Saturday, March 31, 2012

Krisis Sastra “Tanpa Pembaca” dan Lubang Perangkap

Dorothea Rosa Herliany
Sinar Harapan 1992

Limabelas tahun lalu tepatnya pada tahun 1977 terjadi peristiwa sastra yang kontroversial. Pada saat itu Dewan Kesenian Jakarta (dewan tertinggi dalam kelembagaan sastra Indonesia), menjatuhkan pilihan pada kumpulan sajak Yudhistira ANM Sajak Sikat Gigi sebagai salah satu peraih penghargaan karya kepenyairan terbaik sejajar dengan karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang dan Abdul Hadi WM.

Seusai keputusan itu, tiga penyair senior yang disebut belakangan menyatakan menolak terhadap penghargaan itu dengan alasan bahwa penilaian dewan juri tidak meyakinkan. Pada dasarnya, mereka tidak ingin disejajarkan dengan Yudhistira ANM yang dianggap masih muda.

Tetapi peristiwa itu menandai suatu gejala menarik dalam sastra Indonesia ketika apa yang disebut beberapa pengamat sebagai sastra kitszc telah diterima sebagai karya sastra “mapan”.

Main-main

Kumpulan sajak Yudhistira ANM Sajak Sikat Gigi merupakan salah satu contoh puisi “lugu” yang kemudian populer dengan nama “puisi mbeling”. sebagaimana yang dicetuskan Remy Sylado dalam lembaran puisi “main-main”-nya di majalah Aktual (yang sekarang telah lama almarhum).

Pada waktu lembaran “Puisi Lugu” yang kemudian berubah nama menjadi “Puisi Mbeling” di majalah Aktual muncul secara teratur, ternyata puisi jenis itu termasuk paling banyak disukai – salah satunya karena nilai menghiburnya -. Saat itu, hadirnya trend puisi humor ini ternyata banyak mendapatkan tanggapan dari kalangan pengamat sastra, antara lain Sapardi Djoko Damono, Dami N Toda, dan lain-lain.

Sialnya, kehadiran puisi mbeling hanya disebut sekadar sebagai “suatu fenomena”. Para kritisi sastra “mapan” menilai hampir tak ada “unsur sastra”-nya dalam karya puisi “mbeling” itu kecuali hanya “keinginan untuk menghibur”, keinginan untuk melucu. Benarkah begitu? Para penyair mbeling ternyata tak peduli apa tanggapan para “dewa sastra” itu.

Puisi jenis inilah yang agaknya sesuai dan tepat bagi para “apresian” sastra muda. Karena aspek menghiburnya, maka akan menimbulkan daya tarik yang lebih besar di tengah miskinnya tingkat ketertarikan apresiatif generasi muda terhadap karya sastra. Hanya saja, apakah puisi humor sesuai dengan nilai-nilai edukatif yang mereka butuhkan?

Senior

Tidak hanya para penyair pemula yang terlibat dalam penulisan puisi humor, beberapa penyair senior ternyata tak sedikit yang juga punya kecenderungan “mbeling” dalam penulisan puisi. Selain Yudhistira ANM, sebut saja nama-nama seperti Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Yaman, Eka Budianta, F. Rahardi, Taufik Ismail, Emha Ainun Najib, hingga Remy Sylado.

Barangkali karena hanya “akibat sampingan”, dari nama-nama itu puisi humor yang mereka ciptakan merupakan puisi “lepas” dalam arti tak utuh dalam satu kumpulan. Terdapat beberapa puisi baru Taufik Ismail yang memiliki kecenderungan “humor”, namun belum ada buku Taufik Ismail yang secara khusus menghimpun puisi humornya ini.

Penyair yang khusuk dengan nilai-nilai humor ini antara lain Yudhistira ANM dengan kumpulan puisinya Rudi Jalak Gugat dan Sajak Sikat Gigi yang menghimpun tiga kumpulan sajak terdahulunya Hari-hariku, Piala, Biarin!, dan Omong Kosong. Selain itu juga penyair F. Rahardi dengan kumpulan puisinya Soempah WTS, Catatan Harian Sang Koruptor, Silsilah Garong dan Tuyul.

Kecenderungan “dasar” yang tampak dalam puisi-puisi “humor” kontemporer Indonesia ini adalah “protes sosial” dan “percabulan” pada batas-batas “estetik” tertentu. Misalnya, dalam konotasi tertentu penyair bicara tentang kondom (F. Rahardi), pakaian dalam (Seminar Sehari Celana Dalam, Taufik Ismail), pelacur (F. Rahardi, Rendra), berak (Jose Rizal Manua), perilaku seks keras majikan pada pembantunya (Rendra).

Bahkan puisi-puisi tanpa nuansa-nuansa percabulan, karena efek pencarian humor, justru menimbulkan konotasi percabulan. Lihatlah puisi Yudhistira ANM (sajak Mencakar Dada Meremas Bukit); sambil cengar-cengir Bu Pun Su mengajar silat pada Ang Niocu murid perempuannya/lamanya sekian bulan/sesudah mahir Ang Niocu ujiannya menggeletak kena pukulan ciamik suhunya/dadanya jadi bengkak perutnya jadi kembung/itulah ajaran locianpwe budiman (1974).

Apakah efek humor senantiasa hanya berkisar pada sudut-sudut sensitif “badan sensor” seperti ini?

Sialnya, puisi-puisi demikian sadar akan karakternya yang harus bisa dikomunikasikan dengan mudah, oleh karena bahasa ucapnya terasa sangat komunikatif dan punya “irama” yang enak didengarkan meskipun tanpa mempedulikan tatanan-tatanan persajakan yang baku. Ini semua dikarenakan oleh situasi yang mengharuskan puisi-puisi demikian untuk “dikomunikasikan” langsung dengan apresiatornya.

Memadaikah?

Dilihat dari keterlibatan beberapa penyair senior, semestinya materi apresiasi puisi untuk menjawab aspek “menyenangkan” sebagai motivasi awal tahap apresiasi bisa memadai. Tetapi dalam kenyataan, karena kecenderungan “dasar” yang telah disebut di muka, maka tidak banyak puisi demikian yang sesuai untuk apresian remaja.

Dalam proses kreatifnya, para penyair ini memang tidak membatasi diri pada golongan apresiannya. Oleh karenanya mereka tidak terikat pada “pagar-pagar” yang mempersempit kebebasan kreatifnya. Jika terjadi pembentukan golongan apresian, itu adalah akibat yang terjadi di luar skenario.

Yudhistira ketika menyelesaikan buku puisi Rudi Jalak Gugat sesungguhnya pasti sadar akan publik sastra yang akan mereka hadapi. Itulah sebabnya ia memilih idiom-idiom yang sesuai dengan latar kultural masyarakat sastranya yang merupakan kelompok kaum muda. Ia pun mengumpamakan mengenal “dunia batin” masyarakat sastranya itu – sehingga ia merasa menjadi “pembela”nya.

Akan tetapi, apakah sastra tanpa memilah-milah golongan apresiannya – harus selalu membangun nuansa-nuansa untuk membangkit-bangkitkan “semangat” untuk “lantang” tanpa memberi alternatif? Karya sastra memang multi interpretasi, tetapi ketajaman interpretasi ternyata memerlukan proses panjang yang mengujinya. Apresian muda yang belum akrab dengan sastra, sudahkah mereka melewati proses panjang itu?

Puisi humor, sesungguhnya fenomena lama. Tetapi kadang “nafasnya” terlalu panjang pada saat sastra Indonesia mengalami krisis apresian. Dan generasi muda pembaca karya sastra bebas memilih materinya sendiri. ***

Penulis adalah penyair
Dijumput dari: http://frahardi.wordpress.com/2011/06/24/krisis-sastra-tanpa-pembaca-dan-lubang-perangkap/

Gugatan untuk MASTERA 2006 dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000. II*

Yang meloloskan pengertian “Kun Fayakun” dirombak ke dalam bahasa Indonesia membentuk makna; “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!”
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

"A masterpiece always moves, by definition, in the manner of a ghost" (Jaques Derrida, Spectres of Marx).

Lumayan lama tak melanjutkan tulisan, terhitung setengah bulan lebih. Kini menginjak angka 17 nomor saya sukai, bilangannya sama bertanggal kemerdekaan Republik Indonesia tujuh belas, (Agustus 1945). Setelah membenamkan diri beberapa masa, membaca ulang membenahi tulisan lama, Alhamdulillah cara belajar ini mengalami peningkatan. Melodinya sedari awal terlihat kemajuan, sedeburan gelombang mendedah kesaksian. Ke pepuncak tertakar, pun lebih sadari kelemahan, juga beberapa temuan mengecewakan.

Sebelum masuki soal, ingin bermanja terlebih dulu. Kangen bercuap-cuap sambil memancing kata bercanda akrab, memeluk mesra sekecup kasih nan tertunda, sekarang masanya merasa. Hawa senja angin tropis musim penghujan, ada beberapa bacaan belum rampung nan menggantung, sketsa tipis menebal, kejelasan di sisi temaram, tanpa beban selain kebodohan diri, helahan napas bebulir kemungkinan. Serupa Bengawan Solo mengalir entah kapan tiba ke laut keutuhan, jelasnya ada tantangan berlebih, kecurigaan bertumpuk, waswas mendera, cahaya berkilau sepelangi melenakan sebentar.

Waktu-tempat tertera dari beberapa data lagu jemari melangkah, sekurangnya jadi patokan secermin keliling melihat kematangan, atau pun kedangkalan terbit darinya. Iramanya menguntungkan berbolak-balik membaca diri, tertambah komentar kawan nan perjelas bibit rahmat perolehan. Sayang tulus bersinggungan, jarak simak perbedaan, permainan licin antara keberanian menyuarakan realitas, menyadap sedap searoma rokok terhisap, kepulannya seperti pejaka melanglang buana. Yang terkata menyauri hutang kepada Sang Pemilik Nyawa, meski selalu nonggak, mungkin sering merasa sibuk pun menyibukkan diri sampai abai. Tidak lebih ingin berpulang berkeadaan tampan bermuwajahah oleh tiadanya menyia-yiakan kesempatan, jumlah usia direstui-Nya. Hanya doa sebalutan kata saya, tidak lebih baik dari pedagang keliling kehujanan-kepanasan demi keridhoan, mendambakan kemurahan tuhan tercurah.

Malam turun pelahan teringat beberapa masukan kawan semua saya tampung, diletakkan di beberapa tempat sesuai kemampuan warna tengah membentuk gugusan. Tentu tidak membiar tarikan sendiri lewat pendekatan teryakini bisa menyusupi rerongga masa meski berbeda, selama yang terpunggah tak mencederai sketsa tegasnya. Berharap seturunnya kalam fitri serta tafsirannya, meruang-waktu peristiwa mendiagnosa, dialog jiwa dan raga, badan lain tak teraba, sefirasat atau hal kecil mempengaruhi letak; bergeser, menekan pun naik mengikuti hukum timbangan semesta, antara terlihat mata dan maya. Kekhusyukan ingin bawa kesaksian murni, bercengkerama realitas menyimak alur-alur perubahan, mendudukan disepadankan siratannya. Maka tetap fokus segambaran perbandingan memperkaya kelapangan jiwa, demi membuka lelembaran kebenaran nyata.

Sepertinya hawa angin bagian ini segera masuk, padahal masih berkeinginan melantunkan kata memenuhi halaman panca indra, agar tak tegang berakibat persinggungan tajam, meski ada. Setarik ulur ini, lantaran ragu belum membaca ulang bebahan hendak disuguhkan olehnya mengambang, belum bercorak terang sepantasnya menghadirkan penegasan. Maka saya hentikan sementara sambil mengikuti larutnya malam, menghitung angka kalimat kemungkinan lain dari pidato SCB sebelumnya. Lewat kekuatan-kelemahan bahasa yang saya timba dari karya-karya mengguncang dunia, bukan polesan mengada, tapi luapan besar; pergolakan sungguh terbitnya sejalur cahaya matahari menghadiahi reribuan manfaat bagi terpancari.

Rembulan nampak purnama tanggal 15, namun terlihat limbung di arah barat sepertiga malam musim dingin, sedangkan tubuh ini mengalami kehangatan kembali, terkenang beberapa lingkup penelusuran lalu. Jadi, bila ada pernyataan terlihat asing seloncatan, diri memaklumi karena anda tak membaca dari awal, sebab saya tak memanjakan lawatan menunjukkan sketsa sedurungnya kecuali sekadar.
***

Derrida memulai bukunya "Spectres de Marx: l'état de la dette, le travail du deuil et la nouvelle Internationale" terbitan Éditions Galilée 1993. Masuk ke Indonesia melalui "Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning, and the New International" Routledge, New York, 1994, pada penerbit Bentang, Juni 2000, penerjemah Hartono Hadikusumo. Derrida memetik sandiwara tragedi Hamlet karya William Shakespeare dengan 'kata perintah' “Hamlet:... Bersumpahlah. Hantu [di bawah]: bersumpahlah.” Meski dari dua pengucap berbeda 'badan,' masih mengandung perintah, 'kutukan' (Sartre), menciptakan nafas hidup di ruangan lain, atau Adam digelincirkan ke bumi bersama Siti Hawa. Tiada ampunan kecuali yang berpegangan pada ‘dahan istighfar’ (Ibnu 'Arabi), mencari obat penyesalan sakit dan mengharap kesembuhan, bukan hidup yang diberkahi untuk bebas!

Di sini tak mendangkalkan sejenisnya atas kitab suci, hanya saya percaya, sastrawan ampuh pun kritikus berjiwa tanggung, mendasari karyanya lewat sejarah yang tak menutup kemungkinan terpikat kitab-kitab suci yang berpengaruh besar penduduk di bumi. Sejumputnya marah, tertawa, berimajinasi pula bersikap lain tetap di alam akli, pangkasan utuh membikin bangunan dialog berjenjang, tak mudah ambruh pun bolak-balik. Shakespeare mendialogkan badan kasar, badan halus; Hamlet dan Hantu. Jika merujuk ungkapan “Kun Fayakun” terbalik, tetapi tepat bagi Derrida membongkar Marx lewat ini, yang condong tak mempercayai tuhan, atau imajinasi tentang tuhan ialah bikinan manusia. Di mana ucapan Hamlet di alam realitas, Hantu berucap di ruang turunan berbeda, perintah sedari akal untuk yang tidak terjangkau nalar. Namun satu peristiwa memulai terciptanya sebuah tragedi, drama menggetarkan!

Ketidakmasuk-akalan SCB juga tidak Ilahiah, memunculnya ‘kata benda yang diperintah’ "Jadi, lantas jadilah!", "Jadi maka jadilah!" Sulapan kelas dangkal! Kalau melekati jiwa seniman, maka dasar-dasar logikanya ngawur tidak dipikirkan, otomatis jika menelusuri hasil karyanya terlihat karya kegagalan. Andai dirasa cukup berhasil sebab telah banyak dukungan, tentu banyak faktor, misalkan: Di mana khasana keblinger itu tumbuh? Siapa saja penopangnya? Secorak apa pula yang keluar darinya?

Mula Derrida menguji nyali atau membuahi kekritisannya lewat menampilkan judul dari ‘kata-kata benda’ "Hantu-hantu Marx," seakan menunjukkan permainan dunia orang berakal dan tidak, mungkin juga menertawakan diri sendiri. Jalan alot itu memaksa mengoreksi tempat duduknya; apa ada paku membahayakan, banjir tiba-tiba atau perbedaan dapat merusak gagasannya. Ketika dirasai kehabisan tenaga, dipanggil Shakespeare, Hamlet tepatnya demi menyelesaikan soal menghalangi penelitiannya. Tengok 'evolusi (kata) benda' Derrida di hlm 15-16, singkatnya:

"Maka, apakah tiga hal dari benda ini? 1. Bagi karya belasungkawa tidak ada yang akan lebih buruk lagi ketimbang kekacauan dan kesangsian: orang harus tahu siapa yang terkubur di mana –dan memang perlu (untuk tahu – untuk memastikan) bahwa, dari apa yang tersisa darinya, dia tetap tinggal di sana. Biarlah dia tinggal di sana dan tidak berpindah lagi! 2. "Hamlet: Tengkorak itu memiliki lidah, dan dulu bisa bernyanyi. 3. Akhirnya (Marx qui genuit Valery...), benda itu bekerja, apakah ia mengubah atau mengubah dirinya, membentuk atau mengurai dirinya: ruh, "ruh dari ruh" adalah kerja."

Ada masalah besar, dikata kecil juga boleh; SCB mengganti arti dari teks aslinya, bukan teks asli dibongkar, dirombak atau diselewengkan secara cerdas berdasar akli menggugah kesadaran lain. Ini belum pernah saya temukan pada sastrawan dan filsuf (intelektual) beneran, kecuali adanya alasan pengelabuhan, dan Tardji tidak ketengahkan itu, seperti sadar setiap olahannya dipastikan diterima siapa pun. Maka permainan sulapan dilakukan demi melegalkan beberapa kesannya pada dunia. Seorang pesulap atau pun penyihir, memang diharuskan terampil membelokkan perhatian atau pandangan mata, seolah yang terjadi menakjubkan, dinaya kejutnya diberikan bagi mereka yang terpesona dan media massa juga para pengagumnya, cukuplah menopang gaya sihirnya. Seperti ular-ular para tukang sihirnya Fira’un mengelilingi Nabi Musa as., bebentuk tingkah pola ular-ular maya bisa terlihat hasil para kritikus pembelai puisi-puisinya yang dikatakan puisi mantra, tetapi tidak! Karena setiap mantra bisa disebut puisi, menurut rupa serta bebunyiannya, dan bertuah!

Dua kemungkinan jika bukan Musa as. yang menghadapi peristiwa tersebut. Pertama ia berlari tunggang langgang, keduanya masuk perangkap alam bikinan tukang sihir. Yang terbirit menghindar dapatlah mengumpat, ngedumel lantas mengatakan ‘buah itu tak nikmat, sebab tidak bisa memetiknya.’ Atau tercenung di sulut kamar memikirkan yang terjadi, berheran hingga kerasukan; ngomel sana-sini karena tak mampu melihat realitas -semu kejahiliyahan. Yang terjerat kurungan sihir terpesona mengagumkannya, keheranan atas kesaksiannya diceritakan ke banyak orang, seperti kritikus yang kurang memiliki pegangan kuat atau iman berkesenian. Di tambah tekanan pamor Fir’aun tak sekadar raja tapi juga tuhan; raja berwewenang seolah tangan tuhan, tuhan memiliki kekuasaan menghapus derajad tuhan lain yang menyainginya. Maka perubahan "Kun Fayakun" dimenjelma "Jadi, lantas jadilah!", seperti tak masalah baginya, mungkin begitu?

Bagaimana kisahnya andai Nabi Musa as. diabaikan tuhan, tidak turun perintah untuk melemparkan tongkatnya? Tuhan membiarkan saja tidak bertanggungjawab pada nasib Musa, juga sebagian umat beriman? Tuhan iseng tak bertanggungjawab sambil melihat gelagat raut muka Musa. Atau usil menyuru lempar tongkat tetapi tidak diwujudkan menjelma ular besar? Karena tuhan tak bisa diminta pertanggunganjawaban atas ciptaannya, seperti tuduhan SCB di esainya --"Sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya"-- (Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair)? Tidakkah tuhan di sana 'semau gue' istilah Jakarte. Lalu takdir Musa sialan, sia-sia memberantas kegelapan, mungkin diperolok-olok tuhan dari ketinggian langit hayat, dan Raja Fir’aun pengaku dirinya tuhan makin keren di hadapan pengikutnya. Maka tak sekadar tepuk tangan panjang, juga beberapa penghargaan memayungi wibawanya. Tuhan Allah swt. pun melanggengkan jasadnya, tetapi bukan sebentuk penghargaan, apalagi penghormatan, tidak! Namun peringatan bagi orang-orang setelahnya.

Ternyata (kata depan ini mengingat- anak saya yang belajar mengarang, tetapi kebanyakan kata 'ternyata') Allah swt. menjelmakan tongkat Nabi Musa as. yang mematuhi perintah-Nya, tongkat dilempar membentuk ular besar sebagai bukti kemukjizatan kenabiannya. Karena Fir'aun dan para tukang sihirnya telah buta mata hatinya, perihal itu dianggapnya sihir, serupa pekerjaannya berpropaganda. Muka Raja Mesir merah marah terhadap sekutunya, mengumpati para tukang sihir yang senantiasa dimanja ketenaran juga kekayaan pandangannya berbeda, daripada raja-raja lainnya. Sementara Sutardji Calzoum Bachri yang terkenal ‘Presiden Penyair Indonesia, Raja Mantra,’ terpukau kagum pada sulapan menyihir David Copperfield. Sampai gegaya puisinya lain daripada perpuisiannya sebelum menyaksikan pementasan "David Copperfield, Realities '90." Ia terjebak ke dalam alam bikinan pesulap, hingga memberi kesaksian lewat puisi gaya barunya. Dan otomatis para kritikus mengudar perubahan drastisnya, terpesona 'anak pesulap' itu, serupa ketakjuban tukang-tukang sihir terhadap mukjizat Nabi Musa as. yang dikiranya –sekelas sulapan sihir juga!
***

Setelah lewati separuh kurang melingkar, saya teruskan disertai suara ti’k-ta’k gerimis di luar, demikian jika divisualkan. Bagian ini mengambil garis Derrida, dan Insyaallah bagian selanjutnya XVIII melalui pemahaman Muhammad Iqbal, entah terjumput motodenya. Yang jelas, saya terpengaruh ruang lingkup aktivitas keseharian, mungkin kurang peduli pendekatannya, kecuali bergayuh seirama prosesi menuangkan ini. Dapat dibilang kini masih kupasan lingkup dalam dari paragraf IK pun yang nanti. Mari baca Bismillah, senada kumandang musik ‘Queen,’ "Bohemian Rhapsody."

Di sini saya jumput paragrafnya SCB dari Mastera: "Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, "Jadi, lantas jadilah!" Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri" (Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, ‘Isyarat’ hlm 20).

Kata ‘jadi’ atau wujud atau ada; setingkatannya atas firman permulaan sedari Tuhan Sang Maha Penyair, lengkapnya "Jadi, lantas jadilah!" Merupakan wujud, sesuatu yang sudah ada, benda telah jadi; tuhan di sana mungkin juga heran keberadaan benda tersebut tiba-tiba hadir di hadapannya, bercuriga adanya tuhan selain dirinya. Sebab benda itu tak diwujudkannya, tapi diwujudkan yang lain atau wujud sendiri, hadir terbit sendirian di depannya, dan tuhan sang maha penyair tinggal mewujudkan ulang dengan kata-kata 'lantas jadilah.' "Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda" tak lain tak bukan adalah kata 'jadi.' Sesuatu yang ajaib, tuhan sendiri terkagum serasa dipaksa benda itu untuk dijadikan ulang dengan kata 'jadilah.' Keterpaksaan dari sebuah keutamaan yang datangnya tiba-tiba, laksana kejatuhan pulung tiada tahu siapa peniupnya, siapa penggeraknya semula?

SCB menghilangkah kata kerja awalan dari firman tuhan sang maha penyair, dan tampak kata kerja perintah itu datangnya terlambat, dengan memunculnya kata-kata 'lantas jadilah.' Kemendadakan mencipta keterkejutan, seperti dalam ruangan tunggu atau firmannya menanti hadirnya (kata) benda itu jatuh; ‘kata adalah benda,’ menurutnya ‘adalah ikhwal’ (fenomena), fenomena itu sesuatu yang rumit, jamak, selalu berubah. Perihal tersebut masuk ke dalam ‘adalah makna,’ yang otomatis makna ini sesuatu amat rumit, jamak (banyak), serta senantiasa berubah, nilai yang bisa berkurang juga bertambah, lantas ‘adalah diri ekspresi’ dari benda-benda, kerumitan pun tidak tetap masanya di dalam ruangan bisa berganda pula, demi mewujudkan keberadaannya -jadi ‘adalah eksistensi.’

Jika ditarik kembali ke titik semula, yang menurut kosmologi matematis Frank J. Tipler  ‘Omega Point Theory’ disebut titik singularitas ialah titik omega, dalam karya-karya Al-Hallaj pun lainnya bersenandung demikian. Saya lanjutkan, tuhan di sana (paragraf di atas) serupa pesulap atau pencipta sedari sesuatu yang sudah ada; menyelesaikan kasus-kasus telah ada; tuhan belajar dari banyaknya kerumitan, kemakna-gandaan dan sebagainya; sinahui perubahan benda-benda yang tidak diciptakannya; tuhan menjadi penyelesai kasus, hakim mengudar soal, perampung masalah yang tak dibikinnya. SCB lalu berkata "Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri" Untuk penyair dapat saja menciptakan sesuatu dari yang sudah ada, namun tak bisa dimasukkan ke dalam firman Allah swt. "Kun Fayakun." Ungkapan Sutardji senada esainya Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair: "Peran penyair menjadi unik, karena — sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya — secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya." (Orasi budaya dalam Pekan Presiden Penyair, Republika 9 September 2007).

Ada kritikus mengibaratkan saya seperti semut dalam Aqua jika berhadapan SCB, jadi anggap semua tulisan ini monolog semut-semut hitam merayap. Memang tak saya pungkiri keberadaan diri ini di dunia sastra Indonesia bukan apa-apa, apalagi bertatapan sejarah sastra yang hampir semua kritikus telah mengokohkan karyanya. Tetapi saya tidak minder sama sekali apalagi mundur, tidak! Sebab apalah bagi saya kalau sampai ugal-ugalan merombak firman-Nya, meremehkan-Nya dijadikan sekutu manggut manut pada syair dan pemikirannya! Tak lain, saya ingin meluruskan pemahaman, selaras persinggungan saya dengan Leo Tolstoy nan menghadirkan buku "Kulya Dalam Relung Filsafat" 2004. Sebab apalah hidup tanpa keyakinan, menggadaikan pada yang fana, sebentar-sebentar lenyap!

Jiwa ini amat labil, hingga kerap mengadu kepada-Nya lewat sampiran kata, saya harap tak merusak tuangan malam ini. Balik ke soal, kalau menyebut istilah 'takdir' atau pun 'nasib', maka yang terbayang sedari benda-benda disebut SCB melalui tuhan sang maha penyair, seolah berjalan kaki sendiri-sendiri. Mengingat beberapa kajian sastra yang ditulis Sutardji pula para pengupasnya; takdir kata-kata bergerak jempalitan, mondar-mandir bisa membunuh dirinya sendiri, mengobok-obok nasibnya, meracau ke depan-belakang, tersebab tuhan telah membebaskan demi mencari makna lewat nada dering "Jadi, lantas jadilah!" Bisalah itu terjadi, menengok penggalian mereka pada puisinya yang katanya puisi mantra, generasi pulang kampung ke akaran, dan seterusnya.

Pada Derrida yang saya namai 'evolusi (-kata-) benda' tepatnya ke angka 3. Akhirnya (Marx qui genuit Valery...), benda itu bekerja, apakah ia mengubah atau mengubah dirinya, membentuk atau mengurai dirinya: ruh, "ruh dari ruh" adalah kerja." Kurang lebih perembesan dari ungkapan Valery: Manusia "suatu upaya untuk menciptakan yang saya sebut ruh dari ruh." (di hlm 7). Lalu kita bandingkan ‘kata benda’ perkataan SCB, "(Jadi), lantas jadilah!" merupakan ‘kata benda’ yang dipekerjakan. Bukanlah: "ruh 'ruh dari ruh' adalah kerja:" Kata benda ini memiliki riwayat, "1. Belasungkawa. 2. "Hamlet: Tengkorak itu memiliki lidah, dan dulu bisa bernyanyi." Yakni kematian menuju belasungkawa -sebuah benda- tengkorak yang dulu berlidah serta bisa bernyanyi. Dulu sekali, sebab ternyata tengkorak tidak punya lidah, dan tidak mungkin dapat berlagu. Maka yang muncul kenangan, sejarah masa hidupnya kata benda, "Hantu-hantu Marx" yang (dari) di masa hidup Karl Marx menuliskan “Das Kapital,” Manifesto Komunis tersebut kini, (sedang) menghantui. Kata benda ini bersilsilah ruang-waktu, yang menyeret bayangannya kepada sejarahnya.

Lebih jauh Derrida menemukan istilah 'azali' atau saya mempercayai sebagai azali, dari ujarannya: "Bahkan bila masa depan itu merupakan asal-usulnya sendiri, masa depan itu harus, seperti semua asal-usul, mutlak dan tak terubahkan lagi, masa lalu." (xxviii, Eksordium). Kini tengok kata-kata SCB di hlm xix di bukunya "Isyarat" sebagai awalan guratannya, setelah esai pembuka “Ihwal Personal” xv tertulis singkat:

"KATA-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian.
Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air.
Kata adalah pengertian itu sendiri.
Dia bebas.

(Kredo Puisi, 1973)

Maka jelaslah SCB berpengertian demikian: "Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, "Jadi, lantas jadilah!" Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi." Tapi sangat keliru perihal itu dirujuk ke firman "Kun Fayakun" yang sudah saya terangi, juga senapas Derrida pula Valery: "ruh 'ruh dari ruh' adalah kerja." Bukan seperti pemahaman Tardji "di mana kata adalah benda." Tetapi ruh tersebut "merupakan asal-usulnya sendiri" dan "masa depan itu harus, seperti semua asal-usul," ini "mutlak dan tak terubahkan lagi, masa lalu" di atas "ruh 'ruh dari ruh' adalah kerja." Sejurus jumputan saya terdahulu, ruhaniah kata kerja’, fi'il amar, atau perintah pada kata “Kun.”

Umpama dibolak-balik jempalitan membacanya, ini pula menyenggol yang mengkritisi buku saya “MTJK SCB” Wawan Eko Yulianto memesankan saya pada ulasannya, "saya menyarankan kepada Nurel agar membandingkan dulu pandangan Tardji yang dulu dengan yang sekarang tentang mantra." Kenapa saya yakin meski lewat dua potong esainya SCB waktu itu? Sebab konsep (kalau pantas dibilang konsep, tepatnya kesan pada kehidupan), kalau kesan tersebut dangkal, kemana pun tetap mentah. Apalagi bagi jiwa-jiwa sudah merasa mapan, dimapankan keadaan; kritikus memandulkan kreativitasnya lewat perbandingan muluk, tetapi nyatanya njomplang? Sebagaimana perhitungan gemintang serta hukum-hukum baku digenggam semesta alam, serta mereka turut menelitinya sampai menjelma rumusan kalender, membaca musim, cuaca dsb. Begitu yang terketahui, dari buku saya baca meski belum lapang. Setidaknya dari beberapa suara masuk menjadi pemacu diri terus belajar, memahami yang sudah dipelajari mereka. Diri ini cuma meluruskan yang sudah-sudah, dengan kadar apa adanya.

Ruh daripada ruh dari ruh ialah kerjanya Marx, Valery, Derrida. Kata benda 'hantu-hantu' yang menghantui. Atas proses panjangnya memuara pada karyanya sastrawan besar Inggris William Shakespeare berlabel ‘Hamlet’ seperti terhidang ini:

Hamlet:...Bersumpahlah.
Hantu [di bawah]: Bersumpahlah.
[Mereka bersumpah]
Hamlet: Tenang, tenanglah Ruh yang terusik!
Jadi Tuan-tuan,
Dengan segala kasihku aku unjukkan diriku padamu;
Dan walau semiskin ini Hamlet
Menyatakan kasih dan handaiku padamu,
Insya Allah, tidak akan kekurangan:
Marilah jalan bersama,
Dan letakkan jari-jarimu pada bibirmu, kumohon.
Waktunya tidak nyambung: Oh jahanam terkutuk,
Yang aku dilahirkan untuk membetulkannya.
Tidak, ayolah, pergi bersama [Keluar]

--Babak I, adegan v. (halaman 3).
***

Sebelum mengudar karya Shakespeare, meski agaklah malu terdahalui Jacques Derrida. Oya, barusan saya baca esainya SCB seperti ngemil pagi ini, serasa 'ngemput' jagung. Esainya bertitel "Puisi Muncul Dan Penyairnya Mati --Polemik Puisi Gelap: Sekilas Jawaban-- hlm 168 - 181 buku "Isyarat," Republika, 20 Maret, 27 Maret, 3 April 1994, tampak keangkuhan meremehkan Derrida seolah dirinya paling! Ini lucu!

Mungkin baginya wajar, firman Allah swt. saja dipreteli seperti sulapan "Jadi, lantas jadilah!" saya rasa seluruh dunia terpingkal-pingkal olehnya! Shakespeare mengawali dialog Hamlet dan Hantu, Hamlet:...Bersumpahlah. Hantu [di bawah]: Bersumpahlah [Mereka bersumpah]. Hamlet tidak mendekte Hantu dengan menyebut kata benda 'Sumpah', tapi kata kerja perintah yang dalam nahwu shorof, alat baca kebahasaan arab, fi'il amar 'Bersumpahlah', Hantu menyerukan sama. Meski pada derajat berlainan, tapi masih dalam tataran akli kebahasaan, "Kun Fayakun" bermakna "Jadilah," maka jadilah ia." Dua kata kerja besar, menggerakkan suluruh peradaban dunia akhirat seisinya!

Adalah kosong "Jadi, lantas jadilah!" Mak bedunduk nunut ngeyop, abrakadabra, barang sudah jadi dimunculkan, David Copperfield menerobos tembok, atau semua memukau dunia lahir-bathin SCB dan pengagumnya. Jadilah sastra bim sala bim, puisi mantra priketiwi tidak bertuah! Atau Tardji bingung membaca Derrida? Dikarena nasibnya sudah di atas angin kritikus handal di Indonesia sampai dataran Asia? Maka tidak perlu perevisian, sudah merasa dinaungi dewi fortuna, dewa-dewi mendiami mitologi. Olehnya makin kuat sejarah sastra Indonesia, sebagian masuk menghidupi pekabutan mitos?

Yang tertuang ini anggap memakai pendekatan bersap-sap gelombang, ondak-ondakan untaian rambut memanjang bidadari mandi keramas di sendang. Saya bukan FPI, diri ini mengamini ungkapan almarhum Gus Dur; “Tuhan tidak perlu dibela,” menerima perbedaan tentunya berlantaskan pengetahuan, tidak asal njeplak. Hanya pengelana ingin selalu belajar, tak takut bersinggungan daripada mendiami ruang-ruang pembodohan! Maka bersiaplah berkedip-kedip membacanya. Tengok ulang sajak SCB "Enso!" atas petikan A. Rahim Abdullah yang menurut saya belum!

Enso!

Di Qur’an kini hanya aljabar
Beratus persamaan-persamaan tersamar.
...
Aku tak mengurusnya lagi
Jemu. Cahaya sebentar datang,
Lalu hilang kembali.

Terbayang SCB linglung sehabis baca Al-Kitab beserta artiannya, bisa jadi, yang terpegang hasil penerjemah kurang paham tradisi Arab, pembaca tahu tersebut? Pula sangat sembrono, andai tidak merujuk ke Asbabun Nuzul-nya. Sutardji membolak-balik lembar Kitab Suci, ditengok terdapat keserupaan di Surat Al Hijr ayat 61-75 dengan Surat Hud ayat 77-83, mengenai kisah Nabi Luth as. Lantas ditemukan Surat Al A'raf ayat 109 dengan Surat As Syu'ara ayat 34 mengenai Nabi Musa as. Adanya kemiripan lain ‘pengucapan,’ di Surat Al A'raf yang menuduh Nabi Musa tukang sihir ialah kaum Fir'aun, sedangkan di Surat As Syu'ara yang mengatakan demikian Raja Fir'aun sendiri.

Sutardji terus berpusing-pusing lontang-lantung menimbang isi Kitab Suci lewat pelbagai bacaan sejarah menerangkan Para Nabi, ditemukan ‘ada kemengslean.’ Dibacanya asatir (legenda), tumbuh dalam kitab tersebut, ada pula surat-surat alunannya berkisah semata di hadapannya, misalkan Surat Yusuf, Al Anbiya', Al Qasas, serta Nuh. Menurut A. Hanafi, M.A. pada bukunya "Segi-segi Kesusastraan pada Kisah-kisah Al Qur'an,” diterbitkan Pustaka Alhusna Jakarta, cetakan I, 1984 lebih jauh menyebutkan:

"Dari keseluruhan surat Al Qur'an, maka 35 surat memuat kisah, kebanyakan adalah surat-surat yang panjang. Jumlah ayat-ayat Al Qur'an yang dipakai untuk kisah menurut penelitian saya sepintas lalu, lebih kurang 1.600 ayat, dari keseluruhan ayat Al Qur'an yang berjumlah lebih kurang 6.342 ayat. Jumlah 1.600 ayat itu hanya mengenai kisah-kisah sejarah yang berkisar Nabi-nabi (Rasul-rasul) terdahulu dengan tidak mengikutsertakan ayat-ayat yang berisi kisah-kisah perumpamaan (tamtsilliyah). Tentunya jumlah itu akan menjadi lebih besar apabila kisah-kisah lain dimasukkan. Bahkan, jika dibandingkan dengan ayat-ayat hukum yang berjumlah lebih kurang 330 ayat, maka nampaklah kepada kita betapa besar perhatian Al Qur'an kepada kisah-kisah itu." (Hlm 22)

Mungkin (-Wallahu a'lam bishawab) dibayangkannya Al-Kitab menyerupai antologi cerpen atau sejenisnya, lantas muncul sajak Enso!-nya. Alangkah indah kalau SCB menulis esai atas letupan kegalauan temuannya, dan kita dapat menelusuri jejak pun peroleh manfaatnya. Terbayang di pikiran saya, Tardji menulis puisi kerap berkeadaan mbulet tidak mampu mengurai, tak elok mengangkat benih-benih puisi dalam dirinya. Cermati berkaca mata bening antara karyanya, dengan karya para tokoh dunia yang oleh para kritikus disejajarkan padanya, tentu membuang ketakutan terlebih dulu, kalau kelak anda tak diterima warga sastra INA, karena Sutardji sudah disematkan. Apakah SCB hawatir disebut penceramah, umpama nulis esai keagamaan? Tidak timik-timik berlari di beberapa esainya, dengan menjawil nada-nada Hadits Qudsi kesana kemari semaunya?
***

Sebelum merantak ke petikan naskah Hamlet di atas, lepas keraguan dunia Internasional, minimal di Inggris sendiri mengenai keaslian karya-karya Shakespeare, yang membeludak pun memukau semua kalangan. Pendapat saya, seorang aktor yang hidup berpindah-pindah antar panggung, bernapas dengan para pemain serta penontonnya, keluar masuk atmosfer, kelas-kelas sosial diserapnya menjelma bahan penting mengudar kegalauannya. Meski saya tidak memungkiri adanya beberapa penulis memanfaatkan namanya, demi meloloskan karyanya.

Walau terlahir dari keluarga buta huruf, serta bukti lain semisal wasiatnya tidak menunjukkan ia penulis handal, kurang bijak jika dirinya tidak diperhitungkan sama sekali. Dapatlah terjadi beberapa temuan senada temuan lain, yang oleh para peneliti meragukannya; surat-surat Ludwig van Beethoven atau penulis nan paras tulisannya memberi ilham selanjutnya, misalkan.

Sang aktor menghisap seluruh kekayaan nilai dunia panggung; celoteh, umpat, sangkalan, dedahan, apa saja menggiringnya berkaya. Sebab, alam ditelusurinya senantiasa beredar di setiap ubun-ubun penggemar. Jika berasas kemungkinan, dapat saja Shakespeare dalam semalam atau sepekan, bersama bangsawan Italia nan kagum kepiawaiannya, memberi banyak informasi nuansa perikehidupan bangsawan Italia. Ini terus beredar atau mengedarkan pengamatan demi hasilkan karya bergairah sesyair-syair panjangnya.

Gaya hidup menyerapi segenap bebuliran embun kehidupan; desir angin, kerinduan mendera nan harapan bergejolak meningkatkan setiap jenjang masa dilayari, segugusan agung dalam pribadinya. Inilah pembentuk jiwanya dengan seluruh wacana, sebab kasih sayangnya menyebar tanpa sekat batasan, selalu mematangkan kemungkinan. Menurut saya arti kemungkinan ialah rahmat tuhan bagi jiwa-jiwa membuka kelapangan menuju pencerahan. Inspirasi tersebut mengalir sejauh dirinya mampu bertahan dalam gelombang badai kesunyian, gemuruh kesedihan, di atas hidupnya yang miskin betapa mendalam.

Sekecilnya Shakespeare bertubuh tampan nan berwibawa, jelas ini memudahkannya masuki setiap lapisan. Dan tuturannya menggoda, dapat melancarkan pikatnya untuk memetik kembang pengetahuan, menggayuh bibir-bibir informasi senantiasa bergetar di hadapannya. Maka nilai kejujuran lunglai di hadapan pesona sang aktor. Seorang terlahir di kota Stratford-upon-Avon tersebut begitu lihai memasuki bilik-bilik hati, tanpa perlu mengutarakan isi hatinya. Sehingga muncullah ungkapan, "Apalah arti sebuah nama?" Jikalau dilesatkan, "Apalah makna sebuah kelas sosial?”

Dan terus sejauh mampu manfaatkan keberuntungan (rahmat tuhan). Ini dialog terdalam dikala menerobos lelipatan waktu, naik-turunnya masa. Saya kira, reruang nalarnya membentang panjang meski di ruang sempit belakang rumah, kandang kuda disaat memesrakan segenap perikehidupan, menuju dataran tinggi angin ke puncak inspirasinya. Maka mudahlah menggayuh sang matahari harapan, memetik bintang mimpinya sebagai oktor tersohor atas ganjarannya membuka ruang hati seluas-luasnya.

Kalbu membuka, menyibak ladang kemungkinan, sehingga yang diragukan misalkan tiadanya catatan mengenai dirinya menerima bayaran atas karyanya. Petikan kata indah, hasil karyaannya tiada pada surat wasiat; tak mengurangi nilai kehidupan sang aktor yang melangkah seperti gembel jalanan. Bathinnya sudah sedemikian kaya, pada keluarganya kekayaan tersebut diwariskan, atau lewat kaca mata lain; kekayaan pada karyanya adalah nilai dunia yang diharuskan pada turunannya untuk mencari sendiri sebagaimana dirinya. Begitu warisan abadi, lelaku pencarian pengetahuan nan bertarung dengan jamannya, Shakespeare memulai perikehidupannya.

Tonggak kokoh itu mematangkan gurat tulisannya tercurah sedari jemari terus menari. Dan apa yang dituangkan seakan bukan dari dirinya semata, oleh serapan di bawah sadar selepas senggolang, berkecup hangat realitas sosial. Maka kekaryaanya daya dinaya kumpulan suara hiruk-pikuk, dipilih satu-satu dalam perenungan malam-malam, serta pekik angin daerah-daerah disinggahi.

Mungkin ini sedikit mengurangi yang diragukan warga Inggris, dunia sastra pada umumnya, khususnya Brunel University di London. Atau patut menyimak ulang gugurnya Brigadir Jenderal Mallaby, di sini orang Jawa menerima orang besar yang datang sedari kalangan bawah, Ken Angrok dan Gajah Mada misalnya. Sebab penelitian tak sekadar mendasar juga menukik ke dalam; mencurigai kelemahan, kepahitan, kemalangan sang aktor. Ini dapat diawali meneliti kehidupan Sir Derek Jacobi, Mark Rylance sendiri! Sebelum menengok ke cermin besar kehidupan William Shakespeare. Mungkin juga perlu melihat gaya hidup Mark Twain, Orson Welles, Sir John Gielgud, Charlie Chaplin, selain jua Christopher Marlowe, Edward de Vere, Francis Bacon demi masuki pola hidup sang aktor dengan sketsa yang seimbang.
***

Baca Derrida, menjalarkan saya menyimak kritikus Christopher Norris pada bukunya "Deconstruction: Theory and Practice" Methuen & Co. Ltd., 1982 11 New Fetter Lane, London EC4P 4EE, diterjemahkan Inyiak Ridwan Muzir, Penerbit Ar-Ruzz Jogjakarta, 2003 "Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida." Komentar singkat saya, anda tidak cukup 'gila,' belum cukup 'waras' atau belum sangat 'sehat' menghadapi mereka -'sport jantung'- membaca teks-teks Derrida, sampai mempersoalkan di balik proses penulisan lewat menyarankan bermain billiard seperti Home. Yang terurai tak terdengar, serupa halaman masih kosong yang patut anda pijak sendiri. Derrida memang bunuh diri, tetapi teksnya sengaja diabadikan 'ritual' tersebut, yang mengusik dan menyiutkan nyali sehingga 'kebeningan kosong' tampak di lelembar-buku anda. Ataukah sebagai filsuf tangguh, anda belum cukup siap?

Dan lewat musik “Queen” yang menyuarakan "We Will Rock You" atas karangan Brian May, saya baca teks “Hamlet.” Takdir ini belum dibayangkan Shakespeare pula Derrida.

Hamlet:...Bersumpahlah.” Bermusiklah, keraskan suaramu sekalimat sumpah serapa. Telah menjadi takdirmu bersumpah, pantul sejauh kemampuanmu sanggup memberkati hidupmu sebagai orang-orang bersumpah. Takdir yang jauh tampak dekat, sedekat hentakan musik dalam jiwamu, debaran perasaan engkau tunggu datangnya. Sejajarkan kumandang sejantung nyawa, dan tak perlu mengelaknya atau menghindar, sebab nasib merestuimu. Kini menyentuh tepat ubun-ubunmu!

Hantu [di bawah]: Bersumpahlah.” Hantu berderap naik, menanjak seolah membungkus ruhnya dengan jasad atas asap menebar pada panggung. Secara sadar atau tidak, berangsur berdaging, dimulai dari kepala pelahan sampai ujung kaki. Meski dalam batas di luar logika, Hantu mengedarkan penalarannya, mengikuti ucapkan Hamlet. Dia balikkan seruan memantulkan perintah, atau bersumpah butuh kebersamaan jiwa-raga, kesaksian purna tak hanya panggilan juga ungkapan dasar hati, tapi dimaklumatkan dalam tekad suara. Sisi lain; ‘bersaksilah,’ kini berada di panggung lebih besar nan terang lampunya, dialog nyambung sama-sama berkesegaran, gairah harus diuntahkan, sebelum para penyusup mengacaukan. Tiada pertanyaan, tak membutuhkan komentar atau penyangkalan. Ini bukan kekacauan, tetapi takdirnya sudah datang, dan tiada waktu lagi untuk dibenahi, kecuali melakukan kegilaan sepadan.

Hamlet sadar ada Hantu di bawah, Hantu pahami Hamlet mengajak bersumpah, memerintah dengan paksaan, barangkali suara Hantu sekadar pantulan suara Hamlet di ruangan. Ataukah ini suara terdalam Hamlet? Tidak! Hantu hadir beserta suaranya, serupa keriuh-ramaian penggemar ‘Queen’ sedang mengikuti lagu "We Will Rock You." Meski di sekitar keremangan cahaya, penonton itu ada dan lengkingnya menyibak nada-nada musik keras sedari atas panggung. Bagaimana kata kerja perintah, 'Bersumpahlah' meneror dunia, mendesak menggencet otak hingga semua orang harus turun tangan, jalan kaki ke dalam gelanggang. Kerumunan perjelas di depan, walau terompet kiamat sudah dikumandangkan. Apa lagi yang akan terbit, selepas musik berakhirnya sejarah?

‎[Mereka bersumpah] Bersepakat sekesatuan bulat, seirama garis kurva menaikkan lengkingannya, suatu barisan mengungguli tafsir diperkirakannya. Ada, -yang diperkuat kesadaran-nya; kerja; "suatu upaya menciptakan yang saya sebut ruh dari ruh" Valery, "ruh dari ruh" itu kerja" Derrida. Hentakan keras memaku kayu-kayu dijadikan kursi dan meja, menggergaji bilah-bilah ditancapkan perkokoh dialog. Bukan kata benda 'sumpah' atau 'jadi,' tetapi 'bersumpahlah,' 'jadilah', kewajiban tak boleh ditangguhkan, sebab sudah menunggu sekian lama hingga kesemutan membatu. Hantu telah menanti Hamlet dalam kegelisahannya amat sangat, Marx mengetahui takdir hari depannya, Sartre menolak Nobel Sastra, Yukio Mishima menjemput mautnya. Manusia berakal Hamlet, mencetuskan kata sumpah dengan perintah kepada Hantu yang mengikuti patuh, atau sekadar menyenangkan di balik yang tak dilihat Hamlet, setidaknya pada kejadian tersebut bersepaham.

Ini bukan mendangkanlan firman Tuhan; "Jadilah, maka jadilah ia." Namun meluruskan paham yang keliru pada kalimat, "Jadi, lantas jadilah!". "Jadilah," maka jadilah ia" adalah dua kata kerja perintah menghidupi alam-alam terkandung di dalamnya, dan hanya Tuhan lebih mengetahui, sedang para ahli tafsir berupaya mendekatkan firman-Nya melalui jalur rujukan menjurus atasnya. Sebuah firman tunggal dari Sang Maha Esa, keagungan luhur tak dapat diwakilkan siapa pun juga meski oleh manusia utama. Sedang bentuk lain yang rendah dekat kerumpilan, bobot alam maya mengisi dunia, mencoba "menciptakan ruh dari ruh" ciptaan ingin merakit, insan berhasrat memeriahkan hidup dengan dialog kerja di atas kesangsiannya, hingga harus dan nyata perlu mengundang hantu, ini tepat dalam ajaran Marxisme. Hamlet di hadapan Derrida tidak percayai adanya tuhan atau menyebut tuhan sekadar sampiran pengganjal, dalam meleburkan yang 'masih di cari’ di sisi luar kesadaranya. Agama adalah candu yang tumbuh dari mitos jikalau perihal itu terlanjur menjangkiti tubuh Marx. Pun Hamlet-nya Shakespeare, dan Faust-nya Goethe, lebih mempercayai hantu daripada tuhan. Lebih sadari yang bergentayangan terjangkau meski dekat kesangsian wajar, atau dianggapnya norma?

Marx, Derrida, lebih condong pada bayangannya yang menghantui hidupnya, mencintai hantu muncul dari kematiannya. Sebab setiap tubuh napasnya ditempakan cahaya pusat langit tidak membentuk bayangannya sama sekali, mereka jadi deladapan. Kesaksian pada pancaran selain kepribadiannya disangsikannya, ditolaknya mentah, dianggap kosong, tak melihat bayangannya di kaki-kakinya, padahal bayangan bergetar, tak kuat menanggung keraguan mereka. Lantas menyulutkan kata kerja 'bersumpahlah' menjadi pegangan, serupa kemungkinan asap mengepul di atas panggung teater mewujudkan hantu berjasad, dan bersuara seperti yang sudah disuarakan manusia Hamlet. Yang berpegang teguh nalar, lebih meyakini bayangannya, percayai hantu. Di bidang lain berarti ketakutan-ketakutan yang diakrapinya, daripada Tuhan Yang Esa.

Saya tak bisa bayangkan jika ini yang terjadi; SCB percayai adanya tuhan dengan catatan berkompromi, mengikuti pandangannya yang takjubi dunia sulapan. Saya harap itu hanya kehilafan, atau menginsyafi yang sudah, demi kembali memahami sebenar-benarnya. Tidak balik seigauan sajak-sajaknya, seperti yang bertitel "Orang Yang Tuhan" misalnya. Atau perlu menyimak karya para ulama, khususnya tegurannya keras Ibnu Taimiyah, jikalau masih suka-ria menebar kesalah-kaprahan! Sebab kata-kata bertuah, bukan lantaran alunan suaranya, tapi makna terkandung di kedalamannya. Begitulah mantra / puisi mantra, seperti mantra-mantra diambil dari Al Qur'an ialah doa, yang menghidupi kemantaran berbahasa Jawa maknanya. Suara biasa berbeda, tetapi dinaya makna mendorong menjadikan mantra bekerja: ruh dari ruh" (Valery), "ruh dari ruh" adalah kerja" (Derrida).

Shakespeare melalui mulut Hamlet, tak langsung mengatakan kata-kata sumpah, kalimat tersebut ditundanya. Kenapa? Atau disimpan lalu disusupkan ke dalam pengertian lain. Ada apa? Ia berkata, "Tenang" berarti ruh, hantu, atau pengisi ruangan sangat berisik, mungkin berjubel "Hantu-hantu Marx." Ini situasi tak diperkirakan Hamlet, sebab kata 'tenang' bukan dimuka kata 'bersumpahlah' tapi setelahnya. Ada sesuatu yang dipaksa, hingga tidak jadi tenang dengan munculnya kata 'bersumpahlah', ada yang tidak setuju, tak sependapat, atau kaget? Kenapa harus bersumpah? Bisa terjadi, ungkapan Hantu mengikuti kata Hamlet sejenis keterlepasan baru disadarinya, setelah kata mencelat sedari mulutnya. Volume tinggi, kondisional tergencet suhu panas, menjadi mereka gerah menyusupi segenap penjuru.

Kata 'tenang' dirasa kurang logis meski sudah diawali kata kerja sedurungnya (bersumpahlah), atau kata 'tenang' segambaran penekanan, demi menenangkan suasana setelah kata perintah dirasa mendadak. Kata 'tenang' pertama semacam menaruh lengan tangan di udara, suatu isyarat agar Hantu tenang, tapi dirasa belum cukup bekerja, dilanjutkan, ini menerangkan kata 'tenang' dimuka juga akibat kata 'bersumpahlah.' Maknanya, Hamlet memerintah Hantu ‘tenang’ menerima kata-kata sumpah, meski tidak cukup. Kenapa tidak? Karena paksaan sepantas di sisinya ada imbalan, ganjaran, namun Hamlet mencukupi bertanda seru, sejenis hardikan dalam pengucapan, terbayang warna ancaman. Jika ungkapan "Hamlet: Tenang, tenanglah Ruh yang terusik!" berkelembutan, maka terpancar wajah penuh wibawa, kharisma bisa menciutkan nyali, dengan sendirinya diterima meski ada kemungkinan ngedumel di dasar kedirian Hantu.

Di panggung berbeda, Hamlet seakan berkata 'tenanglah Norris', 'tenanglah kritikus sastra', "tenanglah Ruh yang terusik!" Derrida tinggal tengkoraknya, dan Nurel sekadar pengelana. Sumpah ini hanya meluruskan dari masa dimengslekan, waktu dipermak ke dalam persekutuan makna jahiliah. Kami cuma bersaksi di dalam lingkaran nyala api sendiri, mengambil bahan kalian yang tangguh sebagai rasa hormat, ternyata rapuh. Kami sekadar menunjukkan hukum-hukum pernah menimpai, kita di jalur jaman logis sampai lelingkup luaran, tertimpa berkali-kali, perang tidak habis selesai, pembantaian, manipulasi. Dan apa saja menjatuhkan buah kentil itu, berasal suara-suara sumbang, angin bikinan seperti hujan buatan, jelas tidak kondisikan alam lestari melalui penumbuhkan pohon-pohon. Tapi pohon plastik sekarang sudah menjelma penghijauan semu pada setiap kota-kota di kepala, yang tak memunculkan daya kekritisan, dinaya berontak atas fitrohnya sebagai insan merdeka; kemenjadian dipurnakan dari kasus-kasus untuk diselesaikan.

‎"Jadi Tuan-tuan, Dengan segala kasihku aku unjukkan diriku padamu;" Di belahan berbeda, Hamlet seolah unjukkan Derrida, lebih jauh dan atau kepada Hantu-hantu Marx. Di sebelahnya Nurel menggugat makna kata "Kun Fayakun" yang dijelmakan arti "Jadi, lantas jadilah!" Jadi Tuan-tuan, oleh segala keluguan saya, segenap ketumpulan pena ini. Di manakah jari-jemari biasa menari, apakah sebatas 'kebeningan kosong' Norris? Di bingkai lain, kenapa anda kurang bijaksana, tidak seperti suara-suara Sartre dalam pengantar bukunya Frantz Fanon "The Wretched of the Earth"? "Dan walau semiskin ini Hamlet" Keterbatasan Derrida, bubarnya Uni Soviet, "Menyatakan kasih dan handaiku padamu," bahwa kemenangan global perekonomian pasar bebas, jika tanpa koreksi tajam, segera tergelincir ke jurang perbudakan, perang tidak bisa dihindari saat sekecil-kecilnya datang diabaikan?

‎"Insya Allah, tidak akan kekurangan:" Tidakkah akan sampai Presiden Barrack Obama berkunjungi ke Bali di bulan kemarin, Pemerintahan Republik Indonesia takkan menambah hutang lagi, jikalau para aparatnya sadar diri. Pertumbuhan ekonomi dihadapi berkesadaran mawas, bukan awas! atau ancaman seperti anak kecil tidak memiliki mainan tak dijadikan sekutu, atau menguasai pasar secara tidak sehat. "Marilah jalan bersama," :kata Hamlet. Kebijakan terbuka, membuka diri seluas-luasnya sebagaimana kemungkinan rahmat Tuhan, tapi perlu menyempal dedahan pengganggu berakibat condongnya batang pohon kesatuan; kemanusiaan, selurus tegak nilai bersegenap kemungkinan indah menjulang ke puncak matahari kemerdekaan. Pertumbuhan alami dari pohon sungguhan, tidak plastik atau pun alibi! Yang digagas para pendahulu, tak lupa mengamati firasat Francis Fukuyama pula Derrida, atau Prabu Jayabaya, R. Ng. Ronggowarsito, Mpu Prapanca, Mpu Tantular, misalnya.

‎"Ndilalah kersa Allah, Begja bejane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada" (Namun sudah menjadi kehendak Tuhan, bagaimana pun juga sebahagia-bahagia yang lupa diri, masih bahagia yang senantiasa ingat serta waspada). [Serat Kala Tida, Sinom VII, R. Ng. Ronggowarsito], "Dan letakkan jari-jarimu pada bibirmu, kumohon." Sumpahnya mengajak jemari bekerja itu menyentuh bibirnya, agar merasai ludah basah sedari kata-kata sumpah; ingat dan waspada guna setiap lipadan rapi menandakan bulir-bulir air kesaksian. Atau Hamlet memerintah menyentuh bibir sebagai perlambang kesadaran, sumpah ini terjadi pada mulut yang ‘tersadar,’ rongga napas saat itu jua. Permohonan tulus tidak untuk dirinya sendiri, tapi mereka yang bersumpah pula melaksanakan kesaksian; luka-luka di kaki tak hanya diamati, tapi lebih sempurnahi diri perasaan, dielus-elus selaku keterlibatan, menjenguk tanda mata kasih sayang.

Bibir-bibir gemetar oleh pengucapan sumpah, merasai jemari sekujur tubuh menggigil panas dingin demam. Di ketinggian panggung, Hamlet peragakan jemarinya disentuhkan ke bibirnya, hawa udara sesak memanas, menjambak kulitnya mengucurkan air keringat, terus menyerukan kalimat. Dan para penonton ‘Queen’ bersorak-sorai khidmat di dalam sepaduan nada seimbang "We Will Rock You." Tapi "Waktunya tidak nyambung: Oh jahanam terkutuk," "Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun" (Jaman yang dilalui itu memang jaman gila, untuk menentukan sikap repot sekali. Akan ikut gila (menggila) seringkali hati tak tega. Namun apabila tidak mengikuti, tidak akan mendapatkan hasil akhirnya kelaparan. [Serat Kala Tida, Sinom VII, R. Ng. Ronggowarsito, di buku “Raden Ngabehi Ronggowarsito, apa yang terjadi?” Disusun Anjar Any, penerbit Aneka Ilmu, Semarang 2002]. Maka bacalah selepas sorak-sorai, keheningan suara-suara ganjil, tak dipatenkan berdiam diri, tetepi pembongkaran demi mendewasakan jenjang ingatan, ini pembetulan "Yang aku dilahirkan untuk membetulkannya." Hamlet melanjutkan: "Tidak, ayolah, pergi bersama" [Keluar], melaksanakan sumpah, merasai kutukan Sartre, menebar ruh dari ruh Valeri, setindak kerja Derrida!

NB: “Serat Kala Tida” bagian VII di atas sengaja dibalik, setelah bersepakat dengan Beliau; R.Ng. Ronggowarsito.
Allahumma sholli alaa sayyidina Muhammad.

*) Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XVII kupasan ketiga dari paragraf tiga dan empat)
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/01/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_17.html
Sebelumnya:http://sastra-indonesia.com/2011/12/gugatan-untuk-mastera-2006-dan-anugerah-sastra-dewan-kesenian-riau-2000/

Soal Estetika Sastra Internet

TS Pinang
Republika, 20 Mei 2001

Munculnya beberapa situs sastra di internet belakangan ini ternyata memancing kritik yang cukup serius baik dari para pengamat maupun pegiat sastra itu sendiri. Dinamika di mailing list penyair sendiri ternyata sempat bikin gerah Faruk HT, kritikus sastra dari UGM. Agus Noor yang cerpenis pernah mengungkapkan kekecewaannya terhadap karya-karya cerpen internet yang terpajang di situs www.cybersastra.net. Ahmadun Yosi Herfanda di Republika (Minggu 29 April 2001) juga setidaknya mengungkapkan kegelisahan yang sama menanggapi akan diluncurkannya kompilasi karya puisi internet (cyber) oleh Yayasan Multimedia Sastra dalam waktu dekat ini.

Kegelisahan utama yang muncul ialah seputar estetika sastra di internet yang belum beranjak dari tradisi sastra di medium konvensional (cetak). Kritik yang paling sering muncul berkaitan dengan sastra (di) internet ini ialah bahwa para pencipta sastra masih memanfaatkan internet sebatas medium saja. Artinya internet hanya dipakai untuk memindahkan karya-karya sastra dari medium kertas ke bentuk digital. Fungsi dokumentasi inilah semata-mata yang paling populer dimanfaatkan. Sementara itu kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh teknologi internet belum digali apalagi dimanfaatkan oleh para sastrawan cyber dalam pencarian estetika baru. Ahmadun bahkan sempat menggagaskan secara lebih teknis mengenai estetika puisi di internet dari segi presentasi karya, antara lain pemanfaatan latar layar, suara dan efek-efek audio-visual lainnya. Agus Noor hanya menyatakan kekecewaannya tanpa menawarkan gagasan baru. Kelihatannya, sejauh penglihatan saya, baik kreator maupun kritikus sastra masih gagap menyikapi kehadiran teknologi internet ini baik semata sebagai medium maupun sebagai lahan eksplorasi estetik baru. Seringkali saya pikir harapan-harapan yang disampirkan di pundak binatang baru bernama internet ini masih terlalu muluk dan terus terang masih agak jauh dari realistis.

Dalam obrolan singkat saya lewat email dengan Eka Kurniawan, penggagas dan pengelola situs www.bumimanusia.or.id, pernah kami singgung mengenai sastra internet ini. Dari obrolan amat singkat itu saya menangkap bahwa sastrawan internet mesti mencari terobosan estetik yang baru dengan memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan yang dibawa oleh teknologi ini. Pencarian estetik bukan sekadar memanfaatkan kecepatan transfer informasi. Dalam konteks internet, estetik di sini akan berarti ungkapan estetik audio-visual pada layar monitor dan pengeras suara di mesin komputer kita.

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa gagasan-gagasan estetik yang dipancing oleh Ahmadun maupun Faruk itu memang sangat menarik pada aras konsep, tetapi masih teramat repot diaplikasikan dalam praktek. Sejauh saya amati, para pegiat sastra, baik yang sudah dikenal luas maupun pendatang baru yang mengirimkan karya-karya mereka ke mailing list penyair atau ke redaksi cybersastra.net, mengirimkan karya-karya mereka karena alasan kecepatan (baca: sifat instan) internet. Kertas digital. Hal ini disebabkan karena pengetahuan internet mereka memang masih sebatas memanfaatkan fasilitas-fasilitas internet yang paling populer: email dan website.

Eksplorasi estetik sebagaimana dimaksud oleh Ahmadun itu jelas membutuhkan keahlian seorang perancang website atau bahkan seorang programmer. Akibatnya proses kreatif akan menjadi sebuah proses kolaborasi yang membutuhkan banyak waktu, tenaga dan yang jelas biaya, kecuali sastrawan bersangkutan juga mengantongi ilmu perancangan website dan pemprograman untuk internet yang saya yakin hanya ada sedikit. Pada tahap ini jelas ke-instan-an internet menjadi jauh berkurang. Penggunaan gambar-gambar ilustrasi, latar suara, gambar bergerak, efek tipografi berkedip-kedip, dan lain-lain membutuhkan pengetahuan teknis yang tidak semuanya disediakan oleh perangkat-perangkat lunak instan yang tersedia di pasaran. Beberapa efek bahkan membutuhkan kemampuan menuliskan bahasa pemprograman seperti JavaScript, Java Applet, Visual Basic, atau kemampuan rancang grafis elektronik semacam Flash dan beberapa aplikasi multimedia lainnya. Karya seperti ini jelas merupakan suatu proyek besar dan relatif mahal, padahal daya tarik utama internet ini bagi para sastrawan cyber justru adalah sifatnya yang instan dan murah.

Kemungkinan yang paling realistis pada hemat saya adalah penggalian estetik dalam bahasa ungkap. Eksplorasi estetik berbahasa inilah yang menurut saya sebenarnya perlu lebih dihayati oleh para pegiat sastra siapa saja dan ini jelas bukan monopoli sastrawan internet. Kebutuhan atas penggalian estetika baru pada dasarnya adalah kebutuhan pengarang maupun pegiat seni pada umumnya yang universal sifatnya. Pencarian estetik semata untuk membedakan diri (baca: sastra internet) dari sastra konvensional (cetak) bagi saya terdengar naif. Internet bagi saya tetap hanyalah sebuah medium dengan kelebihan maupun kekurangannya sendiri. Ia tak lebih hebat atau buruk dibanding media konvensional lainnya. Ia menawarkan kekhasannya sendiri sebagaimana media konvensional dengan kekhasannya sendiri. Internet tak akan menggantikan media cetak karena memang ada beberapa hal di mana keduanya tak bisa saling menggantikan.

Seorang teman penyair menyatakan dirinya tak akan mengirimkan karya-karya puisinya ke media cetak. Dari segi estetik karya-karyanya tak beda dengan karya-karya penyair “koran”. Kegigihannya untuk bertahan di medium internet semata karena alasan yang lebih bersifat politis. Kebebasan tanpa birokrasi yang ditawarkan internet tidak dijumpai di media konvensional yang sering menjadi baju ukur pengakuan (baca: penobatan) seseorang sebagai penyair atau sastrawan betulan. Rasa kebebasan berekspresi ini ternyata amat berpengaruh bagi kawan penyair tersebut dalam berkarya. Ia dengan enak menulis puisi dalam gaya ungkap dan bahasa apa pun yang dia inginkan. Puisi-puisinya banyak yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, bahkan Banjar. Beberapa puisinya dalam bahasa Inggris bahkan telah dimuat di beberapa situs dan forum diskusi puisi internasional. Buat dia internet adalah sebuah taman bermain (baca: taman sastra) yang tanpa batas, tanpa sekat. Kawan ini bahkan menyebut situs pribadinya “kamar sastra”. Tentu yang dia maksud bukanlah kamar berbatas empat bidang dinding atau sekian kolom di halaman surat kabar.

Kebebasan berekspresi ini juga merupakan keunggulan penting internet, meskipun bagi sekalangan pengamat justru membuat internet tampak seperti “truk besar” atau bahkan “tong sampah” bagi karya-karya yang ditolak oleh redaktur koran. Komentar yang terdengar agak sinis begini muncul karena mereka masih berpegang pada nilai-nilai estetik konvensional yang notabene dibentuk oleh media cetak selama ini. Saya sendiri berkeyakinan bahwa justru dengan menjadi “truk sampah yang besar, amat besar” ini karya-karya dan pencipta-penciptanya bisa saling berkomunikasi dan sangat mungkin dari sana akan muncul kejutan-kejutan estetik baru.

Sastra internet adalah sebuah proses. Ia tumbuh, ia jatuh bangun, ia bermutasi, berselingkuh dengan leluasa!

Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/ts-pinang-soal-estetika-sastra-internet/396169457078592

Monday, March 26, 2012

MELAGA EMPU, MENDENYUTKAN ILMU

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Seorang sahabat, baru-baru ini mengenalkan suatu istilah baru :Workaholisme. Apa pulakah itu? Teman kita menjelaskan yang dimaksudkan adalah “keranjingan kerja”, atau tegasnya kita dikendalikan oleh dorongan nafsu kerja, di mana keseimbangan sikap-kerja itu membuat orang jadi tanpa-daya. Dikatakan, kerja adalah merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.
Dengan bekerja, kita memang dapat memperoleh berbagai manfaat, seperti : imbalan materi, rasa berguna dan kesempatan pergaulan yang relatif luas. Gejala normal demikian tak usah dimasalahkan, tentunya. Yang jadi soal, jika penderitaan keranjingan kerja ini, melepas kesibukan saja merupakan siksaan, dan dia tak bisa menghentikan kegiatan kerjanya. Kalau dipaksa mengaso, warkohalisme akan merasakan stress, depresi, dan sampai tidak bisa tidur (insomnia), karena, kerja baginya adalah obsesi yang berada di luar kontrol diri, seraya menyebut gejala ini, saya malahan teringat akan kaum perempuan, kaum “para empu” (mereka yang mumpuni, allround), yang sedari subuh hingga jauh malam masih terbelenggu oleh sibuknya kerja. Kadang, bukan soal tanggungjawab dalam bekerja itu yang dipersoalkan, melainkan jelmaan dari kerja yang mengejar serta memaksakan kehendaknya, sehingga si perempuan hanya bakal merasa berguna, jika dia melakukan kerja rutin dan ajeg, sebagai sarana untuk bisa dihargai dan dianggap manusia layak bagi sesamanya. Dengan kata lain : melaga empu, buat memperagakan Si Aku!

2.
Juga, ketika dunia tengah berfikir tentang usaha mencampakkan pikiran yang membebani ketenangan rumahtangga, diperoleh kesan, bahwa kaum wanita misalnya, telah lebih memilih adanya persoalan-persoalan berat ketimbang tanpa persoalan sama sekali. Hal begini justru nampak, waktu kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan sekitar penghidupan yang diemban dan dihayati kaum ibu—yang banyak kali membuatnya pusing menyangganya. Misalnya, karena anggaran rumahtangga yang terbatas, dan bagaimana dia berusaha untuk mengatasi hubungan antara dirinya dengan keluarga teman-teman suaminya, dan bagaimana dia harus bersikap sebagai ibu bagi karyawan, misalnya. Lantas, dalam mengatasi hambatan-hambatan ini, wanita kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya dengan sesuatu yang kadang di luar lingkaran : yang pokok”, umpamanya : mengangkat anak miskin, giat rekreasi, bahkan giat berbelanja, giat dolan-dolan ke rumah tetangga, danlainlain. Kalau dia merasa buntu dan sumpeg di rumah, dapatkah kegiatan di luar rumahtangga itu membuat pikirannya bening kembali? Dalam hal ini, wanita kadang belum sanggup menanggulangi kemelut-kemelut seperti ini secara serentak, apalagi berurutan. Maka dicoba mencari jalan pintas. Kalau tak mampu bersikap terhadapkekasih suaminya, atau tak mampu menyiasati situasi instansional, maka sering dicari terowongan yang sempit, yang membuat tubuhnya tersenggol dan terjepit. Kewanitaannya ikutbicara, tapi dengan nada dasar yang “tidak pas” (terlalu tinggi, terlalu rendah)…

3.
Bagian yang lepas dari kehidupan anak manusia, justru adalah padarealita begini : kita datang bersama, baik lelaki maupun perempuan—dan karena itu, kitapun punya tugas untuk merembug serta menyelesaikan segalanya bersama-sama, hingga rampung. Mungkinkah kita belum menemukan cara terbaik untuk berdialog antara kaum pria dengan kaum wanita? Maksudku, dalam forum yang masing-masing pihak bisa saling menjaga jarak (lantaran panggilan kodratinya yang memang berbeda satu sama lain). Namun juga terikat kebersamaan—bahwa satu sama laim memikul tanggungjawab penyelamatan generasi, pelesetarian cita-cita juang yang suci. Dalam pentas kerjasama dwitunggal seperti ini, belantara hayati harus dipandang belantara penebaran cinta kasih nan universal—lantaran tiada bagian yang tersisa dan tercicir dari program-program “persetubuhan” hati nurani dan nalar-juang yang luhur. Setiap janji atau sakramen perkawinan, maupun pertemuan dua arus yang menuju kepada keabadian harapan yang diimpikan, agaknya harus dipandang sebagai sumbangan bagi makin kokohnya akar-budaya kita semua. Soalnya, pandangan yang nyata dari tiap kelompok yang menyadari rasa kesatuannya itu, tak bisa dipandang kecil. Senantiasa akan bisa kita kaji rentetan peristiwanya yang mengangkat kaum Ibu sebagai pahlawati yang berjangkauan jauh, lagipula bukan hanya secara alamiah dihadapkan kepada prosesi sambung-nyawa di tubuh bangsa, melainkan juga sebagau pekerja kehidupan lumtah, yang melakukan persetujuan dengan hari depan, lewat sikap intelektualnya.

4.
Menggunakan sebuah prinsip, wahai pembaca, sungguh merupakan lampah yang memerlukan keberanian. Karena di dalamnya bukan saja nampak, bagaimana kita membersihkan ruang dan peluang yang terdapat selingkungan hidup, sedemikian rupa, sehingga masyarakat yang kita rebut, adalah benar-benar masyarakat yang “macak”, kendatipun dia bersifat majemuk. Dalamprakteknya, manusia menghadapi batasan dan keterbatasan yang sangat melukai batinnya—dan dengan menyebut tantangan begini, kita bisa menyimpulkan tolak-tarik yang kuat antara diri sendiri yang tetap berkeprihatinan dan serangkum-himpun pribai-pribadi yang optimis menampung gelegar guntur. Hanya dengan keseimbangan seperti ini, dapat diharapkan terciptanya seorang pencahari guyub yang konsekuen.

5.
Fitrah yang nampak sekali disadari oleh kawula muda, sejauh ini sebenarnya adalah dalam kaitan pihak yang menggenapkan perencanaan yang berasal dari muasal kebajikan. Karena kita seringkali menimbang-nimbang kemungkinan denntang tembang-tembang manis, dan seraya memperhatikan rengkuhan dari orang-orang terdekat, dapatlah senantiasa terdekap “karuh, lenguh, keluh dan rikuh”, yang dalam kesehari-harian ternyata sarat di pundak kita, menekan serta menghimpit dan melemaskan tenaga kita. Pantas kita renungkan, bagaimna seorang manusia dewasa harus bisa mempertanggungjawabkan kepada sejumlah reyal tergenggam di tangan (dengan cucur peluh yang bagaimana)—dan bukan lantaran ongkang-ogkang yang mengandalkan rezeki nan kesasar. Zaman kini justru lebih mengutamakan imbalan dan fungsi kerja, dalam arti semurni-murninya, sehingga tiada yang bersifat penghamburan umur dan tenaga. Malahan terdapat proteksi terhadap kerja insani sebegitu rupa, hingga setiap individu berhak mengajukan rekayasa-rekayasa yang menentukan. Rekayasa yang mendorong tatanilai berlabuh.

6.
Garis besarnya, kehidupan pada gelommbang ketiga peradaban niscaya akan lebih menimbang secara cermat luapan emosi sejauh yang dapat ditopang oleh daya-gertak nurani. Dengan demikian, maka pemikiran yang utuh akan lebih dimuliakan orang. Hidup menjadi suatu pertaruhan yang benar-benar seru dan amat menentukan, manakala rekadaya yang muncul dari usia-usia muda diberi kesempatan bertumbuh-kembang menunjang kemekaran gagasan kaum yang berangkat tua, terutama kaum yang mapan, yang ada di harungan pembudayaan sekarang. Orang-orang itu adalah kreator-kreator yang tak kan bisa dicongkel begitu saja, karena peran sertanya adalah dominan dalam perkembangan lokal dan regional kemarin dan hari ini. Pergeseran tentu saja ada dan dibiarkan, namun demikian haruslah masih dalam batasan sehat dan normal, pencipta, pendulang dan penggali adalah mutiara barisan depan. Tapi para peronce dan penata butir-butir mutu-manikan itu, yang meneruskan mars tanpa henti ini, dan pada gilirannya mengurai senandung!

7.
Kembali pada obsesi kaum wanita kita, yang acapkali dewasa membuktikan bahwa dirinya berguna bagi keluarganya, bagi orangtuanya, bagi lingkungan sosialnya, hanya bila mampu bekerja. Saya cemas, kalau-kalau pikiran yang menyebabkan Workaholisme di kalangan kaum yang terpilih (ingat: perempuan para-empu-an), bukan selamanya timbul dari dasar kejujuran pribadi. Pula bukan lantaran dorongan emansipasi yang menggebu, yang menyebabkan Si Ana, Si Ani, dan Si Latifah itu begitu larut mendenyutkan ilmu. Ya, kita banyak mendengar tentang politikus wanita, polisi wanita, profesor wanita, hingga pangkat setinggi-tingginya. Jikalau kesempatan buat merauh profesi tertinggi dikompromikan dengan kebanggaan berkarya-berkreasi, barulah sebuah nama berhak dikibarkan. Tapi selama di balik pintu jiwa terdapat sebentik kecemburuan seksual, bahkan terdorong untuk mengungguli kaum lelaki, maka siapa tahu, tiba-tiba Pangeran Antah Berantah kembali memasukkannya sebagau “perhiasan sekar madu” sebagaimana lagu hiburan pernah melantunkannya?

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

Utan Kayu International Literary Bienalle 2007

: Si Geger Menangis, Pesta Bir Berlanjut
Chavchay Syaifullah
Media Indonesia, 26 Agu 2007

SEBUAH ajang yang merambah jaringannya hingga ke tingkat internasional tentu akan menjadi penting bagi publik sebuah negeri. Sebagai pembelajaran, tukar-menukar pengalaman, perigi pendidikan, dan (atau) sekadar forum unjuk kebolehan, pada efek tertentu akan memberi motivasi kuat bagi publik negeri untuk memacu dirinya dalam persaingan di tingkat internasional. Begitu pun semestinya Utan Kayu Literary Bienale 2007 yang diselenggarakan Komunitas Utan Kayu (KUK), 23-30 Agustus ini di Jakarta dan Jawa Tengah. Ajang besar sastra ini mestinya menawarkan nuansa kesegaran bagi publik sastra juga masyarakat luas Indonesia.

Namun, apalah artinya jika ternyata acara ini tidak menghasilkan denyut apa-apa di kalangan sastrawan dan masyarakat negeri? Terang saja, baik KUK sebagai penyelenggara maupun publik sastranya harus sama-sama berintrospeksi kembali mengenai proses dan tujuan penyelenggaraan acara, atau mereposisi bagaimana caranya kaum sastrawan menyikapi kelompok lain dari kelompok mereka yang lebih punya uang dan jaringan untuk membuat acara yang tidak melibatkan mereka di dalamnya, bahkan membuat minder dengan elitisme yang terbangun pada acara itu.

Pada malam pembukaannya (23/8) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, memang terlihat kemewahan yang ditunjukkan pihak penyelenggara. Makanan berlimpah ruah dilengkapi dengan sejumlah meja bundar untuk makan para tamu (sesuatu yang jarang terjadi dalam setiap acara di Teater Kecil TIM) disuguhkan secara menarik. Ditambah ada pesta bir, dan para tamu bisa menenggak bergelas-gelas bir hingga mabuk. Meskipun tentu bukan tujuan acara ini membuat para tamunya mabuk, nyatanya terlihat banyak tamu yang mabuk selepas acara pembukaan itu. Peristiwa itu terang saja membuat risih para tamu lainnya yang menilai pesta bir itu sebagai bagian dari pekerjaan setan.

Dari samping gedung Teater Kecil, seorang penyair bernama Geger menangis. Ia mengaku baru saja dari dalam gedung. Selepas menulis nama dan membubuhkan tanda tangan pada buku tamu, ia diusir satpam. Ketegangan sempat terjadi. Geger berkali-kali meyakinkan satpam bahwa dirinya ialah penyair dan orang yang aktif mengikuti kegiatan sastra. Tapi tetap saja ia diusir.

"Saya memang bersandal jepit dan berpakaian jelek seperti ini. Tapi apa karena penampilan seperti ini saya tidak boleh masuk?" keluh Geger berlinang air mata. Dan Geger pun beralih ke gedung Pusat Dokumentasi HB Jassin bersama dua rekannya asal Papua yang membawa secarik undangan.

"Percuma rasanya bawa undangan ini. Iya sih saya boleh masuk, tapi saya tidak boleh makan. Yang boleh makan ialah jenis undangannya lain," kata rekan Geger asal Papua itu sambil menunjukkan undangan yang kemudian dilicaknya sendiri.

Untuk menyukseskan ajang ini, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) telah menggelontorkan dana cukup besar. Menurut Ketua Komite Sastra DKJ, Zen Hae, dana yang digelontorkan berkisar Rp40 juta.

"Tidak benar acara ini dibiayai DKJ semua. Kami hanya menyumbang tiket, sewa tempat acara di Teater Kecil ini, dan penginapan pengisi acara. Ya, kurang lebih 40 juta rupiah," jelas Zen Hae. Tapi apa argumen DKJ menyumbang KUK, yang dianggap 'berlimpah ruah' uang, sedangkan di tepi lain, komunitas sastra juga butuh siraman DKJ. Sebuah deretan komunitas yang sepi dari lembaga donor.

Selain DKJ, memang masih ada sederet sponsor yang mendukung KUK, antara lain Australia Indonesia Institute, The Indonesian Institute, PT Djarum, dan National Arts Council Singapore.

Kurang membumi

Utan Kayu International Literary Biennale 2007 menghadirkan sekitar 19 sastrawan luar negeri dan sastrawan-sastrawan dalam negeri yang memiliki kedekatan khusus dengan KUK dan DKJ.

"Pesertanya datang dari 20 negara, termasuk Indonesia. Meliputi semua benua yang ada di dunia," ujar Direktur Utan Kayu International Biennale 2007 Sitok Srengenge.

Para penampil di malam pertama cukup gemilang, terutama penampilan Terence Ward, sastrawan kelahiran Boulder, Colorado. Naskah berjudul The City of Death yang dibacakannya memang sudah cukup kuat, ditambah dibacakannya secara cukup tenang dan penuh penghayatan. Sehingga, cerita berlatar Kota Kairo, Mesir, itu mampu menemukan daya tekannya pada penonton.

Begitu pun dengan penampilan Triyanto Triwikromo yang saat pembacaan didampingi rekannya bernama Beni. Sembari berlari kecil, keduanya masuki panggung seperti serigala lapar yang melolong kuat. Triyanto dan Beni yang memakai kedok sempat terkecoh yang mana Triyanto itu. Apalagi sebagian besar penonton memang tidak mengenal Triyanto. Naskah Sayap Kabut Sultan Ngamid dibacakannya selayaknya dialog dalam sandiwara radio. Permainan vokal terasa dominan karena banyak tokoh yang berperan dalam cerpen berlatar Jawa klasik itu. Suasana hidup dalam kesunyian yang mengalir.

Selain melakukan pembacaan karya sastra di TIM, event ini juga berlanjut di Teater Utan Kayu, Jakarta, selama dua hari (25-26/8). Disusul di Galeri Langgeng, Magelang, pada 28 Agustus, hingga berujung di Candi Borobudur, Magelang, pada 29-30 Agustus.

Penyair dan aktivis Fadjroel Rahman melihat event ini sangat penting terutama untuk memotivasi sastrawan-sastrawan dalam negeri untuk berkarya lebih maju lagi.

"Saya melihat penampilan dari Australia (Sam Wagan Watson) cukup bagus. Karyanya sangat unik bagi sastra kita. Karena itu, saya melihat forum ini sangat penting untuk kita semua. Namun sayangnya, event masih terasa eksklusif. Saya melihatnya begitu," kata Fadjroel.

Sementara itu, Sutardji Calzoum Bachri saat dimintai komentarnya hanya menjawab, "Aku tidak nonton, bahkan aku baru tahu ada acara itu ketika aku keluar dari masjid TIM menuju warung Alex," ujar Presiden Penyair itu. Sudah bukan rahasia lagi, KUK memang 'kurang suka' dengan Sutardji. Sosok penyair besar yang tidak mengembek dan tidak rindu tampil.

Sosialisasi acara yang kurang membumi juga sosialisasi yang sengaja tidak disebarkan bagi kelompok di luar jaringan KUK membuat event yang semestinya bisa diraih publik sebagai momentum perbandingan sastra dunia tidak cukup tercapai. Sutardji sebagai penyair kharismatik yang sudah dikenal masyarakat sastra internasional tidak diundang datang, padahal ia bisa menjadi jembatan komunikasi yang menjelaskan posisi sastrawan Indonesia saat ini.

Bila Geger sudah menangis akibat ulah pongah pihak keamanan gedung, dan terbangun rasa mindernya untuk mengikuti acara bernuansa elitis itu, akankah masyarakat sastra Indonesia dibuat menangis hanya karena event ini hanya meninggalkan foto-foto dokumentasi dan laporan pertanggungjawaban keuangan ke pihak sponsor? Alias tidak berhasil melahirkan sugesti atau motivasi yang kuat mendobrak kesadaran sastrawan Indonesia untuk lebih maju berkarya! Jangan sampai pula yang terkenang dari acara ini yaitu ketika si Geger menangis, pesta bir terus berlanjut. Lalu, di manakah berkah acara ini?

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/utan-kayu-international-literary.html

Penyair Berpentas di Candi Borobudur

Suara Pembaruan, 31 Agu 2007

PULUHAN penyair dari dalam dan luar negeri membacakan karya sastra masing-masing di panggung terbuka "Aksobya", timur kaki Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (29/8) malam.

Pergelaran berjudul "Utan Kayu International Literary Biennale 2007" itu dibuka dengan suguhan penampilan tembang Jawa kontemporer berjudul Nyanyian Jiwa oleh komunitas seniman petani lereng Gunung Merapi, dari Padepokan Tjipto Boedojo, Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Selanjutnya komunitas seniman petani lereng Gunung Merbabu, Desa Gejayan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, yang dipimpin Kepala Desa Riyadi, menggelar musik tradisional kontemporer "Truntung Gamelan" mengiringi penampilan puluhan penari tradisional "Soreng".

Para penabuh musik truntung mengenakan properti berupa pakaian dari rangkaian daun dan "janggel" jagung yang menutup tubuh dan bagian mukanya. Musik truntung adalah tabuhan alat musik, terbang, dengan sebilah bambu dipadu pukulan bende dan dram.

Gerimis sempat turun di Candi Borobudur sekitar pukul 21.35 hingga 21.50 WIB saat penyair Indonesia, Avi Basuki, membacakan cerpen Perempuan, dan penyair asal India, Mamang Day, membacakan cerpen Tempat yang Gelap, Kota-Kota Kecil dan Sungai, dan Musim Panas Ini.

Penyair asal Belanda, Chris Keulemans sebelum membacakan karya sastranya menyatakan kekagumannya atas kemegahan Candi Borobudur yang dibangun abad ke-8 pada masa Dinasti Syailendra itu.

Para penyair lain yang menggelar karya-karyanya di pelataran candi itu antara lain Hassan Daoud (Lebanon) dengan cerpen Lorca in Beirut: Who Brought Him Here?, Shin Joong Seun (Korea) membaca cerpen The Fable of Our Age, Hamsad Rangkuti (Indonesia) membaca karya Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Selain itu, Kimberly M Blaeser (Amerika Serikat) membacakan puisi Fantasies of Women, Sean M. Whelan (Australia) membaca sejumlah puisinya antara lain Elvis Tears, Dear Elliot, dan Lemonade and Tequila.

Acep Zamzam Noor (Indonesia) membacakan cerpen Menjadi Penyair Lagi, dan Di Malioboro, Sharanya Manivannan (Srilangka) membaca cerpen berjudul Poem dan puisi berjudul The Mapmaker's Wife.

Saat Sharanya membacakan karya sastranya sekitar pukul 22.56 WIB, angin bertiup relatif kencang di sekitar candi itu dan mengakibatkan layar monitor relatif lebar di sisi kanan panggung roboh.

Pergelaran karya sastra oleh para penyair, Rabu (29/8) malam itu ditutup tengah malam dengan penampilan grup musik Akapela Mataraman Yogyakarta yang dipimpin Pardiman, yang menembangkan sejumlah karya sastra Romo Sindhunata, SY, secara jenaka sehingga para penonton tertawa.

Pada kesempatan itu Romo Sindhunata juga membawakan tembang Jawa, geguritan, yang bertutur tentang kemegahan dan spiritualitas Candi Borobudur dengan iringan musik akapela grup "Akapela Mataraman", secara khusuk.

Terlihat menyaksikan pergelaran karya sastra itu antara lain budayawan Gunawan Muhammad dan Romo Kirjito, Pr, pelukis Joko Pekik dan Soni Santoso, seniman lima gunung Magelang, Sutanto Mendut, dan Wakil Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur, Pujo Suwarno.

Menurut rencana para penyair lain akan membacakan karya-karyanya pada lanjutan 'event' budaya itu, Kamis (30/8) malam, di panggung "Aksobya" Candi Borobudur.

"Temu penyair ini bagi kalangan seniman Magelang tentu memberikan inspirasi bagi perkembangan dunia sastra di daerah ini," kata penyair Kota Magelang, Es Wibowo.

Sementara itu, acara temu penyair dari dalam dan luar negeri yang berlangsung pada Rabu (29/8) malam juga diramaikan dengan pameran seni instalasi berjudul Lelaku (perjalanan) di Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

"Lelaku"

"Karya Lelaku ini simbol perjalanan spiritual manusia, sebagaimana Sidharta Gautama juga menjalani 'lelaku' untuk mencapai kebuddhaannya,' kata Ismanto, seniman Gunung Merapi, Magelang, yang membuat instalasi tersebut, di Magelang, Rabu (29/8) malam.

Lelaku berupa instalasi kurungan dari rangkaian bambu, berjumlah sekitar 20 unit berbagai ukuran itu menghiasi berbagai tempat di panggung terbuka "Aksobya", di timur kaki Candi Borobudur.

Ismanto yang juga pematung, pelukis, dan seniman teater itu mengatakan, setiap orang pasti melakukan perjalanan spiritual kemanusiaan. Para penyair, katanya, menghasilkan berbagai karya sastra setelah mereka melakukan suatu perjalanan spiritual.

"Mereka tidak sekadar menulis karya sastra, tetapi melalui suatu proses perjalanan spiritual dan mendapatkan inspirasi yang kemudian dituangkan dalam karya sastranya," katanya.

Ismanto menyebut kurungan dengan pelita sebagai simbolisasi bahwa di dalam tubuh manusia terdapat jiwa yang bersinar. Pada bagian panggung terbuka itu, karya Lelaku Ismanto juga juga dilengkapi dengan tatanan jerami di berbagai tempat sehingga terkesan eksotik.

Penutupan

Pementasan wayang kontemporer dengan lakon Sudamala akhirnya menutup temu penyair dari dalam dan luar negeri di panggung "Aksobya", kaki Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Pementasan wayang oleh dalang asal Tegal, Jawa Tengah, Slamet Gundono, di Magelang, Kamis (30/8) menjelang tengah malam itu. Gundono saat memulai pementasannya mengatakan, lakon Sudamala diolah secara kontemporer tentang kesetiaan Dewi Uma, berasal dari kisah yang tersimpan di Candi Sukuh, Kabupaten Karanganyar, Jateng.

"Ini tentang liku-liku kehidupan pasangan suami istri, Dewi Uma selingkuh, namun ada kesadaran dan pertobatan," katanya.

Lakon Sudamala dimainkan dalam bentuk pewayangan kontemporer, memadukan antara lain seni musik, tari, performance art, teater, wayang kulit, dan wayang orang. Pementasan itu terkesan megah oleh latar belakang Candi Borobudur yang diterangi lampu ribuan watt dari berbagai sudutnya.

Penonton terlihat tertawa saat menyaksikan pementasan itu karena sang dalang, Slamet Gundono, membawakan lakon itu secara menarik dan kental dengan humornya.

Iringan musik dari tabuhan antara lain saron, demung, terbang, dan kecrek. Sementara Gundono selain mendalang juga memainkan alat musik "kencrung".

Dua tokoh wayang dari bahan plastik dan dua gunungan ditancapkan di panggung tersebut, dan sesekali dimainkan oleh sang dalang. Sementara dua penari putri terlihat tampil secara menarik sebagai tokoh Dewi Uma. Mereka menari mengikuti iringan musik dan tembang Jawa kontemporer yang dilantunkan Dalang Slamet Gundono.

Sebelum para penyair membawakan karya-karya mereka, sejumlah personel grup musik akapela, "Akapela Mataraman" asal Yogyakarta membawakan musik campur sari dengan vokalis Soimah Poncowati diiringi siter, saron, dan kibor.

Grup itu tampil membawakan sejumlah tembang macapat dan campur sari. Soimah secara terus-menerus bernyanyi sambil berdialog dengan penonton dan pemusik.

Ketua Panitia "Utan Kayu International Literary Biennale 2007", Sitok Srengenge, mengatakan, pergelaran yang meriah itu bukan sekadar pertemuan para penyair dan pementasan karya-karya mereka. Akan tetapi, bermanfaat membangun solidaritas antarpenyair dan memberikan inspirasi kepada mereka dan masyarakat luas tentang kehidupan.

"Kesempatan ini bukan hanya kesenangan karena bersama-sama berkumpul dengan menunjukkan karya masing-masing, tetapi menjadi suatu solidaritas kemanusiaan. Kebersamaan ini menguatkan kecintaan terhadap sastra," katanya. [Ant/U-5]

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/sastra-penyair-berpentas-di-candi.html

Renungan Kehidupan: Ibu Imajinasi

Radhar Panca Dahana*
Kompas, 30 Agu 2007

Kembali dari Parung Bingung, Bogor, dari sebuah rumah besar bergaya minimalis yang damai—ada sungai di tepinya—dan mengarungi ruang kerja serta galeri pelukis Hanafi, seperti kembali dari perasaan-perasaan purba.

Saya seperti kembali dari dunia lain, di mana kita mengenali kenyataan tidak hanya dari kepadatan lalu lintas, perdagangan sibuk pasar tradisional atau hypermarket. Juga dari ratusan bibir menggelinjang dalam diskusi, atau tukang becak yang coba mengelabui penumpangnya. Namun, dari sebuah dunia di "kejauhan", tempat segalanya bermakna ketika kita me-"rasa"-kannya.

Inilah sebuah dunia yang "berjarak" dari dunia nyata kita. Sebuah dunia kehalusan Srimpi, kidung-kidung atau kalangwan klasik, gamelan yang menggemang, patung Sudirman yang kecut, kurus dan kuyu, atau warna-warna kasumba, angka yang bergeletakan, cerita yang menusuk serta getaran giris lukisan-lukisan Hanafi; pelukis yang memegang kelengkapan modernitas dalam kebajikan alam yang tua.

Dunia yang menggerakkan kita tidak dari kekuatan dan kombinasi pikiran serta rasionalitas. Tidak dari materialitas yang tampak, terpegang dan terukur. Namun, dari sebuah gelombang yang mengalun dan menghunjam, lembut dan keras, ke dalam sanubari kita—dalam psikhe, batin, atau "Id" kita—memberi kita sebuah makna yang membuat kita menjadi lebih "paham": apa yang sesungguhnya telah terjadi di sekitar kita.

Ini mungkin sebuah pelajaran penting bagi manusia "urban" yang getas dan kering. Yang melihat dan mengapresiasi kenyataan melulu dari indikator fisik: bunga deposito, jumlah karyawan, besaran ekspor, nilai valas, kurs IHSG atau headline media massa. Sebuah ingatan akan adanya realitas yang mendekam, bergerak, bahkan berperan menentukan di kehidupan keseharian kita. Dunia "dalam", dunia "rasa", dunia gelombang: kodrat lain dari cahaya, selain sebagai foton (materi). Dan, sebenarnya, dunia makna sesungguhnya.

Ketika (kita) lupa

Bisa jadi, perikehidupan kota, dengan seluruh pranata hidup serta identifikasi-identifikasi penanda modernitasnya, tidak memberi kita passport atau sekadar tiket free untuk memasukinya. Jika tidak, kemudian kita teralpakan. Kita dibuatnya lupa, dipaksa menerima kenyataan inderawi atau empiris itu sebagai satu-satunya realitas kita, bahkan menekan kehendak itu untuk sekadar tahu: "tak adakah realitas lain selain ini"?

Lalu kita pun tenggelam dan hanyut bersamanya. Bersama artifisialisasi dari kemanusiaan dan kesemestaan kita. Dunia "batin" pun tersisih, pergi, atau meninggalkan kita selamanya.

Kita sudah akan merasa gembira dengan angka pertumbuhan ekonomi, atau jumlah dollar dalam cadangan devisa Bank Indonesia. "Fundamen ekonomi kita kokoh," kata mereka.

Namun, di seberang apartemen kita, sekian keluarga tidak tahu mereka akan makan apa hari ini. Ada yang bayinya mati di kali yang hitam, anaknya berkeliaran di perempatan bersama pelacur, bromocorah, dan virus AIDS atau flu burung mengintai.

Ah, betapa tidak bisa kita terima kenyataan jauh itu. Dunia di balik notebook Pentium Core 2 Duo, atau studio TV yang perkasa, huruf-huruf besar koran pagi, atau statistik rapat manajemen siang nanti adalah the real reality itu. Sebuah kenyataan—yang tanpa disadari—sebenarnya telah menuntun kita dalam tiga dimensi virtual. Dunia maya, yang elektronis yang sistemis dari sebuah Matrix.

Lebih tepatnya, dunia yang direkayasa oleh satu logika informatik dan mediatik tertentu. Tragik, sesungguhnya tragik, jika justru para pengambil kebijakan dan keputusan yang berenang di dalamnya.

Ketika realitas jamak

Karena dunia semacam itu adalah dunia kue lapis, betapa pun ia senikmat lapis legit Lampung yang diproses 24 jam. Dunia yang menawarkan realitas jamak, bergantung pada intensi, ideologi, latar sosial-kultural, termasuk bergantung pada peranti lunak dan keras yang digunakannya. Semua virtual.

Betapa pun, semua mengakui, realitas itu miliknya. Namun, siapa bisa mengatakan: kenyataanmu sama dengan milikku? Realitas, kini, adalah milik pribadi seseorang, sekelompok orang, separtai politik, atau segolongan agama. Kita merekayasa (dan direkayasa) kenyataan kita sendiri-sendiri.

Maka, cobalah tatap dan renungkan semua yang ada di hadapan kita. Sungguhkah semua sebagaimana tampaknya? Takkah itu hanya simulasi simbolik saja? Simulacra, antara lain, kata sebagian. Tidakkah itu hanya sebuah game of semiotics belaka? Tiadakah sesuatu yang tersembunyi di baliknya? Yang bergetar, beresonansi, dan bergelombang menembus permukaan kulit ari dan daging kita yang penuh luka, langsung masuk ke hati dan kesadaran dalam kita? Lalu menemukan sebuah kata lain, gerak lain, manusia lain, semesta lain, dunia lain; dunia yang mungkin tak terbayangkan. Namun, mungkin itu dunia yang sesungguhnya.

Anda mungkin tetap akan mengatakan "omong kosong!" untuk semua itu. Baiklah. Jangan paksa diri Anda. Untuk melakukan sesuatu yang Anda tak mau, atau merasa tak "mampu", atau bisa jadi Anda rasa "tak perlu". Anda hanya perlu yang pasti. Pasti Anda akan naik gaji, naik jadi direktur, atau mungkin jadi menteri. Pasti untung rugi, atau saldo pasar dalam relasi sosial dan politik Anda.

Ketika imajinasi mati

Tak ada lagi dunia kemungkinan lain. Dunia serba mungkin, di mana hidup memberi game atau puzzle yang harus kita jawab. Dunia dan hidup tanpa tapal batas, dunia imajinasi kita. Karena memang, dunia inilah yang telah mati. Tidak tumbuh lagi. Ruangnya sempit dan jarak pandangnya sangat dekat.

Itulah dunia kerja kita, tanpa imajinasi. Alhasil, kepercayaan kita padanya—sebagai dunia yang dapat mengembang dan menciutkan dunia wadak kita—hilang. Imaji kita jadi sangat filmis dan terkonstruksi.

Akhirnya kita tak sadar, ratusan dan ribuan tahun, hidup kita bertahan dan berkembang sesungguhnya dari dunia yang kita tolak dan menjadi pandak itu. Di negeri kepulauan inilah, imajinasi pernah dan bisa sampai pada induknya, pada ibunya, di dasar keberadaan dan tradisi kita. Dasar dan tradisi yang melahirkan kebesaran-kebesaran, yang kini tetap menjadi alasan kita bangga dan menjadi satu.

Akan tetapi, alam baru meminta kita menafikannya. Menafikannya!

* Radhar Panca Dahana, Sastrawan, Tinggal di Tangerang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/sastra-penyair-berpentas-di-candi.html
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: March 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates