Saturday, November 26, 2011

Sjahrir; Titian Sosialisme ke Demokrasi

Ignas Kleden
diposting Yayasan BamBooDaeng Indonesia

PEMIKIRAN politik kiri, yaitu filsafat politik yang menekankan persamaan dan keadilan, merupakan semangat zaman sekaligus intellectual fashion tempat hampir semua pendiri Republik Indonesia bertumbuh dan menjadi matang. Soekarno terpukau pada teori imperialisme Lenin, Hatta mempelajari ekonomi sosialis negara-negara Skandinavia dan memperjuangkan koperasi sebagai perwujudan ekonomi kerakyatan, Tan Malaka mencoba menerjemahkan sosialisme ilmiah ke dalam teori Madilog sebagai epistemologi materialis untuk mengikis alam pikiran mistis dan takhayul, sedangkan Sjahrir memperkenalkan dan mendirikan partai politik dengan asas sosial-demokrasi.

Dalam sejarah sosialisme di Barat—sebagaimana dijelaskan Sjahrir —konsep sosial-demokrasi muncul pertama kali di kalangan kaum sosialis Jerman di bawah pimpinan Eduard Bernstein, setelah berdirinya Gerakan Buruh Internasional II (dikenal sebagai Internasional II) di Paris pada Juli 1889. Internasional II lahir dua dasawarsa setelah Internasional I yang didirikan pada 1864 dengan mengikuti gagasan Marx, hancur berantakan oleh revolusi 1871 yang menelan korban lebih dari 20 ribu jiwa.

Menjelang akhir abad ke-19 terjadi perkembangan baru dalam industri di Eropa, yang tak sesuai dengan ramalan Marx tentang tahapan-tahapan menuju revolusi proletar. Industri bertumbuh pesat, kaum pekerja pabrik bertambah banyak dan proletarisasi memang meluas, tetapi kaum buruh tidak menjadi semakin miskin dan sengsara, tidak mengalami Verelendung sebagaimana diramalkan Marx. Demikianpun buruh tidak menjadi lebih radikal karena ditemukan metode baru untuk memperbaiki nasib mereka melalui mogok dan hak pilih.

Bernstein tampil dan mengusulkan agar kaum sosialis Jerman melepaskan diri dari ajaran Marx dan mendirikan partai politik sendiri. Sifat internasional gerakan buruh ditolak, karena menurut Bernstein dan pengikutnya, buruh tetap mempunyai tanah air. Ajaran Marx perlu direvisi secara besar-besaran sehingga gerakan ini dinamakan revisionisme di kalangan Marxis. Pemisahan kaum sosialis Jerman dari Marxisme ortodoks ditandai oleh terbitnya buku Bernstein berjudul Voraussetzungen des Sozialismus und die Aufgaben der Sozialdemokratie (syarat-syarat sosialisme dan tugas-tugas sosial-demokrasi) pada 1899.

Seperti biasa, munculnya kritik kepada Marx menimbulkan anti-kritik yang sama gencarnya mempertahankan Marxisme. Alhasil, pergolakan dalam kalangan Marxis Jerman melahirkan tiga sayap pergerakan, yaitu sayap kanan di bawah pimpinan Bernstein yang menganjurkan sosial-demokrasi, sayap tengah dengan dua tokoh utama, August Bebel dan Karl Kautsky, yang menolak mogok sebagai metode perjuangan kaum pekerja, dan sayap radikal di bawah Rosa Luxembourg. Internasional II praktis bubar dengan pecahnya Perang Dunia I, sampai muncul Internasional III sesudah pecah Perang Dunia II. Tiga pimpinannya yang kemudian memainkan peranan penting adalah Lenin, Trotsky, dan Stalin, yang mencoba menghidupkan kembali impian semula dari Marx, yaitu mengobarkan revolusi proletar di seluruh dunia.

Menarik bahwa meskipun pemikiran politik kiri, khususnya Marxisme, menjadi suasana umum dalam alam pikiran para pendiri republik Indonesia, yang mempersatukan semua mereka adalah nasionalisme dan keyakinan tentang kemerdekaan tiap bangsa sebagai sesuatu yang niscaya dan mungkin dilaksanakan. Aneh sekali, misalnya, bahwa Tan Malaka, yang menjadi seorang Marxis sejak muda, menjadi tokoh pertama yang memikirkan dan merencanakan bentuk negara Indonesia yang akan merdeka, yaitu republik. Ini jelas menyimpang dari Marxisme ortodoks yang amat menekankan sifat internasional dari gerakan proletar sedunia.

Menarik juga bahwa tidak banyak dari antara para pendiri republik yang berbicara tentang demokrasi sebagai isu penting untuk Indonesia Merdeka. Mungkin hanya Hatta dan Sjahrir yang memberi perhatian khusus kepada pentingnya demokrasi sebagai sistem politik yang dapat diusulkan dan melakukan pendidikan politik untuk mempersiapkannya. Koperasi dalam pengertian Hatta tak lain dari perwujudan demokrasi dalam bidang ekonomi. Sementara itu Sjahrir tak bosan-bosannya mewanti-wanti risiko pemikiran kiri dan euforia nasionalisme yang tidak diimbangi dengan semangat demokratis.

Terhadap pemikiran Marxis Sjahrir menolak bahwa individu tidak penting dan hanya menjadi unsur dan nomor dalam perjuangan kelas. Terhadap Bolsyevisme Lenin yang kemudian dipraktekkan oleh Stalin, dia mengecam keras adanya partai tunggal dan politbiro dengan kekuasaan tak terbatas. Dia tidak percaya bahwa Partai Komunis hanyalah peralihan sementara sebelum tercapai pemerintahan oleh kaum proletar dan bahwa pengorbanan manusia dalam perjuangan itu harus diterima sebagai necessary evil yang tak terhindarkan. Dengan sinis dia bertanya: bagaimana mungkin adanya partai tunggal yang dibenarkan oleh negara dan adanya politbiro yang demikian totaliter masih sejalan dengan teori Lenin tentang menghilangnya negara atau the withering away of the state, ketika proletar sudah sanggup memerintah dirinya sendiri?

Dalam pidatonya di depan Kongres Sosialis Asia II di Bombay pada 6 November 1956 Sjahrir berkata: ”Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai ketidaksabaran revolusioner yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai perjuangan kelas dan kesusilaan kelas, mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.” Di sini terlihat Sjahrir berpaling ke demokrasi, yang mengakui bahwa secara politik rakyat berhak memerintah dirinya sendiri berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dan secara moral kedudukan, hak serta martabat setiap orang harus dihormati dan dibela berdasarkan prinsip human dignity.

Dia menentang kekuasaan politik yang ditentukan berdasarkan susunan hierarkis dalam feodalisme maupun dalam politbiro ala Bolsyevik. Menurut Sjahrir, dalam pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia, sosialisme yang dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal, tetapi dengan satu perbedaan. Yaitu, bahwa pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi sering kali masih menutup mata terhadap penghisapan satu golongan terhadap golongan lain yang jauh lebih besar.

Dia cukup realistis untuk melihat bahwa perwujudan kedaulatan rakyat hanya mungkin terlaksana apabila suatu bangsa sudah terbebas dari penjajahan asing. Karena itu dia memihak sepenuh hati kepada perjuangan kemerdekaan dan turut mendukung dengan caranya sendiri apa yang dinamakannya revolusi nasional, yang membuatnya dapat bekerja sama dengan tokoh lain yang menjadi sasaran kritiknya seperti Soekarno dan Tan Malaka. Akan tetapi dalam keyakinannya, revolusi nasional itu harus segera disusul oleh revolusi sosial, untuk mengubah susunan dan pandangan masyarakat agar pimpinan politik tidak telanjur jatuh ke tangan orang-orang yang berpikiran feodal. Kalau ini terjadi keadaannya akan menjadi sangat berbahaya karena susunan hierarkis feodal dapat segera bersekutu dengan fasisme, yang dengan mudah memanipulasi nasionalisme yang tak terkendali menjadi chauvinisme, yang bakal mempersulit pergaulan demokratis pada tingkat internasional.

Dia percaya bahwa baik sosialisme maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya melalui jalan kekerasan. Namun sekaligus diperingatkannya bahwa penggunaan akal dapat membawa orang kepada pendewaan akal dalam ilmu pengetahuan, suatu hal yang jelas ditentang oleh tuntutan akal itu sendiri. Dia seakan meramalkan secara intuitif Dialektik der Aufklaerung (dialektik pencerahan) yang dicanangkan Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari mazhab Frankfurt pada 1969, bahwa akal yang kehilangan kritik terhadap dirinya bakal membunuh dirinya sendiri.

Dalam sebuah esai yang penting Sjahrir menuntut agar demi perjuangan, seseorang harus bebas dari perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai dengan kebutuhan perjuangan. Pikiran dan tindakan hendaknya ”tidak dikuasai oleh unsur psikologis, melainkan oleh hukum akal budi dan otak yang sanggup berpikir dan bertindak menurut keadaan dan perubahan”. Tampaknya ada dialektik antara Sjahrir dan kebudayaan masyarakatnya, dan tuntutan Sjahrir mungkin hanya separuh benar. Dia lupa bahwa akal harus memperhatikan perasaan, rasio perlu menimbang psikologi, dan logika bertugas menerangi yang irasional. Kalau tidak, dialektik itu akan menelan korban, dan, tragisnya, korban itu tak lain dari diri Sjahrir sendiri, dengan meninggalkan sosial-demokrasi bagaikan yatim piatu.

*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=107824939150

Tuesday, November 22, 2011

BABAD NUCA NEPA (FLORES)

























Sutardji Calzoum Bachri
















































Catatan ini banyak menyerupai kata pengantar, maafkan. Tak lebih betapa sulit memasuki abad-abad sebelum masehi. Pun kondisi kejiwaan, tepatnya ruh dalam diri betapa berpengaruh luar biasa kala menuliskannya. Mungkin pembaca tak menyangka, setiap kata-kata tertuang berimbas besar, minimal bagi yang tercinta. Ketika saya ungkap kata ‘alibi’ di bagian lalu, kejadiannya pun muncul. Saat terjerumus ke masa lampau kini, serasa kalbu terdekat menjauh, serupa resiko yang harus ditanggung.

Kondisi sekarang sangat parah sehingga saya mengambil ruhnya sementara, saya ganti ruh dirinya daripada milik saya dengan kesementaraan pula. Agar paham betapa jalan di alas tali keseimbangan amat ngeri. Di samping beban berat juga waswas tergelincir yang pasti menentukan laju tulisan selanjutnya.

Sampailah ruh saya pinjam memasuki pedalaman suku Manggarai. Orang-orang daerah ini menyebut pulau Nuca Nepa dengan perkataan Nuca Nepa Lale atau Pulau Ular yang Indah. Melalui lelangkah kaki asing, karena ruh tersebut belum terbiasa menjelajah jauh. Tapi atas keayuannya semoga lekas sampai. Bertemulah ia dengan kepala suku yang bertuturkan legenda; kenapa pulau ini dinamai Nuca Nepa Lale. Kenapa orang Ngada dan Ende menyebut Nusa Nipa. Juga hikayat pada suku Larantuka menuliskan Nuha Ula Bungan yang maknanya Pulau Ular yang Suci.

Ia (ruh pinjaman) banyak menimba pengetahuan mereka; rahasia ungkapan sakral penentu denyut alam sekitarnya, serta misteri lain menyelubungi takdir manusia. Ibarat gunung terselumuti ketinggian kabut, cahaya kesadaran prosesi perubahan, mematangkan jenjang usia pemikiran. Atas terbang berbeda ruh membaca, sementara kaki-kakinya masih menginjak tanah melincah, gemulai membawa berita. Menembus pekabutan menyusupi lelapisan cahaya rasa nan suara makna. Untaian rambutnya kini taklah panjang selepas dipangkas, sesyarat memasuki napas suku Manggarai. Mempermudah menyusuri padanan daun-daun jua kerikil bergetar oleh perangainya.

Ahai, ia akrab mengisi raga saya dan padanya ruh saya dirasai. Dengan lesatan seperti burung terbang tercepat yang belum pernah ada manusia menyaksikannya. Ruh berpindah-pindah dari Gunung Ranaka, mencapai ubun-ubun Mandosaawu, dilanjutkan kepada puncak Inerie. Menjamahlah kelembutan alam Ruteng, kesuburan pegunungan Ambulembo. Sampai di Pulau Sumba dengan napas santun menggapai suara Gunung Wanggameti merdu desir anginnya. Keheningan khusyuk melagukan dendang keceriahan menemui kepemudaan segar serasa terlahir kembali; alisnya melengkuk tebal menandai setiap perjalanan bagi tafsir hukum alam. Pipinya sintal senyuman menawan, bersedekah untuk siapa menyaksikan. Hidung tidaklah mancung menambah sedap dipandang. Yang bibirnya aduhai isyarat pengetahuannya telah tanak menyeluruh ke bagian tak terjamah, kecuali diapungkan rahmat merindu balasan. Janggutnya seimbangkan seluruh air muka mengharuskan wibawa turut serta, dikala kedipan matanya memudahkan segenap diingini. Dan satu andeng-andeng menikam kata-kata mengejawantah.

Dengan perangai itu kedirian ruhnya meneruskan kembara menuju Gunung Anajeke, memetik peputik kembang bersenda ria dengan kupu-kupu ribuan warna. Tanah subur memercikkan sedikit lumpur ke pakaiannya dibiarkan, mungkin amat bahagia. Tiada terasa sampai Gunung Iwing, dilanjutkan ke Kabaau, tidak luput ke Pahulubandil. Tiap-tiap detakan lelangkah, jantung blingsatan, mukanya kemerah jambu matang. Sementara ruh saya yang dirasai tenang menyelidik apa gerangan dipikir, disaat cerita ini melaju berkehusyukan. Senada bercampurnya pasangan, timbul-tenggelam di kedalaman kerahasiaan.

Babakan berlanjut menghirup napas menghimpung segenap pengalaman, memasuki panca indra dijadikan kekayaan. Pengetahuan yang kelak tidak habis dipunggah untuk puisi-puisinya mendatang. Ruh bersama jasadnya terbang ke Pulau Timor mendaki Gunung Mutis diiringan bayu sedenyar gending Jawa mengalungi lembah. Ia teringat masa-masa kecilnya di kampung halaman bermain jaratan, dakon. Dan nyanyian yang disyiarkan Kanjeng Sunan Kalijogo; ler iler.

Wewaktu dilipat-lipat, diudar sesuai kalbu kayungyung berat. Sebab apalah saya tanpa kebesaran kalbunya merelakan dengan tidak menyebut namanya nan elok sehingga saya segan menyapa. Senandung ini seberkas sinar cahya menggelinjak menemui Gunung Nefomat. Tidak lama kaki-kaki gemulainya dengan ruh pesonakan mata telinga ke punggung Kekneno, sebelum ke batas Wehaf, dan Gunung Timau yang anggun serta.

Sedurung ke Pulau Alor saya berujar; entah reaksi apakah percampuran ini atau perpindahan beransur cepat. Berbolak-balik berkelembutan tak tampak mata. Memberi efek berlimpah tak terdetak sebelumnya. Jika memakai kata 'gentayangan,' tetaplah fokus merajalela, sekuat tanda berbauran memberkah. Rasanya diruapi ketinggian agung memendarkan lapisan nikmat sel-sel darah berdenyut kencang sekaligus pelan tak terbantah. Mengikuti bintik-bintik air menuangkan senjakala mulai temaram di sana.

Sebelum berhenti di tenggang masa yang masih bergelayut dalam selubung ruang-waktu demi maujud bagian nol ini. Pulau Alor sebagai titik tolak ruh menyimak denyutan air sungai-sungai menghidupkan kepulauan keramat Nuca Nepa. Ruh saya pinjam beranjak ke Gunung Muna, merasai lembut bersentuh lelapisan mega, tepatnya malam diterangi rembulan juga kunang-kunang dihiasi padang dataran. Langkahnya pelahan kelelahan, bau keringat nikmat dijilat angin tipis sedataran tinggi, setepat masa takdir menuntunnya berkeadaan bijaksana. Sebajik nilai utama diperdengarkan orang mulia yang ditemuinya di jalan kembara. Dengan kesadaran imbang, kepak sayap-sayap nalurinya menciumi Gunung Apengmana serta Blikmana. Sebelum hentikan lawatannya paling ganjil namun genap makna pada Gunung Fokala.

***

Hikayat lain disebut raganya hanya berada di ketinggian Gunung Ranaka, sementara ruhnya senantiasa mengembara separas di puncak kegilaan. Jari-jemarinya menuang apa saja didengar telinga, dipandang batinnya berdecak dalam. Dapat dikata banyak versi mengenai lawatannya, ada mengatakan di muara Sungai Aisesa. Begitulah legenda menutupi kekurangajarannya lewat misteri nan membalut, mempurna menggumuli alam dikandugnya. Di muara Aisesa ia pelajari masa memantul-mantul oleh cahaya surya, seumpama hati terpaut dedaun pagi memelanting embun kelembutan belia. Betapa jujurnya waktu memberi bacaan membening sehingga hijab semesta terbuka mewah merestui indranya.

Ruh terus membaca alam menyimak nyanyiannya di arus Sungai Reo. Ia diajarkan memperteguh hati-pikiran, menyikapi bebatuan terjal terpukul kesungguhan dari kelembutan. Kepatuhan hukum alam membuka lembar kitab menyelidiki ayatnya kepada biru langit membentang. Desiran bayu, cecabang pepohonan lentur mencium kening permukaan sungai. Peputik kembang berjatuhan mengikuti arus. Suara-suara hewan liar menambah derajad kesaksian. Ketakjuban selalu melekati batin mempertebal iman. Keyakinan bertumpuk setinggi tapakan ruh mengejawantahi keseluruh dirasa. Bersyukur meningkatkan pemahaman perdalam penyelidikan, menguras rasa memakmurkan jiwa kesejatian.

Manakala tibanya di Sungai Moke, berjalan cepat di muka air berselancar seimbangkan gravitasi ondakan angin. Firasatnya cemerlang mengedarkan cabang isyarat yang diberikan padanya. Waktu dilewati berkemantaban tiada sedikit pun tercecer. Bagai santapan lezat bagi ruhani terus dahaga, diserang kehausan rindu mendera. Kangennya ke alamat-alamat ceruk terdalam, celah daun sorotan cahaya. Dan ruang tempat penyadaran kala semua digerakkan. Maka tidak sekadar pesona diperoleh, namun jua martabat sedari tirakat di atas tabaruknya, kepada keseluruhan hidup menghidupkan.

Teringat dirinya, kelembutan Sungai Leo Ria nan pernah berpapasan gadis-gadis ayu sama dengannya. Menikmati untaian tubuh di dalam tarian syukur kehadirat Yang Esa, pemberi berkah panen berlimpah. Sampailah ke Sungai Jamal, di sana ia mengunci diri. Merasai dingin menggigil oleh kesaksian, meringkuk di bawah pohon. Setingkat pulung kapujanggaan menimpanya, pencerahan mengisi sekujur ruh berhawa batin menyejukkan sukma. Makna-makna bersusulan menghampiri. Permudah penalaran meneliti hayati sedari keuletan menghayati tetingkap nyawa. Semua di luar jangkauan saya, yang diberi sejumput di sini. Tak ada lain ketulusanlah pemampu memerdekakan ruh di ambang batas tak terkira, yang masih dalam lingkup kuasa Pencipta. Lalu senyala perintah mengulangi lawatannya ke Pulau Sumba, mungkin hanya ingatan-ingatannya dilayarkan ke sana.

Di muara Kambaniru dari kelokan memanjang, ia diberi penghormatan para penduduk dengan menampilkan tari-tarian Kandingangu. Upacara adat demi memohon kehadiran pencipta alam semesta. Tak dilupakan kebiasaannya di bencah Jawa ‘mengampuh;’ menjumput tanah dikunyah demi restu moyang merambahi partikel pribadinya sampai ke warna alami. Yang sisa tanahnya diambil sedari mulut untuk diusapkan di kening. Selepas itu memancarkan cahaya ke mereka di sekitanya. Mereka terus menarikan tarian Yappa Iya nan cekatan menggambarkan masyarakat Mbarambanja menangkap ikan. Dan tetarian lain dengan ditutup tarian Hedung Buhu Lelu dari kampung Lembata. Nan mengisahkan betapa erat kekerabatan penghalusan larikan kapas dipisah dari bijiannya. Para gadis-gadis menerbangkan sampurnya berwarna-warni menandai kemakmuran.

















Atlantis, The Lost Continent Finally Found {The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization, 2005}
























































◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: November 2011 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates