Saturday, July 28, 2012

Sastra Lisan dalam Tradisi Amungme


Tjahjono EP
__LPMAK

KADANG kata-kata sebagai lambang-lambang bunyi—tidak cukup mampu menggambarkan (me­ng­eks­presikan) secara utuh pengalaman batin manusia tentang rasa sedih, senang, marah, cinta dan takjub.

Arnold Mampioper dalam bukunya “Amung­me, Ma­nusia Utama dari Nemangkawi Pegu­nung­an Car­tenz” menuliskan, orang Amungme akan menge­luar­kan bunyi-bunyian yang khas (siul), ketika ber­diri dari atas sebuah bukit dan me­natap gunung Ne­mangkawi yang dilatarbela­kangi langit bersih dan sedikit awan Cirrus, dan dilerengnya terlihat asap mengepul dari ru­­mah-rumah penduduk. Bunyi-bunyian yang di­lakukan dengan cara melipat lidah ini sebenar­nya merupakan ekspresi dari rasa gembira menyaksikan alam raya yang sangat megah ini. Rasa gembira yang tergugah karena melihat ke­in­­dahan alam biasanya juga diekspresikan orang Amung­me dengan menyanyikan sebuah lagu Tem.

Ter­utama untuk mengingat heroisme laki-laki keti­ka melakukan perburuan dan membawa pulang ha­sil buruan untuk dimasak oleh ibunya dan disan­tap seluruh keluarga besar. Salah satu syair yang bia­sa dinyanyikan untuk menggambar­kan situasi ini adalah Kele Wawunia kele, ae, ao, baa. Niare Waw­nia niare, ae, ao, haa.

Selain itu, menurut Arnold, ada lagu purba Su­ku Amung­me yang mungkin sudah tidak di­pahami lagi oleh orang Amungme generasi se­karang. Misalnya la­gu purba yang syairnya Anga­ye-angaye, No emki un­taye. Angaye bao, aa, bao. Angaye-angaye wagana nikaro. Morae ba­nago, bao, aa, bao. Antok anu ae anago, bao, bao. Jilki untae bawano, bao, bao.

Menurut Kepala Kampung Amkayagama, Eko Ke­­lanangame, syair lagu ini berisi pujian pa­da gu­­nung, lembah, hutan dan rimba tempat Suku Amung­me hidup dan mengembara. Arti­nya dalam Ba­hasa In­do­nesia kurang lebih, “Ku­kasih gunung-gu­­nung, yang agung mulia. Dan awan yang mela­yang, keliling­ puncaknya. Ku­kasih hutan rimba, pe­lindung tanahku, kusuka mengembara di bawah naung­mu.”

Aktifitas Suku Amungme untuk mengekspre­si­kan perasaannya tentang manusia dan alam, tem­pat hidupnya sebenarnya merupakan bentuk-ben­tuk sastra lisan. Dalam bahasa yang sangat se­derha­na, sastra dapat dipahami sebagai cara ma­nusia mengeks­pre­sikan pengalaman batinnya tentang rasa senang, rasa sedih, rasa dicintai, atau merasa marah karena sebuah penolakan atau pengingkaran.

Sastra lisan biasanya mengandung gagasan, pi­kiran, ajaran dan harapan masyarakat yang biasa­nya di­dengarkan dan dihayati bersama-sama. Su­ku Amungme yang sejak dahulu belum menge­nal tulisan menurunkan ajaran-ajaran dan petuah-petuah adat ini secara lisan (dari mulut ke mulut) ke gene­ra­si berikutnya.

Menurut sejarahnya, sastra lisan berkembang le­­bih dahulu daripada sastra tulis. Dalam kese­ha­rian, aktivitas ini terjadi ketika seorang ibu mem­beri nasehat kepada anaknya, atau para tetua adat memberi petuah kepada anggota-anggota masyarakatnya.

Dalam hal ini, bahasa menjadi media untuk me­nya­takan gagasan atau menyampaikan suatu nilai. Menurut seorang filsuf Yunani yang sa­ngat terkenal, Plato, bahasa dipakai untuk mem­buat tiruan (me­nirukan) gambaran dari kenya­ta­an yang sebe­nar­nya. Aktivitas satra (lisan) ju­ga merupakan pe­ne­ladanan alam semesta dan se­kaligus model dari ke­nyataan ideal (yang diharapkan).

Aktivitas sastra lisan dalam Suku Amungme ju­ga dapat diamati pada kebiasaan masyarakat Amung­me menggunakan kiasan untuk menya­takan gagasannya.

Menurut Arnold Mampioper, Mozes Kilangin Ten­­bak yang mendampingi Pater Michael Ka­me­re untuk menyelesaikan konflik antar warga Amungme di lembah Noemba-Wea-Tsinga pada 1953 pernah menggunakan kiasan, ”Kalian sudah menangkap kuskus di Tsinga dan Wea lantas membunuhnya, se­karang mau menangkap kus­kus di Noemba lagi?”

Kuskus, adalah hewan buruan yang sangat di­sukai kelompok-kelompok masyarakat suku di pegunungan tengah Papua. Mozes Kilangin menggunakan kuskus sebagai personifikasi dari anggota masyarakat yang selalu korban dari konflik antar warga.

Kiasan lainnya, diungkapkan oleh seorang Ke­pa­la Kampung Akimuga menanggapi seruan peti­ng­gi­ militer agar masyarakat tidak mudah dihasut. Ke­pa­la Kampung ini memakai kiasan, “Ba­pak, kami ini seperti ubijalar yang tumbuh antara dua buah ba­tu. Kami ditekan dan dimarahi­ di sini dan di persalahkan di sana. Mendengar di sana, tetapi dihantam di sini, jadi susah kami ini!”

Ubijalar yang termasuk makanan pokok masya­rakat dipakai untuk menggambarkan situasi riil ma­­syarakat Amungme menghadapi tekanan dari ke­lom­pok-kelompok kepentingan. Situasi sulit yang di­hadapi ini digambarkan dengan kiasan “ubijalar yang tumbuh antara dua buah batu”.

Sebagai sastra lisan, banyak syair oleh tokoh-to­koh suku terdahulu kemudian digubah menjadi la­gu untuk menggambarkan suasana sukacita, duka ci­ta, atau penyembahan. Tetapi menurut Arnold Mam­pioper, salah satu syair yang menimbulkan ke­san terdalam adalah syair yang digubah menjadi lagu duka. Berisi syair ratapan dan kesedihan menda­lam dari orang-orang terdekat dan kerabat.

“Nyanyian ratapan itu laksana paduan suara de­ngan harmoni, solo, sopran, alto, tenor dan bas. Ter­dengar sangat merdu dan menyayat hati,” tulis Arnold.

Mozes Kilangin, termasuk salah tokoh yang me­ngembangkan syair-syair dalam sastra lisan Amung­me untuk lagu-lagu di sekolah dan ibadah natal. Kar­ya sastra, yang lisan maupun yang tulis—memang ha­nya kumpulan dari bunyi dan lambang bunyi, te­tapi dibalik simbol-simbol bunyi ini tersimpan se­mangat, ajaran, dan nasehat yang sangat penting untuk generasi masyarakat berikutnya.

June 5, 2009
Dijumput dari: http://budayapapua.wordpress.com/2009/06/05/sastra-lisan-dalam-tradisi-amungme/

Poligami ala Emha

Judul Buku : Istriku Seribu
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress, Jogjakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : iv + 64 Halaman
Peresensi: Em Syuhada’
http://arsip.pontianakpost.com/


KETIKA KH Abdullah Gymnastiar membeberkan pernikahan keduanya di media massa beberapa waktu lalu, wacana poligami kembali menjadi menu perbincangan hangat di negeri ini. Apa yang dilakukan Aa’ Gym seperti memantik reaksi sejumlah kalangan untuk buka suara. Bahkan, DPP Partai Bintang Reformasi yang notabene partai berasaskan Islam memutuskan mencopot kadernya dari kursi wakil ketua DPR, gara-gara yang bersangkutan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Aa’ Gym. Ada apa sebenarnya dengan poligami. Sebegitu menakutkankah ia, sehingga para pelakunya –meminjam bahasanya Zaenal Ma’arif dikejar-kejar layaknya seorang teroris.

Poligami memang tak henti menyulutkan kontroverasi. Di tengah maraknya isu yang berkembang di negeri yang sedang panen bencana ini, ia tampil di depan publik melengkapi seabrek permasalahan yang sedang terjadi. Tak tanggung-tanggung, pemerintah tak mau kalah dalam pertarungan wacana itu dengan berencana merevisi Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 dan PP. No. 10 Tahun 1983. Pertanyaannya, betulkah poligami adalah sesuatu yang penting sehingga kehadirannya mampu menyedot sebagian opini publik? Apakah perbincangan mengenai poligami betul-betul telah menyentuh hal yang substansial? Hal-hal semacam itulah yang tampaknya mengilhami Cak Nun –panggilan akrab Emha Ainun Nadjib– untuk menulis buku ini.

Menurut Cak Nun, perdebatan mengenai poligami yang selama ini terjadi hanya berputar-putar pada wilayah kulit. Tak ada keseriusan dari berbagai pihak dengan berusaha mencari landasan hukumnya pada khasanah agama, ideologi, atau filsafat (hlm. 11).

Dengan memakai pendekatan sastra, Cak Nun menciptakan situasi di mana ia sedang terlibat pembicaraan dengan Yai Sudrun. Dengan sangat piawai, ia menyusun serangkaian dialog mengenai soal-soal kehidupan yang sarat dengan muatan makna. Yang menarik, kesengajaan Cak Nun mengemukakan sejumlah pengalamannya dalam hal keberagamaan, baik ia sebagai pribadi atau tatkala berkelana ke berbagai belahan dunia bersama komunitasnya Kyai Kanjeng, adalah upayanya mengemukakan sikap hidup sebagai seorang Emha yang sunyi, yang pemikirannya cenderung melawan mainstream. Cak Nun memang unik, meski gagasan awal buku ini adalah mengusung tema poligami, sebagaimana tersurat dalam judulnya, kenyataannya ia mampu menyeret pembaca untuk menjelajah setiap kemungkinan dalam ruang kehidupan.

Mungkin kita bertanya, siapa sebenarnya Yai Sudrun? Kenapa dalam banyak karyanya Cak Nun sering menghadirkan sosok itu? Apakah ia hanya tokoh fiktif yang semata-mata hasil imajinasi Emha? Ataukah benar-benar ada dalam alam kasunyatan? Hanya Cak Nun yang tahu. Yang jelas, Yai Sudrun bagi Cak Nun adalah sosok nyentrik yang memiliki sangat banyak keajaiban (hlm. 18–20).**

*) Alumnus PP Roudlotun Nasyiin, Beratkulon, Kemlagi, Mojokerto.

Seutas Tali Rindu yang Terpotong


Judul Buku : Lontara Rindu
Karya : S. Gegge Mapanggewa
Terbitan : Republika, Maret 2012
viii + 342 hlm
Peresensi : Ratno Fadillah *
http://www.lampungpost.com/

NOVEL Lontara Rindu hadir dengan obsesi besar. Mengabarkan kebudayaan masyarakat Bugis hari ini dengan segala permasalahannya. Melalui tokoh Vito, keluarganya, sahabat dan guru sekolahnya, Lontara Rindu adalah sebuah fragmen masyarakat Bugis yang bersahaja dan inspiratif.
Dengan riang dan ringan, melalui novel ini, kebudayaan masyarakat Bugis dapat mudah pembaca pahami, bahkan memungkinkan untuk dijelajahi. Benar. Penulis novel ini, S. Gegge Mapanggewa, seperti hendak mengantarkan pembacanya untuk berziarah ke Cenrana, Panca Lautang, Siddenre Rapang, Sulawesi Selatan.

Penulis tak hanya merayu pembacanya dengan menuturkan bagaimana keindahan alam di muasal tempat penulis lahir dan tumbuh besar itu. Namun juga menuturkan mitos-mitos yang tumbuh sampai saat ini, tradisi adat yang masih berlangsung, agama lokal yang berkembang, kebiasaan-kebiasaan khas masyarakat Bugis, kuliner khas, bahkan sampai dengan permainan tradisional, seperti gasing yang terbuat dari batang pohon kesambi.

Boleh jadi ada anggapan novel ini membosankan bila belum membaca sendiri karena penuh dengan deskripsi artefak kebudayaan tersebut. Tapi, setelah membaca halaman pertama, pembaca tak akan menutupnya sebelum ceritanya selesai. Gegge, penulis buku ini, telah berhasil mengemas artefak kebudayaan itu menjadi bagian penting dari jalinan cerita yang menghibur.

Kisahnya berawal dari Vito, laki-laki remaja yang duduk di SMP, yang sangat rindu bertemu dengan ayah dan adik kembarnya, Vino. Kerinduan Vito ini adalah benang tebal yang menautkan peristiwa-peristiwa lainnya di dalam novel ini. Melalui rindu yang berderu itu, Vito membuka tragedi masa lalu yang menimpa ibunya. Mengapa ia dan ibunya harus berpisah dengan ayahnya dan Vino. Selain itu, tanpa sadar, Vito juga telah menyibak fakta di balik keberadaan penganut keyakinan Tolotang di antara masyarakat muslim Bugis.

Kerinduan Vito yang tulus, dapat dikatakan, adalah pelita penerang bagi sepenggal riwayat kehidupan keluarganya yang disembunyikan oleh ibunya dan kakeknya sendiri.

Peristiwa yang paling menarik adalah kebersamaan Vito dengan ketujuh teman sekolahnya dan Pak Amin, gurunya. Namun, dalam narasi sekunder ini, peran Vito tampak tak selalu dominan. Pak Amin yang dicitrakan sebagai guru sekaligus sahabat murid-muridnya, juga menjadi titik pusar dalam narasi sekunder ini.

Dalam peristiwa pencurian enau untuk pembuatan ballo’ (tuak yang dicampur dengan ramuan kayu tertentu yang rasanya pahit dan memabukkan) di kebun milik Pak Japareng, peran yang dimainkan Vito sebenarnya tak begitu berbeda dengan peran Irfan, Anugerah, dan teman-teman lainnya. Justru Pak Amin memainkan peran yang cukup signifikan pada bagian kebersamaan antara siswa ini. Pada narasi sekunder ini fokus cerita seakan beralih kepada Pak Amin.

Terbelahnya fokus cerita ini, sedikitnya berpengaruh pada pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Benarkah penulis sejatinya ingin mengisahkan tentang perjuangan Vito dalam mencari saudara kembar dan ayahnya? Bahwa cinta Vito akan menjadi penawar luka dan perajut cinta yang telah putus antara keluarga ibunya dan keluarga ayahnya. Atau justru penulis ingin mengisahkan semangat hidup anak-anak Pakka Salo dalam mencari ilmu, meskipun penuh dengan keterbatasan.

Dualisme narasi yang tampak menganga ini, menimbulkan kecurigaan bahwa dalam proses kreatifnya, penulis dibayang-bayangi oleh kesuksesan novel Laskar Pelangi. Bila tidak dikatakan sebagai epigon dari Laskar Pelangi.

Jejak bayang-bayang itu dapat ditemui dari pemilihan tokoh-tokohnya, keberadaan guru, lomba dirgahayu kemerdekaan, dan setting kelas terdapat kesamaan novel ini dengan Laskar Pelangi. Benarkah ini suatu tindakan duplikasi penulisnya terhadap Laskar Pelangi atau memang suatu proses kreatif yang di luar kendali kesadaran penulisnya?

Entahlah. Namun, bila mengingat novel ini adalah pemenang dari hasil penjurian lomba menulis, hal tersebut tentulah patut disayangkan.

Pada akhir-akhir cerita, peristiwa-peristiwa tiba-tiba—bila tidak dikatakan kebetulan-kebetulan—yang diciptakan penulis seperti memaksakan akhir cerita yang bahagia. Hal ini tentu sedikit menyiksa pembaca. Ya. Mengakibatkan pembaca harus kerja keras menyusun logika cerita untuk menyimpulkan akhir cerita novel ini.

*) Ratno Fadillah, penulis /22 July 2012

AVONTUR; Kesan dalam Jejak Sang Petualang

Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/

Experience is the best teacher; pengalaman adalah guru terbaik. Kata mutiara ini tampaknya akan menjembatani kita untuk masuk dalam sajak-sajak Ragil. Dalam hal ini, pengalaman mampu menjelma menjadi seorang pengajar bagi para siswa, menjadi dosen untuk mahasiswa, menjadi ustad bagi murid, menjadi kiyai untuk santri, dan menjadi mursyid bagi rohaniawan, atau apa sajalah yang sejenis.
Secara sederhana, kita sering mendengar tuturan bahwa kita hendaknya senantiasa belajar dari pengalaman. Entah itu pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, mengharukan, menggelikan tak jadi ukuran, yang penting pengalaman itu berkesan bagi kita. Kesan pengalaman itu biasanya terpantik dari fenomena luar yang menyapa indrawi kita. Fenomena itu diproses dalam hati lewat perenungan, ditarik dalam sebuah logika tertentu, baru kemudian dituangkan kembali sebagai sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu dapat berupa keyakinan, tuturan lisan, perilaku, maupun kreatifitas.

Biasanya, pengalaman itu kerap diperoleh melalui petualangan. Petualangan akan memicu adanya intuisi yang maujud sebagai ide untuk diungkapkan sebagai sesuatu yang baru. Dalam proses berpetualang, seorang manusia akan mengantongi fenomena yang disapa dan dirasa dengan inderanya. Tidak hanya panca indera, bisa jadi indera keenam juga ikut andil. Jika petualangan itu dilakukan dalam realitas lingkungan fisik seorang manusia, maka yang berperan aktif adalah panca inderanya. Jika petualangan itu dilakukan dalam realitas batin (lokat gaib) maka eksistensi indera keenamlah yang cenderung muncul.

Ragil kali ini mencoba mengumpulkan sajak-sajaknya dengan tajuk Avontur. Dalam kumpulan sajak tersebut terdapat 53 sajak termasuk salah satunya adalah Avontur sendiri. Tampaknya sajak itulah yang dijadikan ikon oleh Ragil dalam kumpulan sajaknya. Dengan nada semacam itu, Ragil bermaksud mengejahwantakah bahwa seluruh sajaknya dalam buku ini berangkat dari sebuah avontur. Fenomena itu diperkuat dengan ilustrasi cover bukunya. Cover yang terlukis adalah pemandangan alam dengan hiruk-pikuk suasananya yang variatif. Ditambah lagi dengan sesosok wanita bertopeng yang sepintas terlihat berjas hujan dan berpayung. Bagian depan dihiasi dengan sembilan kupu-kupu dan tujuh pohon. Bagian belakang dihiasi dengan dua belas pohon dan tujuh belas kupu-kupu serta tiga kayu pemancang. Terlukis pula anak sungai. Ini disadari atau tidak oleh Ragil, yang jelas ilustrasi cover begitu kuat mendukung akan tajuk Avontur.

Untuk membuktikannya, marilah sejenak mengintip kumpulan sajak ini dari sajak yang berjudul Avontur. Istilah avontur secara leksikal memiliki makna petualangan. Sajak ini mengisahkan suatu pengalaman penyairnya saat berpetualang dalam sebuah kota. Kota di sini dapat merujuk pada kota yang sesungguhnya dapat pula berkonotasi pada suatu tempat yang dipenuhi dengan keramaian hiruk-pikuk kehidupan/aktifitas orang. Dalam sajak ini penyair bermaksud mengajak pembaca berdialog dengan dirinya melalui penyematan kata ganti “kau” di dalam baris sajak. Jika tidak demikian maka itu adalah dialog penyair dengan dirinya sendiri dan kata “kau” merupakan satu pengelabuhan dari keakulirikannya.

Pada bait pertama, penyair mencoba mengisahkan suatu perjalanan (petualangan) yang dilakukan oleh tokoh “kau”. Dalam perjalanan itu tokoh “kau” dilukiskan melakukan suatu aktifitas yaitu mengetuk pintu-pintu kota, singgah mencuri oksigen, dan menorehkan jejak lalu pergi meninggalkan jejaknya di kota tersebut. Pintu di sini dapat dikonotasikan pada suatu jalan untuk memasuki tempat atau ruang tertentu.

Si “aku” mapir sejenak dalam tempat tersebut untuk mengambil pengalaman hidup dan mengukir kreatifitas yang mengesankan. Sesuatu yang mengesankan pada gilirannya nanti akan membuat orang lain terkenang. Suatu kenangan akan membawa sebuah keabadian yang senantiasa melekat di hati dan pikiran orang tertentu meski orang yang membuat kesan itu telah tiada.

Pada bait terakhir sajak Avontur, penyair mempertanyakan keberadaan kesan si “kau” saat singgah di tempat itu. Penyair mencoba membangkitkan kenangan si “kau” akan suatu hal. Penyair bermaksud mengajak si “kau” agar senantiasa mampu mengambil kesan dalam setiap tempat yang pernah disinggahinya saat ia melakukan sebuah perjalanan. Kesan tersebut diharapkan mampu menjadi pengalaman berharga dan dapat dijadikan guru dalam perjalanan berikutnya.

AVONTUR

Kau ketuk tiap daun
Pintu di setiap kota.
Kau singgah mencuri oksigen dan
Menoreh jejak
kemudian pergi.

Lalu,
jejak siapa yang tinggal
di kamarmu.

Berdasarkan sajak Avontur, ada satu indikasi bahwa sajak-sajak Ragil yang lain tercipta dari kesan yang didapatnya saat berpetualang. Dalam petualangannya, Ragil menemukan fenomena tertentu yang kemudian dijadikannya sebagai ide dasar penggarapan sajaknya. Apa yang dilakukan Ragil saat ini memiliki korelas dengan pernyataan Paul Valery. Paul Valery menyatakan bahwa “sebaris saja dari sajak itu diberikan Tuhan atau alam, sedangkan selebihnya harus ditemukan oleh si penyair itu sendiri”. Tuhan atau alam hanya memberikan sebaris sebagai ide dasar, selebihnya penyairlah yang mengembangkannya berdasarkan pola fikir dan gaya pengungkapannya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, satu fenomena yang sama yang dialami sepuluh penyair pasti menghasilkan sudut pandang dan bentuk pengungkapan karya berbeda.
Dalam sebuah ayat juga dinukilkan bahwa ilmu yang diberikan Tuhan kepada manusia itu hanya setetes. Dari yang setetes itulah Tuhan mengharapkan kepada manusia agar terus menggalinya untuk menjadi ilmu secawan, segelas, segentong, bahkan sesamudra.

Fenomena yang ditangkap ragil dalam sajaknya cukup variatif. Semua ia dapatkan dari petualangannya. Kevariatifannya terletak pada cara penuangan kesan dalam sajak. Ragil seolah ingin mengejawantahkan kesan indrawi dengan sudut pandang pemikiran dan perenungannya. Oleh sebab itu, Ragil dalam sajaknya ada yang menuangkan gambaran riil lingkungannya. Ada pula yang memotret realitas alam namun karya itu mampu membentuk dunianya sendiri. Mari kita tengok sajak berikut.

MEMANG

ta’ kan ada
nikah kumbang dan bunga
ia yang meningkah angin di kelopak kaki kaki basah
sekedar menggaris jejak sekelumit
dalam peta gairah putik dan benang sari.

ta’ kan ada, memang
nikah kumbang dan bunga
ia yang memandi manis madu
pasti selalu pergi dengan ngengatnya yang patah
di jalan jalan kota kembang

Pada sajak di atas, kita seoalah disajikan dengan fenomena pembuahan antara bunga jantan dan bunga betina. Ini merupakan realitas kehidupan yang kerap kita jumpai sehari-hari. Proses pembuahan antara bunga jantan dan bunga betina kerap dibantu oleh kumbang yang menghisap madu pada bunga tertentu yang kemudian hinggap di bunga lain. Saat hinggap dibunga yang pertama, kaki-kaki kumbang atau ngengatnya tertempel serbuk sari dan saat hinggap di bunga kedua, serbuk sari itu jatuh dan atau menempel pada kepala putik. Selain itu proses pembuahan juga bisa terjadi berkat bantuan angin yang menerbangkan serbuk sari ke kepala putik.

Itulah gambaran sederhana dari sajak Ragil yang berjudul Memang. Itu merupakan realitas yang diperoleh Ragil sebagai kesan dalam kehidupan sehari-hari saat ia berpetualang di taman bunga. Namun tidak sesederhana itu kandungan dari sajak Ragil. Ada dunia (konotasi) lain di balik semua itu. Ada nilai filosofis tertentu di dalamnya. Dengan pernyataan “ta’ kan ada”, Ragil menegasikan akan adanya hubungan simbiosis mutualisme yang sempurna. Dalam realitas kehidupan, pasti suatu saat ada salah satu pihak yang dirugikan/dikalahkan meski itu intensitasnya rendah. “ia yang memandi manis madu // pasti selalu pergi dengan ngengatnya yang patah”. Jika dikembangkan maka muncullah satu fenomena bahwa seorang manusia kadang sekarang jadi kawan, esok jadi lawan. Dulu benci sekarang cinta. Dulu baik sekarang buruk.

Senada dengan sajak di atas, sajak yang berjudul Bundaku Pertiwi juga memiliki konotasi lain yang tidak hanya gambaran realitas belaka. Dalam sajak ini, berdasarkan kaca mata penyair, ia merasakan akan adanya tindakan perusakan tanah air oleh oknum tertentu. Padahal selama ini, semenjak terlahir, semua orang berada dalam perlindungan tanah air ini. Ragil menggambarkan bahwa kerusakan tanah air ini dipicu oleh adanya asap-asap pabrik, angkara murka, dan keserakahan dengan mengorbankan penderitaan orang lain.

Hal itulah yang kiranya menuntut Ragil untuk memohon agar ia diberikan lambaian daun padi supaya dapat mengerti nilai kasih sayang. Selain itu Ragil juga memohon agar diajari tentang tumbuh, berkembang, berbunga, dan berbuah hingga ia mengerti kesabaran. Inilah yang terkandung dalam dua bait terakhirnya. Dua bait sajak ini yang memiliki konotasi makna yang lain. Tiga bait sebelumnya hanyalah dijadikan batu loncatan untuk menggapai esensi sajak yang sebenarnya. Esensi tersebut adalah harapan Ragil agar bisa seperti ibu pertiwi yang selalu sabar dan senantiasa memberikan kasih sayang kepada semua orang meski tubuhnya tersakiti dan tertindas. Selain itu, filosofi padi juga tersentuh, yaitu daun padi (bisi) semakin tua semakin berisi dan merunduk dan memberikan kebahagiaan bagi setiap orang.

BUNDAKU PERTIWI

Dalam atmosfermu, janinku
Di bawah langitmu, lahirku
Bersama pelukan hutanmu hidupku
Bundaku pertiwi

Kini tubuhmu menggigil
Terkena kibaran angin warna warni
Warna keserakahan
Dan beribu warna kebingungan

Awanmu adalah asap hitam uap angkara
Tanahmu memerah dengan sepoi angin yang
Membawa segar anyir darah anak anakmu

Dari semua kumohon, bundaku
Jangan kau beraling
Beri lambaian lembut daun padi
Agar ku mengerti akan kasih sayang

Ajarilah aku tentang tumbuh,
Berkembang, berbungah, dan buah
Hingga ku mengerti kesabaran
Pada mu tumpah aku seluruh
Bundaku pertiwi

Berbeda dengan dua sajak di atas. Dua sajak berikut benar-benar berangkat dari potret realitas alam yang utuh. Sajak ini merupakan sajak yang mengandung suasana realitas denotatif; menyingkap gambaran realitas yang tidak perlu diejawantahkan lagi. Tengok saja sajak yang berjudul Di Lembah dan Di Puncak. Kita akan menemukan gambaran realitas alam yang nyata. Dalam sajak Di Lembah, Ragil berusaha memvisualisasikan pengalamannya saat berada di lembah. Potret suasana petualangannya di lembah disajikan secara apik. Saat itu ia berada di lembah pinus. Suasana lembah dipenuhi kabut yang tak kunjung hilang. Apalagi hari semakin bertambah petang dan gelap. Ada rasa cemas yang bersarang di hati Ragil. Ia tersesat di hutan. Ditambah pula dengan kondisi jalanan licin, mungkin terkena hujan atau akibat embun. Jalanan juga bisa jadi terjal pula. Suasana semacam itulah yang kemudian menjadikan Ragi meneteskan air mata. Ia teringat tentang suatu hal sehingga menumbuhkan bunga-bunga rindu di taman hatinya. Mungkin ia rindu dengan kampung halamannya, orang tuanya, keluarganya, teman-temannya, atau bahkan kekasihnya.

DI LEMBAH

kabut yang turun tak pergi-pergi
rintik embun mendera dera di pelipis

petang sepanjang waktu
petengan di lembah pinus

tersesat di hutan, melesat di kota
sama licinnya cari tempat berpijak

air mata (sedikit perlu) bukan bersedu
sekedar melepas rindu

Suasana lahir dan suasana batin disajikan Ragil dengan apik pula dalam sajaknya yang berjudul Di Puncak. Ia memotret alam sekitar dari sebuah ketinggian. Ia menangkap bahwa saat berada di puncak, bintang-bintang terlihat bergemerlap di angkasa. Begitu pula dengan di lembah, kerlap-kerlip lampu yang bersumber dari pemukiman warga terkesan tampak menyerupai bintang.

Saat itu tak ada lagi satu hal yang menghantui angan kecuali kematian, yaitu terbakar cahaya atau terjatuh dan berdarah-darah. Dengan perasaan semacam itu, di puncak kesadarannya, Ragil berusaha mengheningkan cipta, menenangkan diri dengan melantunkan puja-puji untuk mendekatkan diri kepada Tuhan biar ia berolehkan keselamatan dari-Nya.

DI PUNCAK

bintang bintang gemerlapan
di angkasa dan di lembah
langit di atas, langit di bawah
begitu terang, begitu jauh

seperti tak ada lagi lain jalan
selain terus mendaki cahaya dan terbakar
atau terjatuh bergelinding ke dataran
demi luka nan berdarah darah

di puncak sendiri
kumemejam harap
dan tak ingin apa apa lagi
selain mendatangimu lebih dekat.

Thursday, July 26, 2012

Menelusuri Jejak Pemikiran Derrida


Edi Purwanto
http://jendelapemikiran.wordpress.com/

Membaca Derrida tentunya tidak bisa lepas dari konteks sejarah yang melatar belakanginya. Kita juga tidak bisa gegabah dalam memetakan konsep pemikiran Derrida. Sebelum saya memaparkan konsep-konsep Derrida tentang dekontruksi, intertekstualitas, trace dan logocentrisme tentunya saya harus memberikan penjelasan tentang para pemikir yang mempengaruhi Derrida. Dalam pergulatan pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh fenomenologinya Hussrel dan Heidegger, psikoanalisisnya Freud dan genealogi moralnya Nietzstche.
Karya-karya Derrida memang susah sekali untuk diinterpretasikan. Selain dalam penulisnya menggunakan bahasa prancis klasik, Derrida menggunakan bahasa yang seringkali memang susah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan ambigu. Tulisan seperti ini sepertinya sengaja digunakan Derrida supaya tidak terjebak pada logosentrisme. Hal ini banyak diakui oleh para reader Derrida. Barangkali saya juga salah dalam memberikan interpretasi tentang pemikiran Derrida. Tapi saya masih meyakini perkataan Derrida tentang author is dead.

Dengan demikian ulisan-tulisan Derrida masih membuka peluang yang besar untuk dikoreksi kembali. Derrida tidak pernah menganggap tulisanya sebagai karya yang fixs. Dia masih memberikan ruang yang luas dalam meninjau ulang tulisanya. Untuk menjelaskan Derrida, saya berkepentingan untuk memberikan sedikit paparan tentang strukturalisme. Dengan membahas aliran ini, kiranya untuk membahas pemikiran Derrida bisa mudah untuk difahami.
Lahirnya Strukturalisme

Wacana esensialisme dirasa tidak mencukupi lagi untuk memahami suatu keutuhan masyarakat, khususnya ketika ia dihadapkan pada pengetahuan. Strukturalisme lahir dari pergeseran wacana tentang masyarakat dan pengetahuan. Ada yang dilupakan dalam wacana sebelumnya, terutama mengenai fenomena struktural yang pada hakikatnya terdapat dalam relasi perbedaan suatu masyarakat. Oleh karena itu sejarah ilmu bukan merupakan ungkapan pikiran, melainkan suatu konfigurasi epistemologis. Jadi, pada awalnya strukturalisme adalah sebuah gerakan intelektual yang mendasarkan diri pada usaha untuk memahami masyarakat sebagai sistem realitas yang menyeluruh yang ditekankan pada bangunan intelektualnya (Lechte, 2001: 15).

Kelahiran strukturalisme mulai menemukan bentuknya sekitar era 50-an. F.M. de George dalam esainya “Charles Baudelaire’s ‘Les Chats’” (1972), sebagaimana yang dikutip Spivak, mengatakan bahwa kebangkitan strukturalisme berawal dari pertemuan Roman Jakobson, ahli linguistik dan salah seorang anggota Mazhab Formalisme Praha, dengan seorang antropolog Claude Lévi-Strauss di Amerika Serikat. Salah satu peristiwa yang dianggap sebagai tonggak kebangkitan strukturalisme dengan mainstream metode interpretasinya (Spivak, 1976: 111).

Secara umum strukturalisme adalah gerakan intelektual yang mengisolasikan struktur umum aktivitas manusia. Struktur adalah kesatuan beberapa unsur atau elemen yang terdapat dalam relasi yang sama pada “aktivitas” manusia. Kesatuan struktur tersebut tidak bisa dipilah secara terpisah menjadi elemen, karena struktur adalah subtansi dari hubungan antar elemen. Strukturalisme berkembang meliputi berbagai bidang, termasuk sastra, linguistik, antropologi, sejarah, sosio-ekonomi dan psikologi.

Strukturalisme Saussurean mengenalkan sebuah pengertian tentang “struktur”. Saussure menitikberatkan praktek-praktek material adalah cara ditemukannya makna “struktur” yang sebenarnya. Kemudian Saussure melanjutkan proyek strukturalisme pada penyelidikan linguistik, bahwa bahasa harus ditinjau ulang agar linguistik memiliki landasan yang mantap. Saussure menentang anggapan sebelumnya yang menyatakan bahasa bersifat rasional ketika dihadapkan pada sejarah. Para ahli linguistik sebelumnya melakukan pendekatan historis pada bahasa agar didapati nilai intrinsik dalam bahasa tersebut. Bahasa adalah proses nomenklatur (penamaan) keterkaitan antara nama dan objek yang ditentukan secara historis.

Apa yang ditekankan Saussure adalah bukan pada penataan bahasa secara historis yang menemukan nilai intrinsik dalam bahasa, melainkan pada konfigurasi bahasa yang mentolerir kekinian. Yang terjadi kemudian adalah hubungan unsur atau elemen yang tertata dengan cara tertentu melalui sistem atau struktur. Di mana individu tidak akan bermakna ketika melepaskan diri dari struktur. Saussure mencanangkan terma-terma yang berkaitan dengan struktur yang bertautan dengan masa kini. Ia menjelaskan bahwa bahasa (langue) adalah perbedaan, di mana sistem sendiri adalah produk perbedaan tersebut. Dan bahasa hanya bisa bermakna ketika dipahami melalui sistem-sistem bahasa dalam suatu konfigurasi linguistik atau totalitas perubahan sistem-sistemnya. Untuk mendapatkan totalitas tersebut harus dilakukan pendekatan bahasa dengan perspektif sinkronis. Di mana suatu fenomena tekstual hanya bisa ditemukan melalui pendekatan kekiniannya (sinkroni) ketimbang perkembangan historisnya (diakroni).

Derrida membaca gelagat struktur yang bermuatan paradigma metodologis strukturalisme Saussurean semacam ini terdapat pengoposisian, yang kemudian disebut oposisi biner, antara dua terma yang diperlawankan. Para strukturalis mengasumsikan salah satu terma dianggap lebih superior dibanding terma lainnya. Karena dalam terma super tersebut dipercaya sebagai tempat persembunyian metafisika, tempat di mana makna selalu hadir di dalamnya yang disebut Derrida dengan “metafisika kehadiran” (metaphysics of presence).

Lebih luas oposisi biner ini menjangkiti semua pengertian yang terkait, di antaranya: sinkroni/diakroni, sistem bahasa (langue)/tindak bahasa (parole), aktivitas/pasivitas, tuturan (speech)/tulisan (writing), penanda (signifier)/petanda (signified), waktu/ruang, dan sebagainya. Apa yang dilupakan para strukturalis adalah mereka lupa meletakkan “tanda silang” (sous rature) dan tidak mempersoalkan oposisi biner tersebut.

Lebih lanjut oposisi biner ini akan dipermasalahkan grammatologi dan différance. Demikian halnya ketika pemaknaan bahasa hendak dicapai, tuturan (speech) lebih diprioritaskan dari pada tulisan (writing). Sebab dalam tuturan, individu yang notabene bentukan dari sistem budaya tertentu mampu mengartikulasikan bahasa sekaligus menyuguhkan maknanya secara langsung dalam kekiniannya. Terutama melalui tuturan, peran dan fungsi objek yang terbahasakan mampu diperlihatkan oleh subjek yang merekonstruksi objek tersebut, yang secara aktual struktur berperan sebagai simulakrum objek (Spivak, 1976: l12).

Berbeda dengan tulisan sebagai ekspresi derivatif yang lemah, yang senantiasa menutup diri dari artikulasi yang langsung tersebut, sehingga maknanya menjadi kabur karena berbagai interpretasi. Tulisan adalah “suplemen” berbahaya yang menjebak bahasa jauh dari keotentikan aslinya dalam tuturan dan kehadiran-diri. Untuk mengikat pikiran seseorang kepada tulisan berarti untuk menyerahnya kepada wilayah publik, yang beresiko salah dimengerti oleh semua tipu muslihat akibat campur-aduknya penafsiran. Tulisan adalah “kematian” yang menghadang pikiran, agen licik pembusukan yang kerjanya menjangkiti seluruh sumber kebenaran.

Derrida membaca oposisi serupa juga berlaku pada Lévi-Strauss, tuturan sebagai kehidupan dan vitalitas, dan tulisan sebagai kegelapan yang berkonotasi pada kekerasan dan kematian. Husserl juga membedakan dua macam tanda yang memiliki perbedaan pokok, antara tanda indikatif dan tanda ekspresi. Tanda ekspresi telah diberi makna yang merepresentasikan tujuan makna atau kekuatan intensional yang “memberi nyawa” bahasa. Sebaliknya tanda indikatif adalah tanpa ekspresi yang “tak bernyawa” dan sistem rasa yang abritrer.

Dengan palu différance Derrida meruntuhkan sistem oposisi tersebut. Oposisi yang menempatkan terma pertama pada kedudukan superior yang diasumsikan melalui strukturnya memiliki makna yang hadir yang bersembunyi di balik teks. Derrida meruntuhkan oposisi ini dengan menghancurkan “hierarki”-nya, melawan kekerasan dengan kekerasan, pembalikan terma, dan terma pemenang harus diletakkan di bawah tanda silang. Sehingga memberi ruang pada “konsep” baru yang tidak dipahami dengan cara pandang oposisi.

Keterjebakan Barthes

Secara umum semiologi adalah ilmu atau teori tentang tanda, yang berupaya mencari keontentikan makna bahasa melalui hubungan pertandaan. Semiologi telah di mulai oleh Saussure. Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang realitas telah ditentukan secara acak karena ragam perbedaan oleh bahasa yang representatif dari pengetahuan tersebut. Bahasa yang arbitrer menyebabkan Saussure menghapus hubungan alami antara kata (word) dengan benda (thing).

Saussure menyediakan pengganti hubungan alami tersebut dengan bahasa yang merefleksikan jejaring pertandaan dalam sistem kode dan konvensi.Menurut pembacaan Derrida, semiologi Saussure bisa ditunjukkan melalui tuturan. Makna atau petanda selalu bisa dihadirkan dalam sebuah tuturan, dan melalui tuturan pula roh metafisis bisa dihadirkan. Lain halnya dengan tulisan yang menutup diri pada roh tersebut. Tuturan tempat persembunyian makna-makna ini bisa ditelusuri pada sang empu linguistik strukturalis Roman Jakobson. Ia mengenalkan dengan istilah “fonologi”, yakni adanya keterkaitan antara bunyi dan makna. Gagasan fonologi pertama kali muncul dari studinya atas puisi Ceko dan Rusia, keduanya terdapat perbedaan dalam iramanya (Lechte, 2001: 110).

Sehingga makna bisa diderivasikan dari perbedaan bunyinya. Maurice Merleau-Ponty, seorang Husserlian, juga mengamini adanya makna di balik yang pra-eksis. Dengan gaya fenomenologi, ia menyatakan bahasa bisa dikenali apabila adanya makna dalam proses pertandaannya. Spesies-spesies “metafisika kehadiran” logosentrisme, fonosentrisme dan phalosentrisme Lacan yang dianggap sebagai struktur fundamental strukturalisme kemudian juga akan di bongkar satu per satu oleh Derrida.

Kritik Baru adalah turunan strukturalisme yang muncul atas pembacaan sastra secara kritis dengan wajah retorika metodis. Secara umum Kritik Baru mengupayakan sastra tidak dengan jalan rasional, namun dengan pendekatan metodis yang disadari cara kerjanya tidaklah sama dengan objek yang diupayakannya. Singkatnya, metode pendeskripsiannya tetap menjaga kesakralan sastra. Jonathan Culler, Geoffrey Hartman, Paul de Mann, J. Hillis Miller, W.K. Wimsatt adalah di antara nama-nama para Kritikus Baru tersebut.

Salah satu para Kritikus Baru itu adalah Roland Barthes.Pemikiran Barthes lanjut mulai melepaskan diri dari strukturalisme. Barthes pun mulai menginsyafi semiologi yang selalu dibayangi strukturalisme dan menemukan kelemahan proses pertandaan yang diterapkan melalui analisa yang terlalu rigorous.

Kemudian ia menyimpulkan bahwa strukturalisme merupakan aktivitas, praktek pembacaan teks yang open-ended dan bukan dengan pengetatan “metode”. Maka dalam karya-karya Barthes selanjutnya membiarkan teks berbicara sendiri dari pada harus menunjuk pada sang author. Baginya teks harus dibiarkan dimiliki bahasa, bukan oleh author. Barthes mulai meninggalkan pendekatan semiologi strukturalisme yang sistematis dan ilmiah, serta mengubah total gaya tulisannya, seperti yang tergambarkan melalui The Pleasure of the Text (1973) (Sunardi, 2002: 233-234).

Barthes mengenalkan istilah teks jouissance (kesenangan; kenikmatan; pelupaan) yang mendekatkannya pada teks-teks sastrawi dan mulai tercebur dalam kritik sastra ketimbang analisa-analisa formal. Walaupun Barthes mulai melepaskan diri dari pengaruh Saussure, namun kesan positivistik ala strukturalistik Barthes masih terasa.

Memang Barthes mulai mempertanyakan keotonoman subjek dengan gaya narasi orang ketiga tunggal, seperti ketika ia menulis autobiografinya sendiri. Tapi Barthes tidak sepenuhnya melepaskan teks dari author, ia tidak sepenuhnya meninggalkan sikap yang berlawanan dengan otonomi subjek author. Pembacaan yang tepat terhadap Barthes menunjukkan tingkat di mana konsep-konsep kritis terus menerus diubah atau dilepaskan oleh aktivitas penulisan oleh kesadaran-diri.

Kesadaran diri adalah nisbat subjek, dalam artian bahwa Barthes belum sepenuhnya meninggalkan otonomi subjek. Norris menambahkan para kritikus ini, termasuk Barthes, adalah strukturalisme yang merubah gayanya dengan menggunakan “metode”, yang klaim-klaimnya terkesan aneh. Ia menambahkan bahwa Barthes dan para Kritikus Baru bukanlah dekonstruksionis, bahkan mereka tak lebih dari jelmaan strukturalisme yang bergaya aneh.

Ada Sebagai Metafisika Yang Di(hadir)kan

Ada sebagai proposisi yang selalu dihadirkan dalam dunia tanda. Ada seringkali hadir dengan melampaui sistem penanda dan petanda. Petanda yang sifatnya arbriter ini membuat meng ada sebagai struktur yang seharusnya ada. Dalam pandangan Heidegger misalnya meng ada di fahami sebagai reduksi fenomenologis dari sebuah realitas. Heidegger sebenarnya ingin kembali merevitalisasi dan merehabilitasi fungsi ontologis yang ada di dalam metafisika klasik sekaligus dia ingin memberikan kritik terhadap kehadiran metafisika klasik.

Dalam memulihkan metafisika klasik ini, Heidegger mengawali kerangka teorinya dengan memikirkan ada yang terlupakan dan dikesampingkan oleh metafisika serta dikesampingkan sebagai struktur keberadan (das Sein). Dengan membiarkan ada sebagai kehadiran yang terlupakan menurut Heidegger metafisika klasik senganja menghilangkanya dari keberadaanya. Sehingga dalam paradigma metafisika klasik being sengaja tidak dihadirkan.

Sebenarnya Heidegger ingin memfalsifikasi tentang paradigma Cartesian yang memberikan determinasi tentang being berada di bawah cogito. Dalam pandangan cartesian memahami bahwa ada sebagai sentral keberadaan yang lain. “Cogito Ego Sum” itulah yang menjadi landasan epistemis kerangka Des Cartes. Dengan demikian akan semakin terlihat bahwa Cartes lebih memprioritaskan pada Cogito diatas Sum dan menjadikan berfikir sebagai poros utama keberadaan (Fayadl 2003 : 132 dan Budi Hardiman 2003 : 30).

Heidegger mempertanyakan tentang ada yang dikonsepsikan oleh Cartes. Dalam etika paradigma modern yang dipengaruhi oleh filsafat cartesian ini, Heidegger beranggapan bahwa ada dimaknai sebagai kesadaran atau subyektivitas akan tetapi tidak berlaku dalam segala zaman. Kesadaran tidak bisa dilihat dengan hubungan subyek dan obyek. Kesadaran merupakan sesuatu suatu peristiwa ada atau dalam hemat saya kesadaran merupakan salah satu cara ada membuka dirinya. Maka dari itu kesadaran dapat diraih lebih dengan cara membuka diri dan membuka kontak dengan ada daripada dengan menguasai sesuatu yang lain sebagai obyek. (Budi Hardiman 2003 : 31)

Dalam paradigma marxian misalnya memberikan oposisi antara proletar dan borjuis.dimana borjuis akan senantiasa mengeksploitasi proletar. Dan dalam keadaan seperti ini akan menimbulkan kesadaran kritis kaum proretar. Kesadaran kritis seperti ini dalam pandangan Heidegger didak lebih sebagai dominasi. Kaum proletar dalam hal ini tidak membuka diri terhadap ada melainkan cenderung mereduksi ada pada kesadaran belaka. Sebenarnya Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran. Dengan membuka diri terhadap ada dan mencandra realitas dalam kerangka fenomenologi sebagai pewahyuan diri ada.

Dengan demikian Heidegger semakin mengukuhkan bahwa ada itu terstruktur dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu ini dimaksudkan oleh Heidegger sebagai struktur yang membentuk keberadaan itu. Dengan demikian orang akan selalu memberikan interpretasi mengenai ada sebagai bentuk verbalnya. Ada sebagai bentuk verbal bukanlah keberadaan yang benar-benar ada akan tetapi ada yang di”ada”kan. Reduksi fenomenologis ini akan membawa seseorang senantiasa terjebak dalam keadaan ada sebagai sesuatu yang tidak sama sekali dibentuk oleh paradigma. Orang akan senantiasa memberikan gambaran bahwa ada sebagai bentuk yang alamiah.

Dekonstruktor dibalik Derrida

Nietzsche, Freud, Husserl dan Heidegger adalah orang-orang yang mengilhami dekonstruksi Derrida. Dekonstruksi secara umum dilakukan dengan meletakkan sous rature oleh Nietzsche pada “pengetahuan”, Freud pada “psikhe”-nya dan Heidegger pada “Mengada” (Being)-nya. Nietzsche adalah orang pertama yang memulai proyek dekonstruksi. Kritik-kritik tajam yang diarahkan pada filsafat Barat dan seluruh praktek perabadan Barat adalah suatu pekerjaan dekonstruktif. Terutama sekali yang mempengaruhi Derrida adalah gaya penulisan filosofisnya yang bersikukuh dengan sikap skeptis terhadap klaim-klaim pengetahuan dan kebenaran. Dan membebaskan pikiran dari batas-batas konseptual yang mengurungnya.

Nietzsche bersikap skeptis terhadap metode dan konsep, kemudian mengalihkannya pada metafor dan bahasa figuratif, di mana segala kebenaran lahir dari sana. Filsafat dari Plato sampai sekarang, dengan menggunakan tirani rasio selalu menyingkirkan segala hal yang berkaitan dengan bahasa figuratif. Metafora dan segenap bahasa figuratif adalah kegairahan hidup yang menyuguhkan keragaman akan pemahaman. Nietzsche berusaha menghidupkan kembali tradisi yang dikubur oleh rezim rasio, bahwa kebenaran makna adalah relatif, bermetafora dan bergeser terus. Metafor-metafor bahasa inilah yang menjadi titik tolak tulisan-tulisan Derrida.

Dekonstruksi juga dilakukan Freud dengan mengusung tema pikiran tidak sadar, di mana sebelumnya kesadaran dan rasionalitas selalu menjadi superior dalam urusan kesadaran. Freud juga mempengaruhi “tulisan” (writing) Derrida, terutama mengenai tafsir mimpi yang diungkap melalui bahasa simbolik. Husserl mengenalkan metode menempatkan kata dalam tanda kurung (einklamerung).

Tujuan dari einklamerung semacam ini adalah menangguhkan sementara kata atau objek yang tidak memadai. Heidegger juga mengenal metode ini, dengan memberi “tanda silang” (Überqueren). Sebuah kata diberi tanda silang apabila maknanya dianggap tidak memadai namun masih berguna. Sehingga kata dibiarkan saja tercoret di bawah tanda silang. Heidegger sering menyilang kata “Mengada” (Being), sehingga kata yang tertulis menjadi “Mengada”.

Dalam Of Grammatology Derrida menjelaskan tanda melalui “jejak” (trace). Dengan kalimat terkenalnya Derrida menyatakan, “tanda adalah sebutan-jelek terhadap sesuatu” (sign is that ill-named thing), inilah cara satu-satunya menyelamatkan filsafat yang terinstitusional (Derrida, 1976: 19). Tanda tidak memiliki kehadiran, ia akan selalu ditentukan jejaknya yang tidak hadir. Tanda adalah sesuatu yang tidak utuh dan terus dipertukarkan dengan makna lain serta terus-menerus bergeser. Maka makna menjadi tertunda sampai batas yang tak berhingga, di sana lah différance mulai sedikit terjelaskan.

Dengan demikian dekonstruksi tidaklah identik dengan nama Derrida, sebab maknanya bisa bergeser ke Nietzsche, Freud, Heidegger atau tokoh dekonstruksi yang datang belakangan. Sebab bila trace menempatkan kata pada ruang makna yang berjejak, maka demikianlah maksud Derrida atas ketidakidentikan dekonstruksi dengan namanya. Atau bahkan ia pun sesungguhnya mendekonstruksi namanya sendiri, sebagaimana yang ia sering nyatakan.

Dekonstruksi ala Derrida

Lahirnya peradaban Barat adalah bentuk pemujaan terhadap logos setidaknya demikianlah yang dibaca Derrida ketika dikaitkannya dengan logosentrisme. Filsafat yang notabene sebagai pelaku utama peradaban Barat, selama ini hanya mampu menggantungkan diri pada logosentrisme (bersinonim dengan metafisika). Memusatkan dan mengembalikan semua pencarian kebenaran pada logosentrisme. Pusat selalu menandai kesatuan konstan suatu kehadiran eidos, archè, telos, energeia, ousia (esensi, eksistensi, subtansi, subjek), aletheia, transendentalitas, kesadaran atau kata hati, Tuhan, manusia, dan seterusnya (Derrida, 2001: 25 lihat dalam Spivak 1976 : 37).

Kumpulan logos tersebut antara lain: Idea, Tuhan, Rasio, Empiri, Kehendak, Roh Absolut, Materi, Struktur, dan sebagainya. Jadi apa yang ditafsirkan Nietzsche dengan “Tuhan” sama arti dengan logosentrismenya Derrida. Filsafat Barat mengasumsikan ada kebenaran esensial yang melatarbelakangi bentuk luar kebenaran (penanda) yang langsung berkaitan dengan sesuatu yang transendental yang stabil dan kokoh (logos). Di mana semua bentuk luar kebenaran harus bertolak pada kebenaran esensial yang transendental.

Sebanding dengan logosentrisme adalah fonosentrisme dan phalosentrisme phallus bukan semata organ aktual, namun sebuah penanda yang menggantikan seluruh penanda yang menandakan setiap hasrat terhadap segala ketidakhadiran. Watak logosentrisme ini kemudian melibatkan diri dalam oposisi biner, yang memberikan hak istimewa pada terma-terma super. Pengoposisian yang berkaitan dengan semiologi adalah oposisi penanda/petanda.

Derrida melihat ketidakmungkinan mencapai kebenaran atau makna tunggal melalui asumsi-asumsi logosentrisme, karena dekonstruksi selalu bekerja dalam teks-teks filsafat yang terinstitusional. Dekonstruksi pada awalnya adalah pembacaan teks pada sastra, ia bergerak di wilayah sastra. Namun pada akhirnya dekonstruksi masuk ke dalam seluruh wacana filsafat. Jadi dekonstruksi itu pembacaan filsafat secara sastrawi. Dekonstruksi adalah metode membaca teks secara sangat cermat hingga menemukan ketidakkonsistenan dan paradoks dalam konsep-konsep teks secara keseluruhan.

Dekonstruksi tidak pernah membangun sebuah sistem filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia menyusup, menyebar dan menjangkiti sistem paradigma filsafat Barat yang telah terprogram oleh logosentrisme. Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program tersebut, ia akan mampu mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan mereproduksi diri dalam setiap teks filsafat yang pada akhirnya siap menggerogoti program tersebut.

Namun demikian tugas dekonstruksi tidak semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain. Seperti yang Derrida (1976) katakan, …tugas dekonstruksi adalah …membongkar (deconstruire) struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendinskripsikannya kembali dengan cara lain. Cara mendinskripsikannya dengan memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur atau alat-nya si pemikir alat yang positif.

Semua filsafat Barat, juga pada fenomenologi dan strukturalisme, adalah dua institusi filsafat yang ingin membuktikan bahwa tuturan adalah tempat aktualisasi kebenaran dan makna. Husserl mengklaim bahwa kehadiran diri ada dalam suara (phone). Suara yang dimaksud adalah suara dalam kesendirian batin: “Ketika bicara saya mendengar diriku sendiri. Saya bicara sekaligus mendengar dan memahami”. Husserl ingin menyodorkan fakta-fakta psikis yang diderivasi dari living present, dan membuktikan tuturan lebih dekat dengan psikis dari pada tulisan yang cenderung berjarak. “Makna kehadiran” atau fenomenologi menamainya “kehadiran langsung” (living present) adalah kesadaran yang ditata dan mendapatkan makna yang berdimensi waktu.

Demikian juga Saussure membuktikan bahwa tuturan adalah sumber kebenaran. Berbeda dengan tulisan yang berlumuran segala macam ketertutupan makna, dalam tuturan ada hubungan langsung suara dan rasa (sense), karena ada kedekatan dengan kehadiran-diri yang memuat serangkaian makna di dalamnya. Jika fenomenologi dan strukturalisme mencari kebenaran melalui pemusatan elemen-elemennya.

Hal ini berkebalikan dengan apa yang dilihat Derrida. Semua usaha pemusatan, baik pada “kata hati” atau “struktur” akan dihadapkan pada “situasi kebuntuan penafsiran” (aporia), di mana pusat tidak lagi dapat bekerja. Tuturan pada suatu saat akan menemui tindakan atau perkataan ambigu ketika penutur mengalami keraguan dengan apa yang dimaksudkan dalam tuturannya. Aporia menunjukkan bahwa pusat pada saatnya adalah jalan buntu bagi penafsiran. Justru pada saat kebuntuan terjadi, bagi aporia adalah segala macam tempat makna akan terjejaki. Bukan dengan menunggalkan makna melalui pengoposisian, tapi membuat plural makna dengan melepas pemisah oposisinya.

Dari semua tradisi filsafat Barat, tulisan selalu diberi tempat kedua dibandingkan tuturan. Ia berpredikat sebagai transkripsi fonetis; artifisial; teralienasi; mekanis; merusak kemurnian kehadiran; orang asing; medium yang tak memiliki rupa dan sosok (depersonalized); bayangan seram yang jatuh di antara maksud dan makna, antara tuturan dan pemahaman. Tulisan adalah ancaman bagi pandangan tradisional yang mengisolasi kebenaran dengan kehadiran-diri bahasa yang bisa mengekspresikan diri.

Tulisan yang ditangan-duakan, semakin memperlihatkan oposisi biner dalam semua filsafat Barat. Derrida mengkritik bahwa mereka lupa men-sous rature-kan oposisi biner, dan tidak memperkarakan oposisi tersebut. Penghapusan oposisi tuturan/tulisan adalah praktek grammatologi, yakni “ilmu tentang tulisan”, yang membalik hierarki dan orientasi teori bahasa yang bukan tuturan, tapi tulisan (Culler, 1979: 158).

Derrida tidak ingin membuktikan bahwa tulisan adalah sesuatu yang lebih mendasar dari tuturan. Dekonstruksi adalah aktivitas pembacaan yang terikat dengan teks dan tidak bisa berdiri sendiri sebagai sistem operasi konsep-konsep yang tertutup. Pembacaan teks di sini lebih berarti menunda makna kehadiran yang di anggap bersemayam di balik teks tersebut, baik dalam teks tuturan dan tulisan. Pembongkaran selubung makna yang menutupi teks adalah apa yang ingin dipentaskan dalam aksi-aksi grammatologis.

Grammatologi awalnya adalah proklamasi kemenangan tulisan atas tuturan melalui pembalikan hierarki struktur dalam teks. Grammatologi juga merupakan cara kerja dekonstruksi yang ditujukan pada struktur dalam teks tulisan itu sendiri. Teks tulisan bagi grammatologi adalah suatu tanda (sign) yang berkontradiksi antara penanda dan petandanya, yang menghilangkan pusat teks melalui penjejakan (trace) makna. Ketika pusat tercerabut dari tempatnya, ia pun akan menimbulkan ketidakstabilan, yang memberi petunjuk pada bahasa akan kebebasan permainan.

Pertarungan penanda dan petanda bukanlah metode penguasaan dengan mencari kesatuan yang bermuara pada petandanya, namun dengan penjejakan (trace). Sehingga runtuhnya oposisi biner menempatkan teks menjadi polisemi dalam permainan ketidaktertangkapan makna secara terus-menerus atau diseminasi. Usaha tersebut memerlukan desublimasi konseptual atau “keterjagaan” yang memiliki kekuatan menelanjangi sikap Barat terhadap pemikiran dan bahasa.

Dekonstruksi bisa dijelaskan dengan cara lain melalui cara kerja différance. Différance adalah manifestasi dari dekonstruksi penanda secara grafis. Différance seperti halnya tulisan adalah pelafalan anonim yang kebal terhadap segala bentuk reduksi. Arti dari différance sendiri berada pada posisi menggantung, antara dua kata “to differ” (berbeda) dan “to defer” (menunda). (Fayadl, 2004: 110)

Status makna kata yang menggantung ini adalah pembuktian tidak utuhnya kata différance itu sendiri. Sekaligus membuktikan kelemahan Saussure, yang menempatkan struktur sebagai pusat yang menyatukan perbedaan bahasa yang berisi oposisi dan men-superior-kan tuturan dari pada tulisan. Status menggantung juga mempersilahkan grammatologi untuk bertindak, ketidakpastian dan tertundanya makna terus-menerus adalah bagaimana grammatologi diterapkan secara grafis.

Pelafalan différance meskipun pada akhirnya melahirkan struktur diferensial dalam tulisan, namun tidak menghasilkan kehadiran. Huruf “a” dalam kata itu mengingatkan kita bahwa, kata yang dilafalkan secara sempurna selalu tidak hadir, dia dibentuk melalui rangkaian kesalahan pelafalan yang tak berujung, bahkan dalam struktur grafis sekalipun (Fayadl : 110).

Dekonstruksi juga mereproduksi beragam pengertian yang menyertainya, namun pada akhirnya tidak melahirkan definisi yang jelas. Derrida mengingatkan berbagai pengertian tersebut bukanlah kata dan konsep. Pengertian-pengertian tersebut adalah kata yang tidak utuh karena maknanya harus ditunda. Mereka harus saling dipertukarkan satu dengan lainnya secara acak, sehingga membentuk mata rantai-mata rantai kata.

Semiologi sebagai ilmu pertandaan yang bekerja mengoposisikan penanda dan petanda dengan metode yang regorous, pada akhirnya ketika dijangkiti virus dekonstruksi dengan sendirinya akan menghadapi kehancuran diri. Penanda sebagai bentuk material dari tanda bukan lagi sebagai derivasi langsung dari petanda. Struktur yang selama ini menjamin adanya kehadiran makna dalam bahasa tidak lagi mendiami tempatnya. Hubungan pertandaan tidak ditentukan oleh struktur sebagai pusat kekuatan makna yang bermuara pada petanda yang tunggal. Sebab pusat sebagaimana yang dibaca Derrida atas Lévi-Strauss terhadap mitologi adalah laksana ilusi historis (Derrida, 2001: 46).

Maka makna itu ditentukan oleh jejak (trace) penandanya, yang senantiasa berjejak, bergeser, berpindah ke sembarang arah. Sehingga teks adalah permainan ketidakpastian polisemi bahasa yang diseminasif. Dengan membalik struktur hierarki dalam hubungan pertandaan yang sekaligus menghilangkan oposisinya, maka tidak ada superioritas pada salah satu termanya. Demikianlah penanda akan senantiasa bergeser terus-menerus.

___________________
*) Edi Purwanto adalah peneliti dan pegiat kajian Filsafat di Puspek Averroes Malang

Refrences:

Al-fayadl, Muhammad, 2005. Derrida, Lkis Yogyakarta.

Asyhadi, Nurudin 2004. Hampiran Hamparan Gramatologi Derida, Lkis Yogyakarta.

Barker Cris, 2000, Cultural Studies Teory And Practice, Sage Publication, London. Terj. Team Kunci Cultural Studies, 2005. Cultural Studies Teori Dan Praktik Bentang, Yogyakarta.

Culler, Jonathan, 1979. “Jacques Derrida”, dalam John Sturrock, ed., Structuralism and Since: From Lévi-Strauss to Derrida, Oxford University Press, New York, h. 249-292. terj. Muh. Nahar 2004 Jp press Surabaya.

Derrida, Jacques, 1976. Of Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty Spivak, The John Hopkins University Press, Baltimore and London. Terj. Ridwan Muzir ARRUS Jogyakarta. 2003.

Hardiman, Budi, F.2003. Heidegger dan mistik keseharian Suatu pengantar menuju Sein Und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta.

Lechte, John, 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj. A. Gunawan Admiranto, Kanisius, Yogyakarta.

Sarup, Madan, 2003. “Derrida dan Dekonstruksi”, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, terj. Medhy Aginta Hidayat, Jendela, Yogyakarta, h. 51-98. Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta.

Majalah Basis Edisi Derrida no. 11-12 Tahun Ke 54, November-Desember 2005 Yogyakarta
________________
Sumber: http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/02/11/menelusuri-jejak-pemikiran-derrida/
Dijumput dari: http://www.averroes.or.id/thought/menelusuri-jejak-pemikiran-derrida.html

Media Katarsis, Manfaat Pendekatan Resepsi Sastra


Wemmy Alfadhli
http://www.kompasiana.com/wem

Seorang koruptor zaman Orde Baru yang lolos dari pengawasan Indonesian Coruption Watch bersantap malam bersaama keluarga besarnya. Sambil menyantap makanan yang lezat-lezat, sambil seluruh anggota keluarganya melahap sepuas-puasnya semua hidangan yang serba nikmat, sang koruptor berbicara panjang lebar tentang perbuatan korupsi yang dilakukannya; yang bagaimanapun itu demi kesejahteraan dan kemakmuran keluarga. Yang bagaimanapun untuk itu ia bersedia menanggung semua dosanya. Demi modal hidup baik-baik anak cucunya kelak. Sementara acara makan-makan yang serba lezat terus berlangsung dengan sangat nikmat. Tulang belulang segala macam daging berserakan di piring-piring. Sehabis itu giliran puding, karamel, dan berbagai rupa pencuci mulut meluncur ke meja makan. Sementara di luar hujan turun dengan derasnya. Dari Aceh hingga Jakarta.

Di Aceh, di tengah-tengah derasnya hujan, di antara suara guntur dan halilintar yang bersambung-sambungan, orang-orang sedang bekerja keras membongkar sebuah kuburan massal yang baru ditemukan. Satu per satu tengkorak-tengkorak dan tulang belulang tersebut diangkat ke permukaan. Pada waktu yang sama, di Jakarta, sang koruptor dengan sangat nikmat sedang menyedot otak gulai kepala ikan bumbu aceh. Sedotannya bagai sedotan kilang-kilang minyak di tengah lautan yang bergelora.

Cuplikan pada para paragraf di atas saya ambil dari sebuah cerpen karangan sastrawartawan Seno Gumiro Ajidarmo berjudul Telepon Dari Aceh. Sungguh teramat memikat gaya ironik yang dihadirkan Seno pada cerpen yang pernah dimuat dalam buku kumpulan cerpen terbaik KOMPAS tahun 2000 ini. Dengan mengontraskan secara paralel suasana acara bersantap dengan hidangan serba nikmat yang terjadi di Jakarta–di rumah sang koruptor–dengan kejadian pembongkaran kuburan–bisa kita tafsirkan sebagai korban DOM–di Aceh, cerita ini telah berhasil menghadirkan kesan miris pada pembacanya. Paling eksplisit bisa kita lihat pada korelasi oposisional yang mungkin timbul antara tulang belulang segala macam daging santapan keluarga sang koruptor tersebut dengan tulang belulang mayat-mayat yang ditemukan di Aceh. Seno tepat sekali sama-sama menggunakan pilihan kata tulang belulang bagi kedua hal yang sebetulnya berbeda tersebut. Apabila hal ini kita hubungkan dengan pemaknaan yang bisa hadir bahwa sang koruptor Orde Baru tersebut adalah simbol dari Jakarta atau Pemerintah Pusat yang dianggap menindas daerah–dalam hal ini rakyat Aceh–maka bisa saja timbul metafor yang sangat sadistik di benak pembaca: sang koruptor dan keluarganya tersebut sebetulnya sedang menikmati tulang belulang korban DOM di Aceh dengan sangat nikmatnya dan tanpa rasa bersalah.

Banyak sekali fakta-fakta tekstual dalam cerpen ini yang bisa lebih dikupas lagi untuk menunjukkan kesan ironistiknya; yang akan mengakibatkan sentuhan estetik pada sisi emosi pembaca. Daya sentuh terhadap emosi pembaca inilah yang diharapkan akhirnya berujung pada efek katarsis pada setiap pembacanya. Sebuah pencerahan yang didapatkan setelah melewati tahapan kemuakan terhadap apa yang terjadi. Tentang bagaimana efek katarsis bekerja dalam “dunia sastra”, Profesor Budi Darma pernah memberi contoh pada peristiwa “banjir darah” dalam pertunjukkan sebuah drama tragedi. Pertunjukan tersebut pada akhirnya “mendidik” penonton agar tidak melakukan hal apa-apa yang baru saja mereka saksikan di atas panggung.

Pada sekira akhir tahun 70-an model pendekatan dalam kritik sastra ikut diramaikan oleh teori estetika resepsi; atau dalam posisinya di antara berbagai macam pendekatan lain dalam analisis teks sastra lebih umum dikenal dengan istilah resepsi sastra. Ada dua tokoh yang pertama kali secara sistematis dan metodologik merumuskan model pendekatan ini, yakni Jauss dan Iser; keduanya dari Jerman. Setelah tulisan-tulisan mereka dikenal oleh dunia, mulailah terlihat bagaimana model analisis teks dan teori-teori sastra mendapatkan kesegaran dan sudut pandang baru. Pengaruh paling radikal setidaknya terlihat pada sebuah buku yang berjudul Kritik Sastra Subjektif (David Bleich) yang dikomentari Selden sebagai sebuah argumen canggih; yang setuju pergeseran paradigma kritik sastra objektif ke kritik yang bersifat subjektif. Apalagi jika hendak dibicarakan bagaimana pengaruhnya pada aliran dekonstruksionisme yang sedang hangat-hangatnya disoroti pada zaman paskamodernisme ini.

Poin paling penting dalam pendekatan resepsi sastra adalah bagaimana peran (setiap) pembaca–dengan segala persamaan dan perbedaan tipikalnya–dalam menafsirkan teks (sastra) mulai diperhitungkan. Antara Jauss dan Iser sebetulnya terdapat perbedaan konsepsi tentang analisis resepsi ini. Jauss lebih membicarakan tentang penerimaan aktif–pembacaan yang diikuti oleh penciptaan karya baru oleh pembaca tersebut–sehingga membentuk garis kesinambungan sejarah penerimaan; lebih jauh tentang ini bisa dilihat pertemuannya dengan pendekatan dan teori intertekstualitas. Sedang Iser lebih menekankan model analisisnya pada kemampuan atau cara teks (dan penulis) mempengaruhi (penafsiran) pembaca; atau dirumuskan oleh Iser dengan konsep tentang efek (wirkung, dalam bahasa Jerman). Sebab pembicaraan tentang pembaca (yang mahaluas) inilah barangkali yang mengakibatkan kemandegan usaha pengembangan model pendekatan ini. Sesuatu yang cukup “beresiko”, untuk menjelaskan (secara ilmiah) sebuah objek yang sangat besar macam variabelnya, dan tambah pula, sangat tinggi tingkat mobilitasnya. Objek tersebut iaitu manusia; yang hidup, berpikir, mempengaruhi, dan dipengaruhi. Upaya generalisasi sepertinya juga sulit untuk diterapkan. Berbeda dengan kajian-kajian sosial lainnya, kajian sastra memiliki tuntutan tersendiri yang berupa “penghargaan besar” terhadap “segala keunikan satuan estetiknya”.

Jauss sebetulnya juga telah berusaha menghindari kesemerawutan identifikasi pembaca tersebut dengan memfokuskan penelitiannya pada penerimaan yang bersifat aktif–sehingga ada pembuktian secara interteks. Begitupun Iser, ia mengemukakan klasifikasi tentang pembaca dengan membedakan antara pembaca sebenarnya (real reader) dengan pembaca yang disarankan oleh teks (implied reader). Yang terakhir ini dapat kita temui pada pembaca ahli–yang bagaimanapun dengan segala keterbatasannya pula–sebab seorang ahli melakukan penafsiran teks telah dibekali oleh seperangkat alat analisis; tidak sekedar sudut pandang impresi dan latar belakang subjeksinya. Sehingga dengan itu diharapkan sudut pandang yang dihadirkan oleh teks–barangkali untuk kali ini perlu dipisahkan dari “niat semula” pengarangnya–dapat ditangkap dengan sebaik-baiknya.

Dengan sangat terbatas, apa yang dilakukan Iser tersebutlah yang coba saya terapkan pada cerpen di atas. Sehingga saya berani mengambil kesimpulan tentang efek katarsis (pencerahan) yang mungkin dihadirkan oleh teks cerpen tersebut pada pembaca; dengan penyesuaian pada segala variabel pembaca untuk menentukan intensitas pengaruh teks tersebut. Ada benarnya, dalam analisis sudut pandang atau skema yang dihadirkan oleh teks cerpen tersebut perlu dilakukan sebuah kajian semiotik; sebab upaya pengorelasiannya terhadap referensi peristiwa dan hal-hal real di luar teks juga secara terbatas memasuki lingkup kajian sosiologi sastra. Namun, seperti yang dikatakan oleh Dr. Faruk (UGM) bahwa resepsi sastra adalah bagian dari teori semiotik, saya kira semiotik pun adalah hanya salah satu pendekatan “tambahan” yang dibutuhkan dalam rangka analisis estetika resepsi yang menekankan efek karya (baca: cara karya yang memproduksi efek) ini.

Saya melihat masih banyak karya-karya sastra lain–yang secara feeling dianggap menyentuh emosi dan kesadaran seorang pembaca–bisa digarap dengan teori wirkung-nya Iser ini. Salah satunya–yang saat menulis ini tiba-tiba terlintas di kepala saya–adalah naskah drama Orang Malam karangan Soni FM. Menarik jika kita menyimak sudut pandang dalam pengangkatan sebuah tema pada drama itu dibandingkan dengan kecenderungan tematik karya-karya sastra dalam sebuah rubrik mingguan yang diasuh Soni. Apalagi jika hendak dihubungkan dengan latar sosiologisnya. Dan lebih apalagi lagi, jika dihubung-hubungkan dengan niat membentuk watak kebudayaan masyarakat sebagai upaya pembuktian bahwa karya sastra berperan dalam membentuk nilai-nilai pada masyarakatnya. Perlu saya tambahkan di sini bahwa ada sebuah buku menarik, karangan George W. Burns, yang memperlihatkan bagaimana cerita (metafora) bisa dimanfaatkan sebagai sarana psikotherapi (terapi psikis). Bahkan, seperti yang pernah dilansir Subagyo Sastrowardoyo, di Amerika sana telah ada yang dinamakan Psikopoetry sebagai sebuah alternatif terapi kejiwaan.

Barangkali ini memang upaya yang mulai bergerak ke arah pragmatisme; ke pemikiran yang mulai membicarakan peran sastrawan dan karya sastra di tengah-tengah masyarakatnya. Tetapi apa salahnya kukira. Kita bisa melihat betapa keringnya teks-teks sastra maupun analisis-analisis teks sastra yang tidak memiliki wawasan di luar “sastra untuk sastra”. Apalagi dalam analisis wacana teks media–yang tak seprismatik teks sastra–juga telah berkembang analisis yang mulai memperhitungkan peran penafsiran pembaca; meninggalkan kekakuan tradisi analisis formalistik dan positivistik. Contohnya adalah upaya pengklasifikasian unsur analisis teks media oleh Sara Mills yang dikenal dengan kritik feminisnya. Apa yang coba saya lakukan pada cerpen Seno tadi masih sangat awal dari upaya “ambisius” pendekatan resepsi sastra; masih tidak terlalu memperhitungkan tingkat variasi pembaca. Dan tulisan saya kali ini pun sangat bertendenz untuk memancing tanggapan reseptik berikutnya. Walau begitu, walau dengan baru “dikit-dikit” kenal semantik dan semiotika, saya memberanikan diri sedikit berbeda pendapat dengan GM–dalam kata pengantarnya pada halaman depan buku KOMPAS ini–tentang efek horor karya Seno tersebut. Bukankah kita sama-sama pembaca, sekaligus merupakan pembaca yang berbeda, Pak Goen?

Dijumput dari: http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/08/media-katarsis-manfaat-pendekatan-resepsi-sastra/

BEBERAPA KESIMPULAN DISKUSI “REFLEKSI KEBUDAYAAN”


Ignas Kleden
http://jehovahsabaoth.wordpress.com/

SEBUAH persoalan lain yang banyak dibahas adalah mengenai penciptaan atau daya cipta di satu pihak, serta kebebasan dan kemungkinan kreatif di pihak lainnya Pengandaian umum yang sering kita dengar ialah bahwa daya cipta tidak akan berkembang sampai optimal jika tak ada kemungkinan dan kebebasan kreatif yang mendukungnya. Karena itu perjuangan untuk tetap menegakkan kebebasan kreatif harus terus dijalankan. Sebaliknya, terhadap setiap usaha yang hendak membatasi atau mematikan kebebasan kreatif, harus diberikan perlawanan dan kritik. Hal ini tentu ada unsur kebenarannya dan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan kehidupan budaya akan mengambil sikap dalam persoalan pembatasan atau penindasan terhadap kebebasan kreatif. Tetapi rupanya ada dua soal yang cukup berbeda, yang kemudian menjadi jelas dalam diskusi 9 September itu. Di satu pihak ada kebebasan kreatif sebagai faktor obyektif yang secara budaya harus dipertahankan. Di lain pihak ada kreativitas atau dayacipta yang sedikit banyaknya tergantung kepada daya hidup dan daya tahan seorang individu dengan faktor-faktor subyektif yang mendukung atau tidak mendukungnya. Dengan demikian kalau kita berbicara tentang kebebasan kreatif, kita memperjuangkan faktor obyektif di mana kreativitas diwujudkan. Tetapi berbicara tentang kebebasan kreatif tidak sama dengan berbicara mengenai kreativitas itu sendiri. Sebabnya, kreativitas tidak hanya ditentukan oleh adanya faktor obyektif yang memungkinkan, tetapi juga oleh daya serap individual yang mengolah kembali semua faktor obyektif dalam diri seorang individu. Kreativitas adalah reproduksi individual dan personal dari semua faktor sosial yang diterima oleh seorang individu. Pada titik ini terlihat dua asas yang amat berbeda. Kalau kita berbicara tentang kebebasan kreatif, maka asasnya adalah: semakin besar kebebasan kreatif, semakin besar kemungkinan bagi kreativitas untuk diwujudkan dalam kreasi budaya. Kebebasan kreatif adalah masalah diberikan atau disediakannya kebebasan. Sebaliknya kalau kita berbicara tentang kreativitas maka masalahnya berpindah kepada penerima kebebasan kreatif tersebut. Di sini berlaku asas: apa pun yang diterima, selalu diterima menurut modus si penerima dan bukannya menurut modus si pemberi (guidguid recipitur, secundum modum recipientis recipitur). Ini adalah sebuah asas antropologi filsafat yang sangat tua yang kiranya masih berlaku sampai saat ini. Dalam implikasinya, hal ini berarti, kalau kebebasan kreatif yang besar diterima oleh seorang individu dengan kapasitas kecil, maka kecil pula hasilnya. Sebaliknya, kalau kebebasan kreatif yang kecil diterima oleh seorang penerima yang besar kapasitasnya, maka besar pula kreasi yang dihasilkannya. Ternyata antara kebebasan (freedom) dan daya cipta (creativity) tidak ada hubungan yang lurus. Seorang bisa kreatif karena bebas (because of freedom) dan seorang dapat tetap kreatif kendati dan meskipun tidak bebas (in spite of unfreedom). Kebebasan kreatif selalu berhubungan dengan kebebasan luar yang obyektif, sedangkan kreativitas berhubungan kebebasan dalam, yaitu kebebasan jiwa. Kiblat kebudayaan Dalam hubungan dengan daya cipta masih ada semacam keprihatinan dalam diskusi mengapa gerangan perkembangan kebudayaan Indonesia modern selalu merupakan bayangan perkembangan kebudayaan di bagian dunia lain, sebutlah, di Eropa Barat atau di Amerika Serikat. Keberatan ini segera mengingatkan orang akan debat dalam Polemik Kebudayaan yang terkenal itu, tentang ke mana Indonesia harus mengambil model untuk kebudayaan baru Indonesia. Apakah kita harus mengambil model Barat seperti yang diusulkan oleh S. Takdir Alisyahbana atau model Timur seperti dianjurkan oleh Sanusi Pane dan beberapa tokoh lainnya?

Perdebatan tentang kiblat kebudayaan pada hakikatnya adalah perdebatan mengenai sumber kebudayaan kalau dilihat dari segi strategi kebudayaan atau perdebatan tentang asal-usul kebudayaan dilihat dari segi sejarah kebudayaan. Semua ini terang penting artinya untuk pengetahuan kita, namun membicarakan sumber kebudayaan ini dalam hubungan dengan dayacipta kebudayaan, pada akhirnya tidak banyak membawa manfaat. Sebab, yang menentukan kreativitas bukanlah dari sumber mana pola-pola kebudayaan diambil, tetapi dengan tingkat daya cerna seberapa besar pola-pola itu diterima dalam diri seorang individu atau suatu masyarakat. Dari mana pun asal-usul kebudayaan itu, hal itu tidak begitu penting artinya untuk kreativitas, selama penerima pengaruh-pengaruh itu dapat mencerna semua pengaruh itu dalam suatu proses internalisasi dan integrasi kebudayaan, dan kemudian menjadikan semua pengaruh itu sebagai bahan untuk penciptaan kebudayaan yang bersifat kreatif. Ini berarti, rasa prihatin tentang besarnya pengaruh Barat, sebetulnya mencerminkan rasa prihatin tentang daya cerna kebudayaan kita sendiri. Eropa tidak pernah menyesal belajar dari renaissance, seperti halnya renaissance tidak menyesal belajar dari Roma dan Roma tidak pernah menyesal belajar dari Yunani antik. Pertanyaan baru dan jawaban baru Suatu keprihatinan lain adalah bahwa dalam melakukan diskusi kebudayaan kita cenderung mengulang persoalan lama dan barangkali pula mengulang jawaban yang sama terhadap persoalan tersebut. Apakan kreativitas kebudayaan selalu berarti kesanggupan merumuskan masalah baru? Jawaban terhadap persoalan itu adalah bahwa yang menentukan harga dan bobot sebuah persoalan bukanlah kadar baru dan lamanya, melainkan apakah persoalan tersebut diberi relevansi yang sesuai dengan perkembangan keadaan. Ada banyak persoalan di masa lampau yang tetap belum terselesaikan, dan persoalan tersebut tidak layak ditinggalkan hanya karena merupakan persoalan lama. Yang diperlukan adalah memberikan relevansi baru terhadap persoalan lama tersebut. Demikian pun ada beberapa soal baru yang muncul dan menarik minat. Tetapi tidaklah cukup kalau soal-soal baru tersebut menjadi sekadar mode atau fashion karena yang dibutuhkan adalah membuat soal-soal tersebut relevan dengan keperluan kebudayaan di Indonesia. Eksistensialisme di tahun lima puluhan dan post-modernisme di tahun sembilan puluhan tidak bagitu meninggalkan jejak karena para penganutnya tidak sempat memberikan bobot relevansi yang kuat untuk kebudayaan di Indonesia. Kritik politik dan kritik kebudayaan Dipertanyakan adakah perbedaan antara kritik politik dan kritik kebudayaan? Di antara banyak perbedaan, ada satu hal yang menarik perhatian diskusi tersebut, yaitu bahwa kritik politik adalah cerminan persaingan politik antara sebuah golongan dengan golongan lainnya; sebaliknya, kritik kebudayaan memperjuangkan nilai-nilai (misalnya hormat kepada martabat manusia), dan kritik seperti ini mencerminkan komitmen kepada nilai dan bukanlah komitmen kepada kelompok. Seseorang yang melakukan kritik kebudayaan berjuang untuk menegakkan nilai-nilai kebudayaan yang dijunjungnya, dan menentang pemerkosaan terhadap nilai-nilai tersebut, juga seandainya nilai bersangkutan diabaikan dalam kelompok di mana dia diperanggotakan. Dia juga akan memperjuangkan tegaknya nilai kebudayaan tersebut, seandainya pun nilai tersebut terwujud dalam kelompok yang menjadi lawannya. Dalam kaitan itu perlu disadari ambivalensi pengetahuan dan ketidaktahuan mengenai suatu soal. Politik mengandaikan bahwa pengetahuan tentang suatu soal akan membawa orang untuk terpengaruh oleh pengetahuan tersebut. Kebudayaan mengandaikan bahwa pengetahuan terhadap suatu soal memungkinkan orang mengambil sikap secara dewasa terhadap soal tersebut. Politik mengandaikan ketidaktahuan tentang sebuah soal yang tak disetujui mungkin lebih menguntungkan. Kebudayaan mengandaikan bahwa ketidaktahuan tentang suatu soal selalu merugikan, karena dengan itu proses belajar telah dibatalkan. Strukturalisme, historisisme, kebudayaan, dan konteks Diskusi kebudayaan dan diskursus sosial-budaya di Indonesia semenjak tahun 1980-an rupanya tidak dapat lagi menghindar dari beberapa konsep yang dirumuskan dengan beberapa kata-kunci di atas. Pertanyaan yang penting secara budaya adalah: apakah dan bagaimanakah hal-hal tersebut di atas (struktur, sejarah, kebudayaan dan konteks) mempengaruhi realisasi kemerdekaan menusia dan karena itu mempengaruhi kreativitas manusia secara budaya? Dalam arti luas, struktur adalah konteks dalam ruang. Dilihat secara pesimis, suatu struktur akan membatasi ruang-gerak di mana kemerdekaan dan dayacipta diwujudkan. Ada batas-batas secara politik, ekonomi atau sosial untuk mewujudkan dayacipta tersebut. Sebaliknya, dilihat secara optimis, suatu struktur menjadi kerangka (secara sosial, ekonomis atau politis) di mana kemerdekaan manusia diwujudkan dan diwujudkan secara khas berdasarakan kondisi dalam struktur tersebut. Tanpa kerangka struktural, kemerdekaan dan dayacipta tidak mempunyai landasan untuk direalisasikan. Kalau struktur adalah konteks dalam ruang, maka sejarah adalah konteks dalam waktu. Meninjau kebudayaan secara historis adalah meninjau kebudayaan sebagai sesuatu yang terbentuk dan tercipta dalam waktu, dan melihat syarat-syarat obyektif yang membuatnya mendapat bentuknya seperti ini dan bukan bentuknya yang lain. Karena itulah kebudayaan selalu terikat kepada kekuatan sejarah. Namun demikian, sejarah juga dibentuk oleh kebudayaan. Tidak ada sejarah tanpa kebudayaan di dalamnya. Karena itu sikap historis adalah suatu sikap penting tetapi historisisme bukanlah sesuatu yang mutlak. Kemajuan di dalam sejarah, tidak jarang, disebabkan oleh keberanian untuk berpikir ahistoris dan antihistoris, dengan menciptakan perspektif yang lebih jauh dari kondisi-kondisi yang konkret sekarang ini. Sejarah membentuk kebudayaan kita, tetapi kebudayaan kembali menciptakan sejarah. Manusia tidak bisa membebaskan diri dari sejarahnya, tetapi sejarah pun tidak bisa membebaskan diri manusia yang menggerakkannya. Sikap historis menekankan manusia dalam sejarah, sikap kritis menekankan sejarah sebagai sejarah manusia. Kebudayaan adalah respons manusia dengan kemerdekaannya terhadap pembatasan waktu dan ruang. Hanya melalui kebudayaan kita tidak terjatuh baik ke dalam determinisme strukturalis maupun determinisme historis. Namun demikian bahkan terhadap kebudayaan, kemerdekaan manusia harus sanggup mempertahankan diri supaya tidak terjatuh ke dalam determinisme kebudayaan. Agar supaya suatu kebudayaan tetap dihayati secara kreatif, diperlukan refleksi dari partisipannya bahwa kebudayaan tersebut adalah ciptaan manusia sendiri, yang diciptakan dengan tujuan dan karena keperluan tertentu. Konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang. Setiap kreasi budaya selalu lahir dalam konteks tertentu dan karena itu pemahaman terhadapnya memerlukan suatu tinjauan yang bersifat kontekstual. Namun demikian konteks bukanlah suatu pengertian yang statis. Setiap konteks selalu dapat di-dekontektualisasi-kan dan dapat pula di-rekontekstualisasi- kan kembali oleh setiap kelompok pada masanya. Riwayat hidup sebuah kreasi budaya penting untuk menerangkan proses produksinya, tetapi tidak selalu dapat menerangkan kekuatan pengaruhnya dalam kehidupan budaya yang lebih luas. Konteks menjadi penting kalau dia dihayati secara tekstual, di mana setiap kebudayaan dapat menjadi teks yang terbuka untuk pembacaan dan penafsiran oleh siapa saja. Kemerdekaan dan kreativitas selalu merupakan sesuatu yang terbatas. Sedangkan kebudayaan adalah usaha untuk mengatasi batas- batas tersebut.

Ignas Kleden, moderator pada Diskusi “Refleksi kebudayaan” 9 September 1995 di IK7, Jakarta.
Dijumput dari: http://jehovahsabaoth.wordpress.com/2011/09/10/beberapa-kesimpulan-diskusi-refleksi-kebudayaan/

Membina Keakraban Balai Bahasa Banjarmasin dan Sastrawan Kalsel

Mahmud Jauhari Ali 
www.radarbanjarmasin.co.id/

Beberapa kali saya membaca sejumlah tulisan yang dimuat di salah satu surat kabar lokal di Kalimantan Selatan tentang sastra dan kehidupannya. Tulisan-tulisan tersebut membuat hati saya terenyuh dan otak saya mulai berpikir soal kehidupan sastra di Kalimantan Selatan. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini, apalagi menyudutkan pihak tertentu. Dalam tulisan ini saya hanya mencoba mengakrabkan jiwa para sastrawan Kalsel dengan Balai Bahasa Banjarmasin.

Sebenarnya tulisan ini tidak perlu muncul jika rekan-rekan saya di Balai Bahasa Banjarmasin bersedia menulis sepatah dua patah kata mengenai masalah kehidupan sastra di provinsi ini yang sedang diusung oleh para sastrawan Kalimantan Selatan saat ini. Saya sudah menunggu beberapa waktu munculnya tulisan mereka menanggapi unek-unek sebagian sastrawan Kalsel dalam tulisan mereka tersebut. Akan tetapi, sampai detik ini belum juga ada tulisan yang muncul. Entah saya yang kurang membaca media masa ataukah memang benar kata-kata saya dalam kalimat terakhir tadi. Hal itu terjadi mungkin mereka tidak sempat menulis karena pekerjaan mereka sangat banyak di Balai Bahasa Banjarmasin berkenaan dengan bahasa dan sastra. Semoga tulisan saya ini tidak salah isi dan semoga pula rekan-rekan di Balai Bahasa Banjarmasin tidak merasa dilangkahi oleh saya.

Baiklah saya mulai saja mengungkapkan pikiran saya seputar masalah sastra dan kehidupannya di Kalimanatan Selatan yang kita cintai ini. Tidak kurang dan tidak lebih isi tulisan yang saya baca beberapa waktu yang lalu berkaitan dengan sastra di Kalimantan Selatan. Tentunya dalam hal ini selalu melibatkan sastrawan sebagai pelaku aktif dunia sastra. Hidup matinya sastra salah satunya bergantung pada mereka. Oleh karena itu, wajar saja mereka “berteriak” dengan lantangnya mengenai hal yang menjadi bagian penting hidup mereka, yakni hidupkan sastra! Kehidupan sastra selain bergantung pada sastrawan, juga memerlukan apresiasi bahkan lebih daripada itu dari berbagai pihak, salah satunya adalah lembaga yang berkecimpung di dunia sastra. Sebut saja Balai Bahasa Banjarmasin yang memiliki tugas pokok mengadakan pembinaan dan penelitian di bidang bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra di Kalimantan Selatan. Sudah cukup banyak pembinaan-pembinaan dan penelitia-penelitan di bidang bahasa dan sastra yang telah diselesaikan oleh pihak Balai Bahasa Banjarmasin. Misalnya saja penyuluhan bahasa dan bengkel sastra, keduanya merupakan tindakan nyata pembinaan di bidang bahasa dan sastra yang diperuntukkan bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Hasil-hasil penelitian seperti penelitian Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-Bahasa di Kalimantan Selatan dan penelitian Mantra Banjar juga merupakan wujud nyata kerja pihak Balai Bahasa Banjarmasin di bidang kebahasaan dan kesastraan. Intinya, pihak Balai Bahasa Banjarmasin telah banyak memberikan kontribusi bagi Provinsi Kalimantan Selatan, baik di bidang kebahasaan maupun kesastraan.

Sayangnya, pihak luar kurang mengetahui hal itu sehingga Balai Bahasa Banjarmasin dianggap oleh beberapa sastrawan tidak memiliki kepedulian terhadap kehidupan sastra di provinsi ini. Hal ini ternyata merembet pada masalah honorium untuk sastrawan yang cipta sastranya dimuat di surat kabar. Menutrut saya sastarwan dalam hal ini tidak salah. Wajar saja jika sebuah tulisan dihargai karena sebuah tulisan tidak akan muncul dengan sendirinya, melainkan dengan jerih payah penulisnya.

Menurut saya, masalah ini harus segera dijernihkan melalui diskusi antara pihak sastrawan Kalimantan Selatan dan pihak Balai Bahasa Bajarmasin. Harus ada pembicaraaan langsung antara kedua belah pihak, misalnya para sastrawan dan pihak Balai Bahasa Banjarmasin berinisiatif membicarakannya dengan baik di Aula Balai Bahasa Banjarmasin yang luas itu. Di sana harus dibicarakan secara tuntas masalah kehidupan sastra di Kalimatan Selatan, termasuk masalah honorium sastrawan yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan saat ini. Dengan pembicaraan dalam diskusi tersebut diharapkan hubungan sastrawan dan pihak Balai Bahasa Banjarmasin semakin akrab dan membuahkan kerja sama yang baik demi kehidupan sastra di banua kita.

KREATIVITAS : MIMESIS


Ignatius Yunanto, SS
http://teori-sastra.blogspot.com/

Definisi-definisi Kreativitas secara Umum

Kreativitas sampai hari ini telah mendapatkan banyak pengertian. Kata kreativitas sering kita dengar atau kita baca dalam media massa, dalam pendidikan, dalam seminar-seminar, dalam buku-buku, atau dalam percakapan sehari-hari. Bila kita bertanya pada orang-orang tentang pengertian kreativitas, maka banyak orang akan kesulitan dalam memberi batasan yang menurut mereka tepat. Kemungkinan hal ini disebabkan antara lain karena luas dan majemuknya bidang kreativitas.

Dalam mencoba menjawab arti kreativitas secara umum, ada orang yang mengartikan kata kreativitas secara luas dan ada pula yang mencoba menyempitkannya. Ada yang menekankan bahwa kreativitas adalah sikap hidup dan perilaku; tetapi ada juga yang menerima kreativitas itu lebih sebagai cara berpikir. Ada sebagian orang yang mengaitkan kreativitas dengan teknologi dan dunia ilmu, tetapi ada sebagian lain yang menekankan pada sifat artistik, artinya bahwa yang kreatif itu adalah yang mempunyai nilai seni.

Ada banyak tokoh yang mencoba mendefinisikan kreativitas. Di sini penulis mencoba memberikan contoh definisi-definisi ini dari beberapa pemikiran. Julius Chandra, dalam Kreativitas memberikan kata kunci kreatif yaitu: “Kemampuan mental dan berbagai jenis ketrampilan khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan yang unik, berbeda, original, sama sekali baru, indah, efisien, tepat sasaran, dan tepat guna.[1] Di samping itu dalam bukunya juga menunjuk beberapa tokoh yang mencoba merumuskan kreativitas. Ada yang mencoba merumuskan kreativitas secara umum. Untuk membedakan kreativitas yang diartikan secara luas dan secara sempit, kita dapat mengambil contoh misalnya dalam menggambar. Dalam pengertian sehari-hari, kalau ada orang sedang menggambar untuk mengungkapkan ekspresinya, kita mengatakan bahwa ia sedang melakukan tindakan kreatif. Bagaimanapun bentuk hasilnya sudah dapat disebut produk kreatif. Dalam hal ini berarti pengertian kreativitas secara luas. Tetapi, kalau dipakai batasan lebih sempit, gambar itu dapat disebut kreatif kalau dilihat bagaimana pewarnaan, goresan, keluwesan gambar dan makna yang ada dalam gambar itu. Don Fabun, dalam You and Creativity mengatakan bahwa, “Kreativitas adalah semua cetusan daya kerohanian dan seluruh kepribadian yang merupakan pernyataan (aktualitas) kehidupan, baik yang berasal dari seseorang maupun dari kelompok orang.” Erich Fromm, dalam The Creative Attitude mengatakan: “Kreativitas adalah suatu kemampuan untuk melihat (menyadari, bersikap peka), dan menanggapi.” Kreativitas menjadi unsur inderawi manusia. George D. Stodard, dalam Creativity in Education mengatakan: “Menjadi kreatif berarti menjadi tidak dapat diterka atau diramalkan sebelumnya.” Kadang-kadang orang yang kreatif dianggap sebagai orang yang aneh atau suka tampil beda dibandingkan dengan orang-orang lain di lingkungannya.

Ada juga beberapa yang mencoba melihat kreativitas secara lebih sempit. John W. Haefele, dalam Creativity and Innovation mengatakan: “Kreativitas dirumuskan sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang bernilai sosial.” Kreativitas akan diakui atau dipakai bila mendapat pengakuan dari lingkungan sosial. Kemudian George J. Seidel, dalam The Crisis of Creativity mengatakan: “Kreativitas adalah kemampuan untuk menghubungkan dan mengaitkan, kadang-kadang dengan cara ganjil, namun mengesankan dan ini merupakan dasar pendayagunaan kreatif dari daya rohani manusia dalam bidang atau lapang manapun.” Di sini kreativitas dipersempit sebagai aktualisasi dari daya rohani. Yang terakhir, Jacques Hadamard, dalam An Essay on The Psychology of Invention in The Matematical Field mengatakan: “Jelaslah bahwa penemuan atau kreasi, baik dalam matematika maupun dalam bidang lain terjadi dalam menggabungkan ide-ide.” Di sini kreativitas dipersempit sebagai penggabungan ide-ide. Ide-ide merupakan titik awal munculnya produk-produk kreativitas. Oleh karena itu, yang diutamakan adalah mengkaitan ide-ide yang terpisah menjadi ide baru.

Dalam melihat unsur kebaharuan kreativitas, Anthony Storr, dalam The Dynamics of Creation mengungkapkan “Kreativitas sebagai kemampuan untuk memberi sesuatu yang baru pada eksistensi.”[2] Realitas yang sudah ada ini semakin diperlengkapi dengan sesuatu yang baru. Kebaharuan di sini bukan hanya dalam paradigma atau cara pandang terhadap realitas, tetapi juga bagaimana mewujudkan suatu karya nyata yang baru. Sejalan dengan Anthony Storr, Rollo May juga melihat kreativitas dengan menekankan segi kebaruan dalam kreativitas. Kreativitas adalah process of bringing something into being.[3] Kreativitas merupakan suatu proses untuk menjadikan sesuatu yang baru. Lebih jauh lagi May menegaskan bahwa seseorang melakukan tindakan kreatif (creative act) ketika manusia menyadari keterbatasannya. Dalam keterbatasan dan misteri hidup ini manusia harus berjuang hidup (struggle) dan mempunyai keberanian kreatif. Whitehead juga mendefinisikan kreativitas sebagai berikut: “Creativity is the principle of novelty”. Kreativitas adalah prinsip kebaruan.[4] Dengan demikian, kreativitas menjadi sarana utama bagi entitas aktual karena kreativitas mempunyai daya yang dinamis. Ia mampu bergerak dalam setiap aktivitas entitas aktual. Oleh karena itu, kreativitas ini memberi kemungkinan terjadinya penciptaan diri terus-menerus.

Dengan gambaran beberapa definisi di atas terlihat ada beberapa penekanan terhadap kreativitas yang berbeda-beda. Dari sini kita sulit menentukan mana yang tepat. Namun, demikian kita dapat mencoba memberikan garis merah, yang lebih representatif dari beberapa pandangan umum tersebut. Kreativitas merupakan suatu daya manusia untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan suatu pendorong dan tujuan. Kreativitas berarti kemampuan menciptakan sesuatu bentuk yang baru.[5] Menciptakan sesuatu yang baru berarti merepresentasi (mimesis) sesuatu pada bentuk atau model yang baru. Untuk sampai pada pandangan bahwa kreativitas adalah mimesis, kita harus mempunyai paradigma baru dalam melihat kreativitas ini.

Paradigma Baru dalam Merumuskan Kreativitas

Cara pandang atau paradigma sangat menentukan bagaimana suatu realitas dipahami. Kajian tentang kreativitas sangatlah luas dan majemuk. Kreativitas dapat dipandang dari berbagai segi keilmuan, sehingga bisa membingungkan kita. Untuk itu, di sini penulis memberikan salah satu sudut pandang baru untuk merumuskan kreativitas. Stephen R. Covey dalam bukunya “Seven Habit of Highly Effective People” mengungkapkan bahwa kekuatan perubahan paradigma merupakan kekuatan esensial dari perubahan kuantum.[6] Artinya, dengan adanya perubahan paradigma ini, dunia bisa merangkum banyak potensialitas untuk terus-menerus menciptakan diri sehingga menjadi suatu dunia yang baru. Paradigma ini membantu manusia untuk berpatokan dan memunculkan sesuatu yang baru.[7] Dari sini kita berangkat. Kita melihat bahwa proses alam membentuk manusia, manusia yang juga berevolusi, sehingga memunculkan makhluk manusia yang mau tidak mau selalu mencipta dalam proses perkembangannya, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

a. Proses Alam Membentuk Manusia

Kebudayaan sebagai ketegangan antara imanensi dan transendensi dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seluruhnya. Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses kehidupan (imanensi), tetapi selalu juga muncul dari arus alam semesta itu untuk menilai alamnya sendiri dan mengubahnya (transendensi)[8]. Perkembangan makhluk-makhluk hidup, dari organisme sederhana bersel satu sampai hewan-hewan yang sudah tinggi sekali susunan organismenya, berlangsung dalam suatu perkembangan biologis (evolusi) yang makan waktu berjuta-juta tahun lamanya. Arus alam itu berlangsung terus dalam diri manusia, tetapi di sini nampak suatu dimensi yang sama sekali baru. Manusia tidak membiarkan diri begitu saja dihanyutkan oleh proses-proses alam. Ia dapat melawan arus itu; ia tidak hanya mengikuti dorongan alam, tetapi juga suara hatinya. Manusia menilai dan mengevaluasi alam sekitarnya tetapi pun pula alamnya sendiri.

Hukum-hukum alam, mau tidak mau, harus ditaati: sebuah benda yang yang dilemparkan, harus jatuh. Inilah keharusan hukum alam. Hukum-hukum kebudayaan tidak ditaati secara mutlak seperti pada hukum alam. Manusia bahkan dapat melawannya atau tidak menghiraukannya. Tetapi ini dianggap tidak pantas, tidak layak. Ini yang disebut sebagai keharusan moral. Kadang-kadang seorang tidak dapat mentaati kaidah-kaidah itu, karena moralnya terlalu lemah; kadang-kadang manusia secara sadar mau mendobrak keharusan moril itu, karena menurut pendapatnya keharusan tesebut tidak memadai lagi, maka dari itu perlu diubah atau diperbaharui. Dengan demikian, sejarah umat manusia selalu memperlihatkan suatu dimensi baru, pembelokan arah kebudayaan, dorongan pembaharuan. Di atas tadi dimensi dinamakan dimensi transendensi, karena menerobos dan mendobrak imanensi (terkurungnya manusia dalam proses-proses yang semata-mata bersifat fisik). Ketegangan ini antara transendensi dan imanensi selalu menuntut dari manusia atau kelompok manusia agar dia secara spontan dan otentik melibatkan diri.

b. Evolusi Kehidupan Manusia

Realitas merupakan gambaran suatu proses yang tak pernah berhenti. Dari pandangan Herakleitos, Whitehead, Henry Bergson, atau Jung Young Lee menjelaskan tentang realitas yang selalu berkembang, berproses, selalu menjadi. Perubahan menyangkut keseluruhan. Seluruh alam berubah, benda-alam berubah, dan manusia pun berubah. Manusia berubah menurut alam insaninya. Faktor insani itu ialah penentuan diri demi pengetahuan dan kemauannya. Manusia itu mempunyai pengetahuan yang memungkinkan dia tahu bahwa ia berubah, sekaligus ia juga dapat menginginkan perubahan dan berusaha mengadakan perubahan. Kalau kita menerima adanya evolusi di dunia, maka manusiapun berevolusi. Ia tidak mungkin melepaskan diri dari evolusi dunia, tetapi demi alamnya itu ia dapat mempengaruhi perkembangan dunia dan lama semestanya dan manusia mencoba mempengaruhi dunia dan alam semestanya. Manusia berdialog dengan dunia, ia mengolah dunia. Dalam dunia itu ia membentuk diri dan menyempurnakan diri. Ia menampilkan diri dalam dan karena dunia itu, tetapi tidak semata-mata karena dunia, melainkan karena usaha dan kehendaknya sendiri. Kalau menurut evolusi ada perkembangan dunia ke arah kesempurnaannya dalam arti menjadi lebih baik, demikian juga bagi manusia. Manusia seharusnya juga berkembang ke arah kesempurnaan diri.

Jadi yang paling penting di sini adalah diri manusia sendiri yang punya peran aktif di dalam proses perkembangannya. Manusia terus aktif menanggapi alam semesta di sekitarnya dengan berbagai kekhasannya. Fisik manusia terus mengalami evolusi (seperti dipaparkan oleh teori Darwin, misalnya), demikian juga struktur jaringan otak terus berkembang semakin rumit. (Evolution of The Brain). Tetapi bukan suatu evolusi yang linier, melainkan proses yang konvergen sekaligus divergen, lebih rumit (seperti yang digambarkan Bergson).

Tumbuh dan berkembangnya evolusi hidup manusia sudah dapat kita lihat dalam lintasan budaya dari zaman purba sampai zaman ini. Van Peursen cukup banyak memberikan gambaran tentang proses perkembangan kebudayaan, dari tahap mitologis, ontologis, dan fungsional. Dalam tahap mitologis, gambaran dunia manusia primitif masih tertutup. Batas-batas wilayah sukunya sekaligus juga membatasi dunianya. Yang belum dikenal selalu mengandung bahaya, dikuasai setan-setan, kacau balau, sama dengan dunia yang tak ada. Dorongan untuk bereksplorasi dalam tahap ini masih dikesampingkan. Itulah sebabnya mengapa perkembangan dalam fase ini pada umumnya berjalan dengan sangat lamban. Kemudian tahap ontologis, berarti bahwa manusia mengambil jarak terhadap dunia sekitarnya. Cara hidup berganti dengan cara hidup produktif di mana manusia ingin berbuat sesuatu terhadap alamnya. Di sini gambaran dunia semakin diperluas. Ruang angkasa dipelajari, benua-benua baru ditemukan, adat-istiadat bangsa lain diteliti, ekspresi kesenian lain dipuji, revolusi politik digerakkan. Gambaran tentang maut sudah berbeda dari tahap mitologis. Di sini maut mulai banyak dikaji, terutama dalam filsafat. Dalam tahap fungsional, nampak perkembangan yang lebih maju lagi di mana pertanian semakin disempurnakan, kehidupan industriil diperluas, evaluasi terhadap proses produksi dipelajari. Bahkan dampak-dampak negatif dari perindustrian mulai dikendalikan. Di sini manusia terus belajar bagaimana menciptakan sebuah kebudayaan yang semakin manusiawi. Dalam masyarakat agraris manusia harus belajar bagaimana bervegetasi. Dalam dunia industri ia harus belajar bagaimana menjalankan produksi. Dan sekarang, dalam masyarakat konsumen, ia beralih ke “masyarakat jasa-jasa”[9]. Lalu bagaimana kehidupan manusia setelah tahap ini? Dengan mengikuti pemikiran Peursen, kita dapat melihat bahwa evolusi manusia tidak hanya berhenti di sini. Masih ada proses yang lebih unik dan khas di kemudian hari.

c. Kreativitas sebagai Kodrat Manusia

Kodrat manusia sebagai makhluk hidup adalah, secara esensial, menyempurnakan dirinya sendiri.[10] Di tengah-tengah situasi yang saling kait-mengkait dalam suatu konteks kesatuan organis, manusia selalu berdialog, berinteraksi, “ngangsu kawruh” dengan realitas di luarnya. Dari sini kesadaran berbicara bahwa “aku” tidak bisa berbuat lain kecuali aktif menanggapi, aktif menciptakan. Tidak mungkin alam yang liar ini dapat menyusun sendiri sebuah bangunan kehidupan manusia yang semakin sempurna tanpa adanya sikap dan gerak aktif dari manusia. Kreativitas atau kemampuan manusia untuk menciptakan sesuatu menjadi syarat utama untuk hidup di dalam dunia dan di dalam dirinya. Tetapi apakah kreativitas dapat berdiri sendiri seperti roh yang menggantung pada manusia atau suatu daya yang in se ada dalam manusia?

Memang ia bisa dilihat dengan banyak cara. Rollo May, misalnya, membicarakan secara dramatis tentang proses kreatif itu sebagai keberanian. Proses kreatif, katanya mengandung unsur perjumpaan, keberanian, dan dorongan untuk membentuk. Kreativitas adalah the process of bringing something new into being.[11] Van Peursen lebih jauh menguraikan kerangka teoritik tentang kreativitas, dengan mengesankan. Kreativitas itu khas manusia, terutama karena dunia manusia bukanlah dunia yang telah serba jadi, melainkan sebaliknya, dunia yang serba belum jadi, serba terbuka, selalu harus dibentuk dan dibentuk kembali, harus setiap kali direstrukturasi. Dalam konteks ini, kreativitas adalah proses restrukturasi itu, restrukturasi realitas supaya makin manusiawi. Dulu realitas sering dimengerti sebagai kata benda, seperti objek material yang kaku dan statis. Kini anggapan itu mulai bergeser: realitas lebih dipahami sebagai rentetan peristiwa, sebagai proses, seperti yang kerap dibicarakan oleh Whitehead, Bergson, dan lebih eksplisit lagi oleh Van Peursen.

Realitas sangat erat berkaitan dengan kultur. Realitas adalah cerita yang berkembang dalam simbol-simbol kultural. Kultur adalah disclosure (ketersingkapan) realitas dari dalam. Meskipun demikian kultur bukan konstruksi realitas. Ia bukan pula kegiatan linier dalam rangka menemukan peta dunia agar kian lengkap seperti yang diyakini oleh teori White Stalin, yaitu teori yang mengatakan, bahwa kultur merupakan upaya untuk memperlengkapi peta dunia hingga makin lama makin kecillah bidang putih atau bidang yang tak dipahami itu. Kultur adalah proses restrukturasi terus-menerus, adalah peta yang setiap kali diubah dan digambar kembali. Maka kalaupun dilukiskan, gerakannya itu tidak linier, melainkan zig-zag. Kultur adalah transformasi data (nature) ke dalam sistem simbol, tapi serentak juga transformasi identitas manusia. Kultur adalah rajutan fakta dan nilai. Dalam seni, ilmu, religi, ekonomi, dan sebagainya realitas selalu menampilkan struktur-struktur baru. Dengan demikian, kultur adalah soal bagaimana manusia menyiasati realitasnya, soal strategi, kata Van Peursen. Dan itu berarti pula soal kreativitas. Lalu kreativitas di sini kita letakkan dalam konteks proses belajar. Kreativitas adalah proses mempelajari cara terbaik untuk merumuskan dan menyiasati realitas.[12]

Dihadapkan dengan realitas yang sedemikian rupa manusia tidak dapat berbuat lain kecuali menciptakan sesuatu. Manusia harus memutar otaknya, melatih anggota-anggota fisiknya, dan mengasah imajinasinya demi kelangsungan hidupnya. Dalam perkembangan selanjutnya manusia harus membentuk rasionalitasnya. Tetapi pembentukan rasionalitas ini tidak berarti kreatif ex nihilo. Manusia tidak mencipta dari ketiadaan. Bagi manusia tak bisa lain, proses dan penciptaan berarti proses pemaduan fakta, struktur, ide, kerangka persepsi dan konteks-konteks asosiasi, yang tadinya sudah ada. Proses awal dari berpikir bukan dari proses asosiasi tetapi bisosiasi. Arthur Koestler selanjutnya melihat tiga kemungkinan penggabungan konteks-konteks itu. Hal ini disebutnya sebagai Trivalensi bisosiasi kreatif (proses dari haha – aha – ah).[13]

Mimesis

a. Apa itu Mimesis d

Mimesis berasal dari bahasa Yunani yang berarti imitasi atau tiruan. Sejak Plato, mimesis diartikan lebih sebagai representasi. Mencipta berarti merepresentasi sesuatu ke dalam bentuk yang baru. Namun, dalam pengertian sekarang atau dalam bahasa sehari-hari sering diartikan sebagai imitasi, atau peniruan. Aristoteles menyatakan bahwa imitasi menjadi suatu yang alami bagi manusia sejak masa kecil. Imitasi menjadi salah satu keunggulan yang melampaui wujud binatang yang lebih rendah tingkatannya. Manusia menjadi makhluk yang paling imitatif di dunia ini, dan yang pertama kali belajar dengan imitasi. Imitasi juga menjadi suatu sifat alami yang memunculkan kesenangan. Bagi Aristoteles, karya seni adalah karya imitasi. Imitasi juga mencakup produk-produk potensial manusia, yang sekarang ini dimengerti sebagai teknologi.

Di sepanjang sejarah seni, dari dunia klasik sampai awal abad ke-20, mimesis itu dipahami bahwa seni itu meniru alam. Puisi Inggris abad ke-16 dari Thomas Overbury dengan sederhana mengatakan “Alam adalah kepunyaan Tuhan. Seni adalah alat manusia.” Kurang lebih tiga ratus tahun sesudahnya John Ruskin mengkritik, “Seni tidak menghadirkan sesuatu yang palsu, tetapi sungguh-sungguh tampil di hadapan manusia sebagaimana adanya”. Puisi Amerika dari Henry Wadsworth Longfellow dalam karyanya Keramos and Other Poems, menuliskan, “Seni adalah anak (turunan) dari alam.” Dalam dunia seni rupa sekarang munculnya fotografi merangsang orang berubah pikiran tentang apa artinya melukis, sehingga gaya naturalistik berubah ke arah impressionistik. Perubahan ini dimungkinkan karena tradisi naturalistik telah mencapai puncak kesetiaannya pada prinsip mimesis hingga jenuh.[14]

Imitasi dianggap sebagai suatu unsur seni yang berdayaguna, sebagaimana sekarang disebut sebagai seni yang bagus. Sepatu meniru kaki dan sarung tangan meniru tangan. Patung-patung dari seorang pematung telah menjadi suatu representasi dari tubuh manusia. Banyak sekali lukisan-lukisan Timur yang menggambarkan alam. Plato mengatakan bahwa pelukis itu mampu meniru segala sesuatu di dunia ini. Bahkan pilihan subjek seorang pelukis sebenarnya tidak terbatas pada pemandangan alam, bangunan-bangunan, orang, binatang, suasana perang, dan dekorasi anggur dan bunga-bunga pada sebuah mangkok. Kesusastraan dapat meniru kebenarannya sendiri. Musik meniru nafsu-nafsu manusia. Musik juga dapat menjadi deskriptif. Misalnya, dalam Overture karya Tchaikovsky tahun 1812, penyajian musik-musiknya mengingatkan kembali seorang pendengar akan suatu peristiwa suara gemuruh dari meriam-meriam saat Napoleon memasuki Rusia.[15] Atau La Mer (The Sea,1905) karya Claude Debussy mengingatkan akan suara deru ombak.[16]

Peniruan (imitation), dalam arti ini, tidak berarti penggandaan atau penyalinan (duplication). Sebuah rumah yang nyata tentu berbentuk tiga dimensi, tetapi dalam suatu lukisan rumah hanya berbentuk dua dimensi, tetapi tetap bisa menjadi representasi yang nyata. Patung, yang adalah tiga dimensi, lebih mendekati realitas, tetapi tidak hidup seperti apa yang digambarkan.

Gadamer mengakui bahwa ide mimesis dimana seni itu meniru realitas terlihat dalam perkembangan teori estetika post-Aristotelian.[17] Apa yang tampil sebagai kenyataan dalam seni bukanlah suatu peniruan langsung dari dunia itu, tetapi lebih menunjuk pada pemakaian kebiasaan kultural secara khusus. Namun, dia tetap mempertahankan konsep mimesis. Melalui mimesis seni menunjukkan kebenaran realitas, tetapi bukan berarti seni dapat menangkap realitas sebagaimana adanya. Dari sini Gadamer memperlihatkan ada dua representasi, yaitu representasi eksternal dan representasi internal.[18] Representasi eksternal berarti reproduksi dari obyek-obyek atau kopian-kopian, dengan tujuan para pengamat dapat kembali pada keaslian yang mereka reproduksi. Sedangkan representasi internal, adalah representasi artistik itu sendiri dimana kita dapat mengkomprehensi subyek-matter artistik, tanpa membandingkan dengan yang asli. Secara perspektif dan interpretatif apa adanya, seni juga bersifat representasional karena makna seni tidak dapat direduksi sebagai suatu ekspresi kreativitas.

b. Relasi suatu penggambaran dengan apa yang digambarkan
Secara umum representasi berhubungan dengan representasi bergambar (pictorial). Dalam pengertian ini, gambar Paus Leo X karya Raphael merepresentasi seorang Paus Leo X. Oleh karena itu, representasi adalah suatu hubungan antara sebuah gambar dengan apa yang digambar. Istilah-istilah ‘penggambaran’ (depiction) mencoba menangkap kenyataan bahwa ada representasi gambar atau patung atau musik yang tidak sempurna. Meskipun demikian, gambar-gambar tersebut memuat hubungan dengan objek-objeknya. Sebagai contoh, misalnya, gambar Raphael itu mungkin benar terletak di sebelah paus itu. Hubungan representasi lebih khusus lagi menjadi hubungan dari suatu gambar dengan objeknya.[19]

Teks filosofis pertama yang membahas hubungan ini ada dalam karya Plato “The Republic”.[20] Dalam buku ke-10 ini Plato menggambarkan seorang pematung yang dapat membuat apapun yang dibuat para pematung yang lainnya. Dia juga dapat membuat tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk dirinya sendiri, bumi, dewa dan segala sesuatu yang ada di surga maupun di neraka.[21] Ketika teman bicaranya menyatakan keraguannya, dia mengatakan bahwa pada kenyataannya setiap orang dapat menjadi seorang pematung seperti itu, jika dia membawa cermin, yang berisi refleksi dari objek-objek di sekitarnya. Kemudian dia mengatakan bahwa seorang pelukis adalah seorang pematung dari golongan ini. Oleh karena itu, suatu gambar pertama-tama merupakan gambar cermin dari objeknya. Melukis adalah suatu proses mimesis, atau peniruan (imitasi).

Suatu gambar yang dapat mencipta binatang-binatang dan patung-patung tersebut patut diremehkan oleh Sokrates. Sokrates berpendapat bahwa seorang pelukis tidak benar-benar menciptakan sebuah taman yang nyata, tetapi hanya menciptakan penampilan. Dalam epistemologi Plato, penampilan seperti ini harus dihindarkan dari realitas. Hal ini mendasari Plato untuk menolak seniman mimetik dari tatanan ideal. Seorang pelukis telah merayu kita dengan tampilan-tampilan dan membingungkan kita dengan bayang-bayang realitas. Tetapi posisi ini telah ditolak oleh para pemikir dan juga oleh para seniman, yang berpandangan bahwa penjelasan dari tampilan melalui mimesis bisa saja bernilai, dan pada kenyataannya mereka dapat membantu menghantar kita kepada dan melalui realitas. Bagaimanapun juga, apakah mimesis gambar dapat diterima atau tidak, mimesis telah menjadi patokan representasi dari tradisi Barat. Dan ini juga telah menjadi patokan bagi semua gerakan seniman.

Kritik Rene Girard terhadap Konsep MimesisPlato

Rene Girard adalah seorang pemikir Franco-Amerika. Girard sering disebut sebagai salah satu filsuf kontemporer. Meski mendapat gelar tersebut, dia lebih terjun pada soal-soal antropologis budaya dan sejarah. Pada tahun 1947 dia menyelesaikan tesisnya di Paris. Tiga tahun kemudian mendapat gelar Ph.D di universitas Indiana Amerika. Sejak saat itu dia banyak menyusun tulisan yang bertema humaniora dan filsafat.[22] Di sini penulis menunjuk satu karya yang membahas tentang hasrat yang berkembang melalui mimesis dalam bukunya Things Hidden. Dalam buku ini nampak usaha Girard mencoba menambahkan konsep mimesis dengan kacamata lain, khususnya soal hasrat (desire) dalam suatu mimesis. Tambahan lagi puncak dari mimesis adalah meniru dari lebih tinggi, yang sifatnya ilahi.[23]

a. Pandangan Plato tentang Mimesis

Dalam karya Plato, mimesis dimengerti sebagai representasi, imitasi, dan ekspresi.[24] Plato memperkenalkan mimesis sebagai emulasi[25], transformasi penciptaan sesuatu yang mirip, produk kulit luar (appearances) dan ilusi. Sebelum menulis bukunya The Republic, mimesis bagi Plato dimengerti sebagai imitasi metaforis dan imitasi atas tindakan dari orang lain. Dalam The Republic mimesis juga didefinisikan dalam hubungan dengan puisi dan studi, sebagai seni mimetik. Walaupun konsep Plato mengenai yang real adalah anti mimesis, imitasi memainkan peran yang fundamental dalam pemahaman fenomenologis Plato mengenai hidup.[26]

Rene Girard mengkritik konsep Plato mengenai mimesis yang hanya terbatas pada soal representasi. Dilihat dari konsep Girard, faktor terpenting yang kurang dari konsep Plato mengenai mimesis adalah appropriasi (menjadikan milik).[27] Girard menunjukkan bahwa Plato tidak menempatkan persoalan konfliktual mimesis, misalnya, mimesis yang disebabkan oleh nafsu. Tetapi Plato telah melihat mimesis sebagai sebuah daya yang begitu kuat, sebagai sebuah ancaman terhadap stabilitas dari negara yang dicita-citakannya. Maka, mimesis baik sebagai kopian, tiruan, maupun representasi jelas-jelas dilarang dalam Republik yang ideal.[28]

b. Meniru Model

Tujuan Plato menyangkut dunia Ide-nya adalah membangun sebuah perbedaan, sebuah distingsi antara yang asli dan yang kopian. Dalam karya Plato, Republic, mimesis berarti memproduksi “one’s double” atau bentuk ganda dari sesuatu, tetapi tetap saja, kopian ini bagi Plato tidak ada nilainya. Nilai semata-mata hanya muncul dari model. Maka imitasi itu baik jika modelnya baik dan jelek jika modelnya jelek. Tetapi, dalam dirinya sendiri, mimesis tak bernilai, “esensi” yang sudah jadi kopian adalah negatif, maka menjadi sesuatu yang jelek. Plato menolak mimesis karena kekurangan otentisitas dan bahkan segala otentisitas dan esensi diserahkan pada model. Fakta yang menarik adalah bahwa penolakan ala Plato atas kopian tidak bergema pada Abad Pertengahan dan Renaissance. Sikap penyangkalan atas kopian menjadi populer sejak akhir abad 18, khususnya dalam hubungan dengan teori mengenai seni. Prinsip mimesis mengalami resesi (sejak abad 18) dimana subjektivitas dan kreativitas harus menggantikan mimesis.[29]

Konsep Girardian tentang mimesis tidak mau melawankan kualitas antara model dengan tiruan, karena setiap orang pasti meniru. Kualitas-kualitas yang diinginkan oleh model juga telah dikembangkan melalui imitasi. Peran model sebagai model adalah akibat dari mimesis dan tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang istimewa, atau secara a priori lebih substansial daripada sebuah tiruan. Originalitas tergantung pada mimesis, pada kemampuan untuk menemukan makna dalam aspek-askpek yang berbeda dari konfigurasi-konfigurasi mimetik dan menempatkan unsur-unsur mimetik secara bersama-sama dalam sebuah gaya (fashion) yang original dan fundamental. Kemampuan ini tidak berasal dari genius a priori tetapi muncul dari imitasi yang khusus, sejenis percampuran mimetik yang pelik.

c. Mimesis Sebagai Pengulangan (Repetisi)

Baik Plato maupun Girard tidak memberi tekanan pada mimesis sebagai pengulangan atau repetisi. Plato tidak pernah berkomentar atas mimesis sebagai repetisi. Girard jarang menggunakan kata-kata repetisi, tetapi ada sebuah unsur repetitif yang kuat dalam menginginkan apa yang ada pada orang lain. Timbulnya hasrat yang bersifat repetitif, sering mengarahkan pada adu kekerasan dimana satu pihak meniru kekerasan pihak lain. Dalam konsep mengenai “the double” (penggandaan), proses pendobelan dari hasrat adalah sebuah proses dimana subjek dan perantara mengulangi hasrat satu sama lain. Dimensi repetitif dari mimesis ini tidak dapat ditangkap oleh Plato karena ia tidak menghubungkan mimesis pada hasrat dan dengan demikian membatasi hanya pada pengkopian dan representasi.

Ketika berurusan dengan repetisi, ingatan kembali ke masa lampau. Imitasi tidak terbatas pada masa kini. Tindakan-tindakan selalu memberi tanggapan pada perjumpaan-perjumpaan sebelumnya. Kita meniru pengalaman-pengalaman masa lalu, dan karenanya mengulangi masa lalu. Imitasi yang disebabkan oleh ingatan kembali terdiri dari sebuah perkembangan, dimana seseorang ketika masih kanak-kanak meniru secara naif dan terbuka pada segala dorongan yang muncul, tetapi ketika tumbuh dewasa, imitasi menjadi lebih terinternalisasi oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan kepribadian seseorang menjadi kurang terbentuk oleh perjumpaan-perjumpaan mimetik. Imitasi menjadi tanggapan akan pengalaman-pengalaman masa lalu yang diambil dari apa yang disebut hidup batiniah kita. Hal ini sesungguhnya memunculkan ke permukaan filsafat Bergson dalam kaitannya dengan teori mimesis.

d. Dilema-dilema Etis pada Mimesis

Dimensi etis pada mimesis adalah jelas ketika seseorang pribadi meniru sebuah model yang baik ataupun yang jahat, dia sendiri akan jadi bagian dari apa yang dia tiru. Namun demikian, dalam karya Plato, kecil kemungkinan untuk jadi bagian dari model yang baik melalui imitasi karena imitasi menciptakan kekeliruan. Peniruan Plato mungkin menerima orang bijak tetapi Plato tidak menerima imitasi sebagai kebijaksanaan. Imitasi itu perse keliru. Plato melihat kaum Sofis keliru karena motivasi mereka berpendapat adalah “memaksa orang yang berbicara kepadanya berkontradiksi dengan dirinya sendiri”.[30] Dalam konteks ini Plato dan juga Aristoteles tidak percaya bahwa meniru seseorang yang baik akan mengantar pada puncak kebajikan. Dalam bukunya Laws, negara ideal digambarkan sebagai mimesis dari hidup yang agung dan sempurna,[31] tidak terlalu berbeda dari tragedi. Dalam karya Plato The Republic, kata kerja mimesis digunakan dua kali, pertama dengan arti positif, dan kedua dengan arti negatif. Mitos-mitos Yunani mengenai dewa-dewi dan pahlawan-pahlawan bukanlah kisah-kisah yang harus ditiru seseorang ketika ia jadi anggota yang duduk dalam pemerintahan. Plato mengecam keras terhadap dominasi pendidikan maternal yang mendidik dan membesarkan anak dengan mitos-mitos destruktif yang pada gilirannya menciptakan mimesis yang jelek sejak bayi.

e. Mimesis yang Baik dan Mimesis yang Jelek

Plato menunjukkan bahwa hampir semua mimesis adalah jelek. Juga dalam karya Girard, ada penekanan pada mimesis yang jelek, tetapi khususnya dalam karyanya yang kemudian, muncul perbedaan yang lebih jelas dan tegas antara mimesis yang baik dan yang jelek. Struktur mimesis yang negatif tidak ada dalam karya Plato. Dalam gagasan tentang mimesis-nya Plato tidak mengenal gerak sesuatu menjadi lebih kuat, lebih bijak, atau lebih manusiawi.

Baik Plato maupun Girard mengkritik mimesis yang jelek dalam masyarakat pada zaman mereka masing-masing karena mengarah pada runtuhnya nilai-nilai moral. Tetapi bagi Girard, tidak ada nilai-nilai moral yang bebas dari mimesis, artinya, nilai-nilai moral hanya dapat dicapai melalui mimesis.[32] Namun demikian, dalam tulisan-tulisan Girard ada sedikit petunjuk-petunjuk positif mengenai mimesis duniawi. Pola pikirnya ialah bahwa mimesis yang baik punya dasar religius, pengungkapannya yang paling jelas ditemukan dalam meniru Kristus (imitation of Christ). Injil termanifestasi melalui sejarah ke dalam sebuah mentalitas tanpa kekerasan. Dan melalui proses sekularisasi, etika duniawi menjadi berharga dan dapat ditiru, tetapi tetap akarnya muncul dari agama.

f. Mimesis yang Baik dan Mimesis yang Jelek dalam Seni

Dalam dunia seni, keseluruhan pandangan Plato menolak mimesis, karena sebagai sesuatu yang jelek. Seni tiruan ditolak karena ia tidak dapat membuat seseorang bijak dan dalam imitasi dalam seni disebutkan berlawanan dengan dirinya sendiri, memecah-mecah karakter seseorang. Karena mimesis dalam seni merupakan sebuah asimilasi dan yang baik dan yang jahat, Plato merasa perlu untuk menolak seni mimesis karena peniruan atas model-model yang jelek (jahat) mengancam Republik.

Plato mengkritik seni mimetik karena merangsang nafsu seksual, kemarahan, dan segala hal yang termasuk dalam kesenangan dan rasa sakit dalam diri kita. Alasannya, seni mimetik meningkatkan nafsu-nafsu ini, padahal nafsu-nafsu ini harus dikontrol.[33] Plato juga mengkritik seni mimesis karena seni ini dapat mendorong orang untuk berbuat jahat. Dalam hal ini, salahlah untuk mengklaim bahwa seni imitatif dalam karya Plato (kontra dengan karya Aristoteles) tidak memiliki efek formatif. Realisme dan moralisme dalam pemahaman Plato mengenai mimesis ditonjolkan karena ia memberi tekanan pada daya dan efek-efek potensial yang menular dari kegiatan meniru. Menurut Girard, penolakan Plato atas kekerasan tragis merupakan kekerasan itu sendiri, karena ia menemukan ekspresi dalam sebuah pelarian yang baru, yakni menjadi seorang penyair.[34]

Di sisi lain, Plato menolak mimesis karena ia melihat kekerasan yang akan diakibatkannya. Dengan pendekatan secara profetis, Plato telah memahami bahwa meniru dewa-dewa yang keji, pahlawan-pahlawan yang kejam, mitos-mitos yang keji akan menciptakan kekerasan. Dari sini jelas bahwa Platolah yang mungkin pertama-tama menghubungkan mimesis pada kekerasan yang kemudian menjadi tema paling penting dalam karya Girard. Plato menganggap mimesis sebagai penyebabkan kekerasan dalam Republik. Plato menginginkan keteraturan dalam Republik, tetapi tidak menganggap stabilitas ini sebagai sesuatu tahapan menuju proses perdamaian universal. Girard menganggap seni yang menyatakan permainan mimetik, sebuah tahapan awal menuju pada imitasi. Plato menghargai orang yang telah memberi teladan kebajikan-kebajikan ideal.

Plato melihat karya para artis, semata-mata sebagai salinan Idea, tidak ada artinya atau jauh dari Ide yang sejati.[35] Seni adalah baik dalam pemikiran Girard sejauh ia menyatakan hasrat, dan sejauh ia (seni) dilihat dari sebuah sudut pandang yang tanpa hasrat (non-desiring). Di sisi lain, seni menjadi jelek jika ia menyembunyikan ataupun mewartakan perantara tanpa menyatakan kekuatan destruktifnya. Maka, tidaklah mungkin mengklaim bahwa Girard menganggap seni mimetik sebagai beracun (poitive) per se. Seni yang menyembunyikan peran dari mediator atau mewartakan sebuah hasrat otonom dianggap sebagai kebohongan (zaman) Romantik. Plato menolak mayoritas ungkapan-ungkapan artistik. Tetapi dia tidak secara total menolak puisi. Puisi yang memberi pujian kepada dewa-dewa dan para warga negara yang berjasa diijinkan. Sebuah puisi juga dapat ditiru sebagai karya mimesis karena menggambarkan dewa-dewa dan para tokoh negara yang ideal. Plato tidak menemukan kesulitan dalam menolak komedi tetapi dia menghadapi kesulitan besar dalam menolak tragedi. Dia bahkan lebih jauh menunjukkan bahwa negara idealnya merupakan sebuah representasi (imitasi) dari tragedi. Musik dan tarian juga merupakan pengecualian, tetapi hanya musik dan tarian yang mengulangi ekspresi-ekspresi tradisional yang dapat diterima. Awal buku Plato yang menolak seni mimesis berakhir dengan sebuah penolakan atas seni yang lebih relaks dan kurang pasti. Plato pada akhirnya menghargai atau memberi kelonggaran pada seni mimetik, seperti drama dan puisi, yang mempunyai peran positif dalam masyarakat.[36]

g. Mimesis dan Moral

Salah satu kritik utama Girard adalah kurangnya penekanan Plato atas sebuah mimesis yang baik. Hampir semua karya Plato berhubungan dengan bagian-bagian destruktif dari mimesis. Di sini Girard memberi petunjuk tentang bagaimana meniru dengan cara yang positif. Ada beberapa solusi duniawi terhadap krisis mimesis (misalnya kekerasan), karena solusi utama adalah solusi religius dalam artian bahwa cara untuk menghindari kekerasan adalah dengan cara meniru Kristus melalui sebuah cinta yang aktif.[37]

Aspek moral dalam Plato lebih jelas karena dia menganggap ungkapan-ungkapan mimetik sebagai sumber konflik dalam disintegrasi masyarakat. Tetapi Plato tidak kesal terhadap aspek-aspek positif dari mimesis dalam pendidikan. Pato menerima para seniman asalkan mereka memberikan gambaran yang baik, sehingga masyarakat dapat mencontoh sesuatu sesuatu yang baik padanya.

It is not only to the poets therefore that we must issue orders requiring them to portray good character in their poems or not to write at all; we must issue similar orders to all artists and craftsmen, and prevent them portraying bad character, ill-discipline, meanness or ugliness in pictures of living things, in sculpture, architecture, or any other work of art, and if they are unable to comply they must be forbidden to practice their art among us. We shall thus prevent our guardians being brought up among representations of what is evil, and so day by day and little by little, by grazing widely as it were in an unhealthy pasture, insensibly doing themselves a cumulative damage that is very serious. We must look for artists and craftsmen capable of perceiving the reality nature of what is beautiful, and then our young men, living as it were in healthy country, insensibly leading them from earliest childhood into close sympathy and conformity with beauty and reason.[38]

Walaupun ada penekanan atas akal dan logos (Allah), prinsip didaktis ini atau moral yang berkaitan dengan dunia ideal tak pernah dapat secara menyeluruh terbebas dari mimesis. Dalam The Republic, Plato melarang peniruan atas model-model yang jelek dan hanya mengakui “imitasi murni atas seorang yang bijaksana”.[39] Dan dalam The Sophist, Plato menyimpulkan panjang lebar tentang peniru yang tulus dan yang tidak tulus (dari kaum Sofis). Oleh karena itu, ada inkonsistensi dalam imitasi atas orang yang baik dan bijak dalam The Republic dan dalam The Sophist, dimana dalam The Republic, mimesis direkomendasikan sementara dalam The Sophist, mimesis hanya mengartikan seseorang menjadi demagogue (pemimpin politik yang mencoba untuk mencari dukungan dengan cara mengajukan argumen-argumen yang mempengaruhi emosi).

Kreativitas sebagai mimesis

Kalau kita mendengar kata mimesis atau meniru, tentu kita bertanya-tanya dimanakah tempat kreativitas. Bukankah kreativitas itu berarti memberi sesuatu pada bentuk atau model yang baru? Bukankah kreativitas itu memberikan gambaran yang baru, berbeda dari yang pernah ada? Pertanyaan-pertanyaan ini secara spontan bisa saja muncul. Namun pertama-tama perlu kita ingat lagi dari pandangan Aristoteles bahwa mimesis bukan berarti penjiplakan atau pemotretan.

Di sini penulis mencoba memaparkan pandangan kreativitas yang berarti mimesis dari sisi estetika dan seni. Namun bukan berarti kreativitas hanya terbatas pada bidang seni dan estetika. Kreativitas tetap mencakup semua bidang aktivitas manusia. Perkembangan pandangan mimesis bukan hanya terbatas pada estetika, melainkan pada seluruh gerak aktivitas manusia.

Dalam teori-teori modern tentang estetika dan seni, beberapa konsep Aristoteles dinilai dan dihargai kembali. Karya seni harus memperlihatkan suatu kesatuan yang bagian-bagiannya saling berhubungan, memperlihatkan suatu koherensi. Setiap karya seni harus berhubungan dengan realitas atau dengan kenyataan, kadang-kadang melukiskan kembali untuk mengamininya, kadang-kadang untuk memberontak terhadapnya, untuk mengambil jarak terhadapnya, untuk memperindah atau mempertajamnya. Tetapi pokoknya selalu mengacu pada kenyataan.[40]

Memang seni tidak terjadi semata-mata karena mimesis (imitasi), melainkan dalam membuat, menyusun, membongkar serta menganut hukum-hukum yang ada. Menurut Plato, realitas duniawi adalah maya, karena merupakan cerminan semu dari dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia idea. Seniman itu meniru alam, artinya ia meniru dari tiruan lain sehingga jauh dari kebenaran dan dapat menyesatkan. Maka, Plato menolak dan merendahkan seniman beserta karyanya.[41]

Jika seni hanyalah suatu sarana untuk pengetahuan, maka seni akan menjadi sangat rendah mutunya daripada geometri. Akan tetapi, jika seni sebagai seni tidak mengenal imitasi – fine arts sejauh diarahkan pada keindahan mempunyai relasi tertentu dengan imitasi – maka cukup sulit untuk bisa mendefinisikannya.

Meniru alam bagi Aristoteles dinilai secara positif. Ia tidak merendahkan karya yang dihasilkan dari meniru realitas. Realitas yang sejati adalah dunia yang tampak, dan bukan dunia idea. Meniru kenyataan itu sendiri sesuai dengan kodrat manusia yang merasa senang bila melihat karya yang mirip dengan aslinya. Manusia adalah makhluk yang paling suka meniru dan ia mulai belajar justru dengan meniru. Dengan meniru seniman mereproduksi atau merepresentasikan secara tepat realitas yang ditirunya, sehingga orang yang mengamati karyanya akan merasa senang.[42]

Fine Arts mencari hasil yang menyenangkan akal budi, melalui intuisi inderawi. Kesenangan ini bukan kesenangan dari tindakan mengetahui, menambah pengetahuan saja atau kesenangan akan kebenaran, melainkan kesenangan yang mengalir deras dari objek karena menampakkan perimbangan bagi akal budi. Maka, setiap karya seni harus bersifat logis atau masuk akal. Ia bukan logika palsu dari ide-ide yang cemerlang; bukan dalam logika pengetahuan melainkan logika dalam karya, yakni memperlihatkan struktur hidup dan kedekatan pada ilmu ukur alam. Bangunan Candi Borobudur, misalnya, memiliki kelogisan yang luar biasa sama seperti ajaran tingkatan kualitas kehidupan dari yang paling rendah sampai pada puncaknya. Gaya bangunan Gereja Abad Pertengahan, sebagai contoh lain, merupakan seni bangun yang mencerminkan selera zaman yang mengindahkan kaidah seni, suatu struktur intelektual dan spiritual dari suatu karya. Di sana terlihat struktur bangunan yang memuncak ke atas, melambangkan aspek transendental dari bangunan tersebut.

Kesenangan mensyaratkan pengetahuan dan lebih dari itu, yaitu mengandaikan kesenangan bagi akal budi. Karena alasan itulah, seni yang ditentukan untuk keindahan, padat dengan bentuk atau warna, suara, kata yang tidak akan pernah pudar baik sebagai wujud barang maupun tanda. Seni bisa dipandang sebagai tanda atau lambang dari perasaan manusia. Dan hal-hal yang dilambangkan, mampu menyiratkan kenyataan lain yang lebih kaya, lebih besar dan yang akan menjadi kemungkinan kesenangan serta keindahan.

Lukisan, patung, puisi, musik dan bahkan tarian merupakan seni-seni representasi, karena mereka mengungkapkan keindahan dan menimbulkan kesenangan batin dengan menggunakan peniruan atau – melalui tanda-tanda inderawi tertentu – membawakan sesuatu yang lain daripada tanda-tanda yang hadir secara spontan kepada jiwa. Lukisan meniru warna-warna dan bentuk gerakan atau peristiwa di luar kita; musik meniru bunyi-bunyian dan degup irama – tarian meniru irama – atau dalam istilah Aristoteles: “watak”, getaran-getaran jiwa, dunia terdalam yang mengatur diri kita.

Kesenangan yang diperoleh melalui keindahan tidak terjadi secara formal karena perbuatan mengetahui realitas; sama sekali tidak tergantung pada kesempurnaan dalam meniru kenyataan. Imitasi atas kenyataan bukanlah suatu tujuan melainkan sarana menuju keindahan. Imitasi sejalan dengan ketrampilan tangan, dengan kegiatan seni dan tidak lebih dari itu. Hal-hal yang ditangkap jiwa melalui tanda-tanda seni inderawi – irama, nada, garis, isi, bentuk, warna, kata-kata, jarak, gambaran – hanyalah unsur material dari seni. Seniman harus meniru sinar cemerlang dari “forma” (kecemerlangan bentuk), yakni tujuan kesempurnaan imitasi. Berkat kecemerlangan yang berpancar dari sesuatu yang teratur dan harmonis, akal budi dapat disenangkan. Itulah “Splendor Veri”, kemewahan dari yang Benar, kata kaum Platonis. Kesenangan datang dari kesempurnaan melalui karya yang mengungkapkan dan mewujudkan forma; atau secara metafisik dikatakan, ia timbul dari kebenaran dari peniruan sebagai perwujudan suatu bentuk. Itulah unsur formal dari imitasi dalam seni, sehingga seni mengandung arti yang universal.[43]

Maka, meniru bukan suatu tindakan mekanis; merekam apa yang ada begitu saja seperti kamera (alat potret). Seniman harus memperhatikan kaidah-kaidah atau logika yang dapat dimengerti, bila ia melukiskan hal-hal atau peristiwa. Lewat pengamatan seorang seniman, sebuah peristiwa diangkat pada suatu tingkat yang universal. Dan karena itu, karyanya dapat memurnikan atau menjernihkan (purifies) jiwa, menyucikan alam perasaan kita. Penjernihan dalam jiwa pengamat atau pendengar terjadi karena sang seniman – melalui akal budinya – berhasil melepaskan bobot material dari perasaan dan hawa nafsu. Dalam definisi seni drama, Aristoteles mengatakan: “Dalam sebuah tragedi, dirangkaikan perbuatan-perbuatan yang serius, lengkap dan bersifat anggun dan agung; dengan mempergunakan gaya bahasa yang enak didengar, masing-masing gaya ditampilkan secara terpisah dalam bagian-bagian tragedi itu, lagi pula dalam bentuk dramatis, bukan naratif; dilengkapi peristiwa-peristiwa yang menimbulkan rasa iba dan takut, sehingga perasaan kita dijernihkan.”[44] Jelaslah bahwa setiap karya seni harus memperlihatkan satu kesatuan yang bagian-bagiannya kait-mengkait, menyatakan kebulatan; harus berkaitan dengan kenyataan dan selalu mengacu pada kenyataan.

Musik mempunyai keistimewaan, yaitu bahwa ia menghasilkan irama dan nada dari getaran-getaran jiwa. Musik meluapkan perasaan dari apa yang ditandakan. Namun luapan perasaan itu bukanlah apa yang ia tuju. Perasaan-perasaan yang hadir dalam jiwa karena irama dan nada merupakan materi yang melaluinya kita merasakan kesenangan suatu forma rohani, suatu tertib transendental, pancaran dari “ada”. Karena itu, musik, seperti tragedi, menyucikan hawa nafsu. Melalui musik, alam perasaan kita dijernihkan.

Dari segi kebudayaan manusia, bentuk mimesis seperti yang dipaparkan di atas dapat kita lihat dalam gambaran Van Peursen mengenai teknologi sebagai fungsi dari badan. Di sini pertama-tama dia menggambarkan bagaimana proses pembuatan sebuah pesawat terbang dari awalnya sampai sekarang ini. Dari struktur badan pesawat yang sangat sederhana (tempel-menempel) sampai pada teknik aerodinamika[45] menggambarkan perkembangan teknik yang semakin diselaraskan dengan fungsi badan manusia.

Lebih jauh lagi, teknologi akhir-akhir ini semakin dapat diintegrasikan secara estetis, dapat selaras dengan alam sekitarnya. Istilah “desain industri” merupakan suatu usaha untuk memberikan suatu bentuk yang indah pada alat-alat teknis, perabot, bis surat, komputer, sepeda motor, dan sebagainya.[46] Ada banyak penemuan-penemuan baru yang memperlihatkan bagaimana teknologi manusia meniru tubuh manusia. Ada banyak contoh yang dapat kita lihat peniruan-peniruan seperti ini, misalnya bentuk kapak meniru bentuk lengan tangan manusia, struktur-struktur kamera meniru struktur organ mata manusia, system jaringan telepon juga meniru system syaraf manusia, bahkan system syaraf pusat pada otak telah direpresentasi ke dalam dunia cybernetica. Kemajuan tercanggih dalam teknologi sekarang ini adalah munculnya robot-robot ciptaan. Robot-robot semakin diperlengkapi hampir mendekati dengan manusia atau hewan atau perangkat tertentu. Bisa jadi robot manusia nantinya hampir tak ada bedanya dengan manusianya sendiri. Dengan kata lain, tiruan yang diciptakan itu semakin mendekati realitas yang ditiru.

Konsep mimesis memang masih selalu diperdebatkan di kalangan para pemikir, misalnya di kalangan filsafat. Ada pandangan lain yang menyatakan bahwa produk kreativitas adalah bentuk ekspresi manusia, bukan bentuk mimesis manusia. Pandangan ekspresionis menekankan orisinalitas ide dan kreativitas seorang pencipta. Segi subyektivitas pencipta juga ditekankan dalam karya ekspresionis. Namun penulis mencoba membatasi dan menekankan bahwa kreativitas merupakan mimesis, dengan argumentasi-argumentasi yang telah dijelaskan di atas. Bisa jadi bahwa ekspresi manusia itu pada dasarnya adalah suatu mimesis atau peniruan. Sebagai contoh misalnya dalam teater. Sebelum seorang mengekspresikan peran tertentu, dia harus belajar dulu mengamati dan mencermati peran bagaimana yang harusnya dia mainkan. Mungkin melalui tontonan yang pernah dia lihat, melalui pelatih, melalui latihan-latihan, dan sebagainya, orang tersebut akhirnya meniru apa yang pernah dipelajari. Bahkan dalam hal keseharian yang tidak disengaja, seorang yang terperanjat kaget akan bereaksi seperti orang-orang pada umumnya. Seseorang yang jarinya tidak sengaja menyentuh api, reaksinya atau tindakannya tidak jauh dari memegang tangannya, menggingit jarinya, menjerit, meniup jari, mengibas-ngibaskan tangan, dan sebagainya. Ada semacam kemiripan ekspresi orang yang satu dengan yang lainnya.

Seperti diutarakan di atas bahwa kreativitas yang merupakan mimesis ini menjadi unsur penting dalam pembentukan kebudayaan. Perubahan-perubahan kebudayaan manusia dari budaya primitif sampai budaya modern selalu menggambarkan aktivitas manusia yang selalu berubah oleh karena banyak faktor. Dari unsur-unsur kebudayaan yang mikro sampai makro selalu bersentuhan dengan daya cipta manusia.

Dijumput dari: http://teori-sastra.blogspot.com/2010/05/kreativitas-mimesis.html
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: July 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates