Friday, September 28, 2012

PENDIDIKAN PLURALISME-MULTIKULTURAL ALA GUS DUR


Pluralisme-multikultural dalam Bingkai Pendidikan
Ala KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Widya Noventari
Hukum dan Kewarganegaraan, UM

Pendidikan merupakan proses untuk menciptakan manusia yang berkualitas. Tingkat keberhasilan suatu pendidikan dapat dilihat dari wawasan dan pola fikir masyarakat yang berbasis pengetahuan lokal dan global. Dalam pembentukan pola fikir masyarakat tidak akan terlepas dari kondisi dan lingkungan masyarakat tersebut berada. Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman suku, agama, ras, dan antar golongan dimana keberagaman tersebut tidak dapat dihindari dan dipungkiri lagi. Sehingga fenomena sosial-budaya seperti wacana pluralis-multikultural penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
Kehidupan masyarakat yang plural dan beragam merupakan sebuah realita yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini. Tatanan masyarakat yang semakin komplek tidak jarang akan membuka peluang terjadinya gesekan sosial baik dalam sekala besar maupun kecil. Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah konflik SARA yang semakin tinggi khususnya dalam bidang keagamaan. Banyak tempat peribadahan yang dihancurkan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dengan embel-embel menegakkan agama tertentu, di dalam islam mereka menyebutnya sebagai jihat.
Pendidikan merupakan proses yang sangat vital dalam pembentukan karakter sebuah masyarakat dan kemajuan yang mengiringinya. Tanpa pendidikan, sebuah bangsa tidak akan bisa menjadi besar. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki tingkat pendidikan dan manusia yang berkualitas sehingga mampu menjawab semua tantangan jaman yang semakin mengglobal.
Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya, seperti dinyatakan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Apabila kebudayaan adalah salah satu landasan kuat dalam pengembangan kurikulum, maka proses pengembangan kurikulum di Indonesia harus pula memerhatikan keragaman kebudayaan yang ada ( Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, 2008: 195). hal senada juga diuangkapkan oleh Gus Dur mengenai bagaimana pentingnya sebuah kesadaran akan pentingnya menghargai sesama (toleransi) dalam membentuk tatanan masyarakat Indonesia yang bermartabad dan sadar akan Kebudayaan Bangsa.


Latar Belakang Pendidikan Gus Dur
gus durAbdurrahman Wahid dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur begitu panggilan akrabnya dibesarkan dilingkungan pesantren. Pertama kali belar, Gus Dur kecil belajar mengaji dan membaca Al-Qur’an pada kakeknya, K.H. Hasyim Asy’ari. Pada usia 5 tahun Gus Dur kecil telah lancer membaca Al-Qur’an. Selama tinggal di Jakarta selain menempuh pendidikan formal Gus Dur juga menginguti les privat bahasa belanda, guru les Gus Dur adalah Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur disekolahkan di Jogjakarta oleh orangtuanya. Pada tahun 1953 Gus Dur masuk di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, dan menjadi santri di pesantren Krapyak. Meskipun sekolah ini dikelola oleh Gereja Katolik Roma, tetapi menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah inipulah Gus Dur belajar bahasa Inggris. Karena merasa tekekang di pesantren, akirnya Gus Dur dinggal di rumah Haji Junaidin, seorang pimpinan lokal Muhamadiyah dan orang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutin Gus Dur adalah mengaji, sekolah, dan berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dengan anggota Muhammadiyah lainya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’ (besteasyseo, 2009).
Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur (besteasyseo, 2009).
Gus dur dibekali  dengan ketajaman pikiran dan ingatan yang sangat kuat. Sehingga dikenal salah satu dari sikap utamanya adalah keingintahuan dan, kalau saja keingintahuan ini selallllu terjaga, ia dapat memfokuskan diri dan berusaha keras untuk waktu yang lama. Akan tetapi, jika tidak demikian halnya, ia akan cepat bosan walaupun keseriusan tugas yang diberikan kepadanya menuntut usaha yang lebih keras (Barton, 2002: 458). Gus Dur yang dibekali dengan kecerdasan dan daya ingat  yang luar biasa bukanlah seorang yang memiliki prestasi di bidang pendidikan.
Gus Dur pernah juga tinggal kelas karena tidak lulus dalam ujian di SMEP. Pendidikanya di Perguruan Tinggi Al-Azharpun gagal kemudian pindah ke UniversitasBaghdad, Irak. Gus Dur memang seseorang yang sulit untuk mendisiplinkan diri, apalagi berurusan dengan sekolah formal yang Gus Dur anggap sangat membosankan. Gus Dur memang mudah untuk menyerap semua pelajaran, namu cepat bosan dan sering menggampang-gampangkan pelajaran yang dia terima. Barangkali Gus Dur lebih tepat disebut sebagai otodidak yang baik.

Tokoh Inspirasi Gus Dur
            Gus Dur tidak akan terlepas dari sosok yang memegang teguh syariat dan ajaran agamanya islam. Karena Gus Dur dilahirkan di tradisi besar dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Kakek dari pihak ayahnya adalah KH.Hasyim Asy’ari dan kakek dari ibunya adalah Kiai Bisri Syansuri, keduanya adalah pendiri NU, sekaligus ulama berpengaruh. Ayahnya KH. Wahid Hasyim menteri agama di masa pemerintahan Soekarno. Baik ayah maupun kakeknya adalah tokoh gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan revolusioner melawan penjajah belanda seteah akir perang Dunia II. Karena itu, kedua orang ini  secara resmi dikenang sebagai Pahlawan Nasional (Irawan dkk, 2008: 116).
            Komitmen untuk menjunjung tinggi semangat pluralisme dan pembelaan terhadap hak-hak orang lain sudah tertananam dalam diri Gus Dur ini sejak kecil dan terus berkembang seiring dengan perjalanan karir Intelektual. Adalah Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) yang member tauladan untuk tumbuh di lingkungan orang-orang dari beragam kalangan (irawan dkk, 2008: 123). Wahid Hasyim adalah orang yang sangat mudah bergaul dengan semua kalangan, ketika tinggal di Jakarta, Wahid Hasyim kerap dikunjungi para aktivis mahasiswa dari berbagai latar belakang. Para kader muda ini memiliki semangat dan geloran tinggi untuk menggali informasi dan pengetahuan dengan Wahid Hasyim karena beliau adalah seseorang yang mampu menyederhanakan sesuatu yang rumit. Gus Dur kecil sering membantu menyuguhkan teh dan biskuit untuk tamu-tamu ayahnya itu.
            Dalam berbagai kesempatan Wahid Hasyim sering mengajak Gus Dur menghadiri pertemuan-pertemuan. Dengan demikian, Gus Dur menyaksikan dunia ayahnya yang penuh dengan orang-orang dari berbagai macam latar belakang. Sebelum seluruh keluarganya pindah ke Jakarta, Gus Dur dan ayahnya yang terlebih dahulu berangkat dan tinggal di Jakarta. Mereka tinggal di daerah menteng, Jakarta Pusat. Kawasan itu didiami oleh pengusaha-pengusaha terkemuka, professional dan politikus. Wahid Hasyim dan putra tertuanya itu secara teratur dapat bertemu dengan pemimpin nasional Mohammad Hatta pada setiap Jumatan. Begitu pula sebaliknya, banyak tokoh yang dengan mudahnya menyambangi Wahid Hasyim. Gus Dur masih ingat pada massa itu ia sering membukakan pintu sekitar pukul delapan malam. Seorang laki-laki asing berpakaian petani warna hitam dating berkunjung untuk menemui ayahnya. Keduanya kemudian bercakap-cakap selama berjam-jam. Atas pemintaan tamu asing itu, Gus Dur memanggilnya paman Hussein. Baru beberapa tahun kemudian dia tahu bahwa orang itu adalah Tan Malaka, seorang tokoh komunis yang terkenal hingga ke negeri Cina. Walaupun Wahid Hasyim secara aktif memimpin organisasi Islam terbesarar di Indonesia, ia tetap menjaga hubungan baik dengan Tan Malaka dan tokoh-tokoh komunis lainya. Meski Wahid Hasyim berlatar belakang Islam tradisional, tapi lingkungan pergaulanya sangat luas ( Irawan dkk, 2008: 124-125).
            Tidak berhenti dengan mengajak anak-anaknya ke dalam interaksi sosial yang sangat beragam, Wahid Hasyim juga menyediakan berbagai macam buku, majah, Koran dalam jumlah yang besar. Diberikanya kebebasan kepada anak-anaknya itu membaca dan mempelajari apapun yang mereka sukai, setelah itu wahid Hasyim selalu meminta kepada anak-anaknya untuk mengungkapkan dan membicarakan ide-ide baru yang mereka temuka. Wahid Hasyim prihatin melihat betapa sempinya cakrawala berpikir para santri di pesantren-pesantren tradisional. Karena itulah Wahid Hasim menginginkan anak-anaknya tumbuh besar dengan cakrawala berfikir yang luas.

Nilai-nilai Pendidikan Pluralisme-Multikultural
Pendidikan era Orde Baru dapat dijadikan pijakan dan bahan refleksi bersama, dimana kurikulum atau sistem yang digunakan terlalu sentralistik. Sistem Sentralistik atau pola penyeragaman kurikulum sesungguhnya merupakan bentuk pengekangan dan pembekuan kreativitaspeserta didik. Kurikulum yang terlalu sentralistik kurang mendukung dalam kedewasaan perilaku sosial dan kultural peserta didik. Kondisi inilah yang sekarang terjadi, bisa dilihat disperitas pendidikan, sikap dan pola pikir peserta didik yang individualis dan pragmatis, jual-beli kunci jawaban ujian nasional,dan lain sebagainya. Kedewasaan pola prilaku sosial ini sangat penting dalam membangun pemahaman dan kesadaran yang menghargai pluralitas dan multikultural. Mengingat pentingnya pendidikan multikultural yang berbasis pada pluralisme dan toleransi, sehingga pemikiran Gus Dur tentang pluralisme dan keislamanya diharapkan mampu menjadi warna baru bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Penyeragaman yang ada di dalamnya, praktis, juga dimaksudkan untuk membatasi ruang demokrasi rakyat (Soyomukti, 2012:  9). Dapat dilihat pula sistem pendidikan yang dikembangkan di Indonesia dalam jangka waktu yang yang cukup panjang tampaknya lebih menekankan pada aspek keseragaman dan sentralistik. Penyeragaman ini hampir mencakup keseluruhan aspek, mulai seragam sekolah, kurikulum, metode, hingga buku ajar. Pola ini membawa implikasi pada timbulnya eksklusivitas, tidak toleran, dan menganggap mereka yang berbeda sebagai lawan, bukan sebagai mitra dialog setara yang harus dihormati dan dihargai (Sauqi & ngainun, 2008: 40).
Bentuk keseragaman ini dapat kita cermati, misalnya dalam pelajran bahasa Indonesia. Materi yang diajarkan nyaris sama persis di seluruh Indonesia. Kita hampir pasti ingat bagaimana kalimat-kalimat yang digunakan sebagai bahan bacaan saat kita duduk di masa-masa awal sekolah. Kalimat yang sama dan terus diulang-ulang. Misalnya; Ini Budi, Budi pergi ke sekolah, ani adik budi, dan sebagainya. Tidak ada perbedaan kalimat sama sekali, Misalnya, Ini Bonar, Nicholas pergi ke sekolah, Agung saudara Putu, dan sebagainya. Contoh-contoh ini sudah menandakan penyeragaman dan penyempitan wawasan anak didik tentang lingkungan sosial mereka yang sesungguhnya sangat plural (Sauqi & ngainun, 2008: 40). Hal yang telah diuraikan terlihat memang sangat sederhana namun memiliki implikasi yang cukup besar dan ini ditanamkan di dunia pendidikan mulai dari sekolah dasar dimana bakat dan bibit-bibit potensial untuk berkembang sangat tinggi.
Hal yang senadapun diuraikan oleh Ma’arif (2008: 114) paradigm pendidikan yang berwawasan multikultural sbenarnya berangkat dari suatu kesadaran, bahwa setiap manusia potensi-potensi yang berbeda (heterogenitas). Dengan menyadari setiap manusia memiliki perbedaan potensi (kemampuan) maka proses pendidikan wajib dilaksanakan dengan prinsip kearifan. Sehingga dengan penyeragaman tersebut tidak akan bisa mengembangkan kreativitas anak didik.
Disamping itu nilai-nilai pluralisme yang diperjuangkan Gus Dur pun sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yaitu: “Inna kholaknaakum min zakarin wa unsa, wajaalnakum syu-‘ubaw waqobailaa lit’aarafu” (sesungguhnya kami dijadikan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu bersuku-suku dan bergolongan-golongan supaya kamu saling mengenal). Selain itu, nilai pluralisme juga sejalan dengan ajaran ahlussunnah waljama’ah: tasamuh, yang berarti toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan yang bersifat khilafah maupun masalah kemasyarakatan dan kebudayaan (Kholisoh, 2012: 148).
Betapa pentingnya pendidikan multikultural dan pluralisme ini juga terlihat dari lunturnya rasa menghargai perbedaan orang lain. Dalam sebuah diskusi kelompok atau persentasi di forum kelas misalnya apabila tidak memiliki kesadaran akan menghargai pendapat orang lain dan menganggap perbedaan sebagai lawan maka bukan sebuah solusi yang didapat tetapi debat kusir yang tidak tentu arah dan landasan yang rasional yang sering terjadi. Gus Dur mengajak untuk terus membuka cakrawala berfikir dimana kita akan dapatkannya dari banyak membaca buku, mendiskusikan ide yang kita temukan, dan menulisnya dalam sebuah karya tulis.

Pluralisme-Multikultural Dalam Pendidikan Islam Ala Gus Dur
Berdasarkan uraian diatas, hal mendasar yang seharusnya disadari bersama adalah bahwa pendidikan yang seragam dan tidak menghargai terhadap pluralitas justru banyak membawa implikasi yang negatif. Penyeragaman tidak saja akan mematika kreativitas, tetapi lebih jauh juga dapat melahirkan sikap dan cara pandang yang tidak toleran. Oleh karena itu, membangun pendidikan yang berparadigma pluralis-multikultural merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi. Dengan paradigma semacam ini, pendidikan diharapkan dapat melahirkan anak didik yang memiliki cakrawala pandang luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, dan penghargaan terhadap segala bentuk perbedaan (Sauqi & ngainun, 2008: 48-49).
Konstruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama, sekaligus berwawasan multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan islam pluralis-multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Sedangkan nilai dasar dari pendidikan ini adalah toleransi, yaitu menghargai segala perbedaan sebagai realitas yang harus diposisikan sebagaimana mestinya, bukan dipaksakan untuk masuk dalam konsepsi tertentu (Sauqi & ngainun, 2008: 52).
Penggunaan istilah pluralisme-multikultural yang dirangkai dengan kata pendidikan islam dimaksudkan untuk membangun sebuah paradigm sekaligus konstruksi teoritis dan aplikatif yang menghargai keragaman agama dan budaya (Sauqi & ngainun, 2008: 52). Perlu adanya penguatan terhadap pandangan pluralise-multikultural ini khususnya jika bersinggungan dengan agama dan budaya. Yang sangat menghawatirkan saat ini adalah masuknya paradigma agama di  perguruan tinggi. sehingga sering didapati beberapa mahasiwa tergabung dalam kelompok islam radikal dimana kelompok tersebut berkeinginan mendirikan Negara Islam di Indonesia dan menentang atau anti Pancasila yang dalam kenyataaanya adalah ideologi, dasar, dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan ideologi dan Negara, Gus Dur juga menulis tentang Negara sekuler dalam tulisnaya yang berjudul “Sekuler Tidak Sekuler”. Dalam tulisan ini Gus Dur secara kritis mempertanyakan status Negara Indonesia dalam kaitanya dengan kekuasaan agama di satu sisi dan kekuasaan Negara di sisi lain. Hal ini berawal dari pernyataan anggota parlemen bahwa Negara Indonesia adalah “Negara Sekuler”, karena Negara Indonesia bukan Negara agama, dan karena kekuasaan agama dibedakan dari kekuasaan Negara (Kholisoh, 2012: 128).
Dengan demikian jelas, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti mayoritas kaum muslim. Ia pun hanya dipikirkan sejumlah orang saja, yang terlalu memandang Islam dari sudut  institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan itu, adakah mereka masih layak disebut kaum muslim atau bukan? Padahal mereka adalah mayoritas penganut agama tersebut? (Wahid, 2007: 6).
Untuk itu, Gus Dur menyarankan adanya diskusi atau dialog yang akan membicarakan permasalah tersebut. Terkait dengan kewenangan Negara, kewenangan agama, dan sekulerisme di pihak lain. Sehingga melalui dialog tersebut akan ditemukan titik terang dan kesepahaman di semua pihak.
Sikap Gus Dur yang begitu yakin akan pentingnya Pancasila sebagai asas tunggal, telah dibuktikan dengan keberhasilanya dalam menyosialisasikan Pancasila sebagai dasar Negara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, terutama agama islam. Hal ini dikemukanakanm oleh Muhaimin Iskandar dalam (Kholisoh, 2012: 133) :
“Gus Dur itu termasuk orang yang telah berhasil menyosialisasikan bahwa Pancasila itu tidak bertentangan dengan Islam. Saya saja itu sebagai orang asli pesantren yang sempat cukup fanatic tapi kemudian berkumpul dengan orang luar dan tercerahkan pada tahap awal juga percaya bahwa islam itu tidak ada sambunganya dengan Pancasila. Saya belum berani menyatakan bahwa Islam dan Pancasila itu menyambung. Tapi, Gus Dur berani.”
Disinilah dapat dilihat bagaimana Gus Dur benar-benar  memperjuangkan pentingnya asas tunggal Pancasila dan pluralisme agama. Pluralisme agama yang dimaksudkan oleh Gus Dur adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua agama, karena setiap agama mempunyai hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan aturan-aturan yang dimilikinya. Pluralisme yang dipahami Gus Dur iu adalah tumbuhnya kehidupan yang harmonis diantara keberagaman atau pluralisme yang ada, termasuk pluralisme agama, sehingga  dapat hidup berdampingan dan saling mengenal satu sama lain. Hal ini diibaratkan kebun bunga yang terdiri atas beraneka ragam bunga. Keindahan bunga justru muncul dari tumbuhnya beraneka warna dan bentuknya, tanpa harus merubah bunga yang satu seperti yang lainnya. Hal ini justru akan merusak keindahan taman tersebut (Kholisoh, 2012: 152).
Untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang harmonis diantara keberagaman atau pluralisme yang ada dan hidup berdampingan satu sama lain seperti pemikiran dari Gus Dur maka perlu adanya pemupukan nilai-nilai Pancasila di dalam diri setiap masyarakat Indonesia, melalui Pendidkan Pancasila yang sekarang semakin memudar.

Penutup
Pluralisme dan multikultural bangsa Indonesia merupakan realitas yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri lagi. Keberagaman etnis, ras, suku, antar golongan dan agama inilah yang  menjadikan aset berharga yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Gus Dur merupakan sosok yang patut diteladani sebagai seorang intelektual islam yang memiliki cakrawala berfikir yang sangat luas dan memberikan kontribusi dalam perkembangan keilmuan di Indonesia melalui pemikiran berilian yang dituangkan dalam tulisan-tulisan.
Melalui pemikiran Gus Dur yang sangat menghargai keberagaman atau pluralisme, patut kita teladani dan diaplikasikan di dalam dunia pendidikan sehingga akan menciptakan suasana pendidikan yang demokrasi, menghargai perbedaan, menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat, dan menutup kemungkinan terjadinya disintegrasi di dunia pendidikan. Selain itu tekat Gus Dur memperjuangkan Pancasila sebagai asa tunggal bangsa mampu mengispirasi kita untuk menegakkan kembali Pendidikan Pancasila yang sekarang tengah mengalami depancasial atau pengaburan nilai-nilai Pancasila.









Daftar Rujukan

Besteasyseo. 2009. Sejarah Lengkap Gus Dur  Perjalanan Pendidikan Gus Dur Guru Bangsa.(online) http://besteasyseo.blogspot.com/2009/12/sejarah-lengkap-gus-dur-perjalanan.html. Diakses tanggal 29 Agustus 2012.
Kholisoh, N. 2012. Demokrasi Aja Kok Repot: Retorika Politik Gus Dur dalam Proses Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Percetakan Pohon Cahaya.
Irawan N.M.A, Dkk. 2008. Negeri Para Pemberani. Depok: Koekoesan.
Mu’arif. 2008. Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Naim, N & Sauqi, A. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Soyomukti, N. 2010. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Jogjakarta: Arus Media.
Wahid, A.R. 2010. Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat. Jakarta: Kompas.




Thursday, September 27, 2012

Perjalanan Seni Rupa Ponorogo 2009-2011

Andry Deblenk
_Ponorogo Pos

Bila kita kaji tetek bengek tentang kesenirupaan Ponorogo, tentunya kita tak dapat menghindar dari nama Sanggar Shor Zambou. Sanggar tersebut merupakan sebuah sanggar seni rupa, berdomisili di Ponorogo, yang memang mengkhususkan gerakan (awalnya) pada disiplin seni lukis. Semenjak berdiri (sekitar 30 tahun silam) komunitas yang berdiri dengan niatan berkesenian murni ini nampak survive. Sebuah ukuran yang “ora dlomok” bagi paguyuban seni rupa yang mendiami sebuah kawasan “terpinggirkan” dari ranah seni rupa nasional.
Adalah Abdul Karim Maspoor, penggagas, penggiat, sekaligus navigator yang dengan “semangat 45” telah berproses dan bergerilya dalam pergerakan seni lukis hingga sampailah pada tataran “survive” bagi kelangsungan hidup Shor Zambou hingga detik ini. Nibo nangi (jawa: jatuh bangun) dalam konteks berkesenian merupakan perjuangan eksistensialis Maspoor dan kawan-kawan (Sudiro, Mucharis, H. Choiri), ketika dalam tataran “dahulu” seni lukis masih terlampau urban bagi sebagian besar masyarakat Ponorogo. Beragam kegiatan intens dilakukan baik dalam kadar serius (pameran-pameran) maupun sebatas janggolan santai sembari berproses secara terbuka (melukis langsung di sekitaran perempatan Tonatan, Ponorogo). Sebuah proses yang tak remeh temeh bukan?…

Pada periode awal berdiri hingga tahun 2007an, gerakan visual mayoritas para punggawa Shor Zambou masih terimbas seni rupa modern dengan menempatkan realisme dan naturalisme sebagai ungkapan yang “dirasa” artistik. Tema-tema sosial, alam, dan kebudayaan lokal seakan menjelma menjadi belantara yang menarik dieksplorasi, baik secara teknis maupun gagasan. Meskipun tak melulu, ada beberapa perupa yang sengaja menekan objek non realis dalam perspektif pemikiran maupun pengungkapan. Tengok karya-karya Pak Tato dan Trio Widodo, dimana mereka serius bermain di ladang teknik dan ide sebagai jelmaan kegelisahan yang tervisualkan secara simbolik..

Beberapa pameran (berskala regional dan nasional) telah diikuti sanggar ini, baik pameran bersama maupun pameran kelompok kecil. Persinggahan estetik pernah dilaksanakan di berbagai kota, diantaranya di Jakarta, Surabaya, Malang, Banyuwangi, Madiun, Ngawi, maupun di Tulungagung. Selain itu, pada event rutin perayaan grebeg suro, sudah menjadi tradisi mutlak bagi Shor Zambou untuk menampakkan kristalisasi ide maupun buah karya visual mereka kepada khalayak umum sebagai kekayaan khasanah kebudayaan negeri ini.

Dari perjalanan “lumayan” panjang inilah yang akhirnya menempatkan Shor Zambou menjadi sanggar terkemuka di kawasan Jawa Timur. Terbukti beberapa undangan pameran-pameran (luar kota) rutin menyambangi kediaman Abdul Karim Maspoor, di jalan Sultan Agung, Ponorogo. Sebuah tempat tinggal sekaligus kesekretariatan Sanggar Shor Zambou.

Seni Rupa Ponorogo 2009-sekarang

Pada awal 2009, Sanggar Shor Zambou menahbiskan diri sekaligus memproklamirkan keberadaanya dalam wilayah lebih luas. Hok’a Hok’e Ponoragan dipilih menjadi tema besar tatkala mereka “uji nyali” menapakkan kakinya di Jogjakarta, sebuah kota yang menjadi ikon seni rupa Indonesia bahkan Asia Tenggara. Jogjakarta merupakan lautan mimpi bagi ribuan perupa nasional maupun internasional. Shor Zambou sadar bahwasanya Jogja adalah magnet. Tak gampang pula, mengingat Jogja adalah “Kawah Candradimuka sekaligus Padang Kurusetra” bagi pertarungan Visual. Toh, pada akhirnya, Shor Zambou tak gentar untuk mencicipi hegemoni seni rupa Jogja.

Seni rupa Ponorogo dalam alur pergerakan visual mulai merambah pada trend plural. Selepas pameran Hok’a Hok’e Ponoragan, bahasa visual para penggiatnya mulai menunjukkan heterogenitas. Kala itu, para perupa seolah “tersadar” untuk menunjukkan eksistensi diri, meskipun dalam tataran kondisi yang “dapat dikatakan” masih berproses menuju kemapanan. Walhasil, jenis karya rupa tak “pragmatis” berkutat pada seni lukis yang mengusung aliran realisme semata, namun mulai bermigrasi menuju hal-hal eksperimental yakni perubahan-perubahan signifikan baik teknik, media, visual, konsepsi, maupun bahasa ungkap. Hal ini dapat dilihat pada karya-karya kelompok air sebagai kelompok kecil dalam Shor Zambou (dalam pameran Ponorogo is me, Ledakan Budaya, dan pentas seni ambeng) yang mengamini genre karya rupa lain selain seni lukis yaitu: seni instalasi, seni lingkungan, seni cetak, serta performance art.

Pada pameran Reyog Nation, Sitikultur(a), dan Wajah Eksotis, trans visual para perupa Shor Zambou terlihat mulai mencolok. Ada dugaan keberanjakan karya-karya mereka besar dipicu oleh gerakan seni rupa kontemporer Asia terhadap pola pikir dan sudut pandang perupa nasional yang berefek domino kepada pergerakan visual para perupa Ponorogo. Meskipun keberadaan seni rupa kontemporer sendiri masih diperdebatkan dalam berbagai forum.

Sejak kemunculannya pada dekade 70an dan terus berkembang pada 80an, sebagian kalangan dan kritikus seni berpendapat bahwa seni rupa kontemporer merupakan kritik, bahkan pemberontakan terhadap keberadaan seni rupa sebelumnya, yakni seni rupa modern. Sebaliknya mereka yang masih sangat kuat memegang teguh modernisme, seni rupa kontemporer sering dianggap kontaminasi (Iwan Saidi,2008).

Mengingat masih rumitnya pemaknaan tentang kontemporer itu sendiri, semua diserahkan sepenuhnya kepada para pelaku seni (perupa, kritikus, penghayat) pribadi. Entah memaknai kontemporer sebagai jaman baru selepas seni rupa modern (postmodern), atau memaknai kontemporer sebagai “bahaya” kontaminasi terhadap ketersisteman seni rupa modern.

Namun pada hakikatnya, seni perlu karya seni. Setiap karya seni itu bernilai dan tak pernah salah, senyampang setiap seniman mampu mempertanggungjawabkan ide maupun konsep dari apa yang divisualkannya. Seperti pelakunya, karya seni akan memilih takdirnya sendiri. Baik, buruk, istimewa, cemerlang, laku, ataupun dicemoohnya karya, semua tergantung kepada penghayat seni. Pelaku seni berkedudukan seimbang dengan penghayat seni, sebab menurut Sony Kartika, penghayat dalam menanggapi setiap karya seni akan terlibat proses imajinasi. Itulah mengapa penghayat juga dikatakan sebagai “seniman” penghayat (2004).

Terkait diatas, hal yang layak diapresiasi positif adalah adanya niatan yang memantik pergerakan dalam tujuan “membumikan” seni supa di Ponorogo, tentunya dalam sisi edukasi dan apresiasi yang berimbas kepada ketersengseman para penggiat dan penghayat baru. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk iklim berkesenirupaan kreatif, inofatif, dan kompetitif.
***

Sastra dan Penyanggihan Realitas

Budi P Hatees
_Harian Analisa, 02 Sep 2012

Dalam tradisi masyarakat Timur, anak lahir cacat acap dihukum secara sosial sebagai kutukan atas perbuatan buruk orang tuanya di masa lalu. Misalkan anak tak sempurna secara mental, orang tua yang tak berpendidikan soal keterbelakangan mental anak akan menganggap dan memposisikan anaknya sebagai aib keluarga. Setiap kali melihat anaknya, orang tua seperti itu akan merasa bahwa anaknya hanya sebuah beban, sedang sebuah beban dianggap harus dilepaskan agar tak mengkrangkeng diri.

Tuesday, September 25, 2012

PENDIDIKAN BER-ETIKA DAN BERKARAKTER PANCASILA


Pendidikan watak dalam pandangan Slamet Iman Santoso
Vivi sylvia purborini

Abstrak
Pendidikan sebagai bagian dari kemajuan bangsa dan kemandirian bangsa. Penguraian sistem pendidikan dan perbandingannya antara zaman dahulu dan sekarang menjadi bahan pertimbangan tersendiri. Nilai-nilai kearifan Pancasila dan Psikologis sebagai bagian dari proses pembentukan watak atau kepribadian dalam jiwa manusia, menjadi penentu untuk menghadapi kehidupan nyata dalam masyarakat. Pendidikan yang teliti, rapi, serta sistematis menjadi salah satu acuannya. Pengertian dan pengejawantahan pendidikan secara sempurna yang dapat dijawab oleh masyarkat sebagai salah satu landasannya. Dan hubungan guru-orangtua-murid serta kebijakan pemerintah menjadi bagian penting dalam proses pendidikan.

Latar Belakang
Slamet menguraikan bahwa sistem yang diusulkannya itu bisa memuat berbagai analisis berkaitan dengan pelaksanaan atau proses pendidikan Indonesia sampai tuntas. Hal itu mencakup keseluruhan soal personalia, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, kurikulum, anggaran pendidikan. Semua aspek tersebut harus disesuaikan dengan jenis jenjang pendidikannya. "Dengan adanya standar minimum akan mengatur dengan jelas di SD, SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi. Kriterianya yang dipakai jelas dan fleksibel, sehingga memungkinkan untuk usul, kritik dan koreksi," jelas mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang juga pernah duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1968-1973.
Salah satu jasanya di dunia pendidikan yang hingga kini masih dipakai oleh pemerintah adalah program penerimaan mahasiswa masuk Perguruan Tinggi Negeri. Program pembentukan UMPTN dibentuk ketika Slamet menjadi Ketua Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) pada tahun 1979-1980. Ketika itu terjadi boomingbesar-besaran lulusan SMA. Sebanyak 4000 ribu orang yang ingin masuk UI. Padahal kapasitasnya ketika itu baru 800-900 orang. Melalui komite yang diketuainya dibentuklah satu paket untuk menjaring calon mahasiswa tersebut. Maka sejak 1979 sampai sekarang bergulirlah nama-nama Skalu, Proyek Perintis, Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru) dan sekarang dikenal dengan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya,tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik ia memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar siswa. Sebagai guru yang pengajar, ia bertugas mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah. Sekolah adalah tempat pendidikan yang penting. Santoso (1981: 8) Fungsi sekolah adalah mendidik anak-anak supaya menjadi pintar. Selain dari fungsi ini, maka dengan sendirinya fungsi kedua tampil ke muka, ialah fungsi saringan. Fungsi saringan ini sangat penting dan bekerja menurut hukum alam yang disebut oleh Darwin the survival of the fittest. Fungsi kedua ini pun salah satu fungsi yang menyebabkan tersusunnya sekolah-sekolah yang beraneka warna dan fungsi ini pulalah yang diperangi oleh masyarakat dengan beraneka cara.
Pendidikan dari segi intelektual bisa terstruktur dalam kurikulum sistem pendidikan nasional, namun sistem pendidikan nasional sekarnag ini mencakup secara keseluruhan, belum adanya spesifikasi antara jenjang pendidikan yang satu dengan lainnya. Kepandaian siswa tidak bisa diukur hanya dari segi intelektualnya saja, namun juga dari segi moril atau watak. Anak didik yang dapat memahami dan memperluas kerangka berfikirnya dengan tidak sekadar memahami kehidupan sosial, melainkan juga harus memahami dan memiliki kemapuan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Kemampuan siswa dalam mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam pengorganisasian masyarakat, serta bertindak dengan intelektual dan karakter moril. Pandai secara teoritis belum tentu pandai pula dalam menemukan problem solving dari suatu masalah, seperti yang diungkapkan Prof. Slamet Iman Santoso“Ciri orang pandai, bisa menyederhanakan hal yang ruwet, sebaliknya, orang bodoh akan meruwetkan soal sederhana” Santoso ( 1993: 37). Pendidikan pada masa sekarang masih kurang adanya penyeimbangan intelektual dan karakter.
Oleh sebab itu dalam uraian ini akan berusaha mengkaji tentang pendidikan watak sebagai bagian dari proses pembelajaran siswa, serta menguraiakan guru yang mendidik berdasarkan 4Pilar termasuk didalamnya Pancasila. Pada masa sekarang pancasila kembali menjadi bahan diskusi yang hangat, terkait dengan nilai-nilai dari sila pancasila dari belum adanya pengejawantahan secara penuh pada kondisi realitas sosial masyarakat.
PENDIDIKAN MENURUT ANALISIS SLAMET IMAN SANTOSO
Pendidikan merupakan bagian penting dalam menentukan kemandirian bangsa, namun dari pendidikan juga lah nasib masa depan bangsa dipertaruhkan. Konsep perbandingan pendidikan pada masa lalu dan sekarang berbeda, dan hasilnya pun juga berbeda. Hal ini bukan berarti pemerintah berkewajiban meniru secara keseluruhan tentang konsep pendidikan pada zaman dulu, melainkan seyogyanya pemerintah mengambil nilai-nilai positif dari konsep pendidikan di masa lalu. Ketika ditanya mengenai arti secara sempurna dari pendidikan, baik dari elemen pendidikan dalam pemerintahaan dan pendidik masih belum bisa secara sempurna menjawabnya. Slamet Iman Santoso (1979) berpendapat bahwa pendidikan merupakan suatu proses sosial dan melingkupi seluruh kehidupan manusia. Sementara, dalam Undang-undang No.20 tahun 2003 juga tercantum tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan definisi di atas, pendidikan akan membantu kita dalam memperbaiki diri dan menggali potensi yang kita miliki.  Dengan mengetahui arti pendidikan, kita dapat lebih merasakan bahwa pendidikan itu sangat diperlukan untuk menjadikan kita manusia yang lebih baik dan berguna bagi bangsa dan negara.
Dalam tulisannya Santoso (1987: 98) mengajukan suatu definisi mengenai pendidikan, pendidikan adalah usaha “Etis’ dari manusia, untuk manusia dan untuk masyarakat manusia, demikian, sehingga dapat membatas hakikat individu, dengan tujuan, supaya tiap manusia bisa secara terhormat ikut serta dalam pengembangan manusia dan masyarakatnya terus-menerus mencapai martabat kehidupan yang lebih tinggi.”
Melalui pendidikan siswa dapat mengembangkan bakat dan kemampuan, baik yang masih seusia anak, maupun yang sudah dewasa. Sehingga ketika bakat dan kemampuan dapat dikembangkan sejak awal maka prestasi yang optimum dapat tercapai. Pengembangan prestasi ini yang menjadikan bertumpuknya pengalaman dan mendasari pola manusia yang selanjutnya hidup bersama dengan masyarakat. Pendidikan sebagai salah satu sisi cerminan tolak ukur dari bangsa yang semakin maju sesuai dengan peradaban zaman, ataukah justru sebaliknya. Bahasa sebagai bahan dasar dalam memperoleh ilmu dari pendidikan, akan memunculkan stigma positif ataupun negatif dalam pola kerjasama dan hubungan antar bangsa di seluruh dunia. Penggunaan bahasa menjadi alat utama dalam pendidikan semua arah. Karena dari bahasa dapat diperoleh semua pengetahuan, nilai etika, sopan-santun, ketelitian, pemahaman, pengertian, dan sebagainya. Pengembanagn semua kemampuan siswa adalah dalam batas hakekat siswa tersebut.
Pendidikan berlaku untuk kehidupan manusia dan merupakan proses bertahan hidup, sepanjang masa dalam segala sendi kehidupan. Namun proses pendidikan sebenarnya adalah tugas moral yang paling tinggi nilainya dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Sebab di dalam realitas sosial masyarakatlah terdapat pertaruhan moral yang tinggi, ketika moral bersinggungan dengan kemajuan zaman, maka implikasinya adalah masyarakat yang mampu mempertahankan moral nasional bangsa ataukah sebaliknya. Masyarakat yang tinggi moralnya, secara pasti dan terus-menerus akan bertahan, berkembang dan maju. Sebaliknya, masyarakat dengan moral yang rendah, akan hancur berantakan. Dalam penjabaran keseluruhan ini, terletak tugas guru, murid, orang tua dalam peletakan dasar pertama dan dasar utama dari serangkaian pola kehidupan yang panjang dan konsep pendidikan sepanjang hayat.
Dalam rangka pelaksanaan pendidikan, berdasarkan analisis Prof . Slamet Iman Santoso (1987: 84) yang diambil dari pengalamannya selama belajar dari tahun 1912 sampai dengan 1934. Mengungkapkan pokok-pokok pelaksanaan proses pendidikan, sebagai berikut:
1.      Proses pendidikan pemikiran yang teliti, tepat dan jelas. Proses ini dilaksanakan bersinambungan dari sekolah dasar, sekolah menengah dan tingkat pendidikan tinggi. Kemudian dalam penulisan suatu tesis untuk promosi.
2.      Latihan pelaksanaan hasil penikiran dalam realitas kehidupan, yang biasanya disebut dnegan istilah “pratikum”. Misalnya, dalam laboratorium, di lapangan (field work), memepelajari peristiwa tertentu (case study) dan sebagainya.
3.      Latihan pengamatan, untuk menemukan lapangan baru, di mana pengetahuan tersebut di atas dapat pula dipergunakan.
PENDIDIKAN WATAK
Pendidikan merupakan usaha yang didasari etika, baik mengenai etika kepribadian (personal ethics), maupun etika sosial (social ethics). Hanya pendidika yang berpegang teguh pada etika kepribadian dan etika sosiallah yang dapat menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Untuk dapat bertahan dalam pergaulan internasional, terutama dalam pendidikan harus menghasilkan kepribadian yang matang dan stabil. Penempatan orang dalam istilah the right man in the right place dan menghilangkan praktek menempatkan the right man in the wrong place, atau the wrong man in the right place atau the wrong man in the wrong place.
Konsep pemikiran yang dikemukakan oleh Slamet Iman Santoso (1979) yaitu:
1.      Tiap manusia dapat dipandang memiliki sejumlah bakat: bakat menyanyi, melukis, menguasai ilmu pasti, dan sebagainya.
2.      Tiap manusia perlu sampai pada taraf dapat melakukan pekerjaan tertentu, setidaknya untuk memeroleh nafkah hidupnya (produktif)
3.      Tiap manusia yang hidup harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik di dunia ini, maupun dunia sosial, pergaulan, dan lain-lain. Dalam menyesuaikan diri ini akan terbukti bahwa hasilnya ditentukan oleh kejujuran, kepandaian, dan keteraturan (moral, inteligensi, dan disiplin).

Dasar utama  dalam pengejawantahan konsep pemikiran tersebut adalah “sekurang-kurangnya hubungan antara guru-ibu-anak harus terlaksana secara teratur dan terus-menerus”. Lebih ideal lagi jika bapak dapat pula ikut serta dalam hubungan ini. Hubungan tersebut sevebarnya hubunagn alamiah( a natural relationship)dalam rangka “memanusiakan” anak, mendewasakan anak. Dasar ini merupakan dasar “humanisasi”. Kita hanya bisa mendidik manusia dalam suasana “saling mengerti dan saling menghargai”. Hanya atas dasar ini, maka pendidikan bisa diarahkan pada manusia dengan kualitas dan integritas tinggi. Hanya manusia yang memiliki kualitas dan integritas tinggilah, bisa menyusun masyarakat stabil, dinamis, dan progresif.
Penyusunan kepribadian sebagai pokok yang paling dasar perlu dilakukan, sehingga manusia bisa ikut serta dalam masyarakat secara produktif, tidak menjadi bebanmasyarakat, dan tidak menyebabkan kerugian atau heboh dalam masyarakatnya.
Pokok yang paling dasr harus dibangun dalam hati anubari pelajar dan mahasiswa menurut Slamet Iman Santoso (1987: 58) sebagai berikut.
1.      Pintar, terampil, dan rapi
2.      Jujur terhadap pribadi sendiri, dan terhadap orang lain.
3.      Memiliki disiplin pribadi, bisa mengatur diri sendiri, tidak perlu diatur oleh orang lain. (Selpf discipline and internalized discipline).
4.      Mempunyai rasa kehormatan diri. (persnal honour).
5.      Mengetahui kemampuan dan batas kemampuan pribadi. Kalau mau mencarasalah satu hal, tidak membutuhkan backing.
Namun hasil pemikiran yang sedemikian rupa, jika tidak ada kerjasama yang baik dengan policy makers atau pembuat kebijakan sistem pendidikan(kurikulum) maka akan sia-sia saja.”Kesatuan dan khormatan keluarga bekerja sama erat dengan lembaga-lembaga pendidikan atas dasar humanisasi”.
Pembangunan karakter atau watak dalam pribadi manusia dimulai sejak lahir, sehingga diperlukan pola pendampingan orang tua dalam mengikuti proses pembentukan karakter. Pendampingan ini menurut Slamet cukup sampai usia 15 Tahun. Gejala-gejala yang sekarang muncul adalah anak muda yang kehilangan jati diri dan terjebak dalam lingkungan free sex, kriminalitas, pemabukan, dan sebagainya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh tidak adanya pokok kepribadian yang menjadi pegangan dasar anak dalam berbaur dengan kemajuan zaman. Namun disisi lain ada masalah-masalah yang menjadi penghambat orang tua dalam melakukan pendampingan terhadap anak. Misalnya adanya tekanan ekonomi, sibuk dengan pekerjaannnya, dan adanya kelompok kepentingan serta penekan yang di dalam visi-misinya selalu menekankan pada pembangunan. Tetapi pembangunan disini dalam ranah gal yang menyangkut pemerinthan serta materiil, tidak ada konsep ‘pembangunan keluarga’. Terjadi dilema moral di masa sekarang ketika disalah satu sisi mencoba membuat kurikulum yang berbasiskan ‘pendidikan karakter’ yang pernah menjadi salah satu pokok pemikiran Prof. Slamet Santoso, dan beliau juga pernah mengirimkan sebuah memoar pada tahun 1977 yang berjudul “Usul-usul untuk GBHN Mengenai Pendidikan” kepada Dr. Edi Swasono. Namun di sisi lain kenyataan yang ada dalam realitas sosial sekarnag yang ada adalah tidak adanya kerjasama yang baik antara, pemerintah, siswa, guru, dan orang tua. Terbukti dengan pola pendidikan dengan tidak adanya transparansi, serta orang tua dipanggil  ke sekolah ketika siswa ada terkena masalah dan ketika pengambilan hasil evaluasi belajar saja. Selama proses pembelajaran, orang tua kurang berkoordinasi dan berkomunikasi dengan pihak sekolah terkait dengan perkembangan belajar anak. Karena kemampuan tiap-tiap anak berbeda, dan mempunyai bakat-minat yang berbeda pula, yang seharusnya dapat diketahui sejak awal sehingga proses pembelajarnpun sesuai dengan jiwa, watak, dan kehidupan anak untuk mendapat prestasi yang optimal.
Sarana untuk mendidik Budi Pekerti dari lima dasar psikologi yang diterangkan diatas adalah mengembalikan perlakuan manusia berdasarkan pendekatan humanisasi, meengembalikan kesatuan dan kehormatan keluarga. Dan menjalin hubungan gierarki berdasarkan keterbukaan, toleransi, dan kehangatan hubungan.


KEPRIBADIAN BERBASIS PANCASILA
Nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam sila-sila pancasila menjadi dasar dalam berkehidupan, berbangsa, dan bernegara. Namun seiring berkembangnya zaman seolah nilai-nilai ini menjadi tergeser. Jika zaman dulu sikap-sikap heroik para pahlawan bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia menjadi salah satu wujud sikap patriotisme dan cinta tanah air. Namun di era-reformasi seperti sekarang, perwujudan cinta tanah air, nasionalisme, pratriotisme, kearifan budi pekerti yang semuanya terkandung dalam pancasila lambat laun mulai bergeser. Dan ketika diberi pertanyaan tentang perwujudan nyatanya, jawabannya menjadi jawaban yang sulit.
Pendidikan yang teliti dan berkesinambungan pada zaman kolonial menjadi sebuah sistem standardisasi pendidikan. Orang-orang selalu dituntut memiliki kualitas dan integritas tinggi untuk dapat untuk dalam pekerjaan. Pada tahap sekolah dasar anak sudah diperkenalkan ilmu bum, mulai dari bagian yang didiaminya misalkan pulau jawa, anak diberi pengetahuan mengenai ilmu bumi beserta hasil buminya, menggambar peta sendiri dimulai bertahap dari pulau-pulau yang ada di Indonesia dan negara-negara di dunia. Kemudian dari gambaran tersebut dipetakan tentang hasil bumi, kondisi realitas sosial, dan ditingkatan selanjutnya diajarkan tentang sejarahnya. Dari bentuk pembelajaran yang bertahap serta berkesinambunagn inilah Prof. Slamet Iman Santoso (1987: 201) mendiskripsikannya sebagai bentuk “patriotisme kekanak-kanakan” . Menurut beliau pendidikan yang teliti dan berkesinambungan, telah menanamkan beberapa hal dalam hati sanubari kita. Pertama, kesadaran tentang kemampuan dan harga diri. Kedua, rasa senasibyang mendasari kesatuan. Ketiga, kesadaran tentang memiliki tanah air yang realistis dan langsungm setingkat dengan slogan zaman sekarang, sandang, pangan, dan papan.
Pada zaman dulu ketika nilai-nilai kearifan ini masih dijunjung tinggi. Masyarakat ketika itu  kebanyakan terdiri dari orang-orang jujur, orang-ornag yang mengikuti disiplin. Bahkan masyarakat yang kurang mampu pun bersikap seperti itu. Memang dulujuga adayang namanya maling, copet,, tapi tidak terlalu dominan. Seperti salah satu pengalaman Prof. Slamet Iman Santoso. Ketika masih kuliah dan tinggal dekat stasiun Jatinegara, Jakarta. Setiap hari pergi kemana-mana harus naik sepeda. Kalau masuk rumah, sepedanya tinggal di pendopo, dan tidak dikunci. Tapi juga tidak hilang. Bahkan kalau malam pun sepedanya tinggal di sana, dan tidak hilang juga.
Jika dikaitkan dengan hubungan guru-murid-orang tua sebagai dasar pembangunan manusia sebagai manusia yang mempunyai watak dan rasa kehormatan. Rasa kehormatan diri pada pribadi masing-masing, menjadi rasa “kehormatan kolektif”, yaitu nasionalisme murni tanpa pamrih. Dan kemudian melahirkan “national builders”, seperti Ki Hadjar Dewatara, Soeryopranoto, Bung Hatta, Bung Karno, dan sebagainya. Hubungan erat antara manusia ini, mendasari tumbuhnya martabat manusia. Sifat dasarnya adalah “humanisasi”, sedangkan sifat dasar pendidikan adalah “pendidikan individual”.
Ketika sekarang ada yang bertanya kenapa antara zaman dulu dan sekarang berbeda, jawabannya adalah ketika zaman dulu biarpun masih zaman kolonial, sudah melaksanakan Pancasila, dan sekarang kembali mulai lagi hanya sekadar membicarakan Pancasila kembali.
KESIMPULAN
Urutan pendidikan dimulai dari dasar yang realistis, langsung bisa dialami sehari demi sehari. Dalam kehidupan anak, soal wajar dan bisa dialami, mempunayi peranan penting. Kemudain melangkah ke tingkat “mengerjakan sendiri”, menggambar tanah air. Dari tingkat konkret dan realistis,lambat laun menuju ke arah abstrak konseptual dan imaginatif. Jika ditambah soal abstrak dan konseptual bisa dimulai dengan sejarah. Sejarah tidak bisa dialami secara langsung. Sejarah bagaimanapun pentingnya, tetap merupakan sesuatu yang sebagian besarnya berada di luar pengalaman sehari-hari, sebab peristiwanyaterjadi di zaman yang lampau. Sedangkan ilmu bumi tetap aktual, ada di bawah telapak kita tiap detik.


DAFTAR RUJUKAN
Tempo. 1993. Memoar Senarai Kiprah Sejarah. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Santoso, Iman S. 1987. Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: CV Haji Masagung
Santoso, Iman S. 1981. Pembinaan Watak: Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: UI Press
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta
Ahmadi,A. 1987. Pendidikan dari Masa ke Masa.   Bandung: CV Armico dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Marijan, M. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Prenada Media Group
Slamet, Iman S. 1977. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Sinar Hudaya
Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Jakarta: Ar-Ruzz Media

BUNG KARNO DAN PENDIDIKAN


Dulu Diperkenalkan, Sekarang Dicari : 
Nation and Character Building Bung Karno
 Doni Trio Saputra
Hukum Kewarganegaraan, UM

Masyarakat saat ini lebih mengenal nama Nazriel Ilham (Ariel) daripada nama Ir. Soekarno. Pemberitaan amoral Ariel sering kali menghiasi (top news) dimedia elektronik maupun cetak, banyak diberitakan bahwasanya penggemar-penggemar Ariel siap datang memberi dukungan moril dan setia untuk menunggunya berkumpul kembali di sekeliling mereka. Padahal jelas-jelas tindakan yang dilakuakannya itu salah. Sebuah gejolak yang terlukis dalam negeri ini. Krisis kepercayaan diri terhadap bangsanya, tindak amoral yang telah dipertotonkan dalam media pemberitaan harian dari tindak kriminal sampai penipuan, di manamereka adalah seorang yang berpendidikan atau bisa dikatakan para intelektual. Mereka yang menikmati pendidikan di bangku sekolahmempunyai perilaku yang tidak lebih baik dari orang yang tidak menikmati pendidikan. Memang tidak semua orang yang berpendidikan seperti itu, akan tetapi yang menjadi pertanyaan kita kembali adalah lebih banyak yang seperti itu atau lebih sedikit?
 Dalam lukisan kehidupan jiwa zaman edan seperti sekarang ini yang lebih memprihatinkan lagi para pemuka agama mempunyai peran ganda selain sebagai pemuka  ajaran agama tak jarang yang menjadi seorang selebritis bahkan merangkak sebagai seorang politisi yang fotonya ada dipinggir-pinggir jalan entah sebagai iklan sebuah produk maupun dipajang sebagai media berkampanye. Kita tahu tidak sedikit dari mereka ketika berkampanye menawarkan janji-janji surga akan tetapi ketika diamanati sebuah jabatan lupa pada visi dan misi bernegara dengan kedok balutan jubahnya. Tidak hanya sampai situ saja, tidak sedikit diantara mereka menjual ayat-ayat Tuhan hanya untuk kepuasan perut semata.
Sebagaimana pendapat Thomas Lickona, seorang pendidik karakter dari Cortland University. Menurut Lickona (1992:12-22), sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh ciri seperti : (1) meningkatnya kekerasan pada kalangan remaja; (2) membudayanya ketidak jujuran; (3) sikap fanatik terhadap kelompok; (4) rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru; (5) semakin kaburnya moral baik dan buruk; (6) penggunaan bahasa yang memburuk; (7) meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan alkohol, narkoba, dan seks bebas; (8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara; (9) menurunya etos kerja dan; (10) adanya saling curiga dan kurangnya rasa peduli terhadap sesama. Apakah bangsa kita menempatkan posisinya diluar ciri yang sudah disebutkan tadi? Tentu tidak.
 Ada sebuah kalimat yang menarik yang bisa kita perhatikan ”Jika ingin melihat Indonesia pada 10 tahun mendatang maka lihatlah keadaan pemuda saat ini, dan jika ingin melihat Indonesia pada 20 tahun mendatang maka lihatlah keadaan anak-anak kecil saat ini”.  Maka tidak dapat dipungkiri, mau tidak mau saat ini kita semua yang merasa sebagai orang tua, atau katakanlah orang yang lebih tua bertanggung jawab atas masa depan Indonesia di masa mendatang dengan lebih memperhatikan pemuda dan anak-anak di masa kini (Aisalwa: 2012). Untuk itu Bung Karno sebagai sosok negarawan, pendiri dan proklamator negeri ini tatkala memegang tampuk pimpinan negara pernah menekankan betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa (Nation and Character Building), sehingga tidak dipandang rendah oleh bangsa lain dalam percaturan politik dunia (Supadjar, 2009 diambil di kata pengantar membangun karakter bangsa, Soegeng Koesman).
Saat kekuatan barat masuk ke Indonesia, kebodohan dan mentalitas terbelakang masih berupaya dibentuk oleh penjajah. Mental dan watak manusia dibentuk oleh suatu kondisi material historis. Persenyawaan dengan keterbelakangan feodalisme dan kapitalisme-kolonial telah membuat bangsa ini bermental “terbelakang” yang dalam hal tertentu terkadang menjijikkan. Ada pengecutan, keraguan, pesimisme,dan rasa tidak percaya diri atau tidak percaya kebenaran. Bung Karno sendiri pernah mengatakan bahwa penjajah (imperialisme) telah membuat bangsa kita menjadi “bangsa tempe”.
Bung Karno mengatakan:
“Tempe adalah bungkah yang lunak dan murah terbuat dari kacang kedelai yang diberi ragi. Negeri tempe berarti negeri yang lemah. Itulah kami jadinya. Kami terus-menerus dikatakan sebagai negeri yang lunak seperti kapas. Kami menjadi seorang pengecut; takut duduk, takut berdiri, karena apapun yang kami lakukan selalu salah. Kami menjadi rakyat seperti dodol dengan  hati yang kecil. Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami hanya menjadi bangsa yang hanya mendapat bisikan “Ya Tuhan”
Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, yang  masih mereka pegang teguh secara tidak sadar.
Ejekan yang terus menerus dipompa oleh pemerintah Hindia-Belanda tentang ketidakmampuan kami, menyebabkan kami yakin dengan hal tersebut. Dan keyakinan bahwa engkau bangsa yang hina lagi bodoh adalah senjata yang ada pada tangan penjajah.  Imperialisme adalah kumpulan kekuatan jahat yang tampak dan tidak tampak”.




Apa yang dikatakan Bung Karno tersebut adalah imbas penjajahan ekonomi terhadap mental bangsa kita. Jika pada era feodalisme kerajaan rakyat dipaksa patuh kepada raja-raja, saat kolonialisme datang rakyat juga diperlakukan sama, tentunya dengan eksploitasi dan penghisapan pada tenaga rakyat yang lebih telanjang dan tidak kenal malu (Soyomukti,2008).
Apabila kita mencermati perjalanan hidup bangsa ini selama satu dasawarsa di era Reformasi, nampak jelas adanya indikasi bahwa bangsa ini  telah kehilangan stamina dan jati diri sebagai bangsa timur yang memiliki falsafah hidup yang adiluhung, yaitu Pancasila. Yang membuat bangsa kita menjadi “melempem” sebuah bangsa yang bisa dibilang loyo (kendor), tidak punya daya juang melawan bangsa asing, bahkan cenderung menjadi kaum komprador. Akibatnya kondisi negeri ini semakin carut-marut. Sekarang ini pendidikan karakter gencar ditanamkan kembali pada wajah pendidikan kita, bukan dijadikan sebagai kurikulum yang kaku melainkan menjadi sebagai kebutuhan dari setiap peserta didik per kepala  untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu dengan mengutamakan perkembangan proses peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Nation Building Soekarno
Orang yang paling berpengaruh terhadap sejarah kemerdekaan Indonesia adalah Ir. Soekarno, terhitung dari hari kelahirannya ke-111 sejak 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur. Sekiranya kita patut refleksikan perjuangan dan kegigihan beliau dapat membebaskan kita dari belenggu kolonialisme. Setelah 67 tahun Indonesia merdeka berkat jasa-jasa beliau, kemudian bagaimana reaksi beliau ketika masih diberikan kesempatan bernafas sampai sekarang melihat buah dari perjuanganya, apa beliau bangga atau sebaliknya?(SN, 2012). 
Memahami ajaran nasionalisme Bung Karno bukanlah hanya mewarisi semangat cinta tanah air semata. Jiwa nasionalisme bukan hanya muncul ketika Timnas Indonesia bertanding melawan Timnas Malaysia, atau bahkan ketika salah satu budaya lokal kita terusik oleh Malaysia saja. Mewarisi semangat nasionalis Bung Karno adalah semangat anti penjajah, keadilan ekonomi kemudian menjaga kesatuan dan persatuan itu harus dijaga sebagaimana itu menyebabkan Indonesia menjadi negara yang besar yang mampu mewarisi kebesaran nenek moyang kita. Dalam diri Soekarno dapat dijadikan titik bijak dalam menyiasati berbagai permasalahan bangasa saat ini. Sumbangan atau warisan sejak Soekarno kecil sampai menutup usia pada 69 Tahun, perlu digali kembali. Ajaran pokok yang masih terekam jelas di benak kalangan tua sampai generasi muda adalah semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Hampir seluruh hidup Bung Karno ini dipersembahkan untuk negara Indonesia ini. 
Keutuhan wilayah nusantara yang merupakan warisan nenek moyang berusaha dipecah belah oleh bangsa asing yang telah menjajah nusantara. Politik yang pecah-belah membuat kekuatan bangsa tercerai berai dan kekuatanya berkurang, bahkan dibuat agar saling serang supaya kekuatannya makin melemah.
Pusat perhatian Soekarno sebenarnya bermuara untuk mempersatukan bangsa indonesia melawan imperialisme. Dalam usaha ulet untuk mempersatukan semua suku dan lapisan-lapisan masyarakat Indonesia.
Dalam satu kesatuan Indonesia, Soekarno telah memberikan sumbangan yang paling bernilai. Jika Soekarno berkata dasar terbentuknya adalah keinginan untuk bersatu, atau demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi bukanlah suatu demokrasi, atau jika ia berkata bahwa imperialisme adalah tingkat terakhir dari kapitalisme yang runtuh, maka dari itu ia melahirkan pandangan-pandangan merupakan bagian dari keyakinanya. Jika Soekarno berbicara tentang persatuan bangsa ia memiliki pandangan sendiri “ Yang menjadi persoalan ialah bagaimana membina kerukunan, membina persatuan,membina bangsa antar semua dan dari semua. Untuk mencapai hal ini, maka di samping tiap-tiap suku memberikan sumbanganya yang positif, tiap-tiap suku juga harus menerima sumbangan positif dari suku-suku lain. Pendeknya semua suku harus mengintegrasikan diri menjadi satu keluarga besar Indonesia” ini adalah suara khas Soekarno.
Untuk terbentuk suatu bangsa perlu usaha bersama dari golongan islam maupun komunis, golongan demokrasi sosialis maupun nasionalis, betapapun besarnya perbedaan-perbedaan yang berlangsung lama di antara mereka, kemungkinan kerjasama yang demikian ini dari konsepsinya “Nasionalis, Islamisme, dan Imperialisme” yang dimuat tiga kali berturut-turut dalam Indonesia Moeda tahun 1926/1927 usaha menciptakan persatuan bangsa telah disusun sintesis ideologi dalam menjalankan upaya-upaya terdapat beberapa langkah yang jelas. Ketika Soekarno memutuskan “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” ia pada dasarnya memaksudkannya sebagai strategi. Menghadapi kekuasaan kolonial belanda adalah sesuatu yang wajar dan sederhana jika kaum komunis dan golongan islam harus menyusun barisan kekuatan dan bekerja sama di bawah panji-panji nasionalisme. Dari pemikiran usaha kerja sama ini, Soekarno tersentuh oleh harapan bisa dipersatukan menjadi berbagai aliran keyakinan yang berbeda-beda, sehingga tercipta keterpaduan yang dapat diterima dengan jalan saling memberi karena tidak lagi ada pilihan (John D Legge, 1987: 390-401 diambil dari artikel Peter Kasenda “Persatuan-Soekarno”).
Menurut Ruth McVey sebenarnya pembahasan Soekarno mengenai “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, ditunjukkan kepada rekan-rekan sesama pemimpin di dalam gerakan kemerdekaan. Dalam hal ini Soekarno tidak berbicara kepada masyarakat desa yang frustasi maupun kaum proletar radikal yang sempat melancarkan pemberontakan PKI. Soekarno juga tidak berbicara kepada santri pembela islam, atau pada orang-orang biasa yang tinggal di dalam kota atau dekat kota yang kemudian nantinya bergabung pada Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam pencarian sebuah orentasi di dunia yang sedang mengalami modernisasi. Soekarano melihat kelompok-kelompok tersebut memang ada, tetapi ia hanya memandang mereka sebagi pengikut atau calon pengikut kelompok elit metropolitan yang menjadi sasaranya.
Esai Soekarno hanya ditunjukkan kepada orang-orang segenerasi yang terlibat dalam kancah perpolitikan-muda, berkomitmen terhadap perjuangan menuju kemerdekaan, dan sudah memikirkan identitas diri mereka dalam kapitalis nasional bukan regional. Dalam kelompok kecil itulah Soekarno melihat dengan jeli sumber pemimpin negara masa depan, dia juga melihat kelemahan dan pemborosan energi akibat perselisihan terus menerus, yakni ketika perbedaan personal maupun ideologi berbenturan sehingga berakibat fatal.
Persatuan para pemimpin politik dianggap sebagai sesuatu yang vital bagi perjuangan kemerdekaan, sebagaimana yang diperlihatkan pemerintah Hindia-Belanda, dalam mengalami persatuan tersebut. Namun bagi Soekarno dan orang-orang segenerasinya, persatuan tersebut lebih dari sekedar kunci menuju efektifitas politik. Di mata mereka, perasaan frustasi akibat konflik tiada henti di kalangan mereka sendiri, ditambah konsep politik tradisional dan ide-ide yang dipinjam dari sosialisme memberikan tafsiran tersendiri bagi kita “persatuan”. Kata persatuan memiliki nilai yang hampir-hampir magis, hanya melalui persatuanlah kekuatan politik bisa tercapai-tetapi begitu rakyat bersatu, tidak ada yang tidak mereka atasi. Yang dimaksud dengan “rakyat” adalah seluruh masyarakat Indonesia, suatu perwujudan spiritual dari seluruh bangsa (Kasenda,2012).
Boleh saja orang beranggapan bahwa nasionalisme,islam, dan maxisme-sosialisme-komunisme tak bisa disatukan. Mungkin orang yang memegang anggapan seperti itu tidak menguak secara lebih jauh potensi dari masing-masing ideologi untuk dapat bersatu. Oleh karena itu,perlu sekali untuk mengetahui bagaimana masing-masing elemen ideologi (dalam Nasakom) sesuai dengan pandangan Bung Karno. Jika nasionalisme dipandang secara sempit, sebagaimana chauvinisme ataupun rasialisme kebangsaan, dia memang tidak akan dapat disambungkan dengan ideologi lainya-seperti marxisme dan islamisme yang tidak mengenal suku dan ras bangsa (pan-islamisme dan internasionalisme dalam sosialisme). Karena itulah untuk memahami Nasakom, orang harus mengerti dari mana dulu dan pada sisi mana masing-masing ideologi (baik Nasionalisme,Islamisme, maupun Komunisme) secara baik dan benar. Untuk meyakini Nasakom orang tidak bisa menjadi Nasionalis sempit, Islam sempit, atau Marxisme salah kaprah.
Intinya, Nasakom akan mudah diterima oleh mereka yang berpikiran luas dan lapang, orang yang berpengetahuan luas dan selalu menganalisis berdasarkan pengetahuan terhadap perkembangan atau susunan ekonomi dunia, serta memahami kontradiksi-kontradiksi yang berkembang di negaranya yang berpengaruh pada negaranya sendiri, dan dengan menganalisis corak produksi dan pemikiran masyarakat sendiri. Bung Karno, sebagai penggagas Nasakom, memang mengetahui susunan ekonomi dunia, sekaligus memahami perkembangan masyarakatnya sendiri. Dan melihat ideologi-ideologi yang berkembang di masyarakatnya itu sebagai jawaban atau reaksi untuk melawan penjajah asing (Soyomukti, 2008).
Perlu kita ingat juga bahwa Bung Karno menuliskan “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” pada tahun 1926. Pada waktu itu, Bung Karno memang belum banyak mempelajari berbagai macam pemikiran Islam secara mendalam. Fase ini adalah fase dimana ia banyak mengelaborasi pemikiran kebangsaan, yang kemudian menjelang awal tahun 1930-an, ia melontarkan tulisan-tulisan dan ucapan-ucapan bernada marxis atau pemikiran untuk membela rakyat miskin.
Bung Karno yang sangat benci Imperialisme. Karena imperialisme menurut Soekarno adalah “Nafsu menimbulkan jajahan-jajahan yang diambil rezekinya.” Sehingga mengakibatkan timbulnya ”kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil” dengan bahasa lain marhaen hendak mencangkup kaum tani dan melarat lain yang tidak termaktup dalam pengertian ploretar. Karena kaum proletar hanya terdiri dari kaum buruh yang menjual tenaganya pada pemilik modal. Kesimpulannya konsep marhaen merupakan terjemahan dari pengertian proletar yang disesuaikan dengan situasi yang berlaku di Indonesia.  Dapat dikatakan bahwa konsep yang diajukan ini merupakan penilaian yang jujur terhadap sifat masyarakat Indonesia.  Dari kata “Marhaen” itulah muncul sebuah konsep “Marhaenisme” yang bagi Soekarno merupakan suatu paham yang meliputi secara praktis setiap orang yang berkehendak untuk mengadakan perubahan hidup kaum Marhaen. Dengan konsep itu ia tidak hanya berlaku di atas kepentingan salah satu kelompok saja, tetapi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Soekarno hendak memasukan sebanyak mungkin dengan maksud di bawah pengertian Marhaenisme. Sikap seperti itulah yang dianggap oleh Berhnard Dahm sebagai Common Denominator yang baru (Kasenda,2010).
Marhaenisme adalah Marxisme versi Bung Karno, karena sifat dan tindakannya yang radikal menyebabkan ia masuk penjara. Penjara tetap tidak mampu mengumpulkan militansi dan perlawananya terhadap kolonialisme Belanda. Kemudian ia dibuang di Ende, lalu di Bengkulu. Fase pembuangan inilah yang memberinya ruang dan waktu untuk mendalami islam, melalui surat-surat yang dikirimkannya ke Hassan, seorang aktifis muhammadiyah dan persatuan Islam yang ada di Bandung. Artinya, memasuki era tahun 1940-an, dalam hidupnya telah mengalami berbagai macam pemikiran yang terdiri dari berbagai Ideologi besar: Nasionalisme, Marxisme-sosialisme-komunisme, dan Islam. Ketika fase-fase itu menggumpal menjadi kesatuan, yang bercampur yang bercampur-aduk memenuhi baik ruang bawah sadar maupun kesadaranya. Tak heran jika kemudian ia menyadari bahwa obsesi terbesarnya adalah “persatuan”.
Pemikiranya tentang Pancasila adalah pengejawatahan tentang obsesi persatuan. Dalam pidato kelahiran Pancasila 1 juni 1945, upaya untuk menyatukan berbagai macam keyakinan dan pandangan diuraikan secara panjang. Berbagai macam keyakinan dan pandangan hidup yang ada di Indonesia, juga dikaitkan dengan pandanganya dalam memahami universalisme kemanusiaan, yang mengarah pada suatu kebutuhan normatif dalam hubungan manusia-manusia Indonesia yang dinamakan dengan “Gotong Royong” .
Pancasila dianggap banyak kalangan sebagai muara dari pemikiran Bung Karno yang terdiri dari elemen pemikiran dan sifat luhur yang pernah berkembang di Indonesia dan pemikiran-pemikiran universal dari sejarah yang berpihak pada kemanusiaan dan keadilan. Apa yang ada di Indonesia sebagai warisan masa lalu seperti agama dan sifat kegotong-royongan diambil dan digabungkan dari pemikiran Barat modern yang tidak bertentangan dengan karakter orang Indonesia (Soyomukti,2008).

Character Building Bung Karno
Tema-tema wayang seperti Mahabharata dan Ramayana dimanfaatkan dalang dan kaum nasionalis untuk mengungkapkan aspirasi-aspirasi mereka sendiri dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh setiap orang Jawa. Kusno, nama kecil Soekarno, sejak dini sudah diperbolehkan menonton pertunjukan wayang yang berlangsung semalaman. Soekarno kecil dididik malam demi malam di depan layar. Sebagaimana ia ditumbuhkan dalam gagasan Ratu Adil, hasyrat untuk kemerdekaan dihidupkan terus oleh wayang. Ia menyaksikan Bharata Yudha yang mengisahkan perjuangan kaum Pandawa melawan kaum Kurawa. Kedua belah pihak berebut kerajaan Ngastina yang dikuasai kaum Kurawa yang merupakan hak kaum Pandawa.
Sosok Bima merupakan sosok yang saleh dari tradisi Jawa. Orang kedua dari Pandawa bersaudara ini ditampilkan sebagai seorang yang tak kenal ampun dan tak kenal kompromi. Tetapi ia tetap bersedia berkompromi dengan orang-orang di dalam barisannya sendiri yang bersedia tunduk kepada tatanan yang sama. Besar kemungkinan bahwa tokoh Bima dengan sikap yang tak kenal kompromi terhadap seperjuanganya mengesankan Kusno muda dibandingkan dengan tokoh-tokoh wayang lainya. Di samping Bima sebagai panutan Soekarno. Raden Sukemi menginginkan putranya menjadi seorang Ksatria yang akan mengabdi pada tanah air. Ia mengubah nama Kusno menjadi Soekarno. Soekarno berasal dari Karna adalah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang sakti.
Ketika Soekarno memasuki sekolah Eropa, ia menjadi korban prasangka sosial. Ia selalu membela kehormatan bangsanya setiap kali terjadi pertengkaran, di sini dilukiskan dalam dunia pewayangan mengenai hubungan antara penguasa dan dikuasai telah menjadi jelas dengan cara menyakiti hati Soekarno. Soekarno sudah mulai percaya dalam janji yang terkandung dalam dunia pewayangan dan mulai sadar bahwa kemenangan berada dalam pihaknya jika ia cukup kuat untuk mengejar cita-cita tanpa ragu-ragu.
Setelah tamat sekolah dasar, Soekarno memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studinya di Surabaya dan menumpang di rumah HOS Tjokroaminoto. Soekarno diterima oleh Tjokroaminoto yang wakui itu masih belum kehilangan respectsedikitpun dari penduduk seluruh pulau Jawa terhadap dirinya. Tjokroaminoto bukan pendekar yang menghantam tatanan yang berlaku. Ia masuk penjara atas dakwaan melakukan sumpah palsu. Bukan karena ia melawan pemerintah kolonial. Ia sama sekali bukan seorang Ksatria dalam cerita wayang yang tidak ragu-ragu mempertaruhkan nyawanya karena tahu kemenangan berada di pihaknya. Tapi ia menempatkan diri di tengah orang-orang yang menantikan Messias walaupun massa memandangnya sebagai pengemban gagasan Ratu Adil. Sebaliknya ia mengatakan Ratu Adil akan muncul dalam wujud sosialisme.
Ketika Soekarno menjadi mahasiswa di Bandung, dia berkenalan dengan dua pandangan yang berbeda secara mendasar satu sama lain mengenai sikap terhadap rezim kolonial, sikap pasif yang diambil Tjokroaminoto yang menantikan kemenangan sosialisme dan sikap militan pada diri Tjipto Mangunkusumo, gurunya di Bandung. Walaupun hidup bertahun-tahun dalam pembuangan, Tjipto Mangunkusumo berulang-ulang berseru kepada pengikut-pengikutnya agar punya keberanian mempertahankan keyakinan mereka berjuang untuk tanah air kaum Pandawa.
Soekarno menemukan kembali bahasa para Ksatria ketika ia masih kecil. Serta lebih meyakinkan baginya daripada harapan yang meragukan menjadi kenyataan dari kepercayaan terhadap Ratu Adil di sekitar Tjokroaminoto. Perbedaaan apapun terhadap guru-guru Soekarno, Tjokroaminoto dan Tjipto Mangunkusumo sama-sama menghendaki adanya suatu front persatuan di pihak kaum Pandawa (Kasenda, 2011).   
Kita bisa melihat karakter masyarakat kita saat ini. Corak produksi kapitalisme pasar bebas telah menyeruak dengan budaya dan gaya hidup yang ditawarkanya. Tetapi, elit borjuis Indonesia lagi-lagi tidak kuat dan kreatif, maka secara nyata selalu kalah dengan borjuis-kapitalis asing yang kuat dan konsisten ide-ide liberalnya, sementara masyarakat semi-renaisans Indonesia mendorong untuk berfikir setengah feodal dan setengah liberal. Atau pada kenyataanya Indonesia terjerat pada sistem ekonomi liberal, tetapi semangat, karakter, dan budayanya feodal. Maka tidak aneh jika sebagian besar budaya masyarakatnya juga terbelah, di satu sisi liberal, di sisi lain feodal. Kita bisa menjumpai banyak pribadi yang dalam kesehariannya liberal (minum-minuman, melakukan seks bebas, dan lain-lain), tetapi pada saat yang sama ia juga menjalani ibadah agama dengan rutin. Dan tidak ada yang mengingatkan keterpecahbelahan pribadi atau filsafat itu. Pribadi orang-orang Indonesia itu, terutama masyarakat Jawa adalah cuek pada mana yang benar dan mana yang salah: semua yang baik benar maupun salah dijalani. Manifestasi kongkritnya dalam watak bisa kita lihat dalam elit dan masyarakat kita, yaitu ketidakkonsistenan dalam bertindak, kompromis, suka konsensus bukan berdasarkan strategi dan tindak objektif untuk kepentingan rakyat, tetapi demi kepentingan sendiri dan golongan (Soyomukti,2008).
Bangsa ini harus menjunjung tinggi budayanya sendiri, tidak perlu sok modern, sok keren dan latah serta tergila-gila pada budaya manca negara yang ternyata sangat destruktif serta untuk menghancurkan generasi muda bangsa. Budayawan sebagai bagian dari generasi penerus bangsa harus bangkit dan berani bangkit di depan, jangan hanya petetang-peteteng dengan gaya nyentrik saja tanpa berusaha melestariakan dan mengangkat budaya sendiri ke tingkat dunia. Hentikan budaya mencela dan mencerca budaya sendiri. Bangkitlah dengan ide-ide baru yang bernuansa timur. Kembalilah dengan budaya bangsa yang adiluhung. Kembali pada kehidupan yang bertata krama. Jangan menganggap budaya sebagai hal yang kuno kan ketinggalan zaman. Apa salahnya jika kita saling menghargai, saling menghormati, bersikap sopan santun terhadap sesama. Apa salahnya berbicara dengan sopan santun tanpa saling otot dan adu mulut? Kunokah? Ketinggalan zamankah?
Semua ini merupakan tantangan bagi rakyat negeri ini. Khususnya kaum elite yang tidak tahu diri dan sok merasa paling tahu segalanya. Belajarlah pada negara-negara yang terlebih dahulu merdeka dan berdaulat, bagaimana perjalanan kehidupan negara itu sampai mencapai keberhasilan. Inilah yang perlu dipelajari bukan untuk meniru budayanya yang tidak cocok dengan budaya sendiri. Pelajarilah negara Jepang yang tampil sebagai negara modern yang tetap mempertahankan budayanya sendiri. Apakah Jepang ketinggalan zaman? Tirulah etos kerja dan kesungguhan bangsa Jepang dalam berjuang untuk menyejahterakan rakyatnya (Koesman, 2009: 207-208).
Bung Karno selalu mengedepankan budaya-budaya lokal sebagai upaya dalam membangun warga negara yang nasionalis, yang mencintai tanah airnya, yang mencintai tumpah darahnya, yang mencintai keanekaragaman budayanya dan mampu menjaga serta melestarikanya. Dalam kesenian itulah banyak pesan-pesan moril yang disampaikan pada warga negaranya, keanekaragaman itulah sebagai sebuah pilar kekuatan dalam membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Sebuah bangsa yang percaya diri atas bangsanya sehingga tidak bergantung pada bangsa orang lain dan menjadikan bangsa yang memiliki harga diri. Karena Bung Karno mengajarkan pada kita selaku bagian dari bangsa indonesia yang membela harkat dan martabat sebagai suatu negara harus membela mati-matian. Harga diri tidak diukur dari besarnya kekayaan, harga diri lebih besar nilainya dari pada miliaran rupiah, harga diri harus diperjuangkan mati-matian, karena hidup tanpa harga diri adalah hidup yang nista. Harga diri sebagai benteng pertahanan diri. Hidup tanpa harga diri akan berakibat fatal: hidup seseorang menjadi tidak memiliki nilai dan makna karena citra dirinya rendah dan terhina(Koesman, 2009: 218).
Imperialisme juga membonsai bangsa ini dengan cara menjadikan ketergantunganya kepada mereka. Karena itu salah satu elemen yang tidak boleh terlupakan saat membicarakan nation and character building ala Bung Karno adalah ajaran “Tri Sakti” Bung Karno. Untuk menjadi bangsa yang sakti dan besar, maka kita harus mengikuti tiga prinsip: mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Sebuah harga diri sebuah bangsa bisa dipandang tinggi oleh bangsa lain karena memiliki nilai pandang lebih, karena memiliki etos kerja yang bagus dan mampu berpikiran produktif. Nasionalisme dan radikalisme Bung Karno muncul karena tidak terputus dari semangat zaman sebelumnya. Tidak ada yang namanya diskontiunitas sejarah sebagaimana dipahami takdir. Sejarah tetaplah suatu hal yang berkait dan dialektis.
Tidak mungkin kita membangun wawasan kebangsaan yang baik kalau dalam diri kita belum ada usaha untuk mengembangkan etos kerja yang tinggi serta semangat pengabdian yang tulus. Bagaimana kita bisa membangun dan merangkai saling kepercayaan kalau diri kita sendiri tidak dipercayai oleh orang lain? Disiplin, dedikasi, dan integritas pribadi pada masing-masing pribadi yang tergabung dalam usaha membangkitkan kembali wawasan kebangsaan menjadi prasyarat mendasar. Untuk itu usaha membangkitkan kembali wawasan kebangsaan harus dimulai dari kita. Tanpa adanya kesesuaian antar kata dan perbuatan akan menjadikan kita seperti badut-badut di tengah jalan yanag mengumpulkan recehan.
Mari kita mulai belajar untuk bicara dan berfikir yang bersahaja. Gaya bicara yang terlalu berlebihan, hiperbola, harus segera disingkirkan. Mulai memenuhi kebutuhan dengan mengandalkan pertimbangan akal sehat sehingga tidak mengkaburkan antara need dan want . Pola hidup konsumtif yang mudah dikendalikan oleh hipnotis iklan akibat kurangnya kemampuan membedakan kemampuan membedakan needdan want, sehingga mudah menjadi seseorang yang berdimensi tunggal, one dimentional  yang seolah-olah dengan memakai iklan tersebut gengsi kita akan naik.
Barangkali kalau masyarakat sasaran sudah dapat bangkit dari ketidak percayaan diri itulah akan muncul suatu harapan. Sebuah harapan di seberang jembatan emas sana agak ada masyarakat yang adil dan makmur,  suatu bangsa yang merdeka secara politik, berdikari secara ekonomi serta berpribadian yang tinggi. Bila anak-anak muda dulu menggambarkan jembatan emas itu adalah sebuah kemerdekaan, maka kita harus menyadarkan mereka bahwa  jembatan itu adalah kerja keras dan kerja sama yang dilandasi  oleh kejujuran dan ketulusan untuk kemajuan dan kemakmuran bersama.
Bila masyarakat sudah memperoleh kepercayaan diri dan harapan itulah peluang untuk berdiskusi tentang wawasan kebangsaaan secara riil dan kritis bisa terjadi. Harapan lembaga untuk mengembangkan wawasan kebangsaan yang tidak membumi dapat terealisasi melalui proses pemberdayaan civil society yang tidak menjadi masa kritis (critical mass) yang mengontrol roda pemerintahan menjadi clean and good governance.
Dalam tatanan budaya diperlukan proses pencerahan terus menerus akan makna nasionalisme dan reaktualisasinya. Mari kita mulai dari diri kita, keluarga kita, oraganisasi kita, masyarakat kita dan nantinya akan bermuara pada bangsa kita. Perubahan struktural dan kultural tidak mungkin terjadi tanpa adanya agen yang secara intens, teroganisir dan terus menerus memperjuangkanya secara konsisten. Konsisten antara visi dan misi kebangsaan dengan prilaku yang dijalankan  (Hariyono, 2010).





Penutup

Sejarah telah menulis dan yang akan dikenang bangsanya, apa yang dilakukan oleh salah seorang proklamator bangsa ini telah “selesai” ketika dia wafat, 111 tahun yang lalu terhitung sejak 6 juni 1901, ketika ia secara fisik meninggalkan negeri yang amat dicintai ini. Akan tetapi buah dari pemikirannya masih relevan jika diterapkan pada jiwa zaman edan saat ini. Nama Bung Karno masih dikenang bukan hanya dari masyarakatnya sendiri melainkan dunia masih membicarakanya, bahkan di Eropa Timur pun, nama Soekarno sangat populer dan harum. Kebangkitan negara-negara Amerika Latin pada awal melinium ini menurut pengakuan para pemimpin mereka juga karena diilhami keberanian Soekarno menolak kapitalisme yang menghisap habis darah negara-negara kaya sumber daya alam tapi lemah dalam dana dan teknologi. Diawali Chaves dan Moralles kemudian diikuti presiden Paraguay Logo mengaku sebagai penganut ajaran Soekarno. Di dalam negeri ajaran Soekarno diterapkan ketika presiden Megawati Soekarno Putri menjabat, bukan hanya sebagai anak biologis Bung Karno akan tetapi sebagai anak ideologisnya dalam melaksanakan setiap kebijakanya meskipun terkadang hasilnya jauh dari memuaskan.

“Jikalau kita mempelajari dan mengagumi sriwijaya dan mataram dan majapahit dan banten dan melayu dan singasari, tetapi kita tidak menangkap dan meneruskan api yang bernyala-nyala dan berkorbar di dalam jiwa-sriwijaya, jiwa-mataram, jiwa-majapahit ,jiwa-banten, jiwa-melayu itu, maka kita pun hanya mewariskan abu saja, mewariskan barang yang mati, mewariskan barang yang tiada harga”.

Maka untuk itu jangan hanya mengidolakan Bung Karno secara fisiknya saja dan bangga terhadap pencapaian Bung Karno di masa lalu akan tetapi kita harus meneruskan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran dari Bung Karno agar kita tidak hanya menggelar karpet merah dan mempersilahkan kursi paling atas untuk bangsa asing. Sedangkan masyarakat kita dikirim ke luar negeri sebagai pembantu di negara asing.







Daftar Pustaka

Buku :

Kasenda, Peter. 2010. Soekarno Muda . Jakarta: Kompas.

Koesman, Soegeng. 2009. Membangun Karakter Bangsa.Yogyakarta: Lokus.

Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pedagogia.

Soyomukti, Nurani.2008. Soekarno & Nasakom. Yogyakarta: Garasi.

Soyomukti, Nurani. 2010. Soekarno: Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 Internet:

Iasalwa. 2012. Menciptakan Karakter Anak. (Online). (http://aisalwa.wordpress.com/2012/03/12/menciptakan-karakter-anak/),  diakses 22 Mei 2012.

Kasenda, Peter. 2012. Persatuan-Soekarno. (Online). (http://peterkasenda.wordpress.com/2012/05/28/persatuan-soekarno/), diakses 29 Juli 2012.

Kasenda, Peter. 2011. Soekarno, Wayang, dan Ratu Adil. (Online)(http://peterkasenda.wordpress.com/2011/02/19/soekarno-wayang-ratu-adil/), diakses 30 Juli 2012.

Kasenda, Peter. 2011. Studi tentang Soekarno: Sebuah Catatan. (Online).(http://peterkasenda.wordpress.com/2011/02/12/studi-tentang-soekarno-sebuah-catatan/),  diakses 28 Juli 2012

Artikel:

Budiono, Bambang. 2012. Bangkitlah Indonesia. Surabaya: Indiependen.

Budiono, Bambang. 2012. Pemikiran Bung Karno Masih Relevan. Surabaya: Indiependen.

Hariyono. 2010. Eksistensi dan Nasionalisme. Pada 28 Juni 2010, dialog di Jalan Sultan Agung, Malang.

Rohi, Peter A. 2012. Harus Kembali pada Ajaran Soekarno. Surabaya: Indiependen.

SN, Taufiqurrahman. 2012. Hilangnya Ajaran Soekarno. Surabaya: Indiependen.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: September 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates