Wednesday, February 29, 2012

Menyegarkan Kembali Sikap Islam

* Beberapa Kesalahan Ulil Abshar Abdalla
A. Mustofa Bisri
Kompas, 04 Des 2002

KETIKA harian Kompas (18/11/2002) menurunkan tulisan Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, saya menduga bakal muncul banyak reaksi. Benar. HP saya dibanjiri komentar reaktif beberapa orang atas artikel itu. Semuanya bernada “mempertanyakan”.

Tulisan itu bernada “teror”. Saya nyaris yakin, saat menulis, di depan Ulil ada bayangan orang-orang berjubah dan berjenggot, membawa pedang yang di bayangan Ulil terus meneriakinya agar dia juga berpakaian dan berjenggot seperti mereka jika tidak mau masuk neraka. Dari awal tulisan, nada geram sudah tercium. Selanjutnya, Ulil seperti hanya ingin membuat geram mereka yang membayanginya. Mereka yang ia sebut sebagai orang-orang yang memiliki kecenderungan “me-monumen-kan” Islam.

Maka diulang-ulangnya kalimat yang mirip-atau sengaja diambil dari-ungkapan-ungkapan kebanyakan orientalis Barat yang paling dibenci oleh mereka yang “membayangi Ulil” itu.

Bila dugaan saya benar, inilah kesalahan pertama Ulil. Tulisan itu mestinya bukan di Kompas yang umumnya tidak dibaca oleh mereka yang ingin dibuatnya geram. Pembaca Kompas-wallahua lam-umumnya mereka yang masih mau menyisakan perhatian dan waktu untuk membaca atau mendengar pendapat orang lain. Melihat nada tulisannya, Ulil jelas hanya menujukan kepada mereka yang ia sendiri sepertinya sudah yakin tidak akan mau “mendengarkan”-nya. Akibat salah memilih media, tulisan itu justru lebih membuat bingung mereka yang selama ini tidak bertipe sebagaimana sasarannya. Mereka yang selama ini menyikapi artikel sebagai penuangan pikiran-bukan untuk hal lain, seperti men-”teror” orang-akan bertanya-tanya, apa maunya Ulil?

Kesalahan kedua, sekali lagi bila dugaan saya itu benar: Ulil menulis dengan geram! Kegeraman, sebagaimana sikap-sikap athifie lainnya, bisa mengacaukan pikiran yang jernih; bisa membuat orang bersikap berlebihan; membuat orang tidak bisa berlaku adil, jejeg. Sikap yang justru dia sendiri serukan sebagai sesuatu yang mesti diutamakan. Itu sebabnya hakim yang sedang geram tidak boleh memutuskan hukuman. Ulil pasti sudah hafal mahfuzhat yang berbunyi “Kaifa yastiqiemudzillu wal uudu a waj?”, “Bagaimana bayangan bisa lurus bila tongkat yang menimbulkan bayangan, bengkok?” Ya bagaimana kita akan meluruskan kalau kita sendiri kacau?

KESALAHAN lain yang mestinya tidak boleh terjadi dari seorang intelektual ialah menggunakan kemampuannya untuk atau mencampurnya dengan urusan “nafsu”. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Inna akhwafa maa akhaafu alaa ummatie: asyirku billah. Alaa inni laa aquulu ta buduuna watsanan walaa qamaran walaa syamsan; walaakin al-a maal lighairillahi wa syahwatin khafiyyah.” Au kamaa qaala Rasulullah SAW. “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku ialah menyekutukan Allah. Ingat, aku tidak berkata kalian akan menyembah berhala, rembulan, atau matahari; tapi yang kumaksud: amal-amal yang dilakukan bukan karena Allah dan adanya kepentingan yang tersamar.

Amar makruf nahi munkar yang populer itu, hakikatnya adalah manifestasi dari kasih-sayang. Maka, ada dawuh, “Amar makruf nahi munkar, hendaklah dilakukan secara makruf dan tidak boleh dilakukan secara munkar.” Untuk dapat ber-amar-makruf-nahi-munkar secara benar, menurut saya, harus didahului kasih sayang. Orang yang tidak mempunyai rasa kasih sayang, sulit dibayangkan dapat melakukan amar makruf nahi munkar. Dengan kata lain, amar makruf nahi munkar adalah istilah lain dari rahmatan lil alamien. Wallahu a lam.

Semua orang tahu, semangat yang berlebihan kadang menyeret orang kepada perbuatan bodoh. Apalagi, bila tidak disertai pemahaman yang cukup atas apa yang disemangati. Ulil sudah tahu, bahkan tampak sudah menjadi “obsesi”-nya, banyak di antara kaum beragama yang terlalu bersemangat dan tidak disertai pemahaman cukup atas agamanya, justru terbukti lebih banyak merugikan, terutama bagi citra agama itu sendiri. Maka sudah semestinya Ulil tidak bersikap sama. Terlalu bersemangat dalam “memerangi” apa yang dianggapnya “musuh Islam”, sehingga justru mengaburkan pikiran jernih yang ingin dikemukakan.

Kesalahan terakhir-mudah-mudahan benar-benar terakhir-Ulil menulis itu pada bulan suci Ramadhan, dimana seharusnya umat Islam menyerap kasih sayang Ilahi bagi merahmati sesama.

Sengaja saya tidak menanggapi isi atau materi tulisan, karena seperti dikemukakan di atas, saya tidak melihat tulisan Ulil kali ini dimaksudkan untuk mengutarakan pikiran, bahkan wacana sekali pun. Saya yakin kalau membaca lagi tulisannya, dia akan menyesal, minimal agak menyesal, atau saya mengharapkan begitu.

A. Mustofa Bisri, Mertua Ulil Abshar Abdalla
Dijumput dari: http://media.isnet.org/islam/Etc/SegarTanggapan.html

Agama Islam Beku, Akal Terus Berkembang

Fauzan Al-Anzhari
Kompas, 04 Des 2002

DALAM seminar di Riyadh (22 Maret 1972, yang diselenggarakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi (KAS), hadir sejumlah cendekiawan dan ahli hukum Barat yang tertarik menyelidiki pelaksanaan syariat Islam hak asasi manusia dari tangan pertama.

Pertemuan ilmiah pertama dilakukan di Riyadh, lalu di Vatikan, terakhir di Strassbourg. Seminar diikuti delegasi KAS, dan ahli-ahli hukum beberapa negara Eropa.

Dalam seminar itu banyak pertanyaan dari delegasi Eropa, di antara undang-undang dasar, undang-undang perdata, pidana, dan sebagainya harus didasarkan pada Al Quran. Ini patut dipelajari dan dipikirkan kembali, karena kehidupan selalu berubah sesuai perkembangan zaman. Menurut mereka, bukan untuk kepentingan Islam bila semua bentuk hukum diatur berdasar Al Quran, karena hal itu dapat merusak Al Quran sendiri, karena kehidupan berkembang dan kondisi telah berubah.

Kedua, mereka menanyakan hukuman hudud (potong tangan dan rajam) yang tidak boleh diamandemen oleh akal manusia, sehebat apapun dia.

Delegasi KAS menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan menjelaskan dimensi-dimensinya sesuai pesan Al Quran, “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik!” (QS An-Nahl/16:125).

Jawaban untuk masalah pertama, yaitu berpegang teguhnya kaum muslimin kepada Al Quran dalam membentuk segala hukum positif mereka dianggap akan merusak Al Quran sendiri. Ketika diselenggarakan Pekan Fiqh Islam di Paris tahun 1951, yang dihadiri para ahli ilmu hukum dari berbagai universitas di dunia, di antara peserta ada yang mengemukakan persoalan berikut.

Agama tidak akan dapat mempertahankan kesuciannya bila agama itu tidak senantiasa seperti sebagaimana adanya menurut pendapat para pengikutnya, meski masa kedatangan agama telah lama. Agama seharusnya tidak berubah dan tidak berkembang, alias beku. Bila agama berubah dan berkembang, ia kehilangan tempatnya yang mulia dan kesuciannya. Karena itu, tiap kitab suci yang dimiliki agama manapun harus beku, tidak berubah. Kalau begitu, bagaimana mungkin membangun sistem hukum positif atas dasar kitab suci, karena hukum itu selalu berkembang sesuai perkembangan zaman?

Harus diakui, saat itu hukum agama akan mendapat sifat kebekuan, karena segala sesuatu yang dibangun atas dasar kebekuan pasti beku pula. Inilah yang mengkhawatirkan Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) yang galau melihat meningkatnya semangat umat Islam menerapkan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan.

Ulil menawarkan “pemahaman yang segar”, Islam harus dipandang sebagai “proses” yang tak pernah selesai. Tawarannya diturunkan dalam opini Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam (Kompas, 18/11). Alasannya, kenyataan di mana kehidupan dan kebutuhan selalu berubah dan berkembang. Karena itu, agama harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia. Sehingga QS Ali Imran/3:19 yang artinya “Sesungguhnya agama (yang diridoi) di sisi Allah hanya Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab (maksudnya Kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran), kecuali setelah datang pengetahuan (wahyu ini) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa kafir (menolak) ayat-ayat Allah, maka sebenarnya Allah amat cepat hisab-Nya” harus diartikan lain menurut versinya menjadi “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesaimenuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).” Konsekuensinya, wahyu tidak boleh dianggap tuntas. Ayat alyauma akmaltu& ” (QS Al Maidah/5:3), wahyu penutup Al Quran sebagai bukti kesempurnaan agama Islam terpaksa diabaikan.

Secara keseluruhan saya memahami pemikirannya, juga komunitas JIL sesuai prinsip gagasan Islam liberal yang ditulis Greg Barton (1999) yaitu 1) pentingnya kontekstualisasi jihad; 2) Komitmen atas rasionalitas dan pembaruan; 3) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; 4) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.

Para tokoh seniornya di Indonesia: Cak Nur, Gus Dur, Djohan Effendi, dan (alm) Ahmad Wahib. Dengan dana unlimited dari The Asia Foundation, ide-ide kelompok JIL mampu terus menghiasi media massa. Hampir seluruh media publik memberi akses tak terbatas kepada kelompok ini guna memasarkan ide-idenya. Sayang, gagasan-gagasan yang dijual, menurut saya, tidak lagi segar karena komoditasnya “barang lama yang dikemas ulang”.

MUNCULNYA pertanyaan pertama lebih karena kesalahpahaman mereka atas pengertian agama. Setiap bertemu Ulil di forum diskusi (tiga kali) ia selalu mengatakan, agama adalah masalah pribadi (privat), bukan publik, sehingga negara tidak berhak “mengatur” agama seseorang. Realitasnya Pemerintah Indonesia telah memformalkan UU Zakat, Haji, Perbankan Syariah dan sebagainya. How do you mind? Dalam La Grande Encyclopaedia des Sciences, des Letters et des Arts misalnya, memuat kata-kata “agama”. Di situ disebutkan ada seratus definisi agama, sembilan puluh delapan darinya dianggap tidak ilmiah.

Oleh karena itu, yang dipegang hanya dua definisi: 1) agama adalah cara manusia merealisir hubungannya dengan kekuatan gaib yang maha tinggi. 2) Agama mencakup segala sesuatu yang dikenal dan segala kekuasaan yang tidak sesuai ilmu pengetahuan.

Islam jelas beda pendapat dengan pengertian pertama, karena mencakup segala sesuatu yang diketahui, yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang maha tinggi, juga hubungan manusia dengan manusia. Islam juga beda pendapat dengan definisi kedua, karena Al Quran berkata, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran/3:190). Maksudnya, agama dalam Al Quran adalah segala sesuatu yang sesuai dengan ilmu pengetahuan, otak, dan pemikiran.

Orang-orang yang mengajar pengertian agama kepada orang Islam hanyalah mereka yang punya pengetahuan, menggunakan otak dan kaum pemikir. Karena itu, tidak aneh bila umat Islam merasa wajib menegakkan tiap hukum positif bersumber dari syariat Islam atas dasar Al Quran dan sunnah Rasul yang telah memberi pengertian tentang agama

Beberapa ulama, seperti Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Di mana ada kemaslahatan dan kepentingan umum, di sanalah terdapatnya syariat.” Juga yang dikatakan Ibnu Uqail, lanjutan dari apa yang tersebut tadi, “walaupun dalam hal itu tidak ada wahyu dari Tuhan dan juga tidak pernah dikatakan oleh Nabi.”

Demikianlah agama Islam yang syariatnya bersesuaian dengan ilmu pengetahuan, akal, dan pemikiran, tentu sanggup menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang selalu berubah. Agama Islam sanggup memberi jawaban, berdasar maslahat dan kepentingan umum, terhadap persoalan hukum, konstitusi, perdata, pidana, perkawinan, waris, dan sebagainya, meski dalam hal itu tidak ada teksnya (nash-nya).

Sayang, Ulil tidak bisa membedakan mana hudud, mana tazir, sehingga ia ingin mengamandemen seluruh “hukum Allah” dengan mengatasnamakan kemaslahatan manusia. Padahal, Allah lebih tahu. Itu tidak berarti Allah butuh manusia, tetapi sebagai bukti Allah mencintai ciptaanNya. Sayang, kebanyakan manusia tak tahu diri akan kelamahan akal mereka.

Fauzan Al-Anshari MM, Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin
Dijumput dari: http://media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar.html

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Ulil Abshar-Abdalla *
Kompas, 18 Nov 2002

SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.

Saya melihat, kecenderungan untuk “me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.

Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.

Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.

Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.

Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.

Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.

Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.

Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.

Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam.

Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.

Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.

Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam.

Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga/keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim sendiri.
***

BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).

Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.

Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang partikular”.

Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.

Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.

Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.

Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di-”lawan” adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.

Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.

Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik keIslam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan forma; bukan itu yang penting. Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.

Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan “baju” yang dipakai, sementara mereka lupa, inti “memakai baju” adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.

Ada periode di mana umat beragama menganggap, “baju” bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
***

MUSUH semua agama adalah “ketidakadilan”. Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan.

Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat furu’iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.

Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi.

Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “hukum Tuhan” (sekali lagi: saya tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.

Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa’alihi bil ‘ilmi, wa man aradal akhirata fa ‘alihi bil ‘ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia “nanti”, juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.

Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.

Pandangan bahwa syariat adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.

Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.

Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.

Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara “Barat” dan “Islam”; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.

Pemisah antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran.

Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran “Kitab Suci” atau “Kitab-Tak-Suci”, lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.

Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).”

Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.

Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2:148); berlombalah-lombalah dalam menghayati jalan religiusitas itu.

Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.

Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.

Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.

Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri.

ULIL ABSHAR-ABDALLA, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta.
Dijumput dari: http://media.isnet.org/islam/Etc/Segar.html

Patah Tumbuh Generasi Teater Magnit

Dwidjo U. Maksum
http://www.tempo.co/

Menjelang pementasan “Mega-Mega” karya dramawan Arifin C. Noer oleh Teater Magnit, Sabtu (2/4) pukul 13.00 – 21.00 WIB di Aula Kementerian Agama Ngawi, Jalan Kartini 15 Ngawi, latihan dan persiapan terus digenjot. “Perlu konsentrasi dan penjiwaan penuh karena ini potret kemiskinan yang dengan sangat bagus diangkat Arifin C. Noer menjadi naskah lakon,” kata Kusprihyanto Namma, sang sutradara, Selasa (22/3).

Pementasan ini merupakan produksi Teater Magnit ke 75. Berkisah tentang enam gelandangan di alun-alun Yogyakarta (Mae, Retno, Koyal, Hamung, Tukijan, dan Panut) menambatkan mimpinya pada bulan. Angan-angannya melambung setinggi mega. Ingin menjadi orang kaya baru atau punggawa kerajaan. Tingkah-polah mereka perwujudan kegetiran dari kemiskinan. Pikiran rasional memang sesekali muncul, namun segera lenyap kembali.

Para pemain terus berlatih melakonkan karakter semaksimal mungkin. Vivi Pipi Merah memerankan Retno, Isti Pacing sebagai Mae, Jefri Brintrik sebagai Hamung, Wahid Mbutil menjadi Koyal, Tyok Sutiok sebagai Panut, dan Hendri Blongkot sebagai Tukijan. Penata musik dipercayakan pada Uzy Fauzy, Mansur, Wahyu Gembel, Atif Tawun, dan Dicko Lestari. Sedangkan penata lampu, Daris ris Mudaris dan Sasmito Samsito. Tata panggung ditangani Amru Pondokan dan Yaimin bin Yaimun.

Teater Magnit Ngawi berdiri pada 22 Agustus 1993 di Ngawi, Jawa Timur. Anggotanya anak-anak muda yang gelisah mencari jati diri. Sayangnya, ketika lulus sekolah, mereka rata-rata mencari pekerjaan ke luar kota. Komunitas teater pun ditinggalkan, lalu digantikan kader-kader berikutnya. Teater Magnit beranggotakan 300 orang, tersebar di berbagai kota dengan berbagai ragam profesi dan pekerjaan. “Yang aktif, tiap tahun antara 20-40 orang,” kata Kusprihyanto.

Selain “Mega-Mega”, karya lain Arifin C. Noer yang pernah dipentaskan Teater Magnit adalah “Sumur Tanpa Dasar”, “Dalam Bayangan Tuhan”, dan “Kapai-Kapai”. Sedangkan naskah karya Teater Magnit sendiri yang pernah dipentaskan diantaranya, “Tuyul”, “Prewangan”, “Dhemit”, “Pundhen”, “Mayat”, “Dhemit Ki Barong”, dan “Geger Wong Ngoyak Wewe”. Karena lokasi sanggarnya berada di bawah rumpun bambu, teater ini dikenal juga sebagai Komunitas Ngisor Pring. Sering menggelar pentas terbuka ditonton orang kampung, juga ngamen dari sekolah ke sekolah. Tiap bulan, minimal bikin satu produksi panggung.

Pada 1994-1995, Teater Magnit menjadi markas gerakan sastra Revitalisasi Sastra Pedalaman dan menerbitkan jurnal sastra. Sejak 2007 mendukung jurnal sastra Boemiputra. Komunitas ini tetap bertahan meskipun tak pernah mendapat bantuan dana maupun fasilitas dari pemerintah. “Pejabat pemerintah di Ngawi sendiri tak kenal. Tapi itu tak penting karena yang paling prinsip kami tetap konsisten berkesenian untuk menjaga hati baik negeri ini,” kata Kusprihyanto.

22 Maret 2011

Menenun yang Baru: Suatu Upaya Produksi Teks yang Tidak Selesai

Hasnan Bachtiar *
http://sastra-indonesia.com/

KALAU mengingat Derrida, tentu tidak sukar menemukan maksud dari judul di atas. Bagi dekonstruksi Derridian, seluruh kehidupan, bergantung kepada teks. Bahkan kredo yang masyhur di belantika filsafat adalah, tidak ada sesuatu pun di luar teks.

Misalnya kita yang menikmati “bunga mawar” yang sebenarnya, lalu hendak menuliskannya karena ada kesan padanya, maka kita menulisnya, “bunga mawar” sebagai tenunan teks. Sepintas, kita berpikir bahwa bunga asli telah diwakilkan kehadirannya oleh tulisan.
Dunia riil yang ditangkap oleh pengetahuan manusia, atau dalam bahasa yang lebih ringkas disebut dengan dunia ide (logos), digantikan wujudnya oleh teks. Logos, menjadi hal yang tinggi dan asli, dibandingkan dengan tiruannya, teks, tanda atau simbol. Itulah salah satu proses kebenaran ditulis, menurut satu perspektif yang umum.

Di pihak lain, tentu dengan kesadaran lain pula, akan ditemukan bahwa, bukankah teks “bunga mawar” hanyalah teks? Kata “bunga” barangkali tidak harus pengganti atau imitasi dari yang asali. Kata “bunga” pernah dilahirkan dan terus digunakan dari kata “bunga” yang lain atau sebelumnya. Jadi, “bunga” hanyalah tenunan dari huruf-huruf “b-u-n-g-a”. Maka, jadilah “bunga” sebagai satu tenunan kata yang utuh. Dengan demikian, kalaupun kita memiliki ide (logos) tentang apapun, maka teks akan setia menemani. Singkat cerita tentang perspektif lain ini bahwa, benda yang sesungguhnya maupun ide, bukanlah hal yang utama. Logos tidak superior dibanding dengan teks.

Argumentasi yang kiranya sulit dibantah adalah, pernahkah kita menjawab, mengapa “pintu” yang kita lihat, bernama “pintu” atau tersusun dari huruf “p-i-n-t-u”? Lucu juga misalnya kita bertanya, siapa yang mengarang kata “pintu”? Tentu saja banyak dari pembaca agaknya terbelalak, memanggut dan tersenyum kalau menyadari bahwa, setiap orang Indonesia tidak pernah tahu, nama seorang penemu pintu. Hal ini tidak berhubungan dengan “tukang kayu”, namun berhubungan dengan “nenek moyang” penggagas dan penemu yang paling hebat, karena setiap kali menunjuk “pintu”, kita menyebutnya atau menulisnya “pintu”.

Dari “pintu” yang hanya teks, Derrida menyarankan untuk memperlakukan teks selayaknya teks. Maksudnya, kendati makna dari setiap teks itu tergantung kepada penulis, pembaca dan “penulis baru”, Ia memiliki sifat yang tidak tunggal. Tidak ada makna yang “paling benar” di antara siapa pun. Karena itu, hasil karya dari setiap penulis (penulis baru), hanyalah tambahan-tambahan, kolaborasi, atau bahkan sekedar permainan teks. Di sini, ada kesan awal bahwa, “makna” (logos) tidak terlalu penting, karena yang pertama adalah teks, bukan ide. Tapi sebenarnya, Derrida bukan bermaksud merendahkan “makna”. Justru sebaliknya, ada upaya untuk membebaskan makna. Tafsiran akan teks adalah diseminasi, atau penyebaran teks-teks lainnya. Secara sederhana, inilah yang dimaksud dengan “Dekonstruksi Derrida”.

Dalam khazanah filsafat kontemporer, mendewakan logos atau dunia ide, disebut dengan logosentrisme. Wajar, kalau di kemudian hari, ilmu tentang ide atau logologi, sementara, digantikan dengan ilmu tentang tenunan teks atau gramatologi. Maksudnya jelas, bukan untuk menyingkirkan makna, tetapi memperkaya makna.

Tatkalah lebih detil memikirkan ulang Derrida, akan ditemukan bahwa teks, tidak benar-benar menjadi teks. Tengoklah pikiran tentang memerdekakan makna. Kendati selalu meminta bantuan teks, bukankah “makna” adalah logos itu sendiri? Pertanyaan yang mendesak untuk problem ini adalah, apakah makna mengabdi pada pengarangnya?

Setiap orang bisa saja menjawab bahwa, makna melayani kehendak pengarang, pembaca dan penulis baru. Inilah temuan bahwa, teori dekonstruksi tidak kebal kritik. Selalu tersembunyi logos, dunia ide, atau yang metafisis di balik teks yang dimainkan. Dengan begitu, bisa saja gramatologi ternyata terjebak pada logosentrisme. Apakah logosentrisme adalah hal yang kurang baik dan perlu ditantang kekuatan metodologisnya? Dalam konteks zaman Derrida, jelas perlu.

Kesimpulan sementara penulis terhadap dialektika filosofis pemikiran kontemporer tersebut bahwa, setiap pemikiran, memiliki kehendaknya masing-masing. Dengan kata lain, filsafat adalah alat operasi penguasaan. Menurut Nietzsche, seluruh kehidupan adalah dialektika kehendak. Hidup ini adalah pluralitas kehendak, yang masing-masing ingin menjadi yang paling benar di antara yang lain. Filsuf Jerman ini, mengungkap adanya sifat dan perilaku resentimen atau perilaku balas dendam dari setiap langkah kehidupan manusia. Menurut penulis, Nietzsche juga tidak bisa lepas dari jerat resentimen yang dituduhkannya. Ia adalah seorang yang kecewa. Dalam esai panjang yang ditulis oleh Profesor Setyo Wibowo, dijelaskan bahwa tafsir yang menganggap Nietzsche resentimen adalah tafsir yang tidak menarik (Akhmad Santosa, 2009: 190). Jelas pula bahwa tafsir Setyo Wibowo juga perilaku yang resentimen, upaya kehendak, atau operasi penguasaan.

Resentimen sebagai sebuah istilah, memiliki makna yang merdeka. Kendati secara umum, resentimen mewakili suatu kehendak atau keinginan imajiner, agar orang lain tidak bersikap seperti yang dikehendakinya. Sifat khas yang melekat pada resentimen adalah kekecewaan. Kekecewaan dan resentimen, terkesan negatif, namun bisa juga sangat positif. Artinya, berawal dari resentimen manusia yang sangat alamiah, telah membuka pintu dialog, komunikasi, atau bahkan rekonsiliasi antar kepentingan. Dalam kasus tertentu, kadangkala tidak ada perbedaan di antara pemikiran, hanya saja berbeda ungkapan. Tetapi siapa tahu batin orang? Meskipun tiada orang pun yang tahu, sangat baik jika filsafat, sastra, bahasa atau kehidupan adalah berbicara dari hati ke hati. Inilah teori yang hendak digunakan untuk membaca setiap tafsir, dalam pergumulan sastra Indonesia dewasa ini.

Teks analisis ini adalah kritik atas dekonstruksi Derrida. Inilah apresiasi, akan lahirnya kembali metafisika yang kaya, merdeka dan penuh makna. Kritik atas Derrida, sama sekali bukan meruntuhkan, tetapi membaca ulang dan menemukan “maksud” dari upaya pembongkaran teks. Sebetulnya secara detil, tidak ada salah paham dengan logosentrisme dan dekonstruksi. Hanya saja, ekstrim terhadap teori tertentu bisa menyebabkan mis-komunikasi. Menenun teks baru secara terus-menerus, berarti memproduksi makna-makna tanpa pernah berhenti. Aktivitas penafsiran adalah produktivitas yang sangat baik, terlebih sebagai upaya untuk memberi terang akan geliat batin kepada orang lain. Komunikasi dari hati ke hati.

Dengan teori ini, penulis secara khusus akan menguji teks kritik sastra yang ditulis oleh Nurel Javissyarqi. Teks tersebut adalah esai panjang yang berjudul, “Membaca ‘Kedangkalan’ Logika Dr. Ignas Kleden?” (Bagian ke Tiga). Kurang lebih teks ini adalah kritik tertulis yang dilontarkan oleh Nurel pada beberapa pendapat Ignas Kleden, kritikus dan ahli sosiologi sastra Indonesia.

***

Membaca teks sastra Nurel Javissyarqi, memerlukan penjelasan yang benar-benar terang. Kepentingannya adalah untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya disampaikan oleh pengarang. Kendati demikian, pembaca baru akan mengalami kesulitan-kesulitan, termasuk kesalahan dalam menerjemahkan maksud tersebut. Karena itu, memerlukan permakluman kiranya upaya pembacaan ini, hanyalah tafsiran yang disesuaikan pada kehendak penafsir.

Membuat jernih penjelasan tentang teks Nurel, ada dua tahapan analisis filosofis terhadapnya. Pertama, analisis kritik sastra Nurel. Kedua, tawaran metodologis dalam membaca karya sastra.

***

Teks Nurel sebenarnya cukup jernih untuk mengungkapkan gagasan kritis. Hanya saja, untuk menemukan substansi kritik, pembaca mesti lebih detil untuk menangkap maksudnya.

Nampaknya, Nurel adalah seorang yang tekun dan detil dalam membaca teks sastra. Baginya, teks sastra mesti memiliki fundamen yang kuat dalam menopang kehadiran teks. Fundamen yang di maksud di sini adalah pendasaran nalar. Semacam hal yang utama, sebelum adanya permainan teks, intertekstualitas, beserta kehadiran estetika yang mengikutinya.

Sebenarnya obyek kritik Nurel adalah teks interpretasi Ignas Kleden atas pelbagai karya Sutardji Calzoum Bachri. Menafsirkan karya sastra, memang sah untuk siapa saja. Namun, hal itu harus didirikan dari konstruksi filosofis yang kokoh dan tidak mudah runtuh.

Konstruksi filosofis yang kokoh misalnya, terbangun dari beberapa unsur. Pertama, dia lahir dari nalar yang bisa dimaklumi secara intelektual. Kedua, nalar ini dituangkan dengan pilihan diksi yang tepat. Ketiga, kendati setiap penafsir memiliki kecenderungan politis tertentu, hendaknya ia sebisa mungkin bersikap obyektif dalam mengungkapkan komentarnya.

Apa yang telah ditulis oleh Ignas Kleden sebagai tafsir atas Sutardji, bukan tidak memiliki syarat-syarat tersebut. Tentu saja, Ignas Kleden seorang yang mahir, bahkan pembaca umum akan melihat tidak ada masalah dalam teks sastranya. Kalau pun ada perbedaan tentang suatu hal, mungkin tidak lebih dari persoalan kehendak pembacaan oleh setiap penafsir.

Sutardji, seperti dalam kritik yang penulis ungkapkan di bagian sebelumnya, adalah salah satu sastrawan yang memiliki gaya dan pemikiran pasca modern. Ciri khas dekonstruksi, selalu nampak di balik uraian teks, lantunan (parole), penafsiran dan metodologi cara membacanya. Dalam bahasa yang popular, Sutardji kerap dikenal sebagai sastrawan mantra. Khas dekonstruksi dalam persoalan puisi mantra, bahwa melantunkan teks, membacanya, menafsirkan, metodologi tafsirnya, hingga paradigma yang bisa diangkat dari sekian karya yang ia miliki, diserahkan sepenuhnya kepada pembaca, pembaca baru dan penulis baru. Sutardji menuturkan bahwa, “Puisi adalah alibi kata-kata…”

Karena itulah, Ignas Kleden mengambil posisi sebagai apresian yang positif dan sangat mendukung kreativitas sastra Sutardji. Ia mengungkapkan, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi…”

Namun bagi Nurel, inilah persoalannya. “Puisi adalah alibi kata-kata.” Kata “alibi” secara natural, memang memiliki banyak arti, misalnya: dalih atau alasan, penjelasan, kesempatan untuk mengungkapkan alasan, upaya mempertahankan alasan dan nalar yang mengungkap sesuatu. Mungkin makna alibi yang terakhir inilah yang agaknya lebih mengarah kepada maksud Sutardji, yaitu nalar yang hendak mengungkap sesuatu. Nalar, selalu merujuk kepada kebebasan pembaca dan penulis baru. Itulah dekonstruksi. Karena itu, Ignas Kleden memilih diksi “menerobos” untuk mengungkapkan terobosan paradigmatik yang diajukan oleh Sutardji.

Nurel menilai bahwa hal itu sama sekali kurang tepat. Ia keberatan jika paradigma sastra dekonstruksi Sutardji, hanya terwakili oleh kata “menerobos”. Dalam esainya, penulis buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (2011) ini memberi pandangan tajam bahwa, “Upaya IK menyelimuti kata ‘saya bebaskan’ dalam kredonya SCB dengan penggantian ‘menerobos’, begitu kentara di keseluruahan esainya. IK sadar memakai kata ‘bebas’ akan masuk jurang dalam kejahiliaan, dan ia tak ingin hal itu menimpanya.”

Dekonstruksi yang lebih dekat dengan “pembebasan” atau “pemerdekaan”, tidak memiliki alasan yang cukup kuat jika diwakili dengan kata “menerobos”. Derrida sebagai peletak dasar trend filsafat dekonstruksi pun, tidak bermaksud untuk membongkar apapun secara utuh dan purna. Dekonstruksi hanyalah strategi, agar tidak ada absolutisme, dogmatisme, istilah lain sebagai doktrin filsafat yang tak tergugat. Namun di sini, jika membebaskan makna “menerobos”, akan beda lagi implikasi nalar yang mengikutinya. Misalnya, menerobos hanyalah strategi, atau menerobos sesungguhnya memiliki makna membebaskan, seperti makna Nurel atas teks menerobos oleh Ignas Kleden.

Nurel menjelaskan makna terbaik dari teks menerobos bahwa, “Melalui kata ‘menerobos’, tidak hianati asas pengetahuan, ia bayangkan kata ‘terobos’ ibarat cahaya.” Tentu saja tafsiran Nurel bukan untuk memuji, tetapi memberi kritik yang tajam. Seolah-olah dekonstruksi yang dimaknai sebagai menerobos, akan menambah kekuatannya. Karena ciri menerobos adalah mengabaikan, melawan, merusak, destruktif, kekuatan yang luar biasa dan kebal akan segala aturan linguistik dan tafsir.

Dalam teks yang lain, secara lebih tajam, Nurel berpendapat bahwa, “Keengganan tampak menyelewengkan muatan “kredo puisi” dari ‘bebas’ ke ‘terobos.’ Atau ini menantang tegas! Membetulkan, menempatkan sesuai takaran semestinya.” Inilah yang penulis maksud di awal, sebagai persoalan utama yang disajikan Nurel. Sesungguhnya “menerobos” adalah representasi konstruksi filosofis dari teks yang mudah runtuh, karena tidak disokong oleh fondasi nalar yang kokoh.

Kritisisme yang diajukan Nurel sangatlah baik. Inilah kritik sastra yang benar-benar kritis, jika memperhatikan secara filosofis, ternyata ada celah di antara pembaca, kreativitas dan teks sastra sebagai produk. Soal kreativitas, berarti soal struktur nalar. Ini pembicaraan yang beresiko, karena jelas akan dianggap menjauh dari substansi sastra dan tata krama permakluman atas maksud-maksud komunikatif dari ungkapan setiap sastrawan. Itulah ciri di mana pemikiran kritis, selalu saja tidak berada di tempat dan waktu yang selalu belum siap dengan pemikiran unik.

Mencoba menemukan substansi kritik sastra yang kritis, bisa ditinjauh dari beberapa teks yang menungkapkan tentang sikap ketidakkritisan setiap pembaca sastra. Sikap-sikap itu bisa berupa tata krama permakluman, nilai kewajaran, hipnosis atau semacam gejala ketidaksadaran (symptom), keterkesimaan yang menumpulkan naluri kritis dari nalar, ketidakcurigaan, keengganan untuk membaca secara politis dan miskinnya paradigma genealogis yang dimiliki.

Dalam teksnya, Nurel menganggap dalam teks Ignas Kleden, terdapat peluang gejala kerapuhan konstruksi nalar. Ia menjelaskan, “…dapat dikategorikan IK radak enggan, jangan-jangan malas, maka dicari kata samar warnanya demi jiwa SCB tentram seaura menghibur.” Dalam teks lain, ia berkomentar bahwa, “…di hadapan IK karya SCB belum sampai pada yang diharapkan kredonya, tetapi karena Ignas Kleden cerdas, diselimutilah kedalaman hatinya berpolesan kata menggiur nadanya, serupa Tardji membius penonton lewat larikan suaranya. Namun penyair jua esais SCB, tak curiga olah vokal untaian makna sang kritikus, aneh!”

Teks-teks ini bermaksud menunjukkan secara terang bahwa, tata krama permakluman atas maksud-maksud komunikatif teks sastra, atau soal uraian umum “tentang” teks dekonstruksi, telah mengungkap adanya lemahnya konstruksi filosofis. Maksudnya, dekonstruksi yang membebaskan, sementara ini dibicarakan atau dikomunikasikan dengan bahan yang kurang tepat. Kendatipun, cara komunikasi diskursif yang siarkan, sangat berhasil.

Dengan demikian, dapat diambil dua manfaat dari dialektika filosofis di antara para kritikus sastra tersebut. Pertama, Ignas Kleden secara tidak langsung memiliki keunggulan fondasi “komunikasi” yang bisa menyampaikan pesan-pesan politiknya, kendati tidak didukung oleh fondasi “nalar” yang kuat. Kedua, Nurel menunjukkan adanya peluang kerapuhan filosofis, di dalam potensi komunikasi estetis yang mengabaikan ketepatan pilihan diksi teks sastra.

Pada prinsipnya, secara paradigmatik, dekonstruksi membebaskan segala tenunan dan reproduksi teks yang mengikuti kebebasan makna. Namun, pengungkapan teks sastra secara konvensional, tetaplah menggunakan wicara tertentu sebagai alat bantu. Wicara yang selama ini dipersoalkan Derrida, jelas “tidak benar-benar terbunuh” oleh diseminasi atau penyebaran teks yang berlandas gramatologi. Segala bahasa, selalu berpulang pada yang metafisis, seperti menjunjung tujuan-tujuan moral, nilai, kepentingan, kehendak atau keinginan tertentu yang melayani sesuatu. Betapapun dekonstruksi sebagai trend diupayakan oleh Sutardji dan Ignas Kleden, tetaplah bahwa mereka perlu berkomunikasi dengan baik.

Di sini, Nurel melihat peluang di mana kritisisme akan lahir di tengah ketumpulan nalar. Ada beberapa penyebab mengapa banyak orang mengabaikan, tidak kritis dan enggan untuk mempersoalkan pilihan diksi yang tidak tepat, sebagai representasi kerapuhan konstruksi filosofis nalar.

Pertama, melihat siapa yang berbicara. Tentulah teori citra berfungsi dalam ruang publik komunikatif. “Anda berbicara dengan siapa? Atau, siapa yang sedang berbicara?” Secara tidak disadari, atau disadari, hal ini menjadi pertimbangan pokok kendati tidak dibicarakan atau sekedar berbicara di dalam hati.

Kedua, redupnya kritisisme karena alienasi diri (entäusserung), merasa diri belumlah pantas untuk memberikan koreksi terhadap wacana tinggi yang tak sanggup digapainya.

Ketiga, secara diskursif, bahan pembicaraan yang didengarkan, dibaca, diapresiasi, ditimbang, maupun dikritik, termasuk sebagai wacana yang sulit dan memerlukan kekuatan filosofis yang mantap untuk menghadapinya.

Keempat, manusia ingin menunjukkan dirinya di hadapan trend, bahwa kehendak diskursif dari wacana kekinian, perlu diikuti, dengan atau tanpa kritisisme. Dengan demikian, merefleksikan diri dengan busana sastra dekonstruksi juga mempersilahkan bagi pengunjung yang tidak kritis.

Kelima, selalu ada persoalan inferioritas atau keminderan, di mana tata krama lebih diunggulkan dari pada memberikan catatan kritis secara otonom terhadap teks sastra tertentu.

Keenam, wacana diskursif yang dianggap kuat, juga membuat symptom yang menjejalkan pengetahuan, bahwa nalar tidak mempersoalkannya. Tentu saja nalar yang tidak mempersoalkan bukan ujaran diskursif. Namun, penerimaan psikologis dalam alam bawah sadar, yang memungkinkan suatu wacana tertentu hadir di dalamnya.

Rupanya Nurel memiliki ketajaman genealogis yang tidak sembarang orang memilikinya. Teks Ignal Kleden yang tertulis, “…percobaan melakukan dekonstruksi…memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi…” tidak sekedar dibaca secara kritis oleh Nurel, selayaknya kritik sastra biasa. Kritikus ini secara tidak lazim memberi kritik secara lebih dalam, menerobos fondasi-fondasi moral yang membangunnya. Jika hasil tafsiran secara umum lebih gandrung pada deskripsi terlebih dahulu terhadap uraian estetis dan nilai moralnya, Nurel secara berani menunjukkan kerapuhan-kerapuhan akar dan sesuatu pembentuk akar itu.

Dengan kaca mata genealogis yang baik, Nurel membongkar bahwa, “Ungkapan ‘konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi,’ pun para penyair berusaha mencapai, tak hanya Tardji. Lalu digunakannya kata ‘kemungkinan’, agar suatu masa bisa mengelak jika dikenai pertanggungjawaban. Maka sejatinya IK tak mendukung gagasan Tardji, seolah menutupi separuh mukanya dikala berjalan di tengah keramaian. Namun dengan lantang hatinya berujar, ‘bacalah tulisanku yang lain mengenai dekonstruksi atau lebih jauh,’ silahkan.”

Nurel serupa dengan “Guru Penuh Curiga”, menerapkan hermeneutika kecurigaan, untuk menunjukkan betapa teks ini terlampau politis, di sampai aspek-aspek estetis dan moral yang menopangnya. Bolehlah memberi catatan, komentar atau apresiasi untuk Sutardji, namun jangan sampai komentator atau kritikus kalah popular. Kehendak “menjadi” yang terbaik di antara yang baik, sejalur dengan kehendak untuk berkuasa. Sama sekali bergantung pada khalayak agar “diakui” kehadirannya. Ketergantungan pada publik atau orang biasa yang hendak ditaklukkan, bukanlah sifat eksistensial yang utuh. Ia dianggap sebagai subyek yang tidak otonom.

Dalam mengkritik, Nurel selalu menggunakan paradigma kritik yang murni. Namun sepintas saja anggapan itu, di luar tujuan moral yang dikehendakinya. Alasan ini sangatlah kuat, mengingat keterbatasan teks kritik yang ditulisnya. Ada semacam ketidakutuhan, sehingga siapapun penafsirnya, akan gagal menangkap alasan moral yang mendasarinya.

Kritikus yang demikian, kerap kali disebut sebagai kritikus ambang. Kritikus ambang, hanyalah kritikus. Ia berada di tengah belantika perdebatan moral, kendati turut dalam kontestasi, namun mengambil isu yang lebih fundamental dan jauh dari gelombang wacana popular yang ada.

Dalam posisi yang demikian, secara paradigmatik, barangkali Nurel sebagai kritikus ambang, “secara moral” hendak menantang adanya dominasi mazhab sastra dekonstruksi. Dalam benak Nurel, kendatipun kebebasan dijunjung dalam prinsip dekonstruksi, pandangan itu sendiri tidak lepas, tidak bebas, tidak tahan uji oleh kebebasan yang disyaratkannya. Artinya, kekuasaan mazhab “kebebasan” (lebih tepatnya pembebasan) tidaklah sebebas yang dibayangkan. Seperti Derrida, Nurel adalah “penantang” bagi keagungan filsafat kritik sastra yang sedang popular di Indonesia.

Dengan demikian, jelaslah bahwa paradigma kritik Nurel adalah kritik yang murni, dengan tujuan moral semacam stabilisator bagi dominasi arus kekuasaan yang sedang menonjol di permukaan. Barangkali kritikus yang demikian sangat jarang dijumpai selama ini, karena dianggap memiliki ide yang terlampau pinggiran. Padahal, betapapun ide itu periperal, kritikus ambang memiliki kontribusi yang sangat baik, sebagai kontrol dan penyeimbang interaksi kekuasaan dalam alam pluralitas kehendak.

Metode yang digunakan sepanjang teks, selalu memiliki alur fenomenologis. Ia membiarkan teks itu terjalin, membacanya satu persatu dengan teliti, kemudian memberi catatan kritis atasnya. Cita rasa fenomenologis yang paling menonjol adalah intensionalitas yang dimainkan, tidak pernah keluar dari obyek yang sudah ditentukan. Ia membaca dengan baik sifat genetis dari makna dalam teks yang dimaksudkan oleh pengarang. Dalam filsafat, dikenal dengan istilah intensionalitas genetis atau positivitas yang apriori-historis. Nurel selalu menemukan cita rasa yang dimiliki oleh teks awal, kendati ia adalah pembaca baru. Tanpa keluar dari maksud fenomenal pengarang, ia menemukan celah-celah di mana setiap tenunan kritik di selipkan di dalamnya. Tidak jarang, sebuah teks menjadi hancur karena memang Nurel menunjukkan kelemahan fondasi-fondasi filosofis teks tersebut.

Dengan fenomenologi, Nurel menyingkap gelap estetika yang sering diterima tanpa kontrol oleh pembaca baru. Maksud komunikasi pengarang kepada pembaca baru melalui teks, jelas tersandung oleh bahan-bahan kritisisme Nurel. Memang “sepertinya”, kekurangannya adalah unsur moral yang melatarbelakangi, mengapa kritikus melontarkan kritik dan solusi apa yang diberikan. Bagi intelektual ambang, sekali lagi, ini bukanlah hal yang penting dan mendasar, karena tantangan pada unsur kuasa telah menunjukkan hasil, serta barangkali telah tersingkap di mana ada sederet kelemahan filosofis di dalam teks obyek kritikan.

Pendekatan yang dilakukan Nurel adalah pendekatan linguistik dan hermeneutika, di mana dua hal tersebut lazim digunakan sebagai aplikasi kritik sastra. Soal hermeneutika di sini, nampaknya lebih sebagai alat analisis dan kritik (hermeneutika kritis). Memberi tafsiran pada setiap tenunan teks sastra, yang sekaligus menyebabkan runtuhnya kekuatan dan makna teks tersebut secara filosofis.

Di antara substansi kritisisme dan perangkat metodologis yang digunakan Nurel, ada beberapa manfaat atau nilai-nilai dan kekurangannya. Mula-mula akan dijelaskan manfaatnya, barulah kemudian kekurangannya.

Pertama, manfaatnya adalah kritik Nurel menjadi semacam rambu-rambu yang mengontrol pelbagai arus kuasa dalam kritik sastra. Kedua, menunjukkan dengan terang, kekuasaan atau kehendak dari setiap pendasaran tenunan teks kritik sastra, baik itu teks yang mengandung nilai, maupun moral tertentu. Ketiga, Nurel secara tidak langsung memperkenalkan manfaat besar dari uji fenomenologis yang dilakukannya. Dengan fenomenologi kritis, ia mengungkap adanya ruang ketidakkritisan, semacam jeda dalam alam bawah sadar (oleh pelbagai sebab yang sudah dijelaskan), yang mana menunjukkan adanya kerapuhan fondasi filosofis dalam struktur nalar yang dibangun oleh teks sastra. Keempat, menunjukkan bahwa upaya produksi teks, tidak pernah selesai. Karena itu, tidak ada makna yang paling benar di antara tenunan teks-teks yang ada, baik itu yang lama, maupun yang baru. Kendatipun makna itu adalah kebebasan, namun tidak akan pernah langgeng dalam posisi tertentu kiranya kebebasan tidak menjadi pendasaran paradigmatik, namun menjadi nilai aplikatif atau moral tertentu. Kebebasan telah bergeser fungsinya sebagai alat penentu kekuasaan pengarang, pembaca baru dan bahkan penulis baru.

Sedangkan kekurangan dalam kritik Nurel antara lain: Pertama, menimbulkan kecurigaan yang berlebihan, karena dianggap terlampau melayani isu yang periperal. Kecurigaan ini akan mengakibatkan pengabaian, menganggapnya bukan suatu upaya kritis yang penting, bahkan perdebatan yang tidak bermakna bagi mereka yang gagal menemukan nilai atas Nurel sebagai kritikus ambang. Kedua, spekulasi kritik Nurel merusak kepastian politis dari komunikasi moral kebebasan yang dikampanyekan oleh aliran sastra tertentu. Secara pragmatis, kritik ini dianggap telah menyingkirkan agenda besar kritik dan kebebasan, demi pengungkapan adanya fondasi filosofis yang rapuh di dalam tenunan teks. Ketiga, nilai dan moral kritik Nurel belum mewarnai secara utuh, terlebih jika dihubungkan dengan persoalan di luar teks (ekstra tekstual), relasi sosial dan isu-isu intersubyektivitas kontemporer.

***

Melihat pelbagai manfaat dan kekurangan dalam kritik sastra Nurel, kiranya penting untuk mengambil manfaat darinya. Termasuk sebagai upaya tawaran metodologis dalam kritik sastra.

Jika mengambil manfaat dari model metodologi Ignas Kleden, akan nampak kelebihannya dari segi komunikasi dan estetika teks yang mendukungnya. Sedangkan pada Nurel, kritisisme dan fondasi filosofis menjadi keunggulannya.

Dari kedua metodologi kritikus sastra tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar. Secara pragmatis, keduanya membicarakan hal yang sangat konstruktif. Komunikasi adalah titik pangkal di mana setiap tenunan teks, berharap diterima oleh pembaca atau pembaca baru dan penulis baru, secara baik. Dari sini, muncullah tawaran baru metodologis, di mana komunikasi menjadi titik sentral setiap interpretasi, sekaligus didukung oleh substansi estetis (Ignas Kleden), kritis (Nurel), nilai dan moral filosofis yang membangun (Ada pada setiap penafsir) dan paradigma baru yang menopangnya.

Persoalan paradigma baru ini, seperti yang dikemukakan sebelumnya dalam teks-teks awal, adalah intisari dari komunikasi apapun, baik itu dalam filsafat maupun sastra, yaitu komunikasi dari hati ke hati. Kendati setiap manusia ada dalam ruang dan waktu yang diramaikan oleh pluralitas kehendak, setiap orang hendaknya boleh berbicara sekaligus bersedia mendengarkan lawan bicaranya.

Paradigma baru yang ditawarkan adalah sastra sebagai ibadah. Keseluruhan aktivitas sastra, menenun teks, reproduksi teks secara terus menerus dan seluruh hal yang tidak terbatas adalah ibadah. Ibadah adalah kebaikan, baik itu berfondasi teologis, maupun antropologis (homo mensura) di mana manusia dan kemanusiaan menjadi titik tolak seluruh perbuatan.

Kiranya hal ini secara metodologis disebut sebagai teori, kiranya agak sukar menentukan teori apa yang pantas secara akademis-ilmiah.

Penulis mengajukan teori ini sebagai teori sastra pinggiran. Sastra pinggiran adalah seluruh aspek susastra dan kebudayaan orang biasa, sehari-hari, namun ia bukan caci maki, kritik membabi-buta, suatu sikap resentimen tertentu. Sastra pinggiran adalah semua pandangan hidup dan kearifan lokal orang biasa, sehingga merdeka menentukan jalan hidup yang akan ditempuhnya, termasuk jalan sastra dan kritik sastra untuk ibadah.

Sekali lagi, teori ini bukanlah teori khusus yang diusung secara akademis, tetapi merupakan kemerdekan utuh dari pembacanya tatkala hendak menyampaikan kritik terhadap karya tertentu. Cara baca yang demikian jelas absah. Menjadi hak pribadi masing-masing dalam membaca dan menyeru kemakrufan.

Pakar kritik sastra Indonesia, Maman S. Mahayana menyampaikan bahwa justru kritik sastra umum (pinggiran) yang lebih diterima dan dapat dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat. Meminjam istilah Kuntowijoyo bahwa agama (Islam) itu membebaskan dan kebudayaan itu membelenggu. Tatkala kebudayaan akademis mengekang akademisi untuk berlaku merdeka dalam berdakwah, maka tatkala itu pula tradisi akademik serupa penjara.

Kendati demikian, tidak dipungkiri bahwa mengangkat dan menampilkan unsur universal dari sastra sederhana, dengan cara pandang pinggiran sangat beresiko. Ada yang mengatakan bahwa mengambil nilai kehidupan dari hal yang sederhana, tulisan sederhana, ide yang sederhana dan gagasan yang sederhana merupakan sikap khas para bijak, filsuf dan seniman bebas. Terus terang, sebagian akademisi menyebut kajian ini tidak memiliki validitas yang baik.

Lebih dari itu semua, mencoba untuk meminta izin keluar dari alur baku penelitian akademis khususnya yang positivistik, penulis bersikeras mempertahankan pandangan-pandangan rakyat, sejarah rakyat, kebudayaan dan tradisi orang biasa, kehidupan sehari-hari, atau dalam sebutan yang lebih cocok adalah kritik sastra pinggiran.

Kritik sastra ini, oleh khalayak diakui dapat mengungkap nilai universal yang kosmopolit. Penulis (pembaca) yakin, teks sastra yang sederhana, halaman yang pendek, cerita yang terbatas, tidak mustahil untuk menjamin membuka pandangan hidup baru dan kesadaran bagi masyarakat luas, termasuk para sarjana, seluruh akademisi, masyarakat kelas menengah dan elit.

Menyandang kata “pinggiran” berarti suatu hal yang sangat perlu, menarik, berkesan, bangga sebagai pribumi, dan tidak berpandangan melulu menjulang ke langit, namun juga turun ke bumi. Karena itu, Kuntowijoyo menyarankan para pembaca atau kritikus sastra hendaknya seperti air, yang selalu mengalir ke bawah, menjangkau seluruh wadah dan aspirasi rakyat. Sastra dan kritik sastra yang demikian tidak bebas nilai, tapi subyektif mengikuti falsafah padi yang merunduk dan berbudi luhur.

Demikianlah metodologi yang ditawarkan, kiranya memberi kontribusi bagi kritik sastra dewasa ini. Kendati terkesan seperti setia menggunakan alur nalar dekonstruksi, yakni menenun yang baru secara terus menerus, sebagai suatu upaya produksi teks yang tidak selesai, kiranya seluruhnya adalah ibadah, komunikasi yang baik atas kebaikan, untuk kebaikan, maka sama halnya dengan reproduksi pahala tiada henti. []

*) Penulis adalah Peneliti filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/hasnan-bachtiar/menenun-yang-baru-suatu-upaya-produksi-teks-yang-tidak-selesai/10151151876960702?ref=notif¬if_t=note_tag

Kontemplasi dalam Bunyi Puisi

Umar Fauzi Ballah
Riau Pos, 5 Feb 2012

APABILA kita sudah terbiasa membaca puisi, barangkali bunyi adalah faktor yang paling kita maklumi. Tradisi ini adalah kondisi lahir batin kesusasteran Indonesia. Barangkali, kita bisa membayangkan bahwa musikalitas bunyi dalam puisi Indonesia adalah bagian dari khasanah puisi lama sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah, yaitu puisi yang terikat oleh bentuk dan rima. Namun, bunyi dalam puisi terus berkelanjutan sampai saat ini.

Jika kita menyimak puisi Indonesia modern, belum sepenuhnya lepas dari tradisi tersebut. Katakanlah puisi-puisi Chairil Anwar, sang pendobrak tradisi puisi lama, unsur bunyi masih terasa sebagai tipikal puisi lama karena puisi Chairil pada beberapa bagian masih menggunakan corak pembaitan puisi lama.

Lain lagi dengan Sutardji Calzoum Bachri, bunyi begitu dikultuskan dan menjadi kredo puisinya. Walaupun begitu, tidak sedikit puisi Indonesia yang berupaya lepas dari hegemoni bunyi dalam puisinya, katakanlah puisi-puisi Afrizal Malna, sekadar menyebut contoh.

Bunyi bagaimanapun tidak dapat dipisahkan dari puisi Indonesia bahkan sampai saat ini. Ia terus berdiaspora dalam tubuh puisi. Karena khasanah dunia saat ini hampir-hampir tidak ditemukan penemuan baru, penyair sebenarnya hanya mengolah yang sudah ada dengan upaya untuk tidak menjadi klise.

Salah satu penyair muda yang begitu gemar dengan bunyi saat ini di antaranya adalah A Muttaqin. Secara umum, perkembangan puisi (di) Jawa Timur saat ini menemukan arah menggembirakan melalui kelahiran penyair berbakat A Muttaqin. Puisinya begitu khusyuk dengan olah bunyi dan dalam beberapa puisinya begitu rindang oleh aneka tanaman dan hewan, rimbun oleh berbagai simbol, dan tenang dengan permenungan.

Barangkali inilah yang membuat ia menjadi begitu fenomenal. Berusaha berbeda dengan puisi-puisi pendahulunya di Jatim yang terkenal dengan puisi gelap. Selain itu, keperajinan mengolah tata bunyi dalam puisinya telah menjadi karakternya.

Beberapa puisinya adalah puisi dengan rapatan bunyi. Bunyi yang hadir dalam puisi-puisi Muttaqin, bukan hanya dalam ketukan suku kata misal 812 suku kata sebagaimana puisi lama tetapi Muttaqin begitu rajin menyandingkan dua kata atau lebih dalam satu frasa yang berima sama. Bacalah beberapa petikan frasa dalam puisi Muttaqin berikut: Kepada gerimis yang meniris pelipis. Aku tak ingin menangis dan mengiris kupingku tipis-tipis. Anggur-anggur tak lagi manis. Dan gadis-gadis mencopot mawar dari tempiknya tanpa tangis. (‘’Surat Katak’’); Senangnya hati melihat tikus mampus. Tak sudi kuuluk innalillahi dan tak pantas belas bagi ras culas ini. (‘’Pengotor’’); dan serangkai kaki halus merangkak tak putus-putus mengantarmu ke arah lurus lalu dengan penciuman cukup bagus jalan-jalan kuendus-teramat tulus hingga tak tertembus sebangsa anjing lebus dan marga tikus yang kerap menghalangimu ke jalan kudus beserta dua kaki gatalmu ke gronjal batu atau malah kugelincirkan ke jalur kabut paling ribut mirip pincuk mulut: kitaran kecut yang becus cas cis cus bila satu dari satunya diringkus. (‘’Pertimbangan’’)

Cara Muttaqin menghadirkan diksi berima tersebut, bukan semata mengejar efek musikalitas (kosongan) semata, bukan pula sekadar keriangan yang tidak mendukung kesatuan energi puitiknya, tetapi susunan itu telah sedemikian rupa disusun untuk memperlihatkan bagaimana puisi memiliki gagasan cemerlang.

Bait terakhir puisi ‘’Pertimbangan’’, misalnya, memilih diksi dari bahasa Jawa, pincuk (wadah dari daun) dan apelativa gronjal (jalan rusak dan berlubang) yang dilengkapi dengan cas cis cus untuk menimbulkan efek kecerewetan yang terkandung dari diksi ribut dan mulut.

Wawasan penyusunan diksi dan bunyi ini begitu dikhidmati oleh Muttaqin. Hasilnya, puisinya menjadi pawai bahasa. Sesekali kita dibuat geli olehnya. Sesuatu yang seolah dihadirkan sebagai atribut belaka ternyata menjadi kesatuan yang menarik. Simak juga puisi berjudul ‘’Kuda Cahaya’’: Kau, yang lebih tinggi dari mimpi, lebih senyap dari sepi, lebih rinai dari bunyi. Dan dengan semua yang berakhir /i/ yang tak kunjung sampai di watas wiru ini.

Kalau kita mau menebak, apakah maksud vokal /i/ dalam puisi tersebut? Barangkali itu nabi atau sufi, mungkin juga ilahi rabbi. Dalam bahasa Arab, akhiran /i/ adalah pembentuk kata sifat yang digunakan juga dalam banyak imbuhan bahasa Indonesia. Kita juga bisa bertanya siapakah yang lebih tinggi dari mimpi?

Puisi ‘’Kuda Cahaya’’ secara keseluruhan menceritakan tentang perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad. Muttaqin telah berhasil menangkap itu dengan metafor yang indah dalam puisi tersebut.

Beberapa kutipan puisi tersebut terdapat dalam buku puisi Pembuangan Phoenix. Buku ini termasuk lima besar dalam penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2011. Secara khusus, tema yang dihadirkan adalah kelahiran, kematian, kefanaan hidup, dan kepasrahan pada Tuhan. Muttaqin mengambil banyak khasanah, bukan hanya pada adopsi bahasa, tetapi juga kisah para nabi yang menjadi bahan dasar penciptaan ulang puisi-puisi dalam buku ini.

Lahir di Gresik, penyair ini sesungguhnya tercerabut dari tradisi lokalitasnya, kecuali khasanah keislaman Gresik sebagai kota santri. Pilihan simbol, seperti Munajat Apel Merah, Makrifat Mawar, Gerimis di Kulit Manggis dan rimbun tumbuhan sungguh asing dengan Gresik sebagai kota industri.

Phoenix, misalnya yang menjadi judul buku ini, adalah mitologi Mesir sebagaimana dapat kita baca dalam kata pengantar buku puisinya. Begitu juga puisi ‘’Perjamuan’’ yang tak lain adalah sosok Yesus yang dalam puisi itu dipanggil bindere: Di meja ini kita bersembilan, Bindere. Anda tahu, bindere adalah bahasa Madura yang artinya adalah anak kiai atau di Jawa disebut Gus.

Persilangan budaya, campur kode/alih kode yang banyak terjumpai dalam buku puisi ini tidak lain adalah sebuah karnaval puitik. Sebagai karnaval, ia menjadi parodi dari sekian lanturan bunyi. Sebagai penutup tulisan ini, alangkah indahnya saya hadirkan sebuah pantulan estetik yang mungkin sering kita jumpai, tetapi abai kita renungi. Akan tetapi, bagi Muttaqin itu adalah bahan yang indah:

Dan dengan senapan Canon kurus, akan kuhapus mereka dari malam kudus. Di aspal halus, kudapati usus dan dalamannya terburai, daging dan tulangnya remuk menanti, tapi hanya lalat yang melayati. Tikus dan lalat memang sahabat. Konon dari tai sepasang anak surga mereka dahulunya sama terbuat. (‘’Pengotor’’)

Umar Fauzi Ballah, penyair dan tinggal di Sampang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/02/kontemplasi-dalam-bunyi-puisi.html

Dinamika Berteater

Arswendo Atmowiloto
http://www.seputar-indonesia.com/

Pemberian anugerah Tokoh Teater Indonesia kepada Saini KM dan Jakob Oetama membuktikan peristiwa berteater belum mati walau mulai suri—kata lain untuk senja.

Upacara dan upaya yang dilakukan Federasi Teater Indonesia yang dimotori Radhar Panca Dahana dalam kondisi ginjal tidak normal berusaha menambal kebocoran kelanjutan perkembangan dunia teater dan atau dunia panggung di Indonesia.

Kebocoran atau penyimpangan dalam arti bahwa mata air teater terlupakan, sementara “anak sungai” yang bernama akting membanjiri televisi dan film dalam segala variannya. Kebutuhan untuk 10 stasiun televisi saja 40 jam sehari yang berarti setiap harinya memerlukan 200 pemain lama dan baru, yang dalam setahun 73.000 wajah, untuk sekadar menangis dan tertawa dan bertanya.

Makna Berteater

Peristiwa berteater adalah peristiwa berlelah dalam sunyi. Bukan dunia upacara seseorang merasa mendapat wangsit untuk menjadi Nyi Roro Kidul. Dunia teater adalah dunia atletik, berlari dalam jarak tertentu dengan melawan waktu, bukan sekadar dengan pelari di sebelahnya. Lawan utamanya adalah diri sendiri, bagaimana selalu disiplin dan berlatih bekerja sama dengan 40-an orang lain untuk satu dua kali pementasan, setelah berlatih tiga bulan.

Keberhasilan dan atau kegagalannya adalah pada bagaimana ia memosisikan diri di antara disiplin lain secara bersama dengan kadar yang kurang lebih sama. Sedemikian keras, ketat, kenyal gemblengan ini sehingga pelaku teater— syukurlah tidak ikutan disebut insan teater seperti dalam film—didewasakan oleh berbagai persoalan dan disiplin sekaligus.

Peristiwa berteater pada dasarnya mencoba memahami dan menerjemahkan gerak sebelum menjadi tari, bunyi sebelum menjadi nada,cahaya sebelum menjadi gelap dan terang, mantra sebelum menjadi kata, bereaksi kepada sesama atau kepada benda sehingga dikenal istilah olah tubuh dan atau pelatihan tanpa naskah, tanpa cerita, tanpa beban.

Happening art bisa terjadi setiap saat,spontanitas kreatif lahir dan mengalir. Kalau kita menengok ke belakang—menengok pastilah ke masa lalu, kalau ke masa depan namanya melongok––ke masa jaya Miss Riboet Orion di Batavia tahun 1925, bersama dengan Dardanella di Sidoarjo, Jawa Timur, setahun sesudahnya atau kemudian grup Penggemar Sandiwara Maya, mereka tidak hanya mampu menghasilkan sebuah grup, sebuah komunitas, yang dinamis dalam suatu kelompok, melainkan juga pelaku teater yang bisa keluar dari tradisi kebiasaan yang ada.

Dalam contoh yang lebih sederhana, Teguh mengukuhkan diri melalui Srimulat dan bersamaan dengan itu melahirkan pelaku-pelaku teater yang bisa berdiri sendiri.Atau juga tradisi yang dibangun Rendra dengan Bengkel Teater,Teguh Karya dengan Teater Populer, serta Arifin C Noer dengan Teater Kecil,yang pada tahun 1970-an merupakan puncak keemasan panggung dan kehidupan berteater di Indonesia.

Makna Bertradisi

Semua itu terjadi di masa lalu dan dengan surutnya ketiga tokoh istimewa itu,surut pula peristiwa berteater. Terutama karena padepokan, pusat komunitas teater, yang tadinya merupakan tempat bertanya dan bereksperimen, tak lagi paten dan permanen.

Generasi berikut mencari sumbersumber kreatif yang lain yang mereka temukan dalam, terutama, dunia film, dunia video-klip, dunia Broadway atau Bollywood, atau yang terakhir ini dunia ala K-Pop, Korean Pop,dengan sandiwara melo atau terutama jenis panggung boys band dan girl band.

Sebenarnya di awal tahun 1970-an itu, Dewan Kesenian Jakarta melalui Komite Teater telah menyiapkan untuk kelangsungan berteater bagi generasi yang lebih muda.Baik dengan sayembara penulisan naskah—yang menjadi pilihan wajib untuk dipentaskan–– maupun yang dikenal sebagai Teater Remaja, sebutan yang diatasi karena karya panggung mereka tak kalah menarik dari seniornya.

Nama dua bersaudara Noorca Massardi dan Yudhistira Massardi—seperti halnya Radhar, AGS Arya Dipayana, dan seabrek nama lain––menemukan panggung ekspresinya. Mereka berbeda dengan para pendahulunya dalam konsep berteater sehingga ada wacana dan warna baru yang memperkaya idiom-idiom dunia panggung.

Pada saat yang sama, dunia perguruan tinggi di berbagai kota juga turut meramaikan dinamika berteater. Teater Rawamangun yang dimotori Fakultas Sastra Universitas Indonesia adalah nama yang pantas dikenang sumbangannya. Dikenang? Karena tradisi berteater di perguruan tinggi nyaris habis setelah itu.

Dalam konteks tradisi berteater, kita bisa melihat— menengok dan melongok— apa yang dikenal masyarakat sebagai Teatro LSPR. Kegiatan berteater yang dilakukan oleh lembaga pendidikan bidang komunikasi, London School of Public Relations (LSPR) Jakarta yang sejak tahun 2001 menyelenggarakan pentas teater secara kontinu, konsisten, dan menyuguhkan kualitas.

Untuk Februari 2012 ini saja,14 judul yang diangkat ke panggung, yang berarti 14 grup yang berbeda, dan di akhir bulan masih ada lagi festival yang diikuti grup-grup dari luar kampus. Bukan berlebihan bila LSPR sedang merencanakan pementasan yang ke-100, sebagai salah satu prestasi akademisnya.

Bahkan di tahun 2008 mereka mendapatkan rekor MURI sebagai penyelenggara pergelaran teater selama 20 hari berturut-turut.Dengan media khusus teater, Ideal,mereka bisa menjadi komunitas teater tersendiri kalau bukan satu-satunya.Dan kalau istilah Teater Akademi—yang dikaitkan dengan tokoh seperti Usmar Ismail,D Djajakusuma, Asrul Sani sampai Teguh Karya––bisa dipergunakan, rasa-rasanya juga tak terlalu jauh.

Pada masa tahun 1955 itulah lahir Asdrafi,Akademi Seni Drama dan Film,di Yogyakarta serta ATNI, Akademi Seni Teater Indonesia, di Jakarta dengan pergumulan mulai terlibat dalam produksi film. LSPR memiliki pergumulan yang membedakan zaman di mana kini pentas model K-Pop, pentas Broadway bisa diikuti setiap kali melalui internet, di mana keinginan mementaskan Malin Kundang dan berbagai cerita tradisi masih menjadi pilihan.

Sejarah akan menempatkan posisinya dalam peristiwa teater di Indonesia. Satu hal yang pasti, daya tarik dunia teater masih besar dan diminati.Tahun lalu saya bersama beberapa teman melatih, sampai berpentas, anakanak dari daerah bencana: di Kaki gunung Merapi yang terkena lahar dan di Sidoarjo yang terkena lumpur.

Kami pun menemukan semangat sekaligus keceriaan untuk berpentas tanpa terkotak-kotak atau disekat oleh prasangka atau kecurigaan. Gema dan getar ini masih terasakan saat melihat Festival Teater LSPR, sebagai bagian dari tradisi berteater,menemukan kembali makna kebersamaan dalam prestasi,dalam sejuknya mata air berkesenian.

_________11 February 2012
ARSWENDO ATMOWILOTO, Budayawan

Tasawuf Indonesia, Dulu dan Sekarang

Abdul Hadi WM*
http://www.republika.co.id/

Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitil Ka’bah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya jumpa di dalam rumah
Sufinya bukannya kain

Fi’l-Makkah daim bermain
Ilmunya lahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin
Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musim kita ‘kan pulang
La tasta’khiruna sa`atan lagi’ kan datang
Mencari makrifat Allah jangan kepalang

(Hamzah Fansuri, penyair sufi Melayu abad ke-16 M)

Dalam konteks sejarah Islam di kepulauan Melayu Nusantara, tasawuf bukanlah fenomena baru dan asing. Sejak awal pesatnya perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13-15 M, komunitas-komunitas Islam yang awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid.

Sedangkan ahlinya yang dikenal sebagai sufi tak jarang dikenal sebagai wali, guru kerohanian, pemimpin organisasi tarekat, pendakwah dan darwish atau fakir yang suka mengembara sambil berniaga untuk menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok negeri.

Mereka menemui para bangsawan, saudagar, kaum terpelajar, pengrajin, orang-orang di pinggiran kota dan pedesaan untuk menyerukan kebenaran di jalan Islam. Tidak sedikit pula di antara mereka dikenal sebagai ahli falsafah, cendikiawan, sastrawan, dan pemimpin gerakan sosial keagamaan yang populis.

Ahli-ahli sejarah Islam dulu maupun sekarang juga telah menemukan bukti bahwa tidak sedikit organisasi-organisasi perdagangan Islam (ta`ifa) pada abad-abad tersebut memiliki afiliasi dengan tarekat-tarekat sufi tertentu. Dengan memanfaatkan jaringan-jaringan pendidikan, intelektual, dan keagamaan yang tersebar di seantero dunia Islam seperti Istanbul, Damaskus, Baghdad, Makkah, Yaman, Samarkand, Bukhara, Nisyapur, Herat, Delhi, Gujarat, Bengala, Samudra Pasai, Malaka, dan lain sebagainya mereka tidak memperoleh kesukaran dalam menyebarkan agama Islam.

Seperti berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang dimulai di kota, begitu pula dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke kawasan pinggiran atau urban, kemudian ke wilayah pedalaman dan pedesaan. Sufi-sufi awal seperti Hasan Basri dan Rabiah Al-Adawiyah memulai kegiatannya di Basra, kota yang terletak di sebelah selatan Iraq yang pada abad ke-8-10 M merupakan pusat kebudayaan.

Makruf al-Karqi, Junaid Al-Baghdadi, dan Mansur Al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad yang merupakan pusat kekhalifatan Abbasiyah dan kota metropolitan pada abad ke-8-13 M. Attar lahir dan besar di Nisyapur, yang pada abad ke-10-15 M merupakan pusat keagamaan, intelektual dan perdagangan terkemuka di Iran.

Rumi hidup dan mendirikan Tarekat Maulawiyah di Konya, kota penting di Anatolia pada abad ke-11-17 M. Hamzah Fansuri lahir dan besar di Barus, kota dagang di pantai barat Sumatra yang merupakan pelabuhan regional pada abad ke-13-17 M. Sunan Bonang, seorang dari wali sanga terkemuka, mengajarkan ilmu suluk di Tuban yang pada abad ke-14-17 M merupakan kota dagang besar di Jawa Timur. Syamsudin Pasai adalah penganjur tasawuf wujudiah dan pendiri madzab Martabat Tujuh yang terkenal. Dia seorang mufti dan juga perdana menteri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) di kesultanan Aceh Darussalam.

Sebab sebagaimana kebangkitannya pada masa awal, bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di Indonesia bermula di kota besar seperti Jakarta dan Bandung pada akhir 1970-an, dan terutama sekali dalam dekade 1980-an. Pelopornya ialah para sastrawan, seniman, sarjana ilmu agama, dan cendekiawan. Pendek kata kaum terpelajar yang tidak sedikit dari mereka adalah dokter, pengusaha, manager, sarjana ekonomi, ilmu politik, falsafah, dan ilmuwan.

Ada beberapa fenomena pada akhir 1970-an dan awal 1980-an yang menandakan bangkitnya kembali gairah dan minat terhadap tasawuf. Pertama, mulai penerbitan buku tentang tasawuf dan relevansinya. Buku-buku ini sebagian besar merupakan terjemahan karangan para sarjana modern seperti Syed Hossein Nasr, A J Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof Schuon, Martin Lings, Syed M Naquib Al-Attas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel, Idries Shah dan lain-lain. Sebagian lagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman Al-Hujwiri, Muhammad Iqbal, dan lain-lain.

Penerbit-penerbit awal yang berjasa ialah Pustaka Salman dan Mizan di Bandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di Jakarta. Penerjemahnya adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika. Kita tahu pada awal 1970-an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualisme Timur sangat marak di Barat. Ledakan penerbitan buku-buku kearifan Timur termasuk tasawuf menyertai bangkitnya gairah tersebut. Survei yang dibuat IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) kalau tak salah pada tahun 1989 menyebutkan bahwa di antara buku yang paling laris ketika itu ialah buku-buku tasawuf. Buku Sastra Sufi: Sebuah Antologi yang saya karang dan diterbitkan pada tahun 1985 mengalami cetak ulang sampai 7 kali.

Mengikuti fenomena ini perbincangan tentang tasawuf dan sastra sufistik semakin ramai pada tahun 1980-an. Puncaknya ialah pada waktu Festival Istiqlal diselenggrakan paa tahun 1991 dan 1995. Dalam festival kebudayaan Islam terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ini, berbagai bentuk ekspresi seni yang lahir dari tradisi tasawuf dipergelarkan, termasuk pameran akbar seni rupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal dari kreativitas para sufi ialah Tari Saman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang dan Rafa`i dari Banten, Tari Zapin Melayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan lain sebagainya.

Lembaran-lembaran budaya atau sastra di surat kabar ibukota seperti Harian Berita Buana dan Pelita berada di garis depan dalam upaya mereka memperkenalkan relevasi tasawuf dan kesusastraan sufi. Nomor-nomor awal majalah dan jurnal kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Qur’an juga menampilkan perbincangan tentang tasawuf dan relevansinya. Pada akhir tahun 1980-an, pengajian-pengajian tasawuf mulai marak dilakukan di kota besar seperti Jakarta. Misalnya seperti yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Ini tidak mengherankan oleh karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut sebagiannya adalah para redaktur atau editor Ullumul Qur’an.

Kelompok-kelompok uzlah mahasiswa juga memainkan peranan penting dalam memperkenalkan relevansi tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang muncul di masjid-masjid kampus seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari IPB (Institut Pertanian Bogor). Training-training organisasi mahasiswa pada akhir 1980an juga tidak jarang diisi dengan bahan yang berkaitan dengan ajaran sufi. Di luar itu juga marak pengajian-pengajian seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan di sudut-sudut pinggiran ibukota. Tarekat-tarekat sufi seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya tersembunyi di kawasan-kawasan pinggiran kemudian merengsek keluar dan menampakkan kegiatannya di pusat kota.

Untuk memahami fenomena ini kita harus kembali melihat situasi tahun 1980-an. Sejauh mengenai gerakan uzlah di kalangan mahasiswa tidak sukar dijawab. Sebagai dampak dari demo-demo anti pemerintah yang gencar dilakukan mahasiswa, pemerintah ketika itu melarang kampus dijadikan ajang kegiatan politik. Organisasi ekstra universiter seperti HMI, PMKRI, GMNI, IMM, PMII dan lain-lain dihalau keluar dari kampus-kampus besar.

Kebijakan depolitisasi ini dijawab oleh mahasiswa-mahasiswa Islam di beberapa kampus terkemuka seperti ITB, IPB, UGM, dan UI dengan menyelenggarakan kegiatan pengajian dan pembelajaran secara sembunyi-sembunyi dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Tujuannya ialah menyusun strategi baru perjuangan dan sekaligus memperdalam penghayatan agama.

Namun secara umum bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di kalangan terpelajar pada tahun 1980-an sangat terkait dengan kehampaan spiritual yang mulai dirasakan di tengah pesatnya pembangunan ekonomi. Masyarakat kota, yang sebagian besar adalah orang-orang yang hijrah dari daerah, mulai merasakan dirinya berada di tengah budaya baru yang asing, terutama sistem nilai, pola hidup dan pergaulannya. Di tengah pesatnya peradaban materialistik tumbuh di sekitarnya, mereka merasakan hilangnya dimensi kerohanian yang teramat penting dalam memelihara hidupnya.

Alam dunia merupakan perhentian yang penting. Oleh karena itu manusia wajib mengenal dirinya dan dunia tempatnya tinggal itu, memelihara kehidupan di dunia sebaik-baiknya. Orang yang ingin selamat di dunia dan akhirat harus dapat membebaskan diri dari hidup serba kebendaan.

Syair Hamzah Fansuri yang dikutip pada awal tulisan ini telah mengatakan kepada kita tujuan tasawuf yang sebenarnya yaitu tauhid; kesaksian bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan tempat kita memohon pertolongan.

* Sastrawan, Budayawan, dan ahli filsafat / 07 Juli 2011

Menggembirakan Pemahaman Anak terhadap Dunia Sastra

Y Alprianti
http://www.suarakarya-online.com/

Pemahaman anak-anak terhadap dunia sastra, belakangan ini semakin menggembirakan. Kenyataan itu bisa dilihat dari penerbitan media khusus yang membahas masalah sastra anak-anak. Dan penulis sastra di media itui opada umumnya adalah anak-anak usia sekolah dasar. Tetapi, mesti baru duduk di sekolah dasar pemahaman sastra mereka sudah menggembirakan.

Berbeda dengan di Indonesia. Di negeri ini ada kecenderungan kalangan orangtua malah menganggap remeh bahkan melarang putra-putrinya yang meminati masalah sastra. Akibatnya, di antara duaratus juta penduduk, tradisi ‘lekat aksara’ hanya dinikmati segelintir orang saja. Itu pun dilakukan oleh kalangan dewasa. Padahal, harus dipahami, pendidikan yang gagal dibarengi dengan pemahaman psikologi anak yang keliru menyebabkan budaya baca hampir tak ada. Kekeliruan pemahaman terhadap psikologi anak misalnya: “anak kecil itu orang dewasa yang kecil”, atau anggapan bahwa anak-anak adalah kumpulan manusia yang mirip dan serupa satu sama lain dan kehidupannya bersifat statis.

Orang dewasa banyak yang beranggapan bahwa dunia anak merupakan dunia yang sama dengan masa kecilnya sehingga orang dewasa cenderung mendikte terhadap anak seolah-olah mereka jauh lebih tahu dari anak (Purbani, 2003:2). Kekeliruan pemahaman orang dewasa misalnya, tercermin dengan masih banyaknya anak-anak yang dibiarkan nonton televisi sampai berlarut-larut, atau malah sebaliknya melarang anak-melakukan kegiatan kreatif dengan dalih ‘asal orangtua nyaman, tidak curiga, dan tidak khawatir’.

Pengekangan semacam inilah yang mesti dilawan sebab hidup manusia merupakan proses untuk menjadi diri sendiri secara utuh. Proses individuasi merupakan salah satu pertumbuhan kekuatan dan integrasi kepribadian individualnya. Dunia anak-anak tentu sewarna dengan pengalaman dan pengetahuan mereka yang belum menumpuk sehingga masih diperlukan mediasi untuk mengembangkan daya kreatifnya (Nurgiyantoro).

Maka yang paling penting dalam hal ini adalah pemenuhan hak anak. Hal yang dimaksud adalah proses belajar, menjadi individu yang subjektif, perkembangan pengalaman dan pengetahuan, yang semuanya berada dalam bingkai dunia anak. Membaca dan menulis misalnya, merupakan hak anak sebab di sana terdapat adanya ‘proses menjadi diri sendiri secara utuh’, bukan senjadi seperti gurunya, seperti orantuanya, atau seperti orang lain. Penjelasan mengenai hak membaca bagi anak adalah kebutuhan (bukan kewajiban) saya analogikan dengan fenomena mengenai pulsa (telepon seluler) yang ada saat ini.

Sepuluh tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, pulsa bukanlah kebutuhan masyarakat, ia mewah dan eksklusif. Lama-kelamaan dengan alasan perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, kaum kapitalis kemudian mengondisikan komoditi (pulsa) tersebut menjadi kebutuhan. Ternyata sukses dengan cepat. Pulsa menawarkan material dan ketergantungan di kemudian hari, tapi tidak demikian dengan membaca dan menulis yang umurnya lebih tua. Apa sebabnya? Karena pulsa memberikan kekayaan pada segelintir orang, sedangkan membaca dan menulis hanya akan melahirkan manusia merdeka yang bebas dari ketergantungan (sebagai lawan kapitalisme). Maka tidak kaget ketika kita mendapati betapa siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum lebih suka membeli pulsa ketimbang membeli buku.

Membaca dan menulis pada mulanya tidak dikondisikan dalam sebuah ruang kebutuhan. Ia yang ‘seolah mewah dan eksklusif’ bermula dari nihilnya pemenuhan kebutuhan anak akan buku, pembiasaan anak terhadap keberaksaraan. Sebagai bandingan, akan berbeda halnya dengan tradisi Belanda ketika menjajah Indonesia, mereka sadar akan ‘masa depan melek-aksara’itu.

Pada saat itu di Belanda tumbuh kesadaran mengenai sejarah nasional yang juga tercermin dalam buku-buku bacaan anak Hindia (Indische kinderboeken). Menengok sejarahnya, buku-buku yang diperuntukkan bagi anak Hindia dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu buku yang berisi keperluan pengenalan anak-anak Belanda mengenai negara jajahannya dan buku bagi keperluan anak-anak Belanda dan Indo yang tinggal di Hindia Belanda. Sebagai cikal bakal buku anak-anak di Indonesia tentu saja buku-buku yang kedua.

Buku tersebut walaupun ditulis bagi keperluan anak-anak Belanda dan Indo tetapi tidak menutup kemungkinan dibaca juga oleh anak-anak pribumi yang saat itu memperoleh kesempatan memasuki sekolah anak-anak Eropa. Buku yang berjudul Oost-Indische Bloempjes; Gedichtjesvoor de Nederlandsch-Indische Jeugd (Bunga-bunga Kecil Hindia Timur; Syair-syair untuk Remaja Hindia Belanda) yang ditulis Johannes van Soest pada tahun 1846 merupakan buku pertama bagi anak-anak Belanda dan Indo yang tinggal di Hindia Belanda. Buku kedua berjudul De Lotgevallen van Djahidin (Pengalaman Djahidin) ditulis J.A Uilkens pada tahun 1873, bercerita mengenai petualangan anak laki-laki Sunda di pulau Jawa, Singapura, Jepang, dan Papua Nugini. Buku tersebut kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda.

Buku ketiga berjudul Indisch Kinderleven (Kehidupan Anak-anak Hindia) ditulis Nittel de Wolf van Westerrode pada tahun 1920. Buku inilah yang kemudian mengilhami diadakan lomba mengarang bacaan anak-anak oleh Balai Pustaka. (Bunanta, 1998:37-38). Sastra anak di Indonesia selama ini dianggap ‘bawang kosong’ semata, sebagai ‘bagian kecil’ dari sastra Indonesia. Ia seolah ‘sastra dewasa yang dianggap kecil’, sastra anak sebagai anak sastra. Sementara, sastra Indonesia yang kentara angker menjadikan dirinya eksklusif dan makin menjauh dari ruang kebutuhan.

Demikian pula sastra anak, yang seharusnya berada dalam keberterimaan, ia tidak diajarkan sesuai dengan perkembangan anak yang semestinya dulce et utile (Horatius), yaitu yang menyenangkan dan memberikan pencerahan. Artinya, sastra bagi anak sebenarnya adalah batu loncatan agar mereka terbiasa membaca sehingga ia tidak gagap ketika membaca buku-buku lain di luar buku sastra, tidak kaget dan gumun ketika mendapati dunia begitu gegap. Maka dalam kondisi menyenangkan dan tercerahkan, anak akan tumbuh menjadi manusia merdeka yang memungkinkan adanya proses tumbuhnya kekuatan dan integrasi, penguasaan terhadap alam, akal budi, dan tumbuhnya solidaritas terhadap orang lain (Fromm). Jadi wajar jikalau seorang guru SD bertanya tentang bagaimana sebenarnya pengajaran sastra kepada anak sebab selama ini pendidikan kita berada dalam kegagalan.

Pendidikan sudah seharusnya merupakan proses yang fungsional, bukan suatu kegiatan teknis mengajarkan kebahasaan, pesan-pesan mekanis, apalagi muatan kepentingan. Nah, artinya dalam kondisi ‘angker’ tersebut hak-hak anak terampas oleh kepongahan orangtua sehingga mereka mengalami ‘takut aksara’, tidak bisa menemukan dirinya, sehingga tidak paham bagaimana menuliskan sejarahnya. ***

/18 Februari 2012

Penelitian Naskah Melayu: Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan

Prof. Dr. Sri Wulan Rujiati Mulyadi *
http://hermankhan.blogspot.com/

1. Pendahuluan

Penelitian naskah Melayu yang termasuk dalam sastra lama di Indonesia sebenarnya sampai sekarang belum dapat dikatakan banyak, jika dibandingkan dengan khazanah naskah sastra lama yang terdapat di tanah air kita, serta jika dibandingkan dengan khazanah naskah sastra lama yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Orang telah beberapa kali mencoba untuk memperkirakan jumlah naskah Melayu yang masih ada.
Sampai sekarang, angka yang menunjukkan jumlah naskah yang tersebar ini tidak pasti. Ada yang menyebut jumlah 4.000 (Chambert-Loir, 1980), ada yang memperkirakan 5.000 (Hussein, 1974: 12), bahkan ada yang menduga sampai 10.000 (Jones, 1980). Jumlah negara yang memiliki naskah ada dua puluh delapan, yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Belgia, Brunei Darussalam, Cekoslowakia, Denmark, Hongaria, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman Barat, Jerman Timur, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia, Perancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Sri Lanka, Swedia, Swiss, dan Thailand (Chambert-Loir, 1980: 27). Miller (1982) menambahkan Australia.

Peta penyebarluasan di Indonesia juga belum dapat diketahui dengan pasti. Selain di Museum Nasional Jakarta, naskah Melayu juga terdapat di Aceh, Nusa Tenggara Barat, dan Ambon dalam jumlah kecil maupun besar. Namun jumlah terbesar tersimpan di Museum Nasional Jakarta (Rujiati-Mulyadi, 1980, 1981, 1984). Diperkirakan di tempat-tempat lain di Indonesia juga masih ada. Secara lisan pernah terbetik berita mengenai masih adanya naskah pribadi di daerah-daerah Minangkabau dan Bangka. Sayangnya informasi tertulis mengenai hal seperti itu tidak banyak tersedia.

Daftar naskah yang paling tua yang biasa disebut ialah daftar Valentyn (1726: 26–27) dan daftar Werndly (1736: 343–357). Sebenarnya, sebelum kedua daftar ini ada, suatu daftar naskah Melayu, Arab, dan Jawa yang pernah dimiliki oleh Antoine de St. Martin dan yang didaftar oleh Melchior Leydecker pada tahun 1696 (Haan, 1900: 297– 308) terlebih dahulu diketahui. Jumlah naskah dalam daftar ini sebanyak 89 buah, 60 di antaranya ialah naskah Melayu. Naskah Melayu yang didaftar oleh Valentyn berjumlah 26 dan 69 terdapat dalam tulisan Werndly.

Awal penghimpunan naskah Melayu agaknya dimulai dari keinginan untuk menyimpan suatu koleksi kenangan dari perjalanan ke daerah-daerah “Timur Jauh”. Keinginan untuk menghimpun ini agaknya dimulai pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Hal ini berlanjut pada abad ke-18. Berdasarkan berita yang ada, orang baru mulai dengan giat mencari, mengumpulkan, dan menyalin naskah-naskah Melayu pada abad ke-19 untuk berbagai tujuan; antara lain juga untuk diangkut ke luar Indonesia, yang pasti ialah ke Belanda dan ke Inggris. Bahkan usaha penyalinan naskah juga diusahakan oleh pemerintah Belanda sendiri (Voorhoeve, 1964: 256–266). Kebanyakan para kolektor adalah mereka yang bekerja di kalangan agama yang juga “sibuk” menyusun kamus bahasa, mereka yang bekerja di kalangan pemerintahan, mereka yang mempunyai perpustakaan pribadi, tentara, dan berbagai badan swasta. Hal ini dapat diturut dari berbagai daftar atau katalog yang mulai ditulis pada abad ke-19, misalnya dari daftar tertua mengenai naskah Melayu yang terhimpun di London, (Tuuk, 1849, 1866), di Jakarta oleh Cohen Stuart pada tahun 1871 (Ronkel, 1909), dan di Berlin (Hurgronje, 1884).

2. Penelitian Naskah Sebelum Kemerdekaan

Bahasa yang dipakai dalam puluhan naskah Melayu lama menjadi bahan masukan bagi Werndly (1736) dalam menyusun buku tata bahasanya. Lama sesudah itu, yaitu pada tahun 1821, John Leyden ialah orang pertama yang menerjemahkan Sejarah Melayu ke dalam bahasa Inggris (Teeuw, 1961: 16). W.R. van Hoevell juga tertarik dengan menerjemahkan Syair Bidasari dalam bahasa Belanda pada tahun 1854 (Teeuw, 1961: 55).

Penelitian mengenai naskah-naskah Melayu yang berkembang sejak abad ke-19 dapat diikuti dalam berbagai terbitan seperti dalam BKI (Bijdragen tot Taal, Land-en Volkenkunde); JSBRAS (Journal of the Straits Branch, Royal Asiatic Society), kemudian menjadi JMBRAS (Journal of the Malayan [Malaysian] Branch, Royal Asiatic Society) yang sampai sekarang masih terbit; JSRAS (Journal of the Royal Asiatic Society); TBG (Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde); VBG (Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen); VKI (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor de TaaI, Land en Volkenkunde).

Disertasi pertama mengenai naskah Melayu baru disusun pada akhir abad ke-19, yaitu disertasi Ronkel yang meneliti Hikayat Amir Hamzah (1895). Jauh sesudah itu baru muncul disertasi-disertasi lain mengenai Abdul Rauf (Rinkes, 1909), Cerita Panji (Rasser, 1922), Kitab Seribu Masail (Pijper, 1924), Sejarah Banjarmasin (Cense, 1927), Hamzah Fansuri (Doorenbos, 1933), Syair Kompeni Berperang (Rusconi, 1935), Sejarah Kutei (Mees, 1935), Hikayat Iskandar (Leeuwan, 1937), Hikayat Hasanudin (Edel, 1938), dan Samsuddin Pasai (Nieuwenhuyze, 1945). Tiga disertasi mengenai bahasa juga memakai naskah-naskah Melayu sebagai masukan (Emeis, 1945; Dankmeyer, 1945; dan Roolvink, 1948).

Sementara itu naskah-naskah lama cukup banyak menjadi bahan kajian bagi Klinkert (1893) dan Wilkinson (1901) dalam menyusun kamusnya yang sangat berguna bagi para peneliti naskah Melayu. Suatu tinjauan umum mengenai sastra Melayu oleh Hooykaas (1937) dan sejarah sastra Melayu himpunan Winstedt (1939) banyak mempergunakan naskah-naskah Melayu sebagai bahan masukan.

3. Penelitian Sesudah Kemerdekaan

Disertasi sesudah tahun 1945 ialah mengenai Hikayat Aceh (Iskandar, 1959), Assar al Insan (Tudjimah, 1961), Syair Perang Mengkasar (Skinner, 1963), Hikayat Banjar (Ras, 1968), Hikayat Ibrahim Ibn Adham (Jones, 1968), Pernyataan Sejarah Negeri Johor (Kratz, 1973), Tuhfat al Nafis (Matheson, 1973), Hikayat Muhamad Hanafiah (Brakel, 1975), Undang-undang Malaka (Liaw Yock Fang, 1976), Hikayat Tanah Hitu (Manusama, 1977), Hikayat Sri Rama (Ikram, 1978, diterbitkan 1980), Bustanussalatin (Grinter, 1979), Hikayat Hang Tuah (Sulastin, 1979, diterbitkan 1982), Adat Raja-raja Melayu (Sudjiman, 1979, diterbitkan 1983), Hikayat Indraputra (1980, diterbitkan 1983), Masalah Hikayat (Ismail Hamid, 1981), Silsilah Melayu dan Bugis (Beardow, 1982), Puisi Melayu Tradisional (Harun Mat Piah, 1982), Panji Narawangsa (Abdul Rahman Kaeh, 1983).

Sebelum tahun 1945, semua disertasi disusun di negeri Belanda. “Peta” ini berubah sesudah kemerdekaan. Selain beberapa disertasi yang ditulis di negeri Belanda, terdapat beberapa disertasi yang ditulis di Amerika, Australia, Indonesia, dan Inggris. Perlu dicatat bahwa dalam disertasi-disertasi tersebut ada beberapa yang menelaah atau membicarakan naskah Melayu tua. Salah satu naskah tua yang dibahas adalah Hikayat Muhamad Hanafiah yang telah menjadi milik Cambridge University Library pada tahun 1632 (Brakel, 1970: 56). Naskah kuno lain dimiliki oleh Bodleian Library di Oxford yang mencantumkan tahun 1633, yaitu naskah Hikayat Sri Rama (lkram, 1980: 72). Naskah Hikayat lndraputra yang bertahun 1700 yang disimpan di Perpustakaan KITLV, Leiden, telah dipilih dari 30 naskah yang tersebar di delapan negara untuk dikaji lebih lanjut (Rujiati-Mulyadi, 1983). Di luar disertasi-disertasi ini, cukup banyak terbitan yang membicarakan atau memuat teks naskah-naskah Melayu.

Di negeri Belanda, di samping karangan-karangan yang terdapat dalam majalah BKI, perlu dicatat juga terbitan yang memuat kajian dan “potret” mengenai dua naskah tulisan Arraniri oleh Voorhoeve (1955), suatu terjemahan dalam bahasa Melayu abad ke-16 mengenai Burda al Busiri (Drewes, 1955) dan Hikayat Patani (Teeuw dan Wyatt, 1970). Suatu seri baru yang dinamakan Bibliotheca Indonesica yang terdiri atas hasil-hasil kajian naskah, antara lain naskah-naskah Melayu diusahakan oleh KITLV di Leiden sejak menjelang tahun 1970-an. Kajian-kajian mengenai naskah Melayu itu ialah kajian-kajian mengenai Hikayat Banjar, Hikayat Patani, Hikayat Indraputra, dan Hikayat Ibrahim. Belanda dan Prancis juga banyak menaruh perhatian mengenai Indonesia. Menjelang tahun 1970-an, terbit majalah Archipel yang banyak memuat tulisan tentang berbagai segi kebudayaan Indonesia, tidak terkecuali sastra, termasuk sastra Melayu lama. Perlu dicatat pula terbitan mengenai Hikayat Dewa Mandu (Chambert-Loir, 1980).

Informasi yang banyak tentang hasil kegiatan naskah dan sastra Melayu lama berasal dari Malaysia. Jasa paling besar dalam upaya ini diberikan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur. Dalam majalah Dewan Sastra banyak dimuat artikel hasil penelitian mengenai sastra lama. Di samping itu, Dewan Bahasa dan Pustaka banyak menerbitkan buku-buku yang berisikan hasil kajian dan suntingan naskah-naskah Melayu, seperti Bustanussalatin (Iskandar, 1966), Tajussalatin (Khalid Hussein 1966), Hikayat Iskandar Zulkarnaen (Khalid Hussein, 1967), Bustanussalatin (Jones, 1974), Hikayat Misa Jayeng Kusuma (Abdul Rahman Kaeh, 1976), Ruba‘i Hamzah Fansuri (Hasjmi, 1976), Cerita Sulung Jawa (Jamilah Ahmad, 1978), Hikayat Indraputra (1979), Sulalatussalatin (Samad Ahmad, 1979), Hikayat Parang Puting (Jamilah Ahmad, 1980), Hikayat Sempurna Jaya (Jamilah Ahmad, 1980), Kisah Pelayaran Muhammad Ibrahim Munsy (Mohammad Fadzil Othman, 1980), dan Cerita-cerita Panji Melayu (Harun Mat Piah, 1980).

Selain Dewan Bahasa dan Pustaka, ada beberapa penerbit lain yang mengusahakan penerbitan sastra Melayu. Karya sastra yang diterbitkan antara lain Sejarah Melayu (Shellabear, 1982), Syair Ken Tambuhan (Teeuw, 1966), dan Hikayat Merong Mahawangsa (Siti Hawa Saleh, 1970). Kalau sebelum tahun 1945 Singapura banyak mencetak hasilhasil sastra lama, baik dalam huruf Latin maupun dalam huruf Jawi (cetakan baru), kini Liaw Yock Fang (1975) telah menerbitkan Sejarah Sastra Melayu yang banyak dipakai di Indonesia. Penelitian-penelitian baru mengenai sastra lama sesudah buku Sejarah Sastra Melayu tulisan Winstedt (1940) telah diusahakan untuk dimasukkan dalam kajiannya.

Bagaimana mengenai dunia penelitian naskah Melayu Indonesia? Sukar untuk mendapatkan bahan tentang sastra dan naskah lama yang ditulis pada tahun 1945-an. Situasi masyarakat pada waktu itu rupanya tidak memberi peluang untuk usaha ini. Baru pada tahun-tahun sesudah 1950 mulai terdapat tulisan-tulisan mengenai sejarah Melayu (Situmorang dan Teeuw, 1952) dan Hikayat Abdullah (Datuk Besar dan Roolvink, 1952). Terbitan-terbitan dalam huruf Jawi yang dapat memberi “latihan” bagi para calon peneliti naskah Melayu hanya terdapat pada tahun 1960-an, seperti Hikayat Abdullah, Hikayat Hang Tuah I dan II, Hikayat Si Miskin, dan Hikayat Lima Tumenggung yang diterbitkan oleh Gunung Agung dan Djambatan, Jakarta. Dari sekian banyak naskah Melayu di berbagai penjuru dunia, belum banyak yang diteliti orang. Menurut catatan Ismail Hussein (1974: 12), dari 5.000 naskah Melayu yang ada, hanya terdapat 800 judul yang dapat dilacak. Dari 800 judul ini baru sekitar 100 judul yang sudah diteliti (Fang, 1975: iii).

Tulisan-tulisan mengenai sastra Melayu, termasuk penelitian mengenai naskah, secara sporadis dapat ditemukan dalam majalah-majalah yang pada umumnya tidak lama hidup, seperti Bahasa dan Budaya (1952–1962), Pustaka dan Budaya (1960–?), Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (1963–1968, 1977–?), Manusia Indonesia (1967–?), Bahasa dan Kesusastraan (1967–1974), Bahasa dan Sastra (1975–?), Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia (1980-sekarang).

Balai Pustaka rupanya tidak terlalu tertarik untuk menerbitkan hasil-hasil sastra lama. Beberapa tahun yang lalu telah terbit kembali Abu Nawas (Iskandar, 1981) dan Hikayat Kalilah dan Daminah (Baidaba, 1982). Sejak 1978 sampai saat ini, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Proyek Penelitian Buku Sastra Indonesia dan Daerah telah menerbitkan sekitar tiga puluh hasil transliterasi naskah-naskah Melayu. Naskah yang diterbitkan antara lain Hikayat Dewa Mandu, Hikayat Hang Tuah I dan II, Hikayat Nabi Jusuf, Hikayat Raja Jumjumah, Hikayat Si Miskin, Kisah Syah Merdan, Lakon Jaka Sukara, Pak Belalang, Pantun Melayu, Salasilah Kutei, Sejarah Tambusai, Silsilah Kutei, Silsilah Raja Sambas, Syair Anggun Cik Tunggal, Syair Burung Nun, Syair Bidasari, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Raja Siak, Tajussalatin, serta Undang-undang Piagam, dan Kisah Negeri Jambi.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Proyek Penelitian Buku dan Sastra Indonesia dan Daerah pada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa sejak 1978 juga telah menerbitkan hasil-hasil kajiannya mengenai naskahnaskah Melayu. Kajian ini antara lain mengenai Hikayat Bakhtiar, Hikayat Gulam, Hikayat Kalilah dan Daminah, naskah undang-undang dalam sastra Indonesia lama, serta pengarang Melayu dalam Kerajaan Riau dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Proyek Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga pernah menerbitkan suatu antologi mengenai Syair Simbolik (Jusuf, t.t.). Di luar proyek-proyek pembangunan, rupanya hanya beberapa penerbit saja yang “berani” menerbitkan hasil kajian mengenai naskah lama, seperti naskah Sang Kantjil (Dipodjojo, 1956), Tajussalatin (Dipodjojo, 1981), Kesusastraan Indonesia Lama pada Zaman Pengaruh Islam I (Dipodjojo, 1981), dan Pohon Perhimpunan (Junus (Ed.), 1983).

Bagaimana situasi dunia naskah di Riau ini? Dari 108 naskah yang terdaftar dalam “Naskah Kuno Daerah Riau” (Hamidy dkk., 1982/1983), hanya 21 yang tulisan tangan, selebihnya berupa cetak baru dan cetakan. Tidak terlalu banyak memang. Akan tetapi, jelas kekayaan itu sudah merupakan suatu modal yang sangat berharga. Mungkin juga masih banyak naskah yang tersimpan di tangan para peminat dan pencinta budaya lama di Riau ini. Naskah tersebut tidak usah dihimpun di satu tempat, karena agaknya tidak mungkin dilaksanakan. Usaha awal cukup berupa pencatatan supaya diketahui “pola penyebaran naskah lama” di seluruh daerah Riau. Sementara itu, usaha pengkajian perlu digalakkan dan kemudian diumumkan. Modal yang diperlukan ialah ketekunan, kesempatan, dan kemampuan untuk meneliti bermacam-macam corak tulisan itu. Daerah Riau yang pernah menjadi pusat kebudayaan Melayu saat ini menjadi pusat penelitian dan pengkajian kebudayaan Melayu (Melayulogi). Bangsa Indonesia dan semua peminat serta pengagum kebudayaan Melayu menunggu hasilnya.
___________________________________________

* Prof. Dr. Sri Wulan Rujiati Mulyadi, lahir di Gorontalo pada 17 Sep­tember 1929. Pernah menjabat sebagai Lektor Kepala di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Tahun 1959 lulus dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UI dan tahun 1980 menyelesaikan program doktoral di School of Oriental and African Studies, Uni­versity of London.

Beberapa karya ilmiahnya pernah dimuat dalam Jurnal Analisis Kebudayaan, Bibliotheca Indonesica, Dewan Bahasa dan Pustaka, dan sebagainya.

Beberapa jabatan yang pernah dipegang antara lain Kepala Pusat Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Yassin, Se­kre­taris Perhimpunan Persahabatan Indonesia Belanda, Wakil Ketua Him­pun­an Pembina Bahasa Indonesia.

__________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985. (Dengan penambahan multilink dari MelayuOnline.com)

Mengingat pentingnya makalah ini, Redaksi MelayuOnline.com memuat ulang dengan penyuntingan seperlunya.

Kumpulan makalah (prosiding) seminar ini telah dibukukan dengan judul “Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan”, dengan editor Prof. Dr. Heddy Shri Ahmisa-Putra, setelah dilakukan penyuntingan ulang pada klasifikasi dan urutan pada daftar isi, bahasa, maupun perubahan judul. Editor juga memberikan Wacana Pembuka dan Wacana Penutup serta Kata Pengantar pada setiap bagian. Diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Edisi Eksklusif (Hard Cover), 965 halaman.

Seluruh makalah pada buku tersebut akan dimuat berdasarkan urutan bagian secara bergantian. Buku tersebut terdiri atas 36 (tiga puluh enam) makalah pilihan yang terbagi dalam 8 (delapan) bagian yakni, 1) Sejarah dan Keragaman Kesulatanan Melayu; 2) Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia; 3) Sastra Melayu dan Sastrawan Melayu; 4) Naskah Melayu dan Penelitiannya; 5) Seni Pertunjukan Melayu; 6) Kepribadian, Adat Istiadat dan Organisasi Sosial Melayu; 7) Teknologi Melayu; dan 8 ) Melayu dan Non-Melayu.

Dijumput dari: http://hermankhan.blogspot.com/2010/12/penelitian-naskah-melayu-sebelum-dan.html
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: February 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates