadi pusat dan digulirkan secara berkelanjutan, Arief tidak membutuhkan pusat diksi. Kata “pinggulmu”, kata tempat pijak kenyataan teks, dimunculkan hanya sekali, selebihnya pusaran ataupun belitan-belitan adegan. Sebuah struktur puisi yang panik.

Pembacaan Nirwan Dewanto terhadap puisi Arief B. Prasetyo perlu diketengahkan. Nirwan mendapatkan kesulitan dalam mengikuti gerak gelibat puisi Arief. Dan atas kesulitan itu, klaim disorongkan. “Jika pembaca tersesat terlalu pagi, ia akan habis sebelum sampai pada neraka semut api atau mahasukka”, tulis Nirwan dalam semacam kata penutup dari antologi Mahasukka. Nirwan lebih suka berdasar pada tradisi puisi yang telah ada, menghakimi karya puisi baru. Perbedaan-perbedaan bentuk atau variasi-variasi puitik yang membingungkan dianggapkan sebagai “menyalahi tradisi”. Pandangan yang mirip dengan Sutan Takdir Alisyahbana ketika mengomentari puisi, “karya Chairil Anwar” buruk. Ukuran puisi tradisi Pujangga Baru dipakai, sementara Chairil membuka bagi tradisi pasca-Pujangga Baru. Nirwan tidak terbuka terhadap tawaran. Akan lebih bermanfaat bagi publik puisi, Nirwan memahami (atau memaknai) tawaran puisi Arief lalu memberi gambaran struktur teks sebagai variasi dari tradisi puisi yang telah pernah ada.

Puitika akrobatik juga terbit pada puisi W. Haryanto. Lewat puisi, pembaca bisa menyaksikan kata-kata berlompatan membentuk realitas-realitas tanpa terduga, tetapi dapat diterima nalar. Kata-kata dirakit tanpa kepercayaan pada landasan kuat membentuk lompatan. Kata-kata seakan bersijingkat dalam medan makna. Latar belakang dihadirkan sebatas pemenuhan alur teks.

Di sebelah matamu, segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh, dan kegelisahanku mencipta gairah-beku karang-karang di langit, dengar penggalan tanyaku ini, Ida; ketika kuntum arus ombak memberi sebuah akhir dari radang-radang pelapukan musim; dan lihat lukaku ini, Ida. Penggalan dari puisi “Surat yang Terpotong, Buat Aida”.

Penggambaran puisi tampak jauh dari suatu ekspresi. Rasa bersalah yang semestinya abstrak, masuk dalam wilayah moral, pada puisi mendapat citra visual konkret. Segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh. Rasa bersalah dihilangkan, tetapi dimunculkan rasa gelisah. Dua ciri rasa puas terhadap interaksi manusia. Tidak ada paradigma lebih lanjut dari dua oposisi material teks yang dalam kehidupan sosial empirik bersatu karakter. Yang terjelaskan, sebuah penggal tanya. Juga luka. Segalanya dengan visualisasi mengejutkan.

Bila pada Arief, akrobatik puisi muncul dalam wilayah antar kata. W. Haryanto memunculkannya dalam wilayah antar kalimat. Arief sering mempercayakan kenyataan dalam banyak tanda baca koma dengan isian satu kata, sehingga teks menjadi sugestif. Sebuah percepatan sintaksis, percepatan pikiran, dan tercipta suasana mistis. Puisi W. Haryanto mengisyratkan penolakan terhadap sugesti. Kalimat-kalimat yang panjang dari puisi W. Haryanto menyebabkan pembaca sepenuhnya berada di kesadaran. Karenanya, kerumitan pada puisi menggambarkan kerumitan dalam logika berpikir. Puisi membentuk sebuah dunia dan dunia tersebut dipenuhi pikiran-pikiran spontan.

Satu-satunya penyair perempuan dari delapan penyair Jawa Timur, Deny Tri Aryanti. Belajar menulis puisi baru 4 tahun, puitika sajiannya memperlihatkan kecenderungan luar biasa matang. Penguasaan terhadap tubuh sebagai acuan struktur puitik sangat bagus. Lihat puisi berikut, wajahmu mewarnai batu karang yang kering, sedangkan aku masih terus berjalan di atas rambutmu yang memutih, menggulung pori-pori, untuk kujadikan aliran darah dari mulutku.

Tubuh mengalami tiga tataran kenyataan dalam puisi “Malaikat Putih” tersebut. Pertama, tubuh sebagai daging yang bisa diraba, dan merasakan sakit bila dicubit. Kedua, tubuh sebagai simbol untuk membahasakan pikiran. Ketiga, tubuh sebagai persepsi atas kenyataan. Tiga eksplorasi tubuh serentak hadir membentuk identitas teks. Pada puisi W. Haryanto atau beberapa penyair lain, tubuh lebih banyak diperankan dalam dataran persepsi. Pengaruhnya, pembaca tidak dapat mengenali tubuh dalam puisi sebagaimana tubuh dalam kenyataan.

Kelengkapan puisi Deny dalam mengolah tubuh membuat pembaca seakan dibawa berkeliling dalam aneka macam pariwisata tubuh. Berbagai konteks diciptakan hingga penafsiran atau pengalaman tentang tubuh mudah diikuti. Pengetahuan terbuka dari tubuh. Lompatan-lompatan pikiran pun dapat dipahami secara ketubuhan. Hasilnya, teks puisi dengan struktur ketubuhan.

Dari puisi Mashuri, penyair jebolan dua pondok pesantren, pembaca mendapatkan karakter “pengetahuan yang diimajinasikan”. Pemikiran-pemikiran tokoh diimpor. Pengetahuan tersebut ditafsirkan, diimajinasikan, dan difantasikan sehingga mencapai makna baru, mungkin bisa dikenali, mungkin pula terbebas dari pengetahuan lama. Pola puitik ini mirip dengan kinerja puisi Goenawan Mohamad. Hanya saja, pengalaman individual dan latar geografis yang berbeda menghasilkan situasi teks dan sikap teks yang berbeda pula. Pastinya, puisi ciptaan Mashuri menuntut pembaca memasuki lingkungan pengetahuan khusus. Pembaca yang tidak sampai pada lingkungan pengetahuan yang dijadikan materi puisi akan sulit untuk meraih pemaknaan yang sesuai keinginan penyair.

Ada sebuah contoh puisi Mashuri yang bersandar dari puisi penyair lain. Jika aku membangun surga, ia bukan rumah, ia hanya lukisan di cakrawala, bukan kata benda, bukan pula dermaga segala muara. Kutipan diambil dari puisi “Biografi Hujan: malna, sejarah tak pernah ada”

Penyebutan “malna” pada sub judul puisi, tidak bisa tidak, mengarahkan pembaca pada satu nama penyair setengah botak: Afrizal Malna. Ini merupakan puisi tanggapan atas puisi Afrizal; kita pernah membuat rumah, sebuah dunia, tapi dengan merasa heran, kita bertanya, kemana mesti pulang (puisi berjudul “Hujan di Pagi Hari”). Puisi Mashuri menolak konsepsi “rumah” dari puisi Afrizal. Lebih jauh lagi, puisi Mashuri memberi kritik terhadap puisi-puisi Afrizal yang bertumpahan kata benda.

Pilihan puitik pengetahuan dari Mashuri sungguh penuh tantangan. Ada jebakan besar, bisakah puisi mengikatkan diri pada lokalitas pengetahuan sekaligus merebak ke universalitas hidup. Artinya, puisi tidak hanya berkutat pada pengetahuan. Puisi memberi tanggapan juga atas pengetahuan, dan kompleksitas kehidupan. Maksimalitas perangkat-perangkat perpuisian mutlak diperdayakan. Perangkat tersebut akan membentuk adonan rupa, bau, bunyi, ataupun penyataan mitologi yang hampir semua manusia sanggup memahami.

Selanjutnya, puisi HU. Mardi Luhung berjudul “Ziarah ke Reruntuhan Makammu” patut dicermati khasanah tata kramanya. Tapi lewat kangkangan-kangkangan kakinya, yang persis di tengahnya, aku lihat lubang-lubang syahwat merayu segala gerak yang lewat, segala gerak yang menyusun bangkai-bangkai laki dan perempuan, menjadi sedotan-sedotan dengan nganga yang cuma dua saluran “menyedot sampai tuntas, atau disedot sampai habis!”

Puisi Mardi dengan “kangkangan-kangkangan” serta “sedotan-sedotan” puitiknya (meminjam istilah puisi Mardi sendiri) seolah menguji standar ketertiban estetik. Sopan santun dari kanon estetik dipertanyakan, disodok-sodok dengan kenyataan ragam bahasa pinggiran. Ucapan atau bahkan umpatan-umpatan dalam khasanah publik diambil lalu dijadikan bahasa puisi. Mardi Luhung telah melakukan reproduksi bahasa publik, terutama bahasa masyarakat pinggiran kota besar. Reproduksi ini membuat bahasa puisi menampakkan seabrek kegaduhan dan kekalutan dari persinggungan-persinggungan personal dan kepentingan. Mardi mengulang kinerja Chairil Anwar yang berhasil mengangkat ragam bahasa Melayu Rendah dalam keindahan. Puisi bertindak sebagai penyuci kericuhan bahasa publik marjinal.

Lain Mashuri, lain Mardi, lain pula Beni Setia. Penyair, yang katanya tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali menulis ini, memproduksi kenyataan dari beberapa nama tokoh sejarah dan merengkuhnya dalam peristiwa yang banal. Dan Ronggowarsito+Hasan Mustopa menjelajahi New York dan New Delhi dengan bis bertingkat –di Cililitan mereka ketemu J.P. Coen (puisi “Catatan Turistik tentang Jakarta”).

Pertemuan tiga tokoh dari jaman berbeda, dan tempat berbeda, serta sarana pertemuan yang aneh pada puisi Beni Setia menciptakan kenyataan banal namun parodis. Masing-masing tokoh dalam puisi masih dilekati identitas kesejarahan. Representasi terhadap biografi tokoh tidak begitu kuat, mungkin sengaja. Sehingga teks puisi tampak bermain di wilayah permukaan. Justru kebanalan biografi tersebut, ketika masing-masing tokoh dipertemukan, kenyataan parodi yang melawan sejarah terciptakan. Ruang dan waktu dalam sejarah dihapuskan. Lahir kemudian, kenyataan teks dari persilangan biografis.

Tentang Akhudiat, Akhudiat lebih menarik dibicarakan masa lalunya daripada kekiniannya. Puisi-puisi Akhudiat terkini, lebih mengarah pada penciptaan geografis dengan kesan realisme sosial. Aspek komunikatif pun tidak disublimkan secara mendalam. Puisi Akhudiat terkini seakan mengulang gaya puisi-puisi mahasiswa yang membentuk angkatan 66, “patriotisme pembelaan terhadap kaum miskin”. Sebuah puisi cenderung ke pernyataan idealistik daripada riuh sengkarut kenyataan.

Tahun 1970-an, Akhudiat justru mampu menciptakan puisi penuh tawaran. Ram tam tam tam: Naik kereta roda kaki. (Alfin Toffler & Co, salut dari gubug). Si penumpang tidur molor, bangun menjelang lohor, ketika geludug bukan halilintar, di ranjang bawah tanah. RAM RAM TAM TAM TAAM RAM RAM RAM. Puisi Akhudiat ini bila dikerjakan secara serius, sangat mungkin akan mampu mencapai standar puitika Afrizal Malna. Setidak-tidaknya, Akhudiat mampu menyamai puitika Beni Setia.

Propinsi tanpa Dunia Simbolik

Tetapi, mengapa yang justru berkembang di Jawa Timur adalah kepenyairan, dan bukannya drama atau prosa. Ada beberapa prasyarat kedramaan dan keprosaan yang patut dipertimbangkan dalam kaitannya dengan masyarakat Jawa Timur: komunalitas.

Drama sebagai salah satu bentuk estetika membutuhkan sekelompok manusia dalam penciptaan. Satu produksi drama terdiri dari perangkat sutradara, tim artistik, anggota properti, anggota pencahayaan, tim make up, tim aktor, dan administrator. Ketika teater Garasi Yogyakarta datang ke Surabaya dalam pentas “Caligula” naskah Albert Camus tahun 1995, kru yang dibawa berjumlah 70 orang. Berbagai peralatan dan perlengkapan dibawa, saat itu dibutuhkan satu truk besar untuk pengangkutan.

Jawa Timur, sangat mungkin, kekurangan modalitas dalam pembentukan karya secara kelompok. Bagi masyarakat Yogyakarta membentuk sebuah teater adalah perkara mudah. Ikatan komunal terdapat di Yogyakarta. Posisi Yogyakarta sebagai “daerah istimewa” di bawah kekuasaan HB X membuat mereka mempunyai kemudahan membangun persepsi yang sama. Kerja kelompok berteater disatukan oleh ikatan tersebut. Perbedaan-perbedaan utopia dan gagasan dapat dengan gampang terselesaikan karena Yogyakarta mempunyai acuan yang jelas terhadap satu tatanan hidup. Kehidupan keraton dengan segala keseharian dan keagungan.

Jawa Timur sebagai “propinsi biasa” menghadapi pluralitas hidup kemasyarakatan. Surabaya terlalu rentan untuk penciptaan ikatan utopia ataupun tradisi. Keadaan akan, dan senantiasa, ubah berubah. Pada kondisi perubahan, pembentukan teater dengan jumlah anggota puluhan orang (bahkan ratusan) dan intensitas proses berkualitas sulit terjalani. Kerja berteater membutuhkan kesamaan dalam mentalitas dan bentuk penerapan gagasan bersifat komunal. Persamaan kesejarahan dan persamaan utopia tradisi.

Bila beberapa orang Jawa Timur dikumpulkan dan saling membangkitkan keidentitasannya, kejiwaan yang tertangkap adalah keterbelahan. Tradisional kesilamannya berasal dari tradisi Jawa. Utopia kedepanannya beranjak lurus ke tradisi anti Jawa. Persoalan yang bukannya sukar ditebak.

Tata hidup dan kehidupan dibentuk oleh kejawaan. Hanya saja, Jawa sebagai pusaran tradisi, pusatnya ada di Yogyakarta. Mataram. Jawa Timur, dulu memang, wilayah Mataram, kini, pusat Jawa Timur adalah Surabaya. Ada penolakan yang bersumber dari identitas kejawaan yang telah mapan. Diskontinuitas muncul dalam benak. Keterputusan antara masa silam dan kekinian. Lebih terputus lagi, kesilaman dengan kedepanan. Padahal untuk menciptakan teater sangat membutuhkan keakaran dan keidentitasan yang sama. Satu acuan yang dapat dipakai untuk menciptakan format masa depan.

Mungkin, Jawa Timur akan mendapatkan keidentitasannya jauh sebelum Mataram. Dua kerajaan besar pernah hadir di propinsi ini: Singasari (1222-1292) yang menguasai hampir seluruh pulau Jawa, Majapahit (1293-1528) yang justru menguasai hampir seluruh Nusantara. Singasari, kini hanya menyisakan ceceran candi-candi kecil, sulit menjadi simbol Jawa Timur. Candi Jago yang telah kehilangan separuh badannya, patung Ken Dedes yang kini ada di Leiden, candi Kidal yang hanya berupa bangunan kecil, candi Singasari yang telah rompeng, dan candi-candi lain lebih parah nasibnya. Majapahit pun tidak meninggalkan bangunan megah yang layak menjadi simbol keidentitasan Jawa Timur.

Kecuali dua kerajaan besar tersebut, Jawa Timur pernah dihuni beberapa kerajaan kecil. Darmawangsa, Panjalu, Jenggala, Sumenep, Blambangan, Kahuripan, Dhaha, dan lain-lain. Tragisnya, tradisionalitas (hal-hal yang menjadikannya tradisi) hanya berhenti pada jamannya an sich. Aziz Manna, sejarawan dari Unair Surabaya, dalam sebuah diskusi sempat menyatakan, “masyarakat Jawa termasuk masyarakat yang gemar perang”. Resiko ada pada kini, warisan yang dapat dijadikan sandar kesatuan simbolik tidak ada. Masing-masing kerajaan telah saling menghancurkan dan menghapus tradisi. Terakhir yang terjadi, kebesaran Majapahit terhapuskan oleh Mataram. Tradisi Majapahit hanya tersisa di masyarakat Tengger, sebuah masyarakat terasing yang primitif bagi ukuran modern, atau di masyarakat Bali. Keidentitasan Jawa telah direbut Mataram. Tanda-tanda ke arah perebutan itu bukannya tidak kentara, sampai sekarang. Mitologi acuan yang hidup dan mengikat kejawa-timuran tidak terbaca dari masa silam, justru masa mendatang.

Kesejarahan yang tidak mendukung bagi teater diperparah oleh perubahan-perubahan terkini. Masyarakat Jawa Timur tengah bergerak menuju masyarakat ekonomik. Sebuah masyarakat rasional yang mengutamakan perkembangan ekonomi dan teknologi. I Ketut Nehen dan Glan Iswara, dua dosen Udayana Bali, melihat pertautan yang saling berlawanan antara nilai ekonomi dan nilai seni. Kedua ilmuwan tersebut menuliskan dalam majalah Prisma no 3 tahun XIX 1990, “peningkatan nilai ekonomi berpengaruh terhadap penurunan nilai seni”. Jawa Timur dengan perkembangan bidang ekonominya semakin bersifat individual. Keperluan dan prosesi seni yang berskala masyarakat semakin kekurangan alasan untuk dikerjakan, atau mungkin tidak dibutuhkan. Penciptaan seni teater yang besar akan mengerem pijakan ekonomi yang telah dibangun.

Dua fakta, kesejarahan dan perkembangan ekonomi, membuat Jawa Timur kehilangan dunia simbolik, sebuah simbol yang universal. Simbol yang bisa diterima atau sedang melandasi aksi dan kreasi menyeluruh bagi masyarakatnya. Dunia simbolik (symbolik universe) menurut pengertian Peter Berger dan Thomas Luckman dalam buku The Social Contruction of Reality “badan-badan atau bagian tradisi secara teoretis yang membakukan berbagai makna propinsi dan meliputi tatanan institusional dalam suatu totalitas simbolik” tidak terpenuhi di Jawa Timur. Secara spekulatif dapat ditegaskan, apakah mungkin, “orang-orang Jawa Timur bukan suatu masyarakat melainkan mengacu kepada kerumunan atau organisasi bentukan”.

Dunia simbolik juga sangat diperlukan dalam penciptaan prosa. Genre prosa mensyaratkan pemenuhan plot dan interaksi antar tokoh cerita. Prosa merupakan representasi dari masyarakat. Struktur prosa merupakan analogi dan refleksi struktur masyarakat. Pada sebuah propinsi, seperti propinsi Jawa Timur, yang tidak memiliki dunia simbolik, penciptaan prosa dengan struktur utuh dan mendalam amat kekurangan modal referensial kreatif. Hal ini berbeda dengan sastrawan yang hidup di propinsi Jawa Barat yang memiliki tradisi Sunda, atau propinsi di Sumatera yang masih memiliki tradisi Melayu.

Kesulitan, tetapi semoga bukan ketidakmungkinan, penciptaan prosa dan drama, berbalikan dengan kerja kepenyairan. Jawa Timur sangat kondisional untuk kepenyairan. Rasionalisasi yang paling niscaya: tidak mungkin sebuah masyarakat berlari jauh dari dunia estetika atau dunia keindahan. Sebuah masyarakat senantiasa menciptakan karya yang menunjukkan apresiasi atau representaasi keindahan. Persoalannya hanyalah bentuk keindahan yang dimungkinkan. Pilihan tertampung ke karya sastra bergenre puisi.

Propinsi Masa Remaja

Berada di antara masyarakat Jawa Timur, seseorang akan merasa berada di rumah sendiri. Setiap orang boleh menjadi dirinya sendiri, diperlegalkan menjalani tradisi independen. Kondisi yang tercipta oleh sebab di Jawa Timur tiada dunia simbolik. Berada di Yogyakarta, seseorang dari luar daerah akan terkondisikan untuk beradaptasi dengan tradisi Jawa, pengaruh keraton Yogyakarta terlalu sulit diabaikan.

Jawa Timur merupakan propinsi terbuka. Inilah sebuah kondisi yang bisa disebut puitik. Wilayah yang representaatif untuk datangnya tradisi luar dan gagasan baru. Tradisi dari luar tersebut, dalam skala minimal, dipakai dan dikembangkan oleh lingkup kecil masyarakat pembawanya.

Pluralitas bahasa dan tematik puisi para penyair Jawa Timur tidak terlepas dari kondisi kerentanan tradisi. Dunia simbolik Jawa Timur adalah sesuuatu yang ada di masa depan. Dunia simbolik yang menunggu untuk dibentuk. Mardi Luhung, penyair dari kota pantai Gresik, dalam puisi seringkali melakukan adopsi kultur pesisiran dengan percampuran kultur asing, bahkan kultur benua berbeda.

Keterbukaan struktur puisi Mardi tercipta oleh pluralitas materialitas puisi. Kenyataan kultural. Ketika Mardi mencoba menggali pesisiran, di Gresik tradisi itu pernah dibentuk oleh Sunan Giri, tradisi Islam, kenyataan yang muncul justru simpang siur tradisi. Gresik bukan lagi kota pesantren. Gresik telah menjadi tempat tinggal “pabrik” dan banyak orang-orang datang untuk berprofesi sebagai buruh. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, tradisi pesisiran puisi Mardi Luhung bergeser jauh dari tradisi pesisiran Sunan Giri. Pada puisi berjudul “Ziarah ke Reruntuhan Makammu”, Mardi membuka puisi dengan larik, apa yang bisa aku baca dari reruntuhan makammu, yang kini tinggal lubang kakusnya itu.

Analogi paling tepat dari propinsi Jawa Timur adalah kehidupan seorang remaja. Usia yang belum matang dan psikologi yang tidak utuh. Orang muda cenderung berani melakukan percobaan-percobaan dan berspekulasi untuk menerima tantangan gagasan baru. Tanggung jawab yang ketat, semisal rumah tangga, belum kuat mengikat. Para penyair terkondisikan untuk bereksperimen terhadap puitika-puitika baru. Ikatan tradisi dengan sastra lama, pola rima dan irama tembang, yang sempat menjadi identitas sastra Jawa, menjadi mudah diabaikan. Pemicu tindakan ini, Jawa bukan ada di Jawa Timur, saat ini, Jawa ada di Yogyakarta.

Pergeseran pusat tradisi masyarakat Jawa Timur sangat penting untuk dicatat. Jawa Timur, dahulu, merupakan bagian kerajaan Mataram, pusatnya ada di Yogyakarta. Kini, Jawa Timur merupakan sebuah propinsi baru, pusatnya ada di Surabaya. Yogyakarta = kejawaan. Surabaya = perekonomian. Golongan bermartabat dalam pandangan Jawa adalah pamong praja (baca: pegawai) dan agamawan (baca: kyai). Pedagang bukan orang terpandang. Surabaya, sebagai kota yang sedang bergerak dengan motivasi perekonomian, pedagang sukses mendapat kehormatan besar dari masyarakat.

Orang-orang Jawa Timur sedang berada dalam keakutan pergeseran pusat budaya. Satu sisi menyandang keagungan mitologi kejawaan, di sisi lain menghadapi godaan ekonomi yang glamour. Dua sisi saling bertentangan ini bukannya tidak tampak dalam puisi para penyair Jawa Timur. Dilema kultural justru mendukung nilai estetik. A. Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra menengarai, “puisi dibentuk oleh serangkaian pertentangan gaya dan tema”. Para penyair Jawa Timur, dengan ketegangan kulturalnya, tidak sulit untuk membangkitkan dan membentuk pertentangan-pertentangan struktur teks. Hanya dengan sedikit sublimasi, para penyair Jawa Timur akan menyadari “saya ada dalam dua kultur saling bergesekan”.

Surabaya sebagai kota perekonomian juga membuat kehidupan menjadi banal. Komunalitas masyarakat Jawa Timur dibentuk oleh sistem yang bersifat non-spiritual. Desakralitas lembaga agama. Spiritualitas tersisa terdapat dalam seorang perseorang. Individu bebas memilih dan menjalani keagamaan tertentu, wujud transendensi, hubungan personal dengan Tuhan.

Berbagai gambaran ketuhanan atau kehidupan religi tersurat dalam puisi penyair Jawa Timur. Kesemuanya memiliki kesamaan menggairahkan, religi diartikulasikan secara material dan personal. Tuhan bukanlah sosok yang patut diperagungkan. Tuhan merupakan sosok yang layak dipertanyakan sekaligus dicari bentuk kelembagaannya, di antara bentuk lembaga-lembaga yang telah ada.

Beni Setia dalam puisi “Pelampung” menuliskan, kalau duka itu bertali dan tuhan boleh diseru sambil bergulingan di pinggir jalan, tentu rasul akan sabar menungguiku mengurai di dipan. Tampak sekali, Beni cari mencari hubungan ketuhanannya di dalam materialitas yang banal. Tuhan digambarkan boleh diseru sambil bergulingan di jalan. Adegan dalam puisi Beni sangat bertolak belakang dengan adegan orang bersembahyang di tempat-tempat ibadah.

Kembali kepada Jawa Timur sebagai kelincahan kaum remaja, di propinsi ini segala ilmu pengetahuan dapat begitu saja masuk sekaligus dapat sedemikian cepat untuk lenyap. Seorang remaja, dengan sedikit sentuhan, bisa tiba-tiba menggemari satu tokoh pengetahuan. Berhari-hari dihantui oleh fokus pengetahuan tersebut. Setiba-tiba pula, sang remaja berpindah ke pengetahuan lain sembari anti pati terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu digemari. Demikian pula gambaran puisi dari Arief B. Prasetyo dan Mashuri, pada sejumlah puisi kedua penyair tersebut, tokoh ilmu pengetahuan keluar masuk dengan melimpah. Berganti-ganti. Cepat tumbuh. Dan, terlupakan.

Kondisi pengetahuan yang beganti-ganti sangat buruk bagi pertumbuhan sosial kemasyarakatan dalam kenyataan. Kematangan dan perkembangan yang terarah tidak terealisasi, tetapi tidak bagi puisi, masuk dan keluarnya beragam pengetahuan mampu memberi keragaman puitik pada teks. Masing-masing pengetahuan memberi corak yang berbeda. Penyair pun tidak terkungkung oleh satu bentuk puitik. Lebih bagus lagi, penyair tidak terkuasai oleh ideologi. Kondisional ini juga membuka kemungkinan terbalik, penyair memilih berkonsentrasi terhadap satu pengetahuan atau ideologi yang selalu diperjuangkan. Di propinsi masa remaja ini, para penyair berhak dan dapat dimaklumi untuk menghidupi pilihannya; tidak ada patron di Jawa Timur.

Jawa Timur, Surabaya sekalipun, memang bukan pusat pengetahuan. Mobilitas pengetahuan di kota-kota propinsi Jawa Timur masih kalah jauh dibanding kota Bandung, Yogyakarta, apalagi Jakarta. Impor pengetahuan di kota-kota tersebut sedemikian cepat, penelitian atau penerapan pengetahuan baru pun banyak terwujud. Sangat sedikit ilmuwan dari Jawa Timur yang berskala nasional. Penerbit pun sangat sedikit jumlahnya. Ilmu pengetahuan datang ke Jawa Timur dalam jumlah terpotong-potong dan dalam tahapan yang tidak stabil. Jawa Timur menjadi imajinatif karenanya.

Pengetahuan datang ke Jawa Timur tidak tumbuh berkembang sebagai ilmu pengetahuan. Teraplikasikan bukan dalam bentuk karya ilmiah atau pengetahuan tertulis. Pengetahuan masuk dan berkutat-kutat lalu keluar dalam bentuk puisi. Pengetahuan menemukan kelengkapannya melalui keretakan kultural, fantasi, dan imajinasi. Penerima paling menghormati adonan kultur adalah kesenian, utamanya puisi.

Ada hal penting lain yang patut dicatat, pemahaman masyarakat Jawa Timur terhadap alam. Sebagian besar wilayah Jawa Timur dialiri sungai. Dua sungai yang besar adalah Brantas, sepanjang 317 km, dan Bengawan Solo, sepanjang 540 km. Keberadaan sungai-sungai tersebut, selain untuk pengairan dan transportasi antara daerah, didayagunakan untuk bendungan, pembangkit tenaga energi, perikanan, dan wisata. Selain sungai, ada juga rawa-rawa, telaga, waduk, mata air, dan sumur bor. Berbeda dengan masyarakat Bali, alam di Jawa Timur bersifat profan. Alam kurang dikaitkan dengan ritual-ritual mistis.

Perendaman di dalam alam tidak terjadi pada masyarakat Jawa Timur. Alam tidak dipuja-puja atau diagung-agungkan. Keaslian alam bisa sewaktu-watu diubah, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Potensi alam didayagunakan untuk kepentingan manusia. Alam sah untuk digali dan diperjual-belikan. Manusia ada di depan alam. Ini mirip dengan gejala antroposentrisme dalam pengertian Nicholas Alexandrovicth Berdyaev, seorang filsuf peletak dasar filsafat eksistensialisme, “manusia adalah pusat alam semesta”. Manusia menentukan bertahan atau terkurasnya nasib alam. Puisi-puisi penyair Jawa Timur tidak terbebas dari konsepsi antroposentrisme ini.

Alam dalam puisi ditempatkan pada posisi pemyampai gagasan. Identitas alam dicampur baur dengan keseharian aku lirik untuk membentuk bahasa puitik. Deny Tri Aryanti melalui puisi “Wicarang Denta Saisa” menyebutkan, dalam tidurku, kuulur jalan beraspal dari gulungan tikar yang ngilu, tembok-tembok mengkuti jalanku, dari kerikil ke kerikil hingga debu yang menempel pada ranum wajahmu. Aku lirik dalam puisi Deny tampak berkuasa terhadap alam. Tidak saja dalam kesadaran, dalam mimpi, aku lirik masih menjadi tuan bagi alam. Jalan aspal diulur, gulungan tikar diberi sifat ngilu, tembok-tembok diperjalankan, sampai debu yang ditempelkan ke ranum wajah orang lain.

Puisi W. Haryanto pun memiliki posisi dilematis terhadap alam. Puisi tidak hanya meniru, mempercayakan, atau merepresentasikan identitas alam. Puisi memproduksi alam hingga melampaui identitas alam dalam kenyataan. Berikut kutipan dari puisi “Djati Bening, 1270”, kutangkap selarik musik dari burung camar, musik yang menyeberangkan matahari, luka memar telah membelah, jadi bayangan dengan bentuk paruhnya pada bening gelas. Fungsionalitas dan wujud alam dicampur adukkan oleh W. Haryanto. Rakitan-rakitan “diksi alam” yang saling berhubungan secara sintag-paradigmatik membuat “alam” tidak lebih sekadar penanda (konsep) dan bukannya petanda (wujud). Perhatikan rakitan kata; selarik musik, musik dari burung camar, musik yang menyeberangkan matahari, luka memar yang membentuk pada bening gelas. Kesemuanya tidak mungkin dijumpai dalam kenyataan, dan karenanya membentuk kenyataan baru. Sebuah kenyataan yang berpusat pada kondisi keterpecahan identitas manusia. Lebih umum, keterpecahan kultural propinsi Jawa Timur. Propinsi para penyair.

________Studio Teater Gapus Surabaya
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/8/

Sunday, April 29, 2012

Forum Mahasiswa Garut (FORMAT) ITB

    FORMAT (Forum Mahasiswa Garut) ITB adalah sekelompokmahasiswa S1 ITB yang berasal dari Garut, mempunyai garis keturunan orang Garut, pernah tinggal, dan mempunyai kepedulian terhadap Garut. Dulunya FORMAT ITB hanya sebuah paguyuban, kemudian resmi menjadi organisasi pada tanggal 29 Agustus 2008. Untuk periode 2012-2013, FORMAT ITB dikemudikan oleh salah satu mahasiswa terbaik dari Sains dan Teknologi Farmasi angkatan 2009 bernama Rizki Ihsan Febrian. Dengan kebijakan dan karisma sang ketua serta koordinasi dengan seluruh anggota FORMAT ITB dari berbagai angkatan FORMAT ITB bergerak.
    Setiap tahun FORMAT ITB selalu merekrut anggota, hal ini menunjukkan bahwa potensi pelajar dari kota Garut sangat baik hingga dapat berkompetisi dengan sekolah-sekolah di kota besar. Sebagai mahasiswa sekaligus kakak, sudah menjadi kewajiban anggota FORMAT-ITB untuk menolong dan membimbing adik-adiknya yang masih di SMA dalam menentukan masa depannya,untuk mewujudkannya maka  FORMAT ITB mengadakan acara di kabupaten Garut guna memberikan gambaran tentang kehidupan kampus ataupun bayangan tentang kampus khususnya di lingkungan ITB.
   Salah satu acara tahunan yang selalu dilakukan oleh FORMAT ITB adalah roadshow ke SMAdi berbagai daerah di Kabupaten Garut, LCT tingkat SMA se-Kab. Garut, Universitas Expo, dan juga acara terbaru yang dirilis tahun 2012 ialah Lomba Karya Tulis SMA yang semuanya itu dikemas dalam suatu acara dengan nama Pesta Pendidikan. Acara yang diadakan selalu dinamis, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat khususnya remaja SMA yang akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Tidak cukup menyelenggarakan acaranya sendiri, FORMAT ITB mencoba berkolaborasi dengan universitas lain dengan membuat visi yang sama yaitu meningkatkan semangat pelajar Garut dan mengenalkan dunia kampus yang terwujud dalam acara UNIFest pada tahun 2011.
    Sebagai suatu organisasi yang di dalamnya terdiri dari mahasiswa, sudah menjadi kewajiban untuk peduli akan kota asal dan menjaga bahkan meningkatkan potensi yang dimiliki daerahnya khususnya potensi pelajar.Oleh karena itu, seluruh kegiatan yang diadakan oleh FORMAT ITB dikemas dan diselenggarakan dengan harapan potensi yang ada di Garut khususnya di bidang akademik selalu meningkat dari tahun ketahun.
    Selain acara eksternal yang diselenggarakan untuk masyarakat Garut, FORMAT ITB juga mengadakan acara-acara internal, dengan adanya acara internal ini diharapkan seluruh komponen FORMAT ITB dimulai dari anggota, ketua, sampai anggota FORMAT ITB yang telah lulus dapat saling menjalin tali silaturahmi yang kokoh dan erat dengan rasa kekeluargaan. Dengan beranggotakan berbagai kalangan pelajar yang tersebar di beberapa jurusan, FORMAT ITB menjadi sebuah organisasi yang kaya akan wawasan dan memiliki jaringan yang luas sehingga tidak menutup kemungkinan seseorang dapat menguasai disiplin ilmu yang berbeda.
    Pada akhirnya, FORMAT ITB hanyalah suatu organisasi yang membutuhkan kontribusi dari anggotanya, kontribusi inilah yang akan membentuk jati diri anggota FORMAT ITB menjadi lebih peka terhadap isu global, cerdas dalam berwawasan, mudah dalam bergaul, cakap saat berkomunikasi, dan peduli dengan sesama serta daerah asalnya. Pembentukan jati diri dari anggotanya sesuai dengan tuntutan zaman tidak terjadi secara spontan, tapi membutuhkan suatu kebiasaan yang berkelanjutan dan FORMAT ITB inilah salah satu fasilitas pembentuk jati diri itu.  Begitu juga dengan perkembangan pendidikan, tidak bisa maju dengan sekali atau dua kali acara pendidikan, tetapi harus dilakukan secara kontinu untuk meningkatkan kualitas dan potensi yang ada. Dengan adanya sinergi dari FORMAT ITB dan penyelenggara pendidikan khususnya di kabupaten Garut diharapkan kualitas pendidikan dan potensi pelajar di kabupaten Garut dapat terus meningkat dari tahun ke tahun.

Forum Mahasiswa Garut ITB

Bersama kita bangun garut yang lebih maju dan sejahtera.
Kita adalah mahasiswa ITB yang lahir di Garut, pernah tinggal di Garut, pernah sekolah di Garut, atau peduli terhadap Garut.
Kita berbeda dalam segala, kecuali dalam GARUT!


Bandung, 21 April 2012
             Rizki Ihsan Febrian
       NIM. 10709029
                                   



Wednesday, April 25, 2012

Menampilkan Dunia untuk Pertama Kalinya

Peresensi: Bagus Takwin
http://majalah.tempointeraktif.com/
Judul Buku: Buli-buli Lima Kaki
Penulis: Nirwan Dewanto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 168 halaman

Membaca Buli-buli Lima Kaki seperti bertualang ke wilayah-wilayah baru. Di dalamnya disebut hal-hal yang pernah saya kenal tetapi tak sama lagi. Puisi-puisi yang dimuatnya menghimpun itu semua menjadi tampilan baru.

Saya dulu mengenal kobra, tapi kobra itu kini tampil berbeda. Saya mengenal telur mata sapi, apel, roti, kopi luwak, hiu, soda gembira, bulan madu, palu, liburan, danau, dan tengah malam, tetapi semuanya berbeda dengan yang tampil dalam puisi-puisi Nirwan Dewanto itu.

Kita bisa menyaksikan kobra tampil sebagai aku yang mampu membantah, berkisah, dan refleksi-diri. Bantahan, kisah, dan refleksi yang tak biasa. Kobra yang mampu meyakinkan dengan kata-kata “Percayalah, aku melenyapkan bayang-bayangku dengan bersembunyi dalam liang jika hari sudah terlalu terang, bergelung seperti bulan gerhana sempurna, atau, jika terpaksa, dengan menelan sesiapa yang berkeras menjadi kembaranku betapapun tampan-jelita ia.” Kobra yang menyantap nasi gurih dan Kitab Lebah Ratu.

Kita bisa menyaksikan juga tampilan apel dan roti yang terhubung secara unik dengan benda-benda lain. “Di balik dua butir apel selalu ada sekeping matahari/Hijau, sehingga pisaumu akan tersipu malu/Menatap merah yang selalu padam itu.” Dan “Di antara dua potong roti selalu ada selapis jantung/Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti/Sebelum mencapai putih yang menyala itu.” Sungguh apel dan roti yang tak biasa, seperti benda-benda yang pertama kali dikenali di dunia.

Begitulah, benda-benda, juga ide-ide, seperti terbit untuk pertama kalinya dalam puisi-puisi Nirwan Dewanto dalam buku puisi ini. Membacanya, kita seperti menyaksikan dunia dengan wajah, watak, dan gerak-gerik baru. Hal-hal yang kita biasa temui sehari-hari seperti tiba-tiba menampilkan diri mereka dengan caranya sendiri.

Ragam dunia ditegaskan dengan kemeriahan dan kekhasan benda-benda. Kita harus mengenalinya lagi seperti ketika kita belajar menamai benda-benda untuk pertama kalinya. Kita butuh kepekaan baru dan menyetel indra agar tak terjebak dengan persepsi klise-usang. Kita butuh pikiran dan tenaga baru untuk dapat menyusuri dan menikmati liku-liku dan liuk-liuk dunia yang tampil di sana. Kita perlu siap terkejut dan melepas hasil-hasil pengenalan lama. Karena itu, saya menganggap pembacaan puisi-puisi itu sebagai petualangan.

Intuisi saya menangkap presentasi-presentasi yang diambil dari puisi-puisi terdahulu dalam puisi-puisi Nirwan. Ia juga mengambil banyak unsur dari hal-hal yang pernah ada di dunia, baik dari sumber-sumber alamiah di alam maupun hasil kreasi manusia seperti lagu, teater, sains, pepatah, dan banyak lagi. Tetapi unsur-unsur itu tidak diperlakukan sebagai rujukan atau representasi. Unsur-unsur itu diperlakukan sebagai presentasi, sesuatu yang menampilkan dirinya sendiri.

Unsur-unsur itu juga tidak diperlakukan sebagai bagian dari sumbernya. Mereka dirangkai secara baru dalam puisi sebagai himpunan yang punya prinsip perpaduan tersendiri. Itu semua ikut menentukan watak, wajah, dan gerak-gerik himpunan yang memadukannya. Seakan-akan setiap unsur punya aturan tersendiri meski mereka terhimpun dan dihitung sebagai satu.

Jika puisi adalah ikhtiar untuk melampaui bahasa dengan bahasa, maka Buli-buli Lima Kaki adalah ikhtiar yang berhasil. Dalam puisi-puisi Nirwan Dewanto itu bahasa melampaui fungsinya sehari-hari sebagai alat komunikasi dan ekspresi. Bahasa di sana memungkinkan dunia tampil sebagai presentasi, bukan sebagai representasi.

Puisi-puisi itu tidak mewakili atau merujuk kepada apa yang ada di tempat lain, melainkan menampilkan “dunia” tersendiri yang “ada di sini dan kini”. Apa yang luput oleh bahasa, yang tak terkatakan dalam keseharian, ditampilkan di sana. Eksplorasi bahasa bahkan sampai keluar batas-batas pemaknaan yang pernah ditegaskan terdahulu memungkinkan puisi-puisi itu menjalani ikhtiar puitis hingga menghasilkan kebaruan, mencapai kemungkinan-kemungkinan presentasi dunia secara baru.

27 Desember 2010

Sunday, April 22, 2012

Perempuan-Perempuan Kereta

Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/

Sewaktu pagi belum sempurna memasuki hari, tangan-tangan kekar para perempuan kereta menjinjing keranjang yang penuh dengan telur asin. Mereka berjalan menembus pagi buta yang dipenuhi kabut penghalang mata. Langkah mereka laksana langkah laki-laki yang kokoh menyangga beban yang berat. Ya, itulah pekerjaan sehari-hari dari perempuan-perempuan kereta yang mencari nafkah ke kota demi menyambung hidup di dunia.

Parmi, salah satu dari perempuan-perempuan itu, rela setiap hari pulang pergi ke Surabaya. Dia mempunyai keinginan yang kuat memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Parmi mempunyai lima orang anak. Anak pertama dan anak kedua sudah tamat sarjana S1, sedangkan yang tiga masing-masing masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA. Dari jerih payahnya setiap hari berjualan telur, ia berusaha membiayai kuliah dan sekolah anak-anaknya hingga tamat.

Namun apa hendak dikata. Waktu terus berlalu, dan Parmi juga merasakan itu, yakni usia yang bertambah udzur. Otot-otot tangan Parmi tak sekekar dulu. Kini usianya kurang lebih setengah abad. Di usia setua itu Parmi masih tekun berangkat bersama perempuan-perempuan yang lain ke kota mengais rizki. Setiap pagi ia harus duduk satu hingga satu setengah jam menunggu kedatangan kereta. Mata lelap karena pengaruh kantuk ia lawan dengan mengobrol atau bergurau dengan sesama calon penumpang kereta di stasiun tua. Sampai-sampai karena terlena dengan gurauannya ia tidak tahu kalau kereta sudah mau berhenti di stasiun itu.

Suara petugas stasiun memberi aba-aba jika kereta jurusan Surabaya berhenti di jalur 2. Sedangkan jalur pertama akan dilewati kereta Argo Bromo jurusan Jakarta-Surabaya. Kereta ekonomi yang biasa ditumpangi perempuan-perempuan itu berhenti menunggu Argo Bromo lewat sudah hampir setengah jam. Mereka ada yang memasrahkan diri pada awak kereta, ada juga yang menggerutu karena kereta Argo Bromo yang ditunggu tak kunjung lewat. Ya, memang jadi rakyat kecil harus sabar. Denan menggunakan kereta ekonomi atau biasanya mereka menyebut KRD (Kereta Diesel) dengan biaya dua ribu rupiah untuk sampai Stasiun Turi Surabaya, ya, harus mengalah pada kereta eksekutif tumpangan orang-orang berduit yang tentunya harga tiketnya lebih mahal.

“Waduh, nasib, nasib!” keluh Parmin penjual kipas dari anyaman bambu.

Suasana gelisah menghinggapi para penumpang kereta tapi tidak bagi Parmi. Dia sudah hapal dengan yang seperti itu. Menunggu dua, tiga jam pernah ia rasakan. Ia malah nyenyak dalam tidurnya setelah semalaman kurang tidur. Maklum di rumah ia bekerja sendiri. Mulai dari membersihkan telur yang selama seminggu direndam dengan air garam hingga menggodok kemudian memberi stempel pada permukaan telur asin tersebut satu persatu. Terkadang Parmi harus begadang hingga pukul 23.00 WIB. Pada pukul 03.15 dini hari Parmi harus sudah bangun untuk mempersiapkan sarapan anak-anaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah. Waduh, perempuan yang satu ini memang luar biasa.

Hentakan pertama kereta yang akan berangkat sedikit mengganggu tidur Parmi. Ia terbangun lalu melihat kursi-kursi kereta yang sudah penuh sesak dengan penumpang. Ia kemudian menyandarkan kepalanya ke dinding kereta. Dalam sekejap ia pun tertidur lagi. Kereta melaju kencang melintasi rel-rel yang tak berujung dengan mengeluarkan suara yang gemuruh. Lintasan-lintasan yang tak rata membuat gerbong kereta bergoyang-goyang. Pedagang asongan yang berkeliling menjajakan barang dagangannya jika tidak ingin jatuh harus berpegangan pada pundak-pundak penumpang yang duduk di kursi sebelah kanan-kiri mereka. Wow, begitu mengasyikkan.

“Mi, Parmi, bangun! Kita sudah sampai,” seorang pedagang telur asin membangunkan Parmi yang terlelap dalam tidur. Dengan serta merta Parmi lantas mengangkat dua buah keranjang yang sejak tadi diletakkan di depannya. Tangan yang sudah mulai keriput namun masih tetap kuat mengangkat keranjang yang sarat dengan telur.

“Sri, tolong ini!” pintanya pada rekannya.

Dua keranjag telur ia keluarkan dari kereta lantas diterima oleh Sri yang lebih dulu turun dari atas kereta.

“Matur suwun, Sri!” ucapnya dengan logat Jawa.

Kuli langganannya lantas mengangkut dua keranjang telur untuk di bawa ke tempat biasa Parmi berjualan. Parmi duduk dengan beralas jarik yang dibawa dari rumah. Ia menawarkan telur-telurnya kepada setiap orang yang melintas di depannya. Selama setengah hari parmi duduk dibelakang telur melayani pelanggannya membeli telur-telur yang bercap “Barokah” buatannya.

Sinar matahari sudah mulai terasa menyengat kulit kepala Parmi. Dengan gendongan ia menutupi kepalanya yang sudah dipenuhi rambut putih atau uban. Di dalam keranjang masih tersisa sekitar lima butir telur. Sementara orang yang melintas di depannya sudah mulai jarang. Ia kemudian mengemasi barang-barangnya untuk dibawa ke musholla stasiun. Ia istirahat sebentar kemudian melaksanakn ibadah shalat dzuhur.

Menurut cerita rekan-rekannya, Parmi ini adalah sosok perempuan yang bisa dijadikan anutan. Di samping dia itu ulet dalam bekerja, Parmi termasuk orang yang jujur dan taat beribadah. Walaupun setiap hari ia selalu dalam keadaan berpergian untuk berjualan namun ia tidak pernah meninggalkan kewajibannya melaksanakan shalat lima waktu. Sehingga setiap orang yang bergaul dengan Parmi akan merasa senang dan nyaman. Hingga para petugas di stasiun itu sudah terlalu hapal dengan sosok Parmi yang jujur dan pandai bergaul di usianya yang semakin senja.

Sabar dan teguh pendirian adalah kunci bekerja yang dipegang oleh Parmi. Setiap hari dengan membawa dua keranjang telur asin ia hanya mendapatkan laba sekitar dua puluh lima ribu rupiah. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan rencana pengeluaran untuk biaya sekolah anak-anaknya. Hanya satu yang ada dalam benak Parmi. Yakni, anak-anaknya kelak jangan sampai hidup sengsara seperti yang ia alami saat ini. Buktinya, dua anaknya setelah lulus S1, sekarang sudah bekerja pada instansi pemerintah walaupun masih berstatus sebagai tenaga honorer.

“Yang penting anak saya tidak sebagai penghuni kereta seperti ibunya,” yang kemudian ditertawakan oleh teman-temannya di atas kereta.

Beberapa tahun Parmi bekerja sebagai penjual telur asin. Beberapa tahun pula ia mengenyam pahit manisnya kehidupan. Dari pengalamannya itulah dia berpesan kepada anak-anaknya agar mementingkan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Orang tua tidak akan hidup selamanya. Suatu saat pasti akan mati. Jika ditinggal mati oleh kedua orang tuanya paling tidak anak-anak sudah bisa hidup mandiri dengan bekal yang diperoleh sebelumnya.

Klakson kereta meraung memecah gemuruh suara roda kereta yang berputar di atas rel-rel besi. Jalannya tidak stabil tersendat-sendat oleh rem yang semakin kuat menjepit. Masinis kereta perlahan mengurangi kecepatan laju kereta. Sesaat kemudian percikan-percikan api akibat gesekan rem dengan roda kereta semakin meningkat. Kini kereta benar-benar berhenti di stasiun tua.

Hari sudah tampak gelap. Rel-rel kereta dengan bantalan kayu besi tak terlihat dengan jelas. Dengan perasaan mereka, perempuan-perempuan kereta berjalan menapaki satu demi satu bantalan rel kereta. Langkah gontai tanda kelelahan tampak dari cara mereka berjalan.

“Aduh, kakiku!”

“Kenapa, Mi?”

“Kakiku tersandung kayu ini,” jawabnya dengan menunjuk ibu jari kaki kanannya yang tidak jelas karena hari sudah malam.

Parmi berjalan terpincang-pincang menahan rasa sakit yang agak lumayan.

Di perempatan jalan yang terang oleh sinaran lampu jalan, Parmi berhenti memeriksa ibu jari kaki kanannya. Ternyata darah mengalir dari jari kakinya itu. Kontan perempuan-perempuan yang lain membantu mengobatinya. Ada yang mencarikan obat merah, ada pula yang mencarikan kain kasa untuk membalut luka.

“Obat merahnya habis,” kata Karti setelah dari toko yang berada di pinggir jalan.

“Kain kasanya juga,” sahut Ti’ah yang berlari-lari menyusul Karti.

“Sudah tidak apa-apa. Saya masih kuat,” kata Parmi lantas ia berjalan melanjutkan perjalanan pulang.

Udara malam tak mampu mengeringkan peluh yang bercucuran di dahi Parmi dan kawan-kawan. Tangan-tangan kekar sibuk menyeka keringat-keringat yang mengalir di wajah mereka. Sinar lampu penerang jalan desa menerpa muka-muka lusuh terkena debu kota. Namun mereka tetap tegar dengan secercah senyum di bibir merekah. Perempuan-perempuan bukan lagi orang yang hanya menerima uang dari hasil kerja suaminya kemudian pergi ke pasar untuk membelanjakannya untuk kebutuhan hidup keluarga mereka. Perempuan-perempuan dengan keterbatasannya juga mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan agak terbilang lebih ekstrim. Jika lelaki yang berkerja di kota, misalnya sebagai tukang becak, mereka menginap di kota hingga seminggu kemudian baru pulang. Sedangkan perempuan-perempuan ini setiap hari berangkat pagi kemudian pulang sore, terkadang malam hanya dengan menumpang kereta ekonomi yang sangat ekonomis.

Di halaman rumah, anak-anak Parmi berdiri menunggu kedatangan ibunda tercinta. Berjam-jam mereka gelisah karena hari ini ibunya datang agak malam. Biasanya ketika adzan maghrib berkumandang, ibunya sudah berada di rumah. Ibu yang berusia senja yang ditunggu-tunggu datang berjalan dengan terpincang-pincang. Anak-anaknya segera menghampirinya kemudian memapah ibunya dan membawakan dua keranjang telur yang dijinjingnya.

“Di keranjang masih tersisa lima butir telur. Ambillah sebagai lauk makan malam kalian. Ibu tidak membeli ikan karena uangnya pas-pasan untuk membayar sekolah kalian besok,” katanya kemudian dengan suara parau.
_____________________
*) Cerpenis lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Tabloid Telunjuk, Majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Absurditas Rindu (SastraNesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006). Selain menulis, juga sebagai tanaga edukatif di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.

Sunday, April 15, 2012

Tentang Seniman Kaya

Mathori A Elwa 
http://teraspolitik.com/

Pada tulisan saya sebelumnya, “Tentang Seniman Miskin”, Kamis (8/3/2012), saya menjelaskan duduk perkara hubungan antara seniman dengan kekayaan (material) atau sebutlah itu penghasilan uang.

Ada yang sepakat, ada yang tidak. Hal itu sudah saya sadari dan saya pahami sebelumnya. Bagi saya yang terpenting adalah menyampaikan pendapat itu secara obyektif. Adapun jika ada yang tersinggung, saya sekali lagi, maaf lahir-batin.

Apa yang saya sampaikan semata karena pengetahuan yang saya miliki dan tentu kebutuhan untuk menyatakan pendapat di ruang publik secara bebas.

Sekarang saya tertarik bicara tentang seniman kaya. Maksudnya,membuka wacana hubungan antara seniman dengan kekayaan. Perihal ada seniman yang kaya (materi), itu jelas fakta. Adapun yang kemarin saya ungkap sebagai seniman miskin juga banyak.

Seniman kaya, sebagaimana manusia pada umumnya, biasanya dikondisikan oleh beberapa sebab. Pertama, harta warisan. Kedua, karena mampu mengomodifikasikan hasil karyanya yang idealis itu kearah komersialisasi atau karena karyanya ditakdirkan memiliki pulung komersial. Ketiga, karena sang seniman itu punya sambilan usaha, artinya sebagai seniman sekaligus sebagai wirausahawan.

Perihal harta warisan, jelas tidak menarik dikaji mengingat itu mudah terjadi pada siapapun. Tetapi padahal yang kedua danketiga, agaknya memang patut dibahas.

Karya seni, entah lukisan, sastra, atau yang lain,biasanya bertahan pada aspek independensi atau kemurnian. Atau bahasa gaul anak aktivis, sebagai karya idealis. Artinya karya itupada proses penciptaannya tidak diniati atau diseting sebagai karya komersial.

Sekalipun mutunya setinggi langit kadang tak bernilai secara materi. Tidak bernilainya karya itu secara materi bisa disebabkan beberapa hal; di antaranya tidak ada konsumen yang tertarik atau karena bisa jadi sang seniman tidak mahir menjual kepada segmen yang membutuhkannya. Tinggal tunggu waktu. Ironisnya, karya demikian seringkali menemukan momentum komersialnya justru setelah sang seniman pergi meninggalkan kadonyan menuju kehidupan spiritual yang abadi yang secara tradisi kita sebut “mati”.

Adapun seniman yang sering meraup materi dari hasil kreasi idealisnya biasanya peka bermarket-ria, atau mahir berhubungan denganjejaring “konsumen seni” sehingga produk idealismenya menghasilkan materi.

Perihal yang ketiga ialah karena sang seniman mahir berwirausaha atau pandai menjalin hubungan dengan wirausahawan, minimal EO atau person/lembaga yang cakap menraup untung dari karya kreatif. Seniman seperti ini biasanya menjaga karyanya sebagai bentuk pencapaian kepuasaan batin murni.

Karena ia sadar, bertahan pada idealism seperti ini tidak memungkinkan untuk hidup makmur dengan hasil karyanya, ia membagi waktu dan pikiran untuk mencari kebutuhan materinya sebagai wirausahawan atau menjalin silaturahim dengan individu atau lembaga yang memiliki potensi market. Dengan kata lain ia memerankan dirinya menjadi setengah seniman, setengah wirausahawan.

Mujurnya yang bisa doble gardan seperti ini, terkadang karya seninya bisa terjual sejalan ia melakukan kegiatan bisnisnya. Kedua hal tersebut merupakan pembagian kategori. Pastinya Anda tertarik memilih salahsatunya bukan?

Bagaimana caranya?

Itu yang mudah diwicarakan, tetapi sulit setengah mati dilakukan. Tak bisa direncanakan seketika, melainkan butuh proses panjang sejalan panjangnya melakoni hidup. Sekalipun sulit, bukan berarti hal itu sesuatu yang mustahil. Bisa dan boleh direncanakan. Syaratnya ialah konsistensi, kemauan, kerjakeras dan tentu sikap tabah. Ya, sekali lagi, konsistensi, kemauan, kerjakeras, dantabah, “vitamin langka” yang kini agak susah kita temukan pada diri seniman zaman serba instan dan cepat ini.

Pertanyaannya kini, mengapa kini muncul anak-anak muda genius tanpa terlebih dahulu susah payah “mengonsumsi vitamin langka” yang saya sebut tadi?

Kunci jawabannya adalah, anak-anak muda genius itu tidak mendapatkan hadiah secara gratis begitu saja.

Orangtua, kakek/nenek, atau keluarga,dimana gen anak-anak itu bersemayam, jauh-jauh hari telah mengonsumsi kepahitan hidup dan tak pernah melepaskan diri dari perjuangannya mendapatkan “vitamin langka”.

Laku prihatinnya membekas dalam diri sang dzurriyyah, anak, cucu, cicit dan seterusnya. Tibet, yang merupakan hasil dari berjalannya hukum sebab akibat, menitis kedalam diri anak-anak muda genius. Tak ada dalam sejarah, manusia genius, sukses atau katakanlah dinilai melebihi orang rata-rata tanpa peran leluhurnya melakoni duka-derita terlebih dahulu dalam meraih impiannya.

Sebaiknya seniman, terutama kepada seniman muda adik-adik saya, pemikiran di atas bisa Anda gunakan sebagai peta untuk meraih tujuan hidup di masa mendatang. Sebaik-baiknya seniman ialah mereka yang tidak berlaku ekstrem.

Menjaga kebutuhan spiritual (dalam hal ini dengan melakoni kesenian), sekaligus menjaga kebutuhan material adalah sesuatu yang wajar, manusiawi dan itu lebih baik ketimbang sok suci dari materi tetapi -mohon maaf lahir batin- bermalas-malasan bekerja dan baru menghasilkan karya yang belum seberapa bernilai, tapi gemar bermimpi rekeningnya kemasukan uang sebanyak Mafioso pajak.

Tapi, ngomong-ngomong, “setelah” kaya mau apa? Itu merupakan pertanyaan penting. Patut diajukan, terutama kepada seniman-seniman yang masuk golongan Orang Kaya Baru (OKB). Tak salah menjadi OKB. Justru kita selaku masyarakat turut bersyukur dan senang melihat banyaknya OKB, sehingga negara nggak usah turut memikirkan bagaimana mereka terentas dari kemiskinan sampai akhirnya para seniman ikut antre beras miskin.

Yang jadi soal adalah: lalu untuk apa? What next?

Titik tekannya bukan pada kayanya, akan tetapi saya member tanda petik pada kata setelah sebagai cara memaknai “proses menjalani hidup itu yang lebih utama, dan bukan pada hasil akhirnya.

Sebagai pelaku, kita hendaknya menyadari bahwa siklus kehidupan itumesti terus berlangsung entah sampai kapan.

Bahkan dalam terminologi Jawa, lakon itu punya arti khusus: subyek terpenting dalam peristiwa atau cerita.
Kita sebagai pelaku utama, subyek terpenting, hendaknya menghayati secara penuh apa yang kita perankan dan apa yang telah, tengah dan akan terjadi di lingkaran kehidupan ini. Bukankah berpikir, merenung, tafakur itu nilainya melebihi ibadah lainnya bahkan punya nilai tertinggi di hadapanTuhan?

Banyak di antara OKB di kalangan seniman tak memiliki konsep yang jelas untuk apa kekayaan yang mereka dapat, sehingga kehadiran sebagai OKB seakan sama artinya dengan saat sebelum menjadi OKB.

Lingkungan tak berubah, saudaranya yang miskin tetap, semua berjalan tanpa ada perubahan. Lebih celaka lagi, jika kehadiran OKB ini melah merepotkan banyak pihak, atau minimal menimbulkan tanda tanya tetangga.

Jika begitu, apa maknanya kekayaan yang tak punya daya mengubah? Bukankah kekayaan itu sarana, bukan tujuan?

Lebih repot lagi, jika sang OKB telah pergi meninggalkan semua yang dimilikinya. Masih “beruntung” jika sang OKB tidak menyaksikan ahli warisnya berantakan, kasak-kusuk berebut calon warisan dan hakcipta peninggalan calon almarhum.

Masih “beruntung” sang OKB tidak menyaksikan ahliwarisnya rapuh, tanpa pegangan spiritual, ngepil, mabok, melacur dan judi. Molimo. Kelak jika sang OKB telah tak bisa melakukan apa pun alias tewas, kisah atau sinetron yang mengerikan akan lebih seru, saru, bengis, dan memalukan kerap kita tonton atau perdengarkan bagai sebuah mahakarya kehidupan dunia yang memilukan. Karyanya agung, tapi ironisnya; sebagai manusia ia jatuh dan menyeret banyak orang ke jurang tragedi.

“Yang Maha Ironi” telah memperdayakannya hingga keliang kubur tanpa ampun! Semoga kita terhindar dari yang demikian.

Waspadalah !

Mathori A Elwa adalah Penyair dan Editor Buku

Indonesia: dari Paha Hingga Agama

Judul: Puisi dan Bulu Kuduk (perihal sastra dan budaya)
Penulis: Acep Zamzam Noor
Editor/Penyunting: Mathori A Elwa/Faiz Manshur
Pengantar: Jakob Sumardjo
Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung, Juli 2011 Harga: Rp 48.000
Peresensi:  Arifin Hakim
http://oase.kompas.com/

Buku ini merupakan kumpulan esai-esai sastra, bahasa dan budaya yang ditulis oleh seorang penyair kenamaan dari Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor.

Melalui proses kreatif yang mahir, sang penulis berhasil memotret fenomena kebudayaan nasional melalui paham yang dianutnya, yakni sastra. Sebagai sastrawan yang memiliki mindset berpikir universal, Acep mencoba melakukan rekonstruksi pemikirannya sendiri atas apa yang terjadi pada fenomena politik, budaya, agama dan seksualitas di Indonesia.

Puisi dijadikan sebagai judul merupakan simbolisasi dari bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi paling penting di dalam proses kebudayaan manusia. Sedangkan Bulu Kuduk merupakan simbolisasi perasaan di mana seseorang yang memiliki kepekaan tertentu seringkali bulu kuduknya merinding. Jadi puisi dan bulu kuduk kalau digabung bisa bermakna luas berupa fenomena bahasa nasional yang membuat banyak orang merinding.

Bulu Kuduk seseorang bisa merinding manakala melihat paha lawan jenisnya--sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa bagian esai di buku ini. Tetapi seseorang juga bisa merinding melihat perilaku orang beragama yang lakunya bertentangan dengan etika agama yang dipeluknya. Seseorang bisa merinding karena melihat banyak anak muda dengan idealisme yang kelewat gila, tetapi ia pun bisa merinding melihat banyak elit politik berpaham humanis dan bahkan religius tetapi perilakunya kelewat serakah, bahkan biadab.

Dengan memahami simbolisasi seperti itulah kita bisa menikmati kehebatan karya ini. Melalui ijtihad berpikirnya, Acep menawarkan banyak ide-ide brilian untuk melihat Indonesia, bahkan tak jarang memberikan solusi jenius. Cara pandang yang ditawarkannya berbasis kearifan batin dengan visi jauh “upaya memajukan dan memanusiakan” kehidupan berbangsa.

Ada banyak persoalan nasional selama 10 tahun terakhir yang dilihat oleh Acep. Beberapa naskah yang memotret persoalan nasional itu di antaranya: “Puisi, Posisi Saini, Sepuluh Sajak Goenawan, Cerpen-cerpen Puitik Danarto, Puisi Anggur Omar Khayam, Pesantren, Santri, Puisi, Bahasa, Identitas, Akar Tradisi, BRB , In Memoriam Irzadi Mirwan, Puisi dan Bulu Kuduk, Puisi dan Ketulusan Hati, Dari Pertemuan Kecil ke Pasar Bebas, Perlukah Sastrawan Indonesia Berserikat? Salju dan Nyanyian Bunga Mei, Para Penyair Salaf, Puisi yang Mengingatkan, Kidung Purnama, Kreativitas dan Pemicunya, Melati di Paha Yunis, Mengolah Realitas, Puisi dan Batu Akik, Sekitar Proses Kreatif Saya.”

Di tengah-tengah miskinnya tradisi penulisan kreatif berbentuk esai bermutu, Acep melalui penerbitnya berani menawarkan hal-hal baru. Para penyair, bahkan sastrawan secara umum harus diakui memang miskin dalam melahirkan karya bermutu. Acep adalah sedikit penyair yang selain mahir berpuisi juga mahir menulis esai bermutu.

Dari sekian manfaat bagi pembaca, saya menilai dua kelompok terpenting yang semestinya membaca buku ini. Pertama adalah guru dan dosen yang berhubungan dengan bahasa dan komunikasi. Melalui goresan pena yang didukung daya intelektualitas tinggi, sang penulis memberikan isi (konten) berupa ilmu pengetahuan yang baik untuk mengapresiasi sebuah karya. Murid-murid sekolah SMA dan mahasiswa sastra dan komunikasi akan mendapatkan banyak manfaat dari paradigma yang ditawarkan penulis.

Kedua, bermanfaat bagi para penulis. Para penulis, terutama penulis pemula, yang selama ini mengalami kebuntuan di masa-masa awal akan terbuka melalui cakrawala penggunaan bahasa, cara melihat objek/fenomena yang akana ditulis dan juga bagaimana seharusnya memilih topik dengan angle penulisan yang kokoh dan berkarakter. Lebih dari itu, para penulis juga akan mendapatkan dorongan agar berani keluar dari pakem-pakem penulisan formal yang menjebak proses kreatif.

Setelah membaca karya ini, sebenarnya kita tidak perlu ragu lagi menyebut Acep sebagai seorang pembaru dalam bidang sastra dan budaya. Ketajaman analisa dan daya intelektualitasnya lebih segar dari para sastrawan tua seperti Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, dan budawayan lain. Bisa disebut bahwa Aceplah yang saat ini mampu menjadi “empu”nya sastra di Indonesia.

Arifin Hakim. Peminat Kajian Sastra dan Agama. Tinggal di Cirebon.

Sunday, April 8, 2012

Antara Kho Ping Ho dan SH Mintardja

Teguh Setiawan
Republika, 14 Nov 2011

KEDUA berutang pada penerjemah Cerita Kungfu, dan keduanya membentuk identitas keindonesiaan masyarakatnya masing-masing.

“Saya menulis untuk mencurahkan hati saya. Dengan menulis, saya bisa melepaskan persoalan penindasan yang ada di dalam batin. Sebagai contoh, dalan kehidupan sehari-hari saya sering menjumpai ketidak-adilan, penindasan, dan kerakusan, tapi saya hanya bisa marah dalam hati.

Untuk mengkritik secara langsung, sung guh saya tidak memiliki keberanian. Lewat Cerita Silat saya bisa mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapa pun. Saya salah satu tipe pemberontak. Ketika saya muda, karakteristik itu mendominasi. Tentunya semangat membe rontak itu dibutuhkan dalam diri seorang anak muda. Kami harus cukup berani mengatakan apa yang salah dan benar, serta mengubah tatanan yang jelas-jelas salah.”

Asmaraman S Kho Ping Ho

Di Tiongkok, penelitian terhadap Cerita Silat (Cersil) telah dimulai tahun 1925, ketika Lu Xun menulis Sejarah Singkat Novel Tiongkok. Di Indonesia, penelitian terhadap Cersil baru dilakukan tahun 2004, dengan terbentuk nya Masyarakat Tjerita Silat (MTjersil) dan diluncurkannya majalah Rimba Hijau. Sebelum 2004, Leo Suryadinata hanya sekali mengurai Cersil. Saat menjadi penyunting Sastra Peranakan Tionghoa-Indonesia, ia membuat tulisan berjudul Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Sebuah Uraian Ringkas.
Hiang Phek Tauwtoo mempublikasikan tulisan berjudul Perjalanan Tjerita Silat Indonesia di Ruang Baca Koran Tempo edisi 30 Oktober 2005. Empat tahun ke mu dian Aimee Davis meneliti Cersil, dan mempublikasikan dalam bentuk buku Orang Indonesia-Tionghoa: Mencari Identitas. Edward Buckingham mungkin yang paling serius meneliti Cersil di Indonesia.

Ia memfokuskan penelitiannya pada dua penulis Cersil yang melegenda; Asmaraman S Kho Ping Ho dan Singgih Hadi (SH) Mintardja, dan mempublikasikan di Singapore Society of Asian Studies Journal No 34 (Juni 2010) dengan judul The Memetic Evoluction of Indonesians Martian Arts Fiction: Two Case Studies. Buckingham menggunakan teori memetik untuk mengkaji karya-karya Kho Ping Ho (KPH) dan SH Mintardja. Ia berupaya menjelaskan Cersil sebagai produk migrasi literer, yang mempengaruhi pendifinisan identitas Tionghoa-Indonesia.

Evolusi

Cersil sebagai bentuk fantasi heroic, menurut Buckingham, adalah pengembangan tradisi mitos heroism kuno dan legenda asli Indonesia. Tradisi literer heroic berevolusi dan berubah, ketika penduduk Nusantara kemasukan gelombang budaya dari luar; India, Timur Tengah, dan Barat.

Pengaruh terbaru yang bisa dilihat dalam cerita silat adalah wuxia xiaoshuo. Leo Suryadinata dan Claudine Salmon mendokumentasikan semua ini dalam buky Literary Migration, Xu You Nian juga menuliskannya dalam The Literature of Indonesian Born Chinese.

Sebelum Kho Ping Ho berproduksi, Tionghoa Indonesia lebih banyak menikmati karya-karya penulis dari Hongkong dan Taiwan; Jin Yong, Yu Sheng, dan Gu Long. Buckingham menyebut karya-karya ketiganya, yang diterjemahkan Gan KL dan Oey Kim Tiang (OKT), sebagai Cerita Kungfu.

Cerita Kungfu, menurut Buckingham, berevolusi mempengaruhi proses penciptaan apa yang kini disebut Cerita Silat (Cersil). Ketika Cersil muncul, tingkat melek huruf terus meningkat. Hal ini mempercepat perkembangan Cersil dan replikasi memetik Cerita Kungfu. Memes atau seperangkat gagasan, gaya, dan simbol budaya dari wuxia xiaoshuo mengalami transformasi ketika diceritakan kembali, diadaptasi, dan diadopsi oleh pengarang Indonesia. Setelah sekian lama, memes wuxia xiaoshuo muncul kembali dans sepenuhnya telah menjadi literay memeplexe yang bergaung kuat di tengah masyarakat lokal.

Dalam perkembangan Cersil, hanya ada dua nama fenomenal yang mendominasi. Kho Ping Ho yang menggunakan ruang imajiner Tiongkok dan SH Mintardja yang menggunakan ruang imajiner Indonesia (khususnya Jawa). Penting disebutkan gaya KPH, yang ma sih popular sampai saat ini, tidak bisa ditiru. Bahkan KHP mungkin yang paling suk ses. Karya-karyanya lebih banyak terjual, dan dibaca khalayak pribumi dan Indonesia.

Situasi Politik

Tidak mudah memahami mengapa KPH lebih sukses dibanding SH Mintardja.
Buckingham mencoba menjelaskannya dengan lebih dulu mempelajari situasi polisik pasca 1950-an. Setelah penyerahan kedaulatan, dan Belanda angka kaki dari tanah jajahannya, norma-norma memudar dan sebuah masyarakat baru terbentuk, dan secara langsung berdampak pada status komunitas migrant Tionghoa. Tionghoa Indonesia merespon perubahan ini dengan membentuk sejumlah perkumpulan untuk melindungi hak-haknya.

Salah satunya, dan yang mungkin paling berpengaruh, adalah Baperki. Organisasi yang merangkul, dan melebur organisasi-organisasi kecil, dibentuk tahun 1954. Setahun kemudian, Indonesia menandatangani perjanjian dengan Republik Rakyat Cina untuk menghindari dual nationality dan menyelesaikan sejumlah masalah.

Namun setelah konflik separatis Permesta tahun 1958, Indonesia melarang aktivitas Kuo Min Tang (KMT). Akibatnya, pemegang passport nasionalis Cina menjadi penduduk tanpa negara. Dengan dukungan Jenderal AH Nasution, sekelompok Tionghoa menganjurkan asimilasi.

Mereka membentuk Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa. Kelompok lainnya, atas dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI), menginginkan integrasi dengan meminta status suku atau minority status, yang memungkinkan mereka mempertahankan tradisi dan bahasa. Pemerintah Soekarno lebih menyukai asimilasi. Mereka menutup sekolah-sekolah Cina, untuk memangkas kapasitas Tionghoa yang berusaha mempertahankan bahasa leluhur.

Semua ini berlangsung sampai kudeta 1965, yang menggulingkan Soekarno. Kelompok penganjur asimilasi menang. Hampir seluruh sekolan Cina yang tersisa ditutup, atau diubah menjadi sekolah pribumi untuk kelas menengah. Akibatnya, kesempatan bagi masyarakat Tionghoa untuk belajar bahasa leluhur mereka benar-benar tertutup.

Situasi politik ini berdampak terhadap evolusi Cersil dan distribusinya. Arus besar pers menyerapa koran-koran Melayu-Tionghoa, yang sekian puluh tahun menjadi alat distribusi Cerita Kungfu. Ketika sentimen anti-Tionghoa — yang konon banyak digerakan militer untuk merenggangkan hubungan Indonesia dan pemerintahan komunis di RRC menguat, pemerintah Soekarno melarang pemuatan Cerita Kungfu secara bersambung di koran-koran berbahasa Indonesia. Dalam situasi seperti ini, Kho Ping Ho memperkaya ceritanya dengan gagasan progresif, dan bahasa yang jauh lebih baik, agar lebih bisa diterima pembacanya. KPH frustrasi dengan terjadinya sentiment anti-Tionghoa. Ia kehilangan rumahnya di Taksimalaya, dibakar massa saat kerusuhan 1963, dan pindah ke Solo.

KPH mengawali kemunculan Cersilyang ditulis secara lokal sebagai lawan karya-karya terjemahan, yang mengisi ceruk pasar Cerita Kungfu yang sudah mapan. Bahkan KPH tidak hanya menyedot pembaca dari kalangan masyarakat Tionghoa, tapi juga pribumi.

“Lewat buku ini, saya ingin menegaskan
bahwa tanah tumpah darah kami
juga memiliki material yang bisa dijadikan
bahan cerita silat.
Sayangnya, saat ini tidak banyak
orang yang bersedia menulis Cerita Silat
dengan materi yang lebih membumi.
Penulis lebih suka mengambil cerita dari
Cina dan meng aplikasikannya. Saya ingin
menciptakan cerita saya dengan ruang
imajinasi lokal.”

SH Mintardja

SH Mintardja mungkin tidak sesukses KPH. Ia memanfaatkan larangan pemuatan Cerita Kungfu secara bersambung di koran-koran, dengan menghadirkan Api di Bukit Menoreh di salah satu koran paling berpengaruh di Yogyakarta. Mintardja menjadi pelaku replikasi memetik horizontal dalam skala nasional.
Penulis Cersil kelahiran 26 Januari 1933 mungkin juga berutang pada Gan KL, OKT, dan penerjemah Cerita Kungfu lainnya. Namun, Mintardja tidak hanya mengambil meme cari Cerita Kungfu, tapi juga memanfaatkan pengetahuannya akan Babad Tanah Jawa, dan tradisi lokal masyarakatnya. Ia menciptakan Mahesa Jenar, sosok dalam Api di Bukit Menoreh, yang hampir mirip dengan Bima – tokoh dalam Mahabharata. Bahkan Mahesa Jenar menjadi memeplex yang hidup sampai saat ini.

Popularitas Mahesa Jenar, menurut Buckingham, menjadi petunjuk bagaimana konseptualisasi kepahlawanan populer berevolusi selama periode itu. Pada Nagasasra Sabukinten, Mintardja mengambil meme Wayang. Bahkan konstruksi buku ini dibuat seperti Bhara tayud ha , terutama pada klimaks. Struktur narasinya berbeda dengan KPH, karena lebih Rajah-Centric. Buckingham mengatakan Rajah Centric adalah kode etik suci politik dan sebagai fokus identitas nasional.

Lebih penting dari semua itu Nagasasra Sabukinten membantu mendefinisikan orang modern Indonesia, yang memiliki jiwa satria. Meme satria berasal dari Hindu Jawa, yang kemudian dicomot Sokarno untuk kode etik pembangunan nasional bagi pegawai negeri. Legenda lokal juga tak luput dari perhatian Mintardja, salah satunya adalah Candi Jongrang. Mintardja. Ia menggunakan pendekatan Mahabharata, tapi dengan gaya bercerita yang menyerupai wuxia xiaoshuo.

Mintardja memiliki pembacanya sendiri, yaitu masyarakat Jawa yang merindukan masa keemasan tanahnya. Lebih dari itu Mintardja, lewat semua cerita silatnya, mengajarkan pembacanya akan sejarah Jawa. Ini sejalah dengan pernyataan Soekarno untuk tidak sekalikali melupakan sejarah.

KPH dan SH Mintardja, menurut Buckingham, dalah sosok yang membentuk identitas masyarakatnya dalam bingkai keindonesiaan. Namun pembentukan itu masih terus berlangsung, dan tidak akan pernah berhenti. Oleh karena itu, karya-karya KPH dan Mintardja menjadi penting untuk terus dibaca generasi kini dan esok. Kesamaan lain dari keduanya adalah menyuarakan semangat antipremanisme, rent seeking, dan feodalisme.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/11/teraju-antara-kho-ping-ho-dan-sh.html

Malang Tempo Doeloe Sebagai Fenomena Post-modernisme

Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Malang Post, 22 Mei 2011

Ada pemandangan sangat menarik di sepanjang jalan Ijen di kota Malang setiap bulan Mei sejak lima tahun terakhir, yakni suasana serba ‘doeloe’ mulai dari gambar atau foto kota Malang, jajanan (seperti tiwul, cenil, jadah, gelali), minuman, pakaian para pelayan yang serba tradisional, pentas hiburan hingga warung-warung yang menjual makanan. Semuanya menggambarkan keadaan Malang tempo dulu. Jumlah pengunjung dari tahun ke tahun terus meningkat. Banyak warga Malang yang berada di luar kota pada pulang kampung untuk melihat agenda tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Malang tersebut. Tidak sedikit warga luar Malang juga datang menyaksikan peristiwa unik tersebut. Konon banyak warga yang tinggal di luar negeri juga pulang, sekaligus untuk menengok keluarga.

Entah apa ihwal yang melatarbeIakanginya, tetapi rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ide penyelenggaraan kegiatan itu cukup cerdas. Masyarakat Malang merasa terhibur dan untuk sementara waktu bisa melupakan kasus-kasus besar secara nasional yang sedang mengemuka, mulai hiruk pikuk rencana pembangunan gedung DPR, korupsi pembangunan sarana SEA Games di Palembang oleh bendahara Partai Demokrat, terorisme, kisruh Kongres PSSI, hingga hasil UN tahun 2011. Berbagai isu besar itu kalah pamor dengan kegiatan Malang Tempo Doeloe yang dimulai tanggal 19 Mei 2011. Benda-benda kuno seperti keris, panah, udeng, cowek, lesung, dan sebagainya dipamerkan. Foto-foto di jaman pemerintahan kolonial Belanda juga ikut meramaikan suasana serba ‘doeloe’.

Malang Tempo Doeloe diformat dalam suasana serba kuno dengan berbagai karaktersitiknya dengan aneka ragam makanan tradisional dengan setting suasana pedesaan. Aneka makanan tradisional dan suasana ‘desa’ itu bukan sekadar makanan untuk dinikmatiya, tetapi juga di dalamnya aspek sosial budaya. Makanan bisa berceritera tentang status sosial pemakannya dan kondisi keluarga serta lingkungannya. Sebagai orang desa yang sudah sekian lama tinggal di kota, saya selalu ingin membeli makanan kesukaan saya ‘tahu lonthong’ tatkala pulang kampung. Warung tempat jual ‘tahu lonthong’ itu masih utuh seperti dulu, kendati penjualnya sudah turun ke anak dan cucunya. Ketika menikmati makanan tersebut memori masa kecil saya di desa puluhan tahun lalu tiba-tiba hadir kembali. Suasana bermain di desa ketika itu terbayang sangat jelas dan semuanya masih terekam dalam memori kolektif saya.

Kehidupan adalah siklus. Orang yang terbiasa hidup di desa ingin suatu kali menikmati suasana kehidupan kota. Sebaliknya, yang terbiasa dengan kehidupan kota yang serba ‘modern’ suatu saat ingin kembali menikmati suasana hidup pedesaan. Rasa ingin kembali ke masa lalu sejatinya manusiawi saja. Biar sudah hidup di perkotaan dan menjadi pejabat atau orang terkenal, kita tetap orang Indonesia yang suatu saat ingin kembali ke akarnya (desa), karena sebagian besar wilayah Indonesia adalah pedesaan.

Kerinduan terhadap masa lalu seperti itu ditangkap oleh pemerintah kota Malang lewat acara “Malang Tempo Doeloe”. Ribuan warga kota Malang yang memiliki ikatan kuat dengan masa lalu akan pulang kampung, termasuk ikatan untuk makan makanan tradisional sepeerti jajan pasar. Setelah sehari-hari berkenalan dengan makanan dan suasana ‘modern’, toh akhirnya mereka rindu juga dengan masa lalu. Dengan bernostalgia mengenang masa lalu tidak berarti kita menjadi ‘ndeso’. Kita tetap bisa mengikuti kehidupan modern, tanpa kehilangan rasa empati terhadap hal-hal tradisional. Menurut saya menjadi modern memang bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi lebih berupa sikap hidup yang mengedepankan rasioanalisme. Jadi istilah kerennya ‘being modern is being rational’.

Kalau begitu ‘Malang Tempo Doeloe’ itu sesungguhnya gejala apa? Ada seorang kawan yang menyebutnya sebagai gejala post-modernisme. Apa itu post-modernisme? Di kalangan komunitas intelektual, berkembang suatu cara berpikir dalam memandang fenomena budaya yang kemudian diberi nama ‘post-modernime’. Cara berpikir ini memberikan ruang cukup lebar kepada siapa saja yang sudah merasa muak atau setidaknya bosan terhadap pola kehidupan modern yang serba seragam, teratur, tertata, monoton, totaliter, rasional, dan kapitalistis sebagaimana kita rasakan selama ini. Orang-orang yang sudah merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti itu merasa mendapat perlindungan dari cara berpikir post-modernisme. Bahkan para gelandangan, kaum lesbi, homoseks yang selama ini terpinggirkan secara struktural dan sosial merasa terlindungi oleh payung post-moderisme.

Penggagas gerakan pemikiran tersebut ialah para filsuf Perancis seperti Foucault, Lyotard, Derrida, dan Deleuze. Oleh Baudrillard, Rorty, dan Maclntyre cara berpikir baru ini dijadikan sebagai sebuah paradigma atau cara pandang untuk memahami gejala sosial dan budaya. Gerakan pemikiran post-modernisme sebenarnya merupakan upaya untuk mendelegitimasi modernitas yang mengandung suatu utopia atau cita-cita kemajuan (progress) sebagai dasar untuk mengukur perjalanan sejarah kehidupan. Di dalam utopia tersebut terdapat dua macam aliran pemikiran besar yang saling kontras, yakni Marxisme dan liberalisme. Marxisme melahirkan sistem politik komunisme dan liberalisme melahirkan sistem kapitalisme. Dari dua aliran pemikiran besar tersebut, dalam praktiknya komunisme tidak mampu bertahan seiring dengan runtuhnya Uni Soviet, kendati nilai-nilainya sebagai paham tetap saja hidup hingga saat ini.

Bagaimana pun harus diakui bahwa dua aliran pemikiran tersebut telah menjadi komando atau arah pembangunan sosial. Kehidupan kapitalis telah menjadikan masyarakat materialistis yang mengukur kemajuan dari sisi kebendaan dan kepemilikan material. Lewat alam pemikiran post-modernsime sekat-sekat kepemilikan secara material dihapus. Post-modernisme mengedepankan kebersamaan dan menghilangkan praktik hegemoni kekuasaan. Sebab, di mata post-modernisme praktik kekuasaan melahirkan golongan yang terpinggirkan atau termarginalisasi. Tentu saja post-modernisme sangat dibenci oleh kalangan yang sudah mapan dan mempraktikkan kekuasaannya dengan leluasa. Rezim Orde Baru merupakan contoh praktik kekuasaan serba seragam. Kita mungkin masih ingat pemerintah Orde Baru meminta warga untuk menulis PKK di atap setiap rumah. Bahkan, beberapa masih tersisa dengan jelas saat ini. Mobil dinas pejabat juga diseragamkan, yakni dengan mobil nasional TIMOR. Tas dan sepatu siswa saja dulu akan diseragamkan. Untung rencana itu gagal seiring dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru.

‘Malang Tempo Doeloe’ telah memberikan gambaran bahwa hal-hal yang serba teratur, seragam, hegemonik, dan sejenisnya tidak bisa langgeng. Kehadiran berbagai makanan ala pedesaan yang serba tradisional telah menepis angapan bahwa makanan ala jajan pasar hanya makanan warga pedesaan dan kelas bawah. Lewat ‘Malang Tempo Doeloe’ aneka ragam makanan desa itu dihadirkan dan dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas. Menghadirkan rasa ‘lalu’ dan dalam suasana tidak formal, tidak diatur, tidak seragam, tidak dikomando, tidak ada kelas-kelas sosial sehingga semuanya tumpkek blek dalam arena panggung hiburan adalah gambaran jelas praktik post-modernisme.

Sebagai kota ukuran sedang, Malang tumbuh sangat cepat, baik dari sisi demografi, pembangunan sarana dan prasarana, sekolah, dan berbagai ruang publik untuk berbagai keperluan masyarakat. Pertokoan menjamur di berbagai tempat. Didukung oleh udara yang segar dan beaya hidup yang tidak begitu tinggi, Malang menjadi alternatif tempat tinggal di masa pensiun dan tempat menyekolahkan anak. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak pemilik rumah mewah di Malang sehari-hari tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Batam, dan sebagainya. Hanya pada hari-hari tertentu saja mereka menengok rumahnya.

Seiring dengan pertumbuhan kota yang demikian pesat, warga Malang telah merasa hidup dalam suasana ‘urban’. Aneka fasilitas umum serba modern menjadikan masyarakat merasa jenuh. Seorang kawan yang asli Malang dan kini bermukim di luar Jawa dan lama tidak pulang sangat terkejut dengan perubahan kota kelahirannya, tidak saja menyangkut aspek fisik, tetapi juga perubahan udaranya yang tidak sesegar dulu. Berkali-kali dia menyebut “Malang tidak lagi dingin seperti dulu”. Apa yang dikatakan kawan itu tidak salah. Kita yang saat ini tinggal di Malang merasakan udara panas. Perubahan iklim tentu disebabkan banyak faktor, seperti terjadinya global warming, peningkatan jumlah penduduk, berkurangnya daerah hijau, meningkatkan jumlah industri, bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dan sebagainya.

Di tengah-tengah suasana ‘perubahan’ itu, warga Malang ingin ‘kembali’ ke serba masa lalu, yang serba bebas dan tidak diatur. Oleh karena itu, semakin banyak warga yang hadir dalam acara Malang Tempo Doeloe semakin meneguhkan pemahaman bahwa masyarakat Malang sejatinya sudah jenuh dengan kehidupan ‘urbanized’ yang wah dan modern. Penguasa juga perlu hati-hati. Sebab, gejala post-modernisme juga berarti masyarakat sudah tidak lagi merasa nyaman atau jenuh dengan praktik penyelenggaraan kekuasaan yang selama ini berjalan. Semua bisa kita saksikan bagaimana Malang Tempo Doeloe 2011 ini berlangsung. Semakin jelas pula terlihat bagaimana praktik post-modernisme telah hadir di Malang, kendati alam pikirannya berasal dari negeri nan jauh di Eropa.
________
Malang, 18 Mei 2011
Dijumput dari: http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/287-malang-tempo-doeloe-sebagai-fenomena-post-modernisme.html

Amuk Perang Ego Capgomeh

Sofian Dwi
http://www.seputar-indonesia.com/

Para pemain saat melakukan pementasan teater bejana dengan judul “ Nonton Capgomeh “ di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Pasar Baru, Jakarta (03/02). Pementasan teater Nonton Capgomeh ini merupakan karya Kwee Tek Hoay yang akan dipentasankan untuk melestarikan dan mengangkat karya sastra Melayu Tionghoa dan merayakan hari besar Imlek bagi warga Tionghoa.

DARI sastra Melayu Tionghoa,Teater Bejana terus berproduksi. Karya Sastrawan Melayu Tionghoa KweeTek Hoay, Nonton Capgomeh kembali diangkat.

Naskah ini mengisahkan lonflik antara suami dan istri dalam sebuah rumah tangga, karena mempertahankan ego masingmasing. Beberapa jam sebelum perayaan Capgome berlangsung, di sebuah ruang keluarga,pasangan suami istri Thomas (Zickry A Ramadhan) dan Lies (Devi A Satriani) tengah bertengkar. Mereka mempertahankan ego masing-masing.Thomas ingin menonton Capgome berdua saja dengan Lies,tapi Lies tidak diijinkan oleh keluarganya.

Menurut Lies, aturan keluarganya mengharuskan Lies dan Thomas pergi bersama keluarga guna menonton perayaan Capgome.Aturan itu wajib hukumnya bagi Lies dan keluarganya. Namun,menurut Thomas yang terbentuk dari keluarga moderat, aturan tersebut sudah usang. Dari persoalan ego itu lah,permasalahan makin menjadi-jadi. Thomas lantas memilih untuk tinggal di rumah,sementara Lies pergi menonton perayaan Capgome bersama keluarga besarnya.

Saat Thomas di rumah,tiba-tiba Frans Liem (Bobby Kardi) muncul. Frans mengajak Thomas untuk menonton Capgome bersamasama. Tapi justru Thomas bercerita perihal yang tengah membelitnya. Sebagai kawan baik, Frans pun melontarkan ide. Ia bersedia menyaru sebagai perempuan guna memanasi keluarga Liem.Frans berupaya menjadi perempuan asal Semarang dan akan nampak mesra menggandeng Thomas di keramaian.

Tujuannya, agar Liem cemburu dan mau diajak Thomas berjalan-jalan berdua. Thomas setuju dan rencana itu berhasil. Di depan Hongkong Resto, keluarga Liem, termasuk Diana kawan Liem, yang tengah memperhatikan lalu lalang tiba-tiba mempergoki Thomas. Diana mengejar diikuti ibunda Liem dan sanak keluarganya. Thomas tenang saja. Bahkan dengan bangga Thomas mengenalkan Frans yang berganti nama menjadi Siocia Goei ke keluarga Liem.Mereka pun gusar.

Liem cemburu berat. Ia marah dan menangis untuk kemudian pulang ke rumah. Acara nonton Capgome pun berantakan. Persoalan pun menjadi semakin pelik manakala Diana menawarkan Liem untuk membalas polah tingkah Thomas. Diana pun melontarkan ide untuk menyaru sebagai laki-laki. Berdua mereka mencari Thomas. Dengan berpakaian ala Eropa, Liem pun menggandeng Diana. Tapi belum juga bertemu Thomas, Liem yang tengah mengandeng laki-laki, justru kepergok keluarga Thomas.

Persoalan pun menjadi makin runyam,karena orang tua Thomas langsung mendatangi rumah keluarga Liem. Pertengkaran antar mertua pun semakin menjadi-jadi. Untunglah Kie Kang muncul sebagai penengah. Kie Kang yang secara tidak sengaja melihat polah pasangan suami istri itu mendatangi rumah keluarga Liem dan membawa serta Diana dan Frans yang masih menyaru.Akhirnya keluarga besar itu berdamai dan pada akhirnya membolehkan Thomas dan Liem menonton Capgome berdua.

“Pada akhirnya memang yang moderat menang.Aturan kuno itu justru menjadi persoalan,” terang sutradara Teater Bejana Daniel H Jacob usai pementasan Nonton Capgomeh di Gedung Kesenian Jakarta, 2-4 Februari. Dalam beberapa tahun belakangan, Teater Bejana kerap memainkan naskah dari sastrawan Melayu Tionghoa.Mereka sepertinya hendak menggarap naskah-naskah ini, karena jarang sekali kelompok teater yang menggarap naskah Melayu Tionghoa.

Naskah Nonton Capgome sendiri sudah pernah dipentaskan beberapa tahun lalu. Bahkan saat Jakarta Biennale #4 lalu, naskah ini juga dibawakan beberapa adegan di Kelenteng Petak Sembilan. Kala itu,mereka mementaskan lakon ini di tempat terbuka.Tapi tidak secara keseluruhan cerita dibawakan.Baru pada 2-4 Februari ini,mereka mementaskan ulang naskah ini dengan setting panggung layaknya perkampungan pecinan pada tahun 1930.

Sayangnya, dalam cerita ini set panggung seperti tidak mengalami perubahan dari tahun lalu. Panggung tetap sama seperti pertunjukan Zonder Lentera. Perkampungan China, dengan kanan dan kiri ditempatkan warung makan. Hal yang sama juga dilakukan dengan penampilan Barongsay dan Liong. “Memang naskah ini ditulis hampir bersamaan,yang terjadi di tahun 1930-an. Jadi,untuk set panggung juga kurang lebih sama seperti Zonder Lenteratahun lalu,” terang Daniel.

Tapi, apa yang dilakukan Teater Bejana dalam mengusung cerita-cerita dari Melayu Tionghoa memang layak untuk diapresiasi. Selama ini sastra Melayu Tionghoa memang sedikit tenggelam. Padahal sastrawan Melayu Tionghoa bertebaran pada tahun- tahun 30-an.Namun,nama mereka justru tenggelam karena tidak dimunculkan. Kwee Tek Hoay misalnya.

Sastrawan yang lahir di Bogor, 31 Juli 1889,dan meninggal di Sukabumi, 4 Juli 1952 ini,merupakan salah satu penulis Tionghoa yang paling terkemuka. Dia seorang Sastrawan, wartawan,penulis teori puisi, filsafat, dan pemikir soal-soal kebangsaan.Lebih dari 115 karya, yang meliputi novel,drama,teori puisi, agama,filsafat,dan politik telah ia hasilkan.

Tapi namanya tak muncul di dalam kamus pendidikan sastra.Yang terjadi kemudian, sastrawan Melayu Tionghoa kalah pamor dibanding sastrawan era Balai Pustaka.

05 February 2012

Topeng Bangsa Meksiko

Octavio Paz
diterjemahkan ke bahasa Inggris: Lysander Kemp
dialihbahasakan ke bahasa Indonesia: Ferdiansyah Thajib
http://www.facebook.com/ca.fes1

Dan bagi saya semua sikap ini, meskipun datang dari sumber yang berbeda, membuktikan hakikat “tertutupnya” reaksi kami terhadap dunia di sekeliling kami atau sesama kami. Namun mekanisme pertahanan dan pelestarian diri kami tidaklah cukup. Dan oleh karena itu kami memakai disimulasi (penyamaran, penyaruan), yang hampir menjadi kebiasaan kami. Ia tidak meningkatkan kepasifan kami; sebaliknya, ia menuntut kreativitas yang aktif, dan ia harus membentuk dirinya dari waktu ke waktu.
Kami memang berbohong untuk kesenangan, seperti juga orang-orang lain yang suka berimajinasi, tapi kami juga berbohong untuk menyembunyikan diri sendiri dan melindungi diri dari penyusup. Berbohong memainkan peran penting dalam hidup keseharian kami, politik kami, hubungan cinta kami, dan persahabatan kami, dan karena yang kami hendak tipu adalah diri kami sendiri dan orang lain, kebohongan kami cemerlang dan subur, bukan seperti rekaan kasar orang lain. Berbohong adalah permainan tragis di mana kami mengorbankan sebagian dari diri kami sendiri. Maka kami tidak perlu menghujatnya.

Si penyaru berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya. Perannya menuntut improvisasi konstan, sebuah langkah ke depan yang stabil menyeberangi medan pasir yang selalu berubah. Setiap saat, ia harus membuat-ulang, menciptakan-ulang, memodifikasi pribadi yang ia mainkan, sampai datang saatnya ketika realitas dan tampilan, kebohongan dan kebenaran, menjadi satu. Awalnya kepura-puraan hanya khayalan buatan yang diniatkan untuk membuat para tetangga kita kagum, namun lama kelamaan ia akan menjadi realitas yang lebih unggul—karena lebih artistik. Kebohongan kami mencerminkan apa kekurangan kami maupun apa yang kami hasratkan, baik sosok yang bukan kami maupun sosok yang kami ingin jadi. Melalui penyaruan kami menjadi semakin mirip dengan suri tauladan kami, dan kadang si pengial, seperti yang dicermati Usigli, menjadi satu dengan kialnya dan dengan demikian menjadikannya otentik. Kematian Profesor Rubio mengubahnya menjadi orang yang dia ingin menjadi: Jendral Rubio, seorang revolusioner tulus dan seseorang yang mampu membawa dorongan segar dan kemurnian baru pada Revolusi yang tengah mengalami stagnasi. Dalam naskah Usigli Profesor Rubio menciptakan diri yang baru dan menjadi jendral, dan kebohongannya begitu mirip dengan kebenaran bahkan Navarri yang korup pun tidak punya pilihan lain selain membunuhnya, seakan membunuh mantan komandannya, Jendral Rubio, sekali lagi. Dengan membunuhnya, ia membunuh kebenaran Revolusi.

Jika kita dapat mencapai keotentikan melalui jalan kebohongan, ketulusan yang berlebihan dapat membawa kita pada bentuk-bentuk kebohongan yang lebih murni. Ketika kami jatuh cinta kami membuka diri dan mengungkapkan perasaan-perasaan intim, karena sebuah tradisi kuno menuntut si lelaki menderita demi cinta menunjukkan luka-lukanya pada yang dicintainya. Tapi dalam mempertunjukannya, sang pencinta mengubah dirinya menjadi suatu citra, sebuah objek yang ia haturkan kepada yang dicintainya dan pada kontemplasinya sendiri. Sang pencinta meminta yang dicinta untuk memandangnya dengan mata memuja sebagaimana sang pecinta memandang dirinya sendiri. Dan kini pandangan yang lain tidak menelanjanginya; melainkan membungkusnya dengan rasa iba. Ia telah mengajukan dirinya sebagai tontonan, meminta para penonton untuk memandangnya sebagaimana ia memandang dirinya sendiri, dan dengan demikian ia berhasil selamat dari permainan cinta, ia berhasil menyelamatkan diri sejatinya dengan menggantinya dengan sebuah citra.

Hubungan manusia beresiko untuk menjadi taksa, di manapun dan kapanpun. Terutama hubungan cinta sejati. Narsisisme dan masokisme memang bukan ciri khas orang Meksiko saja, namun sudah diketahui umum bagaimana seringnya lagu-lagu populer dan peribahasa dan perilaku sehari-hari kami memperlakukan cinta sebagai kepalsuan dan pengkhianatan. Kami hampir selalu menghindar dari bahaya dari hubungan telanjang dengan melebih-lebihkan perasaan kami. Pada saat yang bersamaan, naluri bertarung dalam erotisisme kami ditekankan dan diperburuk. Cinta adalah upaya untuk mempenetrasi mahluk lain, namun ia hanya bisa diwujudkan ketika sama-sama menyerah. Selalu suit untuk menyerahkan diri sendiri; hanya sedikit orang di manapun yang berhasil melakukannya; dan bahkan lebih sedikit lagi yang melampaui tahap posesif dalam memahami cinta sebagaimana adanya: sebuah pencarian abadi, menyelam ke dalam lautan realitas; sebuah penciptaan kembali tanpa akhir. Orang Meksiko memahami cinta sebagai pertarungan dan penaklukkan. Ia lebih dekat dengan upaya melanggar kenyataan melalui tubuh ketimbang upaya untuk menembusnya. Dengan demikian citra pecinta yang beruntung, yang mungkin diturunkan dari Don Juan Spanyol—seringkali dikaburkan dengan laki-laki yang sengaja memanfaatkan perasaannya, yang sebenarnya maupun dibuat-buat, untuk dapat memikat seorang perempuan.

Berpura-pura adalah aktivitas yang mirip dengan yang dilakukan aktor di teater, namun aktor sejati menyerahkan diri sepenuhnya ke peran yang ia mainkan dan menubuhkannya sepenuhnya, meskipun ia menanggalkannya lagi, seperti ular yang berganti kulit, ketika tirai panggung diturunkan. Si penipu tidak pernah menyerahkan atau melupakan dirinya sendiri, karena ia tidak akan bisa berpura-pura lagi jika ia menjadi satu dengan citranya. Namun fiksi ini menjadi bagian dari dirinya yang tidak terpisahkan—dan palsu. Ia dikutuk untuk memainkan perannya sepanjang hidup, karena perjanjian antara dirinya dan tiruannya tidak dapat dibatalkan kecuali dengan kematian atau pengorbanan. Dusta mengendalikannya dan menjadi landasan bagi kepribadiannya.

Mensimulasikan adalah menciptakan—atau lebih tepatnya, memalsukan—dan dengan demikian menghindar dari kondisi kami. Disimulasi membutuhkan kesubtilan yang lebih hebat: orang yang menyaru tidak sedang memalsukan; ia justru mencoba menjadi tidak tampak, untuk lolos dari perhatian tanpa menyatakan keindividualannya. Orang Meksiko ahli dalam menyamarkan hasrat-hasratnya dan dirinya. Ia takut dengan tatapan orang lain dan oleh karenanya ia menarik diri, berkontraksi, menjadi bayangan, hantu, gema. Ketimbang berjalan, ia meluncur; ketimbang menyatakan, ia memberi tanda-tanda; ketimbang menjawab, ia bergumam; ketimbang mengeluh, ia tersenyum. Bahkan ketika ia bernyanyi pun—kecuali kalau ia meledak dan membuka dadanya lebar-lebar—ia melakukannya dengan gigi terkancing dan suara yang direndahkan, menyamarkan nyanyiannya:

Dan begitu hebatnya tirani penyamaran ini
sehingga meskipun hatiku bungah
dengan kerinduan yang paling dalam,
mataku senantiasa menantang
dan suaraku senantiasa menyurut.

Mungkin kebiasaan menyamarkan kami ini berasal dari jaman kolonial. Orang Indian dan mestizo harus bernyanyi dengan suara rendah, seperti dalam puisi Alfonso Reyes, karena “kata-kata pemberontakan tidak terdengar jelas dari gigi yang terkancing.” Dunia kolonial telah menghilang, tapi tidak demikian halnya dengan ketakutan, ketidakpercayaan, kecurigaan. Dan kini kami tidak hanya menyamarkan kemarahan kami, namun juga kelembutan kami. Ketika orang sebangsa kami meminta maaf, mereka mengatakan: “Berpura-puralah ini tidak pernah terjadi, senor”. Dan kami berpura-pura. Kami begitu antusiasnya menyaru sampai-sampai kami berhenti mengada.

Dalam bentuknya yang paling radikal, penyaruan menjadi mimikri. Orang Indian menyatu dengan pemandangan alam sehingga ia menjadi bagian yang tak dapat dibedakan dengan tembok putih yang disandarinya di tengah malam, dengan tanah gelap yang ditidurinya di hari bolong, dari kesunyian yang mengepungnya. Ia menyamarkan kemanusiaannya yang tunggal dengan sedemikian rupa hingga pada gilirannya ia memusnahkannya dan berubah menjadi sebongkah batu, sebatang pohon, tembok, kesunyian, dan ruang. Saya tidak sedang mengatakan bahwa ia sedang menyatu dengan Sang Maha seperti seorang penganut panteis, atau ia melihat satu pohon sebagai purwarupa semua pohon, yang saya maksud di sini adalah bahwa ia benar-benar menyatu dengan benda tertentu dengan cara yang kongkrit dan khusus.

Roger Caillois telah menunjukkan bahwa mimikri bukan selalu berupa upaya untuk mengecoh musuh yang memadati dunia luar. Serangga kadang “berlagak mati” atau meniru beragam jenis benda-benda yang membusuk, karena terpikat pada kematian, demi kelembaman ruang. Keterpikatan ini—saya menyebutnya kekuatan gravitasi kehidupan—adalah hal yang lumrah bagi semua mahluk hidup, dan fakta bahwa ia menyatakan dirinya lewat mimikri menunjukkan bahwa kita mesti memahaminya sebagai lebih dari sekadar perangkat instingtif untuk menghindar dari bahaya atau kematian.

Mimikri lebih merupakan perubahan penampakkan ketimbang sifat, dan penting untuk memilih repreesentasi yang bukan kematian ataupun ruang diam. Tindakan meluaskan diri, menyatu dengan ruang, menjadi ruang, adalah satu cara untuk menolak penampakkan, namun pada saat yang sama ia juga merupakan cara untuk menjadi bukan apapun kecuali Penampakkan. Bangsa Meksiko takut dengan penampakkan, meskipun para pemimpinya menyatakan cintanya pada penampakkan, dan oleh karena itu ia menyamarkan dirinya sendiri sampai pada kondisi menyatu dengan benda-benda di sekitarnya. Dengan begitu, ia menjadi Penampakkan murni karena ketakutannya akan penampakkan. Ia tampak sebagai sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, dan bahkan ia memilih untuk tampak mati atau tidak ada ketimbang mengubah, membuka privasinya. Maka penyaruan sebagai mimikri adalah salah satu pengejawantahan dari hermetisme kami. Si pengial memilih menggunakan topeng, dan sisanya dari kami ingin berlalu tanpa diperhatikan. Di kedua kasus, kami menyembunyikan diri kami yang sejati, dan kadang mengingkarinya. Saya ingat siang ketika saya mendengar keributan di kamar sebelah, dan saya bertanya keras-keras: “Siapa di sana?” Jawaban yang saya terima datang dari suara pelayan yang belum lama ini datang kepada kami dari desa: “Bukan siapa-siapa, senor. Cuma saya”.

Kami menyaru demi menipu diri kami sendiri, dan menjadi tembus padang dan seperti hantu. Tapi ini belum berakhir: kami juga berpura-pura bahwa sesama kami tidak eksis. Ini bukan berarti bahwa kami dengan sengaja tidak menghiraukan atau merendahkan orang lain. Penyaruan kami di sini jauh lebih radikal: kami mengubahnya dari seseorang menjadi bukan siapa-siapa; menjadi ketiadaan. Dan ketiadaan ini mempunyai keindividualannya sendiri, dengan wajah dan bentuk yang dapat dikenali, dan tiba-tiba menjadi Bukan Siapa-siapa.

Don Bukan Siapapun, yang adalah ayah Spanyol si Bukan Siapa-siapa. Ia sehat, cukup makan, cukup dihormati; ia punya rekening bank, dan bicara dengan suara keras dan nada percaya diri. Don Bukan Siapapun mengisi dunia dengan kehadirannya yang kosong dan cerewet. Ia ada di mana-mana dan kawannya di mana-mana. Ia seorang bankir, duta besar, usahawan. Ia bisa dijumpai di setiap bar, dan dihormati di Jamaika, Stockholm, dan London. Di satu waktu ia berkedudukan, di saat lain ia berpengaruh, dan perilakunya ketika tidak menjadi apapun, adalah agresif dan sombong. Sebaliknya, Bukan Siapa-siapa pendiam, pemalu dan rendah hati. Ia juga cerdas dan peka. Ia selalu tersenyum. Ia selalu menunggu. Ketika ia ingin mengatakan sesuatu, ia terbentur pada tembok kesenyapan; ketika ia menyapa seseorang, ia diabaikan; ketika ia memohon atau menangis atau berteriak, gerak dan teriakannya hilang dalam kekosongan yang diciptakan oleh kebawelan tanpa henti. Don Bukan Siapapun. Bukan Siapa-siapa takut tidak eksis: ia berulang-alik, berkali-kali mencoba menjadi Seseorang. Akhirnya, di tengah geraknya yang tidak berguna, ia menghilang ke alam limbo tempat ia dulu muncul.

Adalah salah untuk mengira bahwa orang lain melarangnya untuk eksis. Mereka hanya menyarukan keberadaannya dan berlaku seakan ia tidak eksis. Mereka menganulirnya; membatalkannya, mengubahnya menjadi ketiadaan. Percuma bagi Bukan Siapa-siapa untuk bicara, menerbitkan buku, melukis, berdiri di atas kepalanya. Bukan Siapa-siapa adalah kekosongan di raut wajah kami, jeda dalam percakapan, ketenangan dalam kesenyapan kita. Ia nama yang selalu dan pasti kami lupakan, si tukang absen abadi, tamu yang tak pernah diundang, kekosongan yang takkan pernah bisa terisi. Ia adalah penghilangan, namun ia selalu hadir. Ia adalah rahasia kami, kejahatan kami, penyesalan kami. Maka orang yang menciptakan Bukan Siapa-siapa, dengan mengingkari keberadaan Seseorang, juga diubah menjadi Bukan Siapa-siapa. Dan jika kami semua adalah Bukan Siapa-siapa, maka tak satu pun dari kami eksis. Lingkarannya telah terbentuk sempurna dan bayangan Bukan Siapa-siapa menyebar ke seluruh permukaan bumi kami, mencekik si Pengial, dan menutupi segalanya. Kesunyian-kesunyian yang purba, lebih kokoh dari semua piramida dan pengorbanan, dari semua gereja dan pemberontakan dan lagu rakyat—kembali untuk menguasai Meksiko.

Catatan: Octavio Paz, 1985, kutipan dari “Mexican Masks” dalam The Labyrinth of Solitude, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lysander Kemp, Grove Press, Inc., NY, USA, hal. 40-46 dialihbahasakan ke bahasa Indonesia oleh Ferdiansyah Thajib.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/octavio-paz-topeng-bangsa-meksiko/379219282106943
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: April 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates