Friday, September 30, 2011

Ignas Kleden: Sparatisme Hanyalah Humor Kekuasaan

Hartono Harimurti
http://www.suaramerdeka.com/

MARTABAT negeri ini sedang dipertanyakan. Berbagai persoalan: larangan terbang pesawat Indonesia ke Eropa, penganiayaan tenaga kerja wanita di luar negeri, dan ancaman disintegrasi bangsa tak bisa lagi dielakkan. Ada yang salah dalam sistem sosial dan kebudayaan kita? Mengapa kita tak bisa segera bangkit dari keterpurukan? Ignas Kleden, salah satu pemikir kebudayaan Indonesia, sedih sekali melihat kenyataan itu. Karena itu berbincang-bincang dengan media ini di Kantor Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Jalan Tirtayasa VII 1 Kebayoran, Jakarta, Jumat lalu, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi ini, memberikan beberapa saran perbaikan. Berikut petikan perbincangan itu.
Negeri ini benar-benar terpuruk. Oleh Eropa, misalnya, maskapai penerbangan kita dilarang terbang di wilayah mereka. Bukan hanya itu. Tenaga kerja Indonesia juga kerap dilecehkan di negeri orang. Menurut Anda bagaimana cara kita mengatasi persoalan ini? Apakah ada jalan kebudayaan tertentu yang harus ditempuh?

Yang Anda sebutkan adalah problem yang berasal dari tindakan yang diambil pemerintah kita saat ini. Ini tidak bisa dikatakan sebagai cerminan masyarakat pada umumnya. Tentu kita tidak menghendaki kondisi seperti ini.

Juga jika dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya, saya bayangkan saat Bung Karno atau Pak Harto misalnya, mungkin tidak terjadi hal-hal seperti itu. Kondisi ini harus kita jadikan pelajaran berarti dan segera diperbaiki.

Mengenai apakah ada jalan kebudayaan yang bisa menjadi pencerah keterpurukan, saya katakan hal itu pasti ada. Kita toh punya potensi kebudayaan yang diakui oleh dunia internasional. Mengenai kebudayaan ini akan saya khususkan pada kesenian. Kita punya tokoh-tokoh yang mendapat tempat terhormat di dunia. Kita bukan hanya punya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, tapi juga memiliki penyair Sapardi Doko Damono, teaterwan Putu Wijaya, penyair Goenawan Mohamad, penari Sardono W Kusumo, dan Retno Maruti.

Mungkin dalam ilmu pengetahuan dan teknologi kita kalah dari negara lain. Juga di bidang olahraga kita masih kurang. Jadi untuk bidang kebudayan khususnya kesenian kita punya jalan konkret untuk menaikkan martabat kita di mata dunia. Inilah yang membuktikan kita sebagai bangsa berbudaya tinggi.

Sebagai bangsa unggul, mengapa budaya positif belum juga jadi warna utama perpolitikan kita? Konflik Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti tak memiliki jalan keluar. Malah yang lebih tragis, gerakan sparatisme kian merebak.

Ini terjadi karena sumber daya manusia (SDM) di bidang politik belum dipenuhi oleh figur-figur terbaik. Rekrutmen menjadi anggota legislatif, misalnya, sampai saat ini belum melewati mekanisme yang menjamin ada quality control. Belum tampak betapa yang diletakkan pada nomor urut atas adalah yang terbaik di partai politik bersangkutan. Saat ini semua itu ditentukan oleh elite partai dan kita tidak atau belum bisa menentukan. Jadi ada pertanyan atau keraguan, apakah benar mereka yang di nomor urut atas tersebut benar-benar terjamin keunggulannya atau malah di bawah rata-rata syarat sebagai politikus yang baik.

Padahal di satu sisi DPR ini menjalankan fungsi quality control melalui mekanisme fit and proper test. Jadi anggota DPR yang mungkin tidak memenuhi harapan kita, ternyata justru ikut menentukan siapa-siapa yang duduk dalam posisi strategis di pemerintahan negeri ini. Seperti saat pemilihan Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI, Hakim Agung dan sebagainya.

Karena juga belum seperti yang kita harapkan, maka wajar kalau mereka terlalu mudah terjebak untuk kepentingan sesaat. Mengenai berbagai pernyataan bahwa gerakan sparatisme kini seakan bangkit kembali, saya kok melihatnya kita ini terlalu memberikan tanggapan yang serius sekali. Ini humor kekuasaan. Mengapa demikian? Sebab jika ingin masuk beneran, mereka akan tidak hanya bawa bendera Republik Maluku Selatan (RMS), tapi juga senjata. Saya melihat aksi itu hanya sebagai cara mereka berekspresi untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.

Upaya pengibaran bendera RMS, saya kira hanya bermakna simbolik. Ya tidak sampailah mereka benar-benar menyatakan ingin merdeka. Jadi jangan sampai kita katakan insiden di Ambon itu mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu hanya sebuah peringatan kepada pemerintah pusat bahwa, “Hati-hati jika kami tidak diperhatikan, terutama kesejahteraan, soalnya RMS masih ada lho.”

Begitu juga yang terkait dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di Jayapura. Mengenai Papua saya rasa resep yang paling mujarab bagi mereka adalah pemerintah memberikan perhatian khusus. Harus ada perhatian terhadap masaah-masalah besar yang terjadi di sana.

Misalnya masalah keterbelakangan orang Papua dibandingkan dengan pendatang dan ketertinggalan mereka dalam bidang ekonomi di tanah mereka sendiri. Nasib dan masa depan mereka kan masih gelap gulita. Bagaimana sebenarnya pembagian dari peruntungan perusahan pertambangan besar di sana bagi pembangunan masyarakat Papua, ternyata juga masih belum jelas. Pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai tekanan agar pemerintah meperhatikan mereka. Jadi resepnya adalah pemerintah memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada warga. Bukan malah memberikan tekanan dengan jalan kekerasan. Jika di sana banyak dibangun jalan, sekolah serta pelayanan kesehatan terjamin, maka segala omong kosong tuntutan merdeka akan mereda dengan sendirinya.

Saat ini suasana lebih demokratis, namun masyarakat masih dilanda keterpurukan di bidang ekonomi sehingga banyak yang berpikir lebih baik kembali ke zaman orde baru. Bagaimana pendapat Anda menanggapi hal itu?

Yang pertama, kesejahteraan rakyat memang harus diberikan oleh sistem yang demokratis. Akan tetapi, demokrasi itu punya tugas yang lebih dari sekadar menyejahtrakan rakyat secara ekonomi. Demokrasi itu memunyai tujuan agar setiap orang terjamin hak-haknya, mempunyi kedudukan yang sama di mata hukum, masyarakat terjamin mendapatkan pelayanan sesuai martabat kemanusian, dan mendapatkan pelayanan yang manusiawi dari pemerintah.

Menurut saya adalah logika yang berbahaya jika kita berpikir bahwa jika demokrasi tidak juga membawa kesejaheraan, lebih baik kembali kepada zaman orde baru yang otoriter. Karena sekali kita kembali ke pemerintahan yang otoriter demi mengejar kesejahteraan dengan cepat, maka tidak akan ada lagi kesemptan bagi kita untuk mengembalikan pemerintahan ini ke sistem yang demokratis. Kita tidak boleh tawar-menawar dan harus dikatakan kita memang perlu sistem pemerintahan yang demokrtis.

Begitu juga dengan pemikiran bahwa demokrasi baru cocok diterapkan di Indonesia setelah rakyat mencapai pendapatan 6000 dolar AS, itu adala nonsens belaka.

Menurut saya kita masih seperti ini, masih terpuruk dalam bidang ekonomi. Ya karena kita masih kurang dalam berdemokrasi. Kita lihat mengapa rakyat di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih juga dilanda kelaparan? Kalau benar-benar aspirasi mereka diperhatikan, saya yakin NTT t idak terus-menerus kelaparan. DPR kan punya tim ahli, mitrapemerintah, yaitu departemen terkait. Seharusnya mereka bisa membuat langkah untuk memecakan masalah di NTT. Tidak malah sibuk meributkan interpelasi.

08 Juli 2007

Sunday, September 25, 2011

Ta'jil

Ahmad Zaini*
http://oase.kompas.com/

"Lagi-lagi Mbah Sumo bersikap seperti anak kecil. Ia selalu memperhatikan apa isi bungkusan yang menumpuk di sekitar para lelaki."

Serambi masjid sore itu ramai oleh para jamaah yang mengikuti pengajian. Mereka duduk membentuk lingkaran dari satu titik hingga titik berikutnya. Mereka antusias mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh ustadz babakan masalah agama khususnya tentang puasa Ramadhan. Kebetulan saat itu sudah memasuki hari kelima belas puasa bulan Ramadhan.
Seperti biasanya usai melaksanakan shalat ashar para jamaah yang ingin memperbanyak amal ibadah dan mencari keridhaan Allah selalu datang dalam pengajian itu. Tak terkecuali Mbah Sumo yang setiap hari rutin duduk di sebelah kiri serambi masjid. Ia khusuk mendengarkan ceramah yang disampaikan ustadz.

“Ibadah puasa tidak hanya menahan makan dan minum saja, tetapi juga menahan amarah dan hawa nafsu. Barang siapa yang mampu melekasanakn ibadah puasa dengan sempurna maka Allah akan memberi pahala kepada kita dengan berlipat ganda. Dalam sebuah hadits dijelaskan pula, barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mencari keridhaan Allah, maka segala dosa yang telah dilakukan diampuni oleh Allah,” kata ustadz dalam pengajian sore itu.

Mbah Sumo memanggut-manggutkan kepalanya mendengar uraian ustadz. Ia merasa bahwa puasanya hingga hari kelima belas merasa belum sempurna. Dalam hatinya berkecamuk karena merasa puasanya selama ini dianggap sia-sia karena sering marah-marah dan menuruti hawa nafsu. Ia juga merasa iri jika ia melihat ada orang lain yang mendapatkan rizqi.

Mbah Sumo mendesah sambil menyandarkan kepala ke dinding serambi masjid. Ia menyesal karena sewaktu berpuasa ia tidak mampu menghindari hal-hal tercela seperti itu. “Mbah, kenapa?” tanya salah satu jamaah di samping kanannya. “Eh, tidak apa-apa,” jawabnya terkejut.

Suasana pun kembali mencair. Mbah Sumo memperhatikan lagi isi ceramah yang disampaikan ustadz. Kali ini dia tidak bisa mengarahkan konsentrasinya kepada materi yang disampaikan ustadz dalam pengajian. Pikiran Mbah Sumo mulai terbagi pada makanan ta’jil yang dibawa oleh para warga ke masjid. Setiap ada orang yang datang dengan membawa bingkisan, Pikiran Mbah Sumo selalu sibuk menebak isi bungkusan itu.

“Wah, paling-paling gedhang!” kata Mbah Sumo dalam hati. Saat panitia membuka isi bungkusan, mata Mbah Sumo menatap tajam ke tempat dikumpulkannya makanan ta’jil. “Lha, bener tho? Pisang!!” “Hussss…!” tegur tetangga duduknya.

Bungkusan berikutnya dibuka oleh panitia. Lagi-lagi Mbah Sumo bersikap seperti anak kecil. Ia selalu memperhatikan apa isi bungkusan yang menumpuk di sekitar para lelaki yang dengan sukarela membantu membagikan makanan ta’jil kepada para jamaah. “Lha, bothe!” ucap Mbah Sumo yang kali ini terdengar di separo serambi masjid. Ucapan Mbah Sumo sontak membuat para jamaah tertawa terpingkal-pingkal. Mereka geli melihat tingkah Mbah Sumo. “Ono opo tho?” tanya Mbah Sumo sambil memandang orang-orang di sekelilingnya yang memandang ke arahnya. “Sampeyan itu bagaimana tho? Mereka itu melihatmu yang berulah seperti anak kecil,” terang jamaah lain.

Mendengar jawaban itu Mbah Sumo tetap bergeming. Ia tak merasa terusik oleh perhatian para jamaah yang mengikuti pengajian. Tatapan penasaran Mbah Sumo pada jajan yang akan dibagikan kepada jamaah sebagai menu berbuka puasa tak surut. Ia tak ingin melepaskan begitu saja isi bungkusan tas kresek yang dibuka oleh para relawan ta’jil.

Gema suara ustadz yang sedang membalah kitab Sullamuttaufiq merembet di setiap pilar penyangga masjid yang megah. Satu persatu fasal dia utarakan kepada para jamaah yang sebagian besar adalah para manula dan anak-anak. Sedangkan para remaja yang semestinya menjadi penggerak kegiatan di masjid tak kelihatan sama sekali. Mereka, para remaja, lebih suka menghabiskan waktu sore hingga menjelang berbuka di tempat-tempat keramaian. Mereka bergerombol di pinggir-pinggir jalan sambil menggosip ke sana kemari. Saat matahari hampir tenggelam mereka baru membubarkan diri sembari menggeber motor yang mereka kendarai. Mereka saling mengadu kecepatan motor. *** Waktu berbuka tinggal lima belas menit lagi. Para lelaki yang menjadi sukarelawan pembagi makanan ta’jil mulai membagikannya kepada para jamaah. Satu persatu jamaah yang duduk sambil mendengarkan ceramah dari ustad mendapat bagian ta’jil. Demikian pula Mbah Sumo. Ia melongo memperhatikan makanan ta’jil yang sudah diterima oleh jamaah lainnya. “Sebungkus nasi. Ya, sebungkus nasi,” katanya girang. “Sabar, Mbah Sumo. Nanti pean juga kebagian. Bersabarlah menunggu giliran!” tegur jamaah di sampingnya.

Mbah Sumo resah saat bungkusan nasi yang dibagikan kepada jamaah tinggal beberapa bungkus sedangkan tempat dia duduk masih jauh dari lelaki yang membagikan bungkusan tersebut. Ternyata kekhawatiran Mbah Sumo menjadi kenyataan. Sebelum sampai kepada dia, nasi yang dibagikan para lelaki itu telah habis. “Lha…, tidak kebagian!” ungkapnya kecewa. “Jangan kuatir, Mbah Mo. Itu di sana masih menumpuk.”

Seorang lelaki datang mendekati tempat duduk Mbah Sumo dengan membawa tas kresek yang berisi makanan. Ia segera meraih makanan yang masih tersembunyi di dalam tas kresek. Perlahan ia mengangkat makanan ta’jil itu lalu menaruhnya di depan Mbah Sumo. “Waduh, kebagian mbothe Jo!” katanya kaget kepada Wak Kirjo.

Mbah Sumo menggerutu dalam hati karena makanan ta’jil pembagian lelaki sukarelawan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ia merasa kesal kepada lelaki yang baru saja meletakkan mbothe tepat di depan tempat duduknya. Hatinya semakin berkecamuk lantaran makanan ta’jil yang masih menumpuk di sudut serambi belum juga dibagikan lagi. Ia sangat penasaran makanan ta’jil apa yang akan diterimanya lagi. Dengan hati berdebar-debar ia menatap lelaki yang membagikan bungkusan kepada para jamaah. Mbah Sumo berharap mendapatkan bagian makanan yang sesuai dengan selera. “Ini dia, nasi uduk, kesukaanku!” gumamnya dalam hati. Lagi-lagi Mbah Sumo sedang bernasib sial. Ketika giliran dia mendapatkan pembagian makanan ta’jil yang sesuai dengan seleranya, ia selalu tidak kebagian. “Apes…apes!” umpatnya. “Kenapa, Mo?” “Saya tidak kebagian lagi.” “Sabar to Mo! Itu diambilkan lagi. Masih banyak makanan ta’jilnya.”

Sepotong roti sisir diberikan lelaki berkopiah haji kepada Mbah Sumo. Ia spontan menolak pembagian itu. Mbah Sumo berdiri lalu mengumpat lelaki itu sambil melemparkan makanan ta’jil yang diterimanya kepada lelaki tadi. Ia merasa disepelekan karena hanya menerima ta’jil mbothe dan sepotong roti sisir. Sementara jamaah yang lain menerima sebungkus nasi dan makanan yang disukainya. “Ini tidak adil!” katanya sambil berteriak.

Para jamaah yang tadinya khusuk mendengarkan ceramah dari ustadz mendadak riuh mendengarkan ucapan Mbah Sumo. Mereka heran kenapa Mbah Sumo bersikap demikian itu. Padahal, makanan ta’jil yang diterimanya itu hanyalah makanan yang digunakan untuk menyegerakan berbuka puasa agar mendapatkan kesunatan dalam berpuasa. Pak Ustadz tersenyum simpul menyaksikan kejadian itu. Ia pun berdiri lalu mendekati Mbah Sumo agar dia sabar dan menerima ta’jil yang dibagian lelaki sukarelawan tadi. “Sabar nggeh Mbah! Panjenengan remen ta’jil nopo?” tanya ustadz kepada Mbah Sumo. “Kulo kepengen nasi bungkusan,” jawabnya mrengut. “Baiklah, kalau begitu!” Pak ustadz segera mengambilkan sebungkus nasi ta’jil jatahnya kemudian memberikannya kepada Mbah Sumo. “Niki kangge panjenengan,” kata pak ustad sambil menyodorkan sebungkus nasi kepada Mbah Sumo. “Matur Suwun, matur suwun…!” ucap Mbah Sumo dengan wajah yang ceria. Tak lama kemudian para jamaah kembali duduk dengan tenang melanjutkan kegiatan yang sempat terganggu ulah Mbah Sumo. “Asyhaduallailahaillallah, Astaghfirullah, nas aluka ridhaka waljannah wanaudzubika min sakhotika wannar!” Pak Ustadz memimpin para jamaah melantunkan dzikir pada Allah hingga waktu berbuka puasa tiba.

Kini detik-detik berbuka puasa telah tiba. Mbah Sumo dan para jamaah lainnya telah bersiap-siap berbuka puasa. Sesaat kemudian beduk yang menggantung di serambi masjid dipukul bertalu-talu dan para jamaah pun melaksanakan berbuka puasa. “Allahumma laka shumtu, wabika amantu, wa’ala rizqika afthortu birahmatika ya arhamarrahimin!” Mbah Sumo berdoa kemudian melaksanakan berbuka puasa dengan menikmati makanan ta’jil yang diberi oleh pak ustadz. (*)

Lamongan, Agustus 2011
______________________________
Ahmad Zaini, beberapa puisi dan cerpennya pernah dimuat di Radar Bojonegoro, Majalah MPA (Depag Jatim), Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (Dewan Kesenian Lamongan,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Kidung Rumeksa Praja (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2010).

Saturday, September 24, 2011

Bait–Bait Hujan

Pringadi AS
http://oase.kompas.com/

Kamu seperti hujan. Yang datang menghapus bau-bau kematian, di hatiku yang telah gersang oleh kemarau. Padahal kamu pernah menciptakan mendung, di awan awan yang putih, di hamparan langit yang biru. Tapi secepatnya aku lupa. Sebab kamu segera menggantinya dengan hujan. Yang merontokkan segenap kerinduan.

Melihat hujan hari ini, aku teringat kamu. Kamu yang hadir dengan manis di setiap hujan. Menggenggam sebelah tanganku—menarikku ke arah hujan. Bermain dengan hujan. Dan ketika kita telah begitu basah, kamu membelai rambutku yang penuh hujan. Menggerainya, hingga tak menghalangi wajahku yang pernah kamu sebut sebagai karya seni terindah Tuhan.
“Nggi, tidak bawa payung?”

Aku menggeleng.

Ardi. Aku tahu, sudah sebulan ini dia memberikan perhatian lebih kepadaku. Mungkin sebentar lagi dia akan mengatakan cinta. Aku yakin itu. Tapi tidak mungkin kuterima, sebaik dan seperhatian apapun dirinya. Sebab hatiku telah kamu. Rinduku pun telah kamu.

“Nanti sakit lho, Nggi?” bujuknya sambil membuka payungnya yang berwarna biru muda bermotif bunga. Ciri khas laki-laki bertipe lembut, mudah terluka. Mungkin.

“Di, Anggi suka hujan.”

Ardi diam, menatapku penuh rasa keingintahuan.

Aku menjulurkan tangan kananku ke rintik-rintiknya, mencuri segenang hujan. “Lihat, hujan adalah kehidupan.”
Dia diam. Masih menatapku dengan sedikit heran. Lalu ia pun ikut mengulurkan tangannya ke arah hujan.

“Aku tak pernah suka hujan,” diam sejenak sebelum ia melanjutkan, “kau tahu, Nggi? Dari kecil aku selalu dilarang main hujan-hujanan. Aku hanya bisa melihat teman-temanku bermain dengan riangnya dari balik jendela kamarku. Aku ingin… ingin sekali bisa bermain dengan hujan. Tapi aku tahu, aku tak boleh. Karena fisikku, Nggi… aku alergi hujan.”

Aku menatapnya yang masih menatap ke arah hujan. Menyunggingkan senyuman yang lebih dari kerinduan.

“Sulfat.” Aku memecah keheningan.

“Maksudmu?”

“Sekarang aku juga tidak akan main hujan-hujanan lagi.”

“Karena aku?”

“Enak saja. GR kamu.”

“Lalu?”

“Sulfat. Bukannya sudah kukatakan tadi?”

***

Tentang kamu, yang pernah kulihat berdiri menunggu hujan reda di pintu gerbang sekolah. Kamu mengenakan kemeja berwarna hitam dengan rambut acak-acakan, seperti tak disisir. Kamu memakai tas punggung yang juga berwarna hitam, yang tampak penuh menggelembung. Tak tahu apa isinya. Sesekali kamu melirik tangan kananmu, melihat waktu di arlojimu. Ah aku jatuh cinta padamu, pada ekspresi wajahmu yang waktu itu seperti terburu-buru.

Aku tergoda untuk mendekatimu. Berdiri di sampingmu.

“Payung?”

Kamu menatapku sekilas. Lalu menggeleng.

“Anggi. Kamu?”

“Pring.”

“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?”

“Nggak…”

“Ah pasti karena namaku kan?”

Dan kamu diam. Diam yang begitu aku suka. Bisa kuhitung berapa kalimat yang kamu ucapkan di tiap kita bertemu. Seperti pertemuan pertama kita ini, kamu diam dan aku memayungimu. Kamu tidak menolak. Aneh. Padahal kita baru saling mengenal nama. Tetapi aku merasa begitu dekat kepadamu. Merasa seakan kamulah orang yang tepat untukku.

***

Kamu tidak begitu tampan. Ardi jelas jauh lebih tampan. Tapi garis mukamu begitu tegas. Begitu lugas. Kamu adalah tipe orang yang tahu dan paham apa yang harus dan boleh dilkakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dan kamu seperti menemukan alasan, di pertemuan kita yang bahkan belum menginjak angka belasan, untuk mengatakan perasaanmu kepadaku.

Hari itu memang hujan.

“Momen yang sama, kan?” Aku kaget. Tidak biasanya kamu memulai pembicaraan. Belum aku menjawab, kamu sudah melanjutkan pertanyaanmu, “Payung?” Dan aku hanya bisa menatapmu. Kamu benar-benar aneh hari ini.

“Katakan saja apa maumu? Tidak biasanya kamu seperti ini.”

“Sudah kubilang kan? Momen yang sama.”

“Maksudmu?”

“Saat kita pertama kali bertemu.”

Kamu menatapku. Menatapku dengan pandangan yang di malam kesendirianku tidak dapat terhapus dari bayangan. Dan perkataanmu selanjutnya adalah sesuatu yang mungkin menjadi hal terindah dalam hidupku. Meski kamu tidak bertanya bagaimana perasaanku dan tidak memintaku untuk menjadi pacarmu. Tidak memintaku untuk selalu berada di sisimu. Tapi ya, kau dengan tegas mengucapkan itu, bahwa kamu suka aku. Cukup. Dan aku seperti tersihir atau terhipnotis oleh pernyataanmu itu. Tanpa bisa berkata-kata.

***

“Apa kamu suka sama orang lain, Nggi?” Ardi bertanya. Aku diam.

Bahasa terbaik adalah diam. Itu adalah ucapanmu. Aku tidak mengerti kenapa kamu lebih suka diam dan tersenyum. Sampai pembicaraan-pembicaraan kita seringkali semata lewat kertas atau SMS, padahal kita sedang duduk bersebelahan.

“Pring, bicaralah…”

“Ehmm, tidakkah ini romantis?”

“Old school…”

“Kamu mau aku cium?”

Giliranku yang terdiam. Kamu bilang ingin menciumku. Aku memejamkan mata. Beberapa detik kutunggu, kamu malah menjitak kepalaku. “Nanti, kalau kita sudah menikah…” lanjutmu sambil tersenyum.

Tetapi, kamu tidak ada di depanku kini. Malah Ardi. Dia masih menatapku dengan tanda tanya. Lama-lama aku jadi kasihan padanya. Maksudku, tidak baik untuk terus membiarkan seseorang mencintai sementara hati sudah milik orang lain. Ya, meski, kebanyakan perempuan begitu. Menebar kail di dua ikan. Menunggu sampai mendapatkan ikan yang paling besar. Aku tentu berbeda. Jika sudah ada satu ikan, ya cukup satu saja. Menunggu terlalu lama beresiko sia-sia.

“Kalau iya, kenapa?” Aku malah balik bertanya.

“Apa dia juga menyukaimu?”

“Ya, katanya begitu, tapi…”

“Tapi?”

“Kenapa kamu mau tahu?”

“Karena aku suka kamu!” Ardi menjawab dengan tegas.

“Sudahlah, Di… aku minta maaf, aku sudah terlanjur menyukainya.”

“Siapa dia… kelas berapa?”

Tiba-tiba aku terdiam. Pringadi. Kelas berapa ya? Sekolahku memang besar dan luas. Satu angkatan saja terdiri dari 12 kelas dan masing-masing kelas bersiswa 45 orang. Aku tidak pernah bertanya dia kelas berapa. Aku memang jarang melihatnya. Bahkan pertemuan pertama kami di gerbang sekolah itu pun adalah memang pertama kali aku melihatnya.

“Nggi… kok diam?” tanya Ardi lagi.

“Pringadi, kamu kenal?”

Ardi mengerutkan keningnya. “Rasanya tidak ada nama seaneh itu di sekolah kita.”

***

Bisa kuhitung jari berapa kali aku bertemu denganmu. Pertama, di gerbang sekolah, dan hari itu hujan. Kedua, di depan ruang guru, sore-sore saat aku baru selesai ekskul, dan hari itu hujan. Ketiga, di kantin, saat aku membolos karena bosan, hari itu kamu menyatakan suka aku, dan hari itu juga hujan. Keempat, di belakang sekolah, saat aku membeli beberapa alat tulis, kamu menghampiriku dan mengirim SMS, berkata ingin menciumku. Sebelum akhirnya, aku sudah berbulan-bulan tidak melihatmu.

Aku ingat sekarang, aku belum pernah memberikan nomor handphoneku ke kamu.

***

“Tidak ada yang namanya Pringadi di sekolah ini.”
“Tidak mungkin.”
“Sudah kuselidiki, Nggi. Sudah kutanyakan ke administrasi.”
“Aku pernah bertemu dengannya. Aku pernah berSMSan dengannya. Aku pernah bertulis kata-kata dengannya. Kamu hanya tidak suka kalau aku menyukai orang lain, Di!”
“Aku cuma tidak suka kamu tersesat dalam rasa sukamu, Nggi.”
“Masa bodoh!”
“Aku peduli padamu. Apa kau bisa menunjukkan semua bukti keberadaannya, Nggi?”
Aku masuk ke dalam kelas. Kuambil tas. Kutunjukkan SMS-SMS dari Pringadi. Pun kertas-kertas yang berisikan dialog kami berdua. Ardi mulai membacanya satu per satu. “Sekarang kamu percaya?”
Hari ini hujan lebih deras dari biasanya. Aku juga tidak menyangka Ardi bisa senekat ini menyelidiki apa-apa yang pernah kuceritakan kepadanya. Murid-murid lain sudah pulang dengan jemputan-jemputan mereka yang beragam. Kami berdua di pojok sekolah. Ardi masih mengamati semua kata-kata itu. Aku mengetuk-ngetukkan sepatu ke lantai. Tiba-tiba di pojok lain, akhirnya, aku melihatmu lagi. Kamu tersenyum. Hatiku berteriak. Segera aku lari menghambur ke arahmu, melewati hujan. Melewati genangan-genangan. Hujan menyamarkan airmataku. Aku memelukmu.

***

Hari itu, Ardi melihatku berlari tiba-tiba. Tasku jatuh dan berhamburan isinya. Ardi tidak pernah mengejarku. Pandangannya teralihkan pada sebuah handphone lain di tasku itu. Ia memungutnya. Ketika kembali memandangiku, ia tahu aku sedang mengejar sesuatu. Tetapi, satu yang tidak aku tahu, Ardi tidak melihat siapa-siapa di sana. Ardi melihatku seperti sedang memeluk seseorang. Tetapi, tidak pernah benar-benar ada orang dalam pandangannya. Ketika ia mulai membuka handphone itu, ia temukan SMS yang sama seperti di handphone sebelumnya. Pun ketika ia membongkar isi tas itu, ia temukan catatan-catatan dengan tulisan tangan yang sama dengan kertas-kertas dari Pringadi. Catatanku sendiri. Tulisanku sendiri.

(Palembang, 2010)

KETAKLAZIMAN PRINGADI ABDI SURYA

Judul : Dongeng Afrizal
Penulis : Pringadi Abdi Surya
Tebal : 166 halaman
Edisi : cetakan I, 2011
Penerbit : Kayla Pustaka _ Jakarta
Peresensi : Lina Kelana
http://sastra-indonesia.com/

Kesan pertama setelah tuntas membaca Dongeng Afrizal, pikiran saya langsusng tertuju pada sang penulis, bahwa Pring (Panggilang Pringadi Abdi Surya) sedang tak waras, atau memang sudah tak waras lagi. Dan Pring harus bertanggung jawab manakala ada beberapa orang yang merasa pusing atau bahkan gila setelah membaca bukunya. Bagaimana tidak? Keliarannya benar-benar “tak beradab”.

Dari Surat ke Delapan hingga Senja terakhir di Dunia, saya mendapati kedalamanan dan ketakwarasan itu sudah “direncanakan” atau “terencanakan” di alam bawah sadarnya : sebelum atau pada saat ia menulis. Bukan hal yang tak mungkin ini membuat krenyit di kening pembaca. Beberapa kali kita diajaknya berlari, terpeleset, berjinjit, tersungkur, mundur menata kuda-kuda, dan kadang meloncat-loncat dalam imaji. Jadi tak salah jika saya bilang “Pring memang tak waras”.

Pada Surat ke Delapan, Pring menghadirkan konflik “kecil” dalam hubungan suami istri. Suatu kesalahpahaman yang tak dikomunikasikan, ternyata berpengaruh menimbulkan prasangka-prasangka “sepihak” yang menimbulkan masalah-maslah lain(baru) untuk selanjutnya.

Kisah seorang Alina hampir mendominasi cerita dalam buku ini. Kisah klasik Romeo dan Juliet yang diramu dalam berbagai versi dan“menu” , De Ja Vu yang tak bisa lepas dari kisah hidup anak manusia.

Resital Kupu-Kupu, Setan di Kepala Ibu, Djibril dan Aku, Maconda Melankolia, dan Fiksimaksi : Tuhan dan Racauan yang Tak Tuntas, sebagai ketakwajaran yang disuguhkan dengan “kengerian dunia lain”. Alam Ketuhanan yang dibuntal dengan gaya “ekstrim” ini bisa menyesatkan banyak kaum.

Keseluruhan cerita dalam realita, atau realita dalam certia di Dongeng Afrizal ini sangat kental dengan “penjelajahan” batin dan filsafat. Tak kalah seru dalam epilognya yang menampilkan beberapa rumus matematika, yang, oleh sebagian pembaca mungkin bukan hal yang penting untuk dituliskan. Mungkin juga demikian menurut sang penulis. Tetapi tahukah? Ruang-ruang yang coba ditampilkan, rumus-rumus matematika yang kaku dan baku, juga filsafat dan Ketuhanan, tak bisa dilepaskan dalam kehidupan seorang individu. Di sadari atau tidak semua hal di alam ini, bahkan ilmu pengetahuan adalah filsafat (Perbincangan bersama Khrisna dan Sholahuddin di suatu sore di beranda rumah). Dan itu memang benar. Filsafat yang dianggap sebagai kegilaan menuju kemurtadan kepada Tuhan tak lain dan tak bukan adalah perjalanan batin manusia mengenal Tuhannya. Bukankah untuk mengenal Tuhan lebih dari sekedar syari’at–(syariat + hakekat)–dibutuhkan suatu ketiadaan diri, ketiadaan identitas dan keinginan, serta segala yang lekat pada ke”diri”an seseorang? Dan kita semua tahu, itu hanya dimiliki oleh orang yang sudah mengalami “gila”. Gila(menghilangkan diri) terhadap diri sendiri dan gila (mabuk kepayang)untuk senantiasa menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya yang di hati dan “diri” kita. Dan ingatkah? Bagaimana kisah kegilaan Kusrau terhadap Syirin, Qais dan Layla juga serentetan kisah cinta lainnya. Secara harfiah memang, baik Kusrau maupun Qais tergila-gila dengan Syirin dan Layla, demikian juga sebaliknya. Tetapi lebih dari itu, mereka “mengagungkan” dan telah “gila” akan makna sebuah”cinta”. Bagaimana perjuangan, kenikmatan, dan efek yang diberikan cinta, tentang arti kerelaan, ketakberdayaan, pengorbanan, perjuangan, keikhlasan, juga macam nilai moral lainnya. Dan penggemblengan atas semua itu tak lain merujuk pada sifat-sifat mulia, yang tak lain dan tak bukan adalah manifestasi dari sifat-sifat yang 99 (Asmaul Husna) itu.

lalu apa hubungannya dengan kelimabelas cerita dalam Dongengnya Pringadi?
Tauhid dimaknai sebagai (mem)percaya(i) bahwa Allah itu satu/Esa.

Ketauhidan adalah kepercayaan, keyakinan, keimanan terhadap keesaan Allah s.w.t. Sesuatu yang dimiliki setelah selampauan peristiwa-peristiwa yang dialami disertai dengan pembuktian-pembuktian (sengaja atau tidak) yang didukung oleh kebenaran-kebenaran empiris, logika, juga dalil-dalil (aqli dan naqli).

Tak berlebihan jika ini ditarik pada karya milik Pringadi—khususnya terlihat pada epilognya—yang nyleneh itu. Ilmu matematika adalah ilmu yang berhubungan dengan logika. Dan logika perlu, bahkan harus dimiliki dan gunakan di dalam hidup dan kehidupan. Logika yang meliputi : categoriae (mengenai pengertian-pengertian), de interpretatiae (mengenai keputusan-keputusan), analitica priora (tentang selogisme), analitica parteriora (mengenai pembuktian), topika (mengenai berdebat), dan de sophisticis elenchic (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Lepas dari beberapa pengertian yang ada dan bisa disistematikakan : logika naturalis,ilmiah, tradisioanl, modern, formal, deduktif, induktif, dansebagainya, logika sangat diperlukan untuk memahami dan menyakini sesuatu hal lewat penginderaan (lahir ataupun batin). Dan jika sampai pada ranah ini, kita menyebutnya sebagai keimanan. Keimanan terhadap Tuhan, benda, peristiwa, atau apapun (tergantung bagaimana diri pribadi menerjemahkannya).

Tauhid + logika, artinya berpikir tentang Tuhan, ketuhanan, dan segala macam yang meliputi dan berkenaan dengan Tuhan dan keTuhanan. Dari pengamatan sungai, langit, tumbuhan, manusia, hewan, dansebagainya yang ada di langit dan bumi sebagai pengejawantahan ciptaan/kekuasaan Allah s.w.t.

Pemikiran tentang Tuhan, sebagaimana konsekuensi logis ajaran tauhid, merupakan salah satu dari banyak tema yang paling sentral dalam tradisi filsafat (ketauhidaan-Agama) Islam. Baik Aristotelian, Neoplatonisme, Paripatetisme, maupun Illuminasionisme.1)

Ketidakwarasan dan “kemurtadan” Pring yang sedemikian kompllit dituturkan dalam gaya bahasa kuat. Bahasa kepenyairan yang digunakannya meledakkan segenap kegilaan yang bisa menyesatkan umat.

Ket : 1) Analisi Matematikan Terhadap Filsafat Islam. (Abd Azis, UIN Press 2006)
Ketuhanan + rasa + imaji + ke“binal”an = Dongeng(nya) Pringadi

Maka berhati-hatilah.
Haha….

Wednesday, September 21, 2011

Profesi yang Terlupakan

Aguk Irawan MN
http://cetak.kompas.com/

Novel spektakuler Harry Potter tidak akan bisa dinikmati jutaan penggemar novel di Indonesia bila tanpa melalui proses penerjemahan. Berita-berita internasional yang berasal dari berbagai belahan dunia bisa dinikmati pembaca dalam negeri juga tidak terlepas dari jasa penerjemah.

Bisa dibayangkan, tanpa penerjemahan buku-buku berbahasa Inggris atau kitab-kitab berbahasa Arab, masyarakat akan kesulitan mengerti isi dari suatu buku atau kitab.
Namun, tahukah Anda, siapa yang berjibaku di balik penerjemahan karya JK Rowling sehingga karya itu bisa booming dan dinikmati jutaan orang di negeri ini. Siapa pula yang berperan besar dalam penerjemahan buku berbahasa Inggris atau kitab berbahasa Arab itu?

Pertanyaan seperti ini patut diajukan sebab harus diakui apresiasi masyarakat di negeri ini cenderung melupakan jasa seorang penerjemah. Hal ini bisa dibuktikan ketika karya terjemahan booming, penerjemahnya tak ikut terserempet rezekinya. Di dapur penerbit, seorang penerjemah sering menjadi bulan- bulanan editor dan penyunting. Ironisnya, tak sedikit redaktur penerbit itu, dengan sengaja atau tidak, sering alpa mencantumkan nama penerjemah dari buku-buku karya impor yang mereka terbitkan.

Kenyataannya memang, di negeri ini, profesi sebagai ”penerjemah” masih terasa asing, bahkan cenderung tidak dipedulikan. Tak ada remaja atau anak muda yang berminat untuk menggelutinya atau merebutnya sebagai jalan hidup atau profesi. Buat orang tua, apalagi. Kerja semacam itu tidak memberi kebanggaan apalagi jaminan kesejahteraan.

Hal itu seperti ”didukung” oleh industri buku karya terjemahan yang menjamur sekarang ini, masih belum memberikan penghargaan yang cukup pantas bagi seorang penerjemah. Hal ini bisa dibuktikan dengan sangat minimnya bayaran atas jerih payah mereka. Akibatnya, banyak penerjemah di negeri ini hidup dalam keprihatinan yang sangat.

Penerjemah dalam sejarah

Sebelum Islam datang di semenanjung Arab, terlebih dahulu telah berkembang pendidikan Sassanian yang dipelopori oleh Ardeshir Papakan, misalnya, dengan mengirimkan orang-orang terpelajar ke India dan kekaisaran Romawi untuk belajar bahasa mereka. Kemudian ia memerintahkan penerjemahan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Pahlavi.

Mereka, kaum terpelajar yang menerjemahkan karya-karya itu, difasilitasi oleh penguasa. Tak sedikit nama-nama mereka dijadikan ”simbol” kebesaran kekuasaannya sehingga tradisi penerjemahan terus terpelihara secara turun-temurun.

Lambat laun, dari kegiatan penerjemahan ini terbentuk lembaga-lembaga pendidikan baru di kota-kota penting Persia, seperti Akademi Jundi-Shapur dan Akademi Maan Beit Ardeshiri. Dari kedua akademi ini pula muncul beberapa penerjemah ulung dari bahasa Sanskerta, Pahlavi, dan Syria.

Ketika Islam datang dan menemukan kejayaannya, kejayaan itu tidak diperoleh dengan tiba-tiba. Kejayaan itu diperoleh berkat kesadaran penguasa akan pentingnya ilmu pengetahuan dan keuletan para penerjemah. Misalnya, Khalid ibn Yazid ibn Murawiya (704-708 M), seorang penguasa Umayyah dianggap sebagai orang yang mendorong para sarjana Yunani di Mesir untuk menerjemahkan buku- buku Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan yang sangat tinggi. Peristiwa ini sering disebut sebagai proses penerjemahan pertama yang terjadi dalam dunia Islam.

Harun al-Rasyid (786-809 M), salah satu penguasa Abbasiyah, mempunyai peranan aktif dalam kemajuan dunia penerjemahan. Bahkan diriwayatkan ia telah mewakafkan lebih dari separuh harta bendanya untuk kepentingan penerjemahan manuskrip-manuskrip kuno Persia ke dalam bahasa Arab.

Al-Makmun, penguasa Baghdad (786-833 M), khalifah Abbasiyah paling berpengaruh, merupakan pemrakarsa pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi Harun al-Rasyid serta menjadikan pencarian dan penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani sebagai tujuan hidupnya. Ia secara khusus mengirim sebuah misi kepada Raja Byzantium, Leon De Armenia, demi tujuan itu.

Dorongan kerja penerjemahan pada masa kejayaan Islam (golden age) terlihat dari penghargaan penguasa kepada jasa para penerjemah. Hunain ibn Ishaq (808-877 M), misalnya, ketika diangkat dan sebagai pengawas perpustakaan Bait al-Hikmah, setiap selesai menerjemahkan buku diberi hadiah emas oleh Al-Makmun senilai dengan berat buku yang diterjemahkan. Karena itu, tak mengherankan bila Jamil Shaliba dalam bukunya, Al-Falsafah al-Arabiyyah, berkesimpulan bahwa munculnya peradaban Islam disebabkan oleh dua hal utama: penghargaan yang tinggi penguasa kepada penerjemah dan keuletan para penerjemah. Karena dua hal tersebut, pilar-pilar peradaban Islam berhasil melahirkan banyak filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia.

Ketika Imperium Islam Bani Abbasiyah semakin lemah oleh konflik internal, dan ketika bangsa Mongol masuk untuk menghancurkan Kota Baghdad, rotasi transmisi ilmu pengetahuan dari Islam ke Barat berjalan juga dengan cara penerjemahan buku-buku. Koleksi buku berbahasa Arab di Kordoba sebagai pusat peradaban kaum Muslim di Eropa telah menjadi cahaya penerang bagi seantero jagat Eropa.

Kemudian ribuan peneliti, pengajar, dan siswa dari seluruh dunia dan terkhusus Eropa telah menjadikan Kordoba sebagai kiblat ilmu pengetahuan dan kemajuan sains. Seluruh ide awal Renaissance dan revolusi sains Eropa berawal dari Kota Kordoba itu. Terbukanya tirai kehidupan baru ini mendorong masyarakat intelektual Eropa untuk menerjemahkan kembali sisa-sisa manuskrip Arab yang berisi berbagai disiplin ilmu ke dalam bahasa Latin, Hebrew, Spanyol, Italia, Catalan dan bahasa lain pada abad ke-12 dan ke-13.

Komitmen kuat

Disadari atau tidak, ilmu pengetahuan yang kita dapatkan sejak sekolah dasar hingga sekarang ini pun tidak terlepas dari jasa seorang penerjemah.

Namun, sekali lagi, profesi penerjemah di negeri ini masih terpinggirkan, bayarannya kecil, dan hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Karena itu, tak sedikit yang menjadikan profesi penerjemah sebagai profesi sampingan. Akibatnya, banyak buku terjemahan yang kualitasnya memprihatinkan.

Tidak bisa lain, jika negara ini ingin maju dalam ilmu pengetahuan dan peradaban, semua pihak harus punya komitmen kuat untuk meningkatkan penghargaan kepada profesi penerjemah. Sejarah telah membuktikan itu.

Aguk Irawan MN Pendiri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Menerjemahkan dan Menulis Sejumlah Sajak, Cerpen, Esai, dan Novel, Menetap di Yogyakarta.

Tuesday, September 20, 2011

Kisah Sahabat Nabi: Abdullah bin Rawahah, Penyair Rasulullah

Hepi Andi Bastoni
http://www.republika.co.id/

Waktu itu, Rasulullah sedang duduk di suatu dataran tinggi di kota Makkah, menyambut para utusan yang datang dari Yatsrib (Madinah) dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari 12 orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Anshar (penolong Rasul).

Mereka akan berbaiat kepada Rasulullah, yang kelak disebut dengan Baiat Aqabah Ula (pertama). Merekalah pembawa dan penyiar Islam pertama ke Yatsrib. Dan baiat merekalah yang membuka jalan bagi hijrahnya Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya membawa kemajuan bagi Islam. Salah seorang dari utusan yang dibaiat itu adalah Abdullah bin Rawahah.

Ibnu Rawahah adalah seorang penulis dan penyair ulung. Untaian syair-syairnya begitu kuat dan indah didengar. Sejak memeluk Islam, ia membaktikan kemampuan bersyairnya untuk mengabdi bagi kejayaan Islam. Rasulullah sangat menyukai dan menikmati syair-syairnya, serta serta sering menganjurkan kepadanya untuk lebih tekun lagi membuat syair.

Pada suatu hari, Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah. Lalu Nabi bertanya kepadanya, "Apa yang kau lakukan jika hendak mengucapkan syair?"

Abdullah menjawab, "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan."

Ia kemudian mengucapkan syair tanpa pikir panjang. "Wahai putra Hasyim, sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia dan memberimu keutamaan, di mana orang lain takkan iri. Dan sungguh aku menaruk firasat baik yang kuyakini pada dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka. Seandainya engkau bertanya dan meminta pertolongan kepada mereka untuk memecahkan persolan, tiadalah mereka hendak menjawab atau membela. Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang engkau bawa. Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa."

Mendengar itu, Rasulullah gembira dan ridha kepadanya. Beliau bersabda, "Dan kamu pun akan diteguhkan Allah."

Ketika Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada Umrah Qadha, Ibnu Rawahah berada di depan beliau sambil bersyair, "Oh Tuhan, kalaulah tidak karena Engkau, niscaya kami tidaklah akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedekah dan shalat. Maka mohon turunkan sakinah atas kami dan teguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang. Sesungguhnya orang-orang yang telah aniaya terhadap kami, bila mereka membuat fitnah, akan kami tolak dan kami tentang."

Suatu ketika Abdullah bin Rawahah sangat berduka dengan turunnya ayat, "Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat." (QS Asy-Syu'ara: 224).

Namun kedukaannya terhibur dengan turunnya ayat lain, "Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya." (QS Asy-Syu'ara: 227).

Ketika kaum Muslimin terjun ke medan perang demi membela kalimat Allah, Abdullah bin Rawahah turut tampil membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyah, dan Khaibar. Ia menjadikan kalimat syairnya sebagai slogan perjuangan. "Wahai diri! Seandainya kamu tidak tewas terbunuh dalam perang, maka kamu akan mati juga!"

Pada waktu Perang Mu'tah, balatentara Romawi sedemikian besarnya, hampir 200.000 orang. Sementara barisan kaum Muslimin sangat sedikit. Ketika melihat besarnya pasukan musuh, salah seorang berkata, "Sebaiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin kita akan dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi."

Namun Abdullah bin Rawahah berdiri di depan barisan pasukan Muslim. "Kawan-kawan sekalian," teriaknya, "Demi Allah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasarkan bilangan, kekuatan atau jumlah pasukan kita. Tapi kita memerangi mereka demi mempertahankan agama kita ini, yang dengan memeluknya, kita dimuliakan Allah. Ayo, maju! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita raih; kemenangan atau syahid di jalan Allah."

Dengan bersorak-sorai, kaum Muslimin yang berjumlah sedikit namun besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak, "Sungguh, demi Allah, benar apa yang dikatakan Ibnu Rawahah!"

Perang pun berkecamuk. Pemimpin pasukan pertama, Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid. Demikian pula dengan pemimpin kedua, Ja'far bin Abi Thalib. Abdullah bin Rawahah kemudian meraih panji perang dari tangan Ja'far dan terus memimpin pasukan. Ia pun terus menerjang barisan tentara musuh yang menyerbu bak air bah. Abdullah bin Rawahah pun gugur sebagai syahid, menyusul dua sahabatnya; Zaid dan Ja'far.

Pada saat pertempuran berkecamuk dengan sengit di Balqa', bumi Syam, Rasulullah SAW tengah berkumpul dengan para sahabat dalam suatu majelis. Tiba-tiba beliau terdiam, dan air mata menetes di pipinya. Rasulullah memandang para sahabatnya lalu berkata, "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih oleh Ja'far, ia bertempur dan syahid juga. Kemudian panji itu dipegang oleh Abdullah bin Rawahah dan ia bertempur, lalu gugur sebagai syahid."

Rasulullah kemudian terdiam sebentar, sementara mata beliau masih berkaca-kaca, menyiratkan kebahagiaan, ketentraman dan kerinduan. Kemudian beliau bersabda, "Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku di surga."

22 Syawwal 1432 / 20 Sep 2011
Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

Pengikut Sesat Sang Penyair

D. Dudu AR
http://nasional.kompas.com/

Puisi atau sajak adalah kumpulan larik, bait, syair yang ditulis dari renungan penyair. Pengalaman hidup seorang penyair dikontemplasikan sebagai bahan atau endapan yang kemudian ditulis dalam bentuk karya sastra puisi atau sajak. Banyak kata-kata indah, pilu, miris, berontak, dan gundah menghiasi puisi atau sajak. Tidak mudah mewujudkan kata-kata bermetafora dalam sebuah puisi, perlu proses dan perenungan untuk mengungkapkannya, sehingga menghasilkan puisi yang mapan, terutama bagi para pemula.
Menulis puisi perlu sensitivitas jiwa, hal ini diperlukan untuk memudahkan seseorang dalam membaca ruang lingkungan dan pustaka serta mengendapkan bahan renungan yang pada akhirnya menghasilkan kiasan-kiasan (metafora) natural. Metafora yang alami akan terasa dahsyat tatkala pembaca mengapresiasi hasil karya puisi tersebut. Berbeda dengan metafora yang dibuat-buat, rasanya hambar dan janggal.

Penyair yang berpengalaman tidak gegabah mencurahkan renungan-renungannya ke dalam puisi. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengungkapkannya ; semiotika, sintaktis, metafora, alegori, unsur intrinsik-ekstrinsik, rancang bangun, dan semuanya itu dibiarkan mengalir. Setelah puisi dibuat, kemudian diendapkan, lalu direvisi sebagai bentuk evaluasi sebelum dipublish ke wilayah publik adalah hal yang lumrah dilakukan seperti penyair-penyair ternama masa lalu seperti Chairil Anwar penyair angkatan 45. Hal tersebut dilakukan semata-mata keperluan tela’ah akhir si penyair terhadap karya puisinya, agar benar-benar layak dikonsumsi pembaca (apresiator).

Karya puisi maestro sangat digemari para pemula, banyak yang dapat dipelajari, sebagai referensi dan tentunya inspirasi dalam perjalanan seseorang yang ingin serius belajar membuat puisi atau sajak. Tidak sedikit pula yang mengkultuskan salah satu penyair yang dielu-elukan pengikutnya. Hal ini tidak disadari oleh beberapa kalangan yang merasa ‘mazhab’ mereka yang paling hebat dalam kesusasteraan Nusantara ataupun dengan alasan lainnya. Bagi saya, tidak perlu mengkultuskan penyair manapun, kecuali Allah SWT. Rupanya, ada yang dilupakan oleh sebagian penyair ini tentang ayat “para penyair yang diikuti orang-orang sesat”.

Patut direnungkan oleh kita semua, sebuah ayat Al Qur’an yang sangat wajib dibaca oleh setiap muslim yang menyukai sastra khususnya. Ayat tersebut menggugah hati saya yang senang mengapresiasi salah satu karya sastra yaitu puisi. Untuk itu sebagai pribadi merasa perlu menelusur dan menela’ahnya agar tidak salah tafsir.

Setelah berdiskusi dengan Drs. Edi Hendri M. M. Pd., salah satu Dosen UPI Kampus Tasikmalaya dan Pemuka Agama, Kamis (07/09), memberi pencerahan dan pemahaman kepada saya yang hampir stagnan. Satu pertanyaan gundah saya seputar ayat di atas, dijelaskan sangat rinci dan lengkap oleh beliau. Kenapa ayat Al Qur’an (Asy-Syu’ara, 26 : 227) menyatakan penyair itu diikuti orang-orang sesat? Beliau menjelaskan, pertanyaan semisal ini pernah ditanyakan Hasan bin Tsabit sebagai sahabat sekaligus penyair Nabi ketika turun ayat yang mencela penyair jahiliyah, dan Rasulullah saw menegaskan: “bukan kamu yg dimaksud!”. Di zaman Imam Ali bin Abi Thalib pun ada penyair pecinta Ahlulbait namanya Farazdaq yang berusia panjang hingga masa cucu Imam Ali yakni Imam Ali Zainal Abidin (yang juga sangat piawai dalam bersyair). Salah satu puisi Farazdaq yang mahsyur adalah qashidahnya yang menyanjung Imam Ali Zainal Abidin di hadapan penguasa pembenci ahlulbait sehingga penguasa itu merasa dipermalukan .

Menurut beliau, para mufasir mejelaskan arti kalimat mengembara di tiap lembah ayat di atas, para penyair yang diikuti orang-orang sesat itu suka mempermainkan kata-kata yang mereka sendiri tak tahu makna dan tujuannya, hanya ekspresi angan-angan dan tidak didasari keyakinan apa pun, kecuali mengobral kata-kata hampa. Intinya, setiap kata-kata yang terkandung dalam sebuah puisi harus dipertanggungjawabkan secara horizontal maupun vertikal. Artinya, visi dan misi yang ingin disampaikan si penyair harus sesuai dengan aqidah keyakinan dan tidak hanya fokus kepada permainan-permainan kata yang omong kosong belaka. Agar dirinya dan yang menela’ah karyanya tidak terjebak kepada khayal dan angan yang justeru menenggelamkan hakikat kebenaran kepada lembah kesesatan. Apalagi membangkang kebenaran yang telah diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dalam Al Qur’an.

Beliau juga melanjutkan penjelasannya tentang tradisi syair atau karya sastra Imam Ali, Hasan bin Tsabit maupun Farazdaq (yang didedikasikan untuk kebenaran) diteruskan oleh para pemikir sufi. Mereka menyusun gagasan-gagasan dakwah dan tarbiyah dalam bentuk puisi yang berpengaruh luas di kalangan umat Islam. Kebiasaan membuat nadzam (puitisasi) untuk mempermudah mempelajari ilmu-ilmu fiqh, sharaf-nahwu (tata bahasa Arab), dan ilmu-ilmu lain yang terwariskan hingga kini di lingkungan pesantren-pesantren Salafiyah (konvensional-tradisional) merupakan contoh nyata. Termasuk juga penggunaan-penggunaan aforisma (kata-kata mutiara) dari kitab-kitab susunan para ulama sufi klasik. Sebab titik-tolak dari karya sastra sufi adalah Alquran surat Asy-Syu’aro, terutama ayat 224-227.

Oleh karena itu, penyair dan puisi sufi, selalu punya visi dan misi yang jelas. Puisi-puisi mereka bertujuan mendorong kemuliaan akhlak dan semangat pembenahan masyarakat. Di luar ekstrimitas temporer, beberapa penyair sufi dalam menafsirkan kaidah dan aplikasi iman dan ibadah ritual, seperti Ibnu Arabi ( abad 13), Jalaluddin Rumi (abad 14), dll., beberapa penyair sufi malah cenderung konvensionalis-puritanis. Seperti karya-karya Hafidz, Saadi, Firdausi, Fariduddin Attar, Al Junaid, Bisyr Harits, dan sebagainya.

Jadi, maksud penyair yang diikuti orang-orang sesat, seperti dijelaskan ayat di atas adalah orang-orang yang memintal angan dan khayalnya ke dalam puisi tanpa substansi kebenaran yang diusung dalam karyanya. Mereka berputar-putar saja dalam metafora yang kosong, hampa, dan salah kaprah secara semantik (pemaknaan). Sesuai dengan tujuan para pendahulu (Islam), puisi adalah salah satu media sastra untuk menuangkan ungkapan-ungkapan tentang kemuliaan, kebenaran, dan pembenahan moral masyarakat yang sepatutnya kita tiru pada era sekarang.

Pada dasarnya, kesesatan dan manusia itu seperti dua sisi mata uang, sangat dekat jaraknya. Baik yang berstatus tukang becak, tukang sampah, pemuka agama, guru, menteri, presiden, dsb, bisa tersesat dan selalu diikuti setan. Karena, setan akan selalu menjerumuskan makhluk Tuhan, seperti janjinya, mulai tidak sujud (hormat) di depan Adam hingga akhir dunia, bukan penyair saja. Selama kebenaran-kebenaran yang menjadi ayat Tuhan tidak dipegang, di sanalah setan beraksi, menggoda siapa saja tanpa melihat status sosial seseorang. Yang penting manusia-manusia tersesat, jatuh ke lembah maksiat agar menemani setan dan konco-konconya di neraka laknat.

18 September 2010
_________________________
*) PENULIS adalah guru SDN. Perumnas 1 Cisalak Kecamatan Cipedes dan Pimpinan Pondok Media (Citizen Journalism Forum). Karya puisi dan artikelnya dimuat di HU. Kabar Priangan, Harian Pagi Radar Tasikmalaya, HU. Kabar Cirebon, Majalah Ekspresi Denpasar Bali, dan website nasional.

Monday, September 19, 2011

Penyair Masa Kini

Salamet Wahedi *
Radar Surabaya, 10 jan 2010

saya iba
pada para pujangga silam
karena mereka terpaksa mengambil peran
yang seharusnya dimainkan para sastrawan sekarang
(Michael Augustine, “Saya Iba”)
***

Sehabis selesai membaca sajak, saya seolah-olah dihantui oleh hasrat aneh dan ilusi ganjil. Saya selalu merasa, sajak-sajak yang saya baca menyimpan cerita yang berlapis, berita-berita masa lampau yang tak habis kikis. Saat menghadapinya pun, sajak-sajak itu menggoda saya untuk menyusuri jalan-jalan gelapnya; mendiami ruang-ruang ekstase; tidak ketinggalan sajak-sajak yang sering menghipnotis alam bawah sadar, juga menghadirkan huruf-huruf yang kurang ajar.

‘A’-nya kata darah, perang, bencana, cinta dan lain-lain, misalnya, tidak hanya hadir untuk membedakan dengan dirih atau duruh, pering atau piring, bencini, cinti din liin-liin, tapi ia telah membawa suara gaib yang menghentak saya. Semacam gema yang sering membuat saya terjerembab dan terpelanting ke dasar gelisah, resah, dan mimpi basah.

Huruf-huruf itu, yang biasanya berbaris ‘sopan’ di karya-karya non-fiksi, dalam sajak-sajak yang mengundang saya, terutama tiap hari minggu, tampak nakal, liar bahkan tampak lebih provokatif dari para politisi, kepitalisme dan isu agama di negeri ini; tapi tidak jarang, huruf-huruf yang menggema dari kerongkong dan hentakan rongga dada, berjalan begitu renta dari usia bumi; lebih duka dari luka; lebih merah dari darah; mereka seperti suara-suara yang diterima Nabi. Seperti lonceng yang kita dengar tapi gema bahasa yang kita dapatkan

Tapi membaca sajak-sajak akhir-akhir ini, tiap hari minggu-minggu ini, saya pun merasa iba pada para pujangga masa silam yang terlanjur berbicara kemanusiaan, kemiskinan, ketidak-adilan, dan cerita rakyat lainnya; peran yang seharusnya diemban para pujangga sekarang.

Cerita Masa Lalu

Sebelum membaca (sekilas) teks Ramayana atau Mahabrata, saya sudah mendapatkan cerita-cerita tentang Rama, Sinta atau Pandawa dan Kurawa dari tuturan nenek. Setiap malam nenek mengisahkannya bak sinetron “Cinta Fitri” yang ber-season-season. Cerita nenek begitu lekang dalam ingatan, sebab nenek mengisahkannya dengan diksi dan hikmah yang memberi ‘pencerahan’ alam bawah sadar.

Cerita nenek tentang karya sastra Ramayana dan Mahabrata, masih begitu mengingatkan saya akan peran-fungsi karya sastra: ia tidak hanya menghibur, tapi ia juga mampu ‘mendidik’. Hal ini pun senada dengan pengertian sastra itu sendiri: alat mengajar.

Di awal kemerdekaan negeri zamrud khatulistiwa ini, polemik posisi dan peran (karya) sastra juga mencuat. Adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane yang berseteru. Mereka coba memaparkan visi-misi tentang arah kebudayaan. Sutan Takdir Alisyahbana, lewat karya-karyanya menekankan pentingnya berkiblat ke ‘barat’, sedang Sanusi Pane bersama tebaran puisi-puisinya menginginkan masyarakat Indonesia bertahan dan maju dengan jati dirinya: adat ketimuran.

Setelah perdebatan Sutan Takdir Alisyhabana dan Sanusi Pane, jagad kesastraan (:kebudayaan) kita diguncang polemik kebudayaan Manikebu vs Lekra. Lagi-lagi dalam perdebatan ini, posisi dan peran-fungsi sastra menjadi titik sentral. Kalau Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane merumuskan arah kebijakan kebudayaan, polemik Manikebu vs Lekra berkisar tentang tugas sastra dalam mengisi dan mengawal kemerdekaan negeri Indonesia ini.

Mengingat cerita-cerita masa lalu itu, saya seolah mendapat jawaban atas beberapa pertanyaan: untuk apa karya sastra tersebut ditulis? Untuk apa kata-kata dirangkai dengan metafor yang jungkir-balik? Tidakkah laporan berita lebih mengena untuk berkabar dan menyapa masyarakat tentang sebuah persoalannya?

Pertemuan

Dengan (karya) sastra Indonesia modern, saya bertemu (dan mulai berkenalan) ketika duduk di bangku kelas dua MTs Yayasan Abdullah. Mengenal dan membaca karya sastra di lingkungan pondok pesantren, tempat saya menimba ilmu, merupakan sesuatu yang aneh. Bahkan saya pun harus diam-diam--atau ekstrimnya sembunyi-sembunyi--membaca karya sastra. Seperti siswa sekolah kebanyakan, kali pertama saya bertemu dengan sajak ‘Aku’ Chairil Anwar. Entah karena apa saya begitu suka dan bersemangat mendeklamasikan sajak ‘Aku’, walau waktu itu saya belum paham arti dan maknanya.

Baru tiga tahun kemudian, ketika saya duduk di kelas dua SMA Yayasan Abdullah, saya paham arti dan makna sajak ‘Aku’. Seperti yang diutarakan Rachmat Djoko Pradopo (2002), dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tafsir ini terlepas dari kenyataan bahwa sajak ini, selain menunjukkan semangat untuk bertarung, juga keberanian untuk mengatakan ‘tidak’ pada kesewenang-wenangan ayahnya.

Kecintaan saya pada sajak (: atau puisi atau syair) tambah mantap saja ketika saya bertemu sajak-sajak sederhana Taufiq Ismail dan sajak-sajak penuh kobaran semangat Rendra. Walau kiai saya mengolok-olok, penulis sajak adalah orang ‘gila’, orang yang tidak punya pekerjaan, saya tetap menyimpan keyakinan, sajak selain ingin menampilkan rancak keindahan kata, juga ingin menyentuh lubuk sanubari manusia yang paling dalam. Sajak mengajak manusia untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaannya.

Proses(i)
Kerja karya sastra adalah sebuah proses panjang. Ia bak jalan panjang tanpa ujung. Sumur tanpa dasar. Seorang penyair, menyitir kata-kata Nirwan Dewanto (2007), adalah ia yang membuat bahasa, menggunakan bahasa, gandrung pada bahasa. Ah, tidak juga. Penyair adalah ia yang merasa terpenjara oleh bahasa, sehingga selalu berusaha memperluas bahasa. Dengan kata lain, penyair adalah orang gelisah. Orang yang selalu tidak tinggal diam untuk membaca, mencatat dan menyikapi persoalan di sekitarnya. Sungguh proses panjang dan penuh ekstase petualangan.

Namun sayang, membaca sajak-sajak modern Indonesia dewasa ini saya merasa kerja kaya sastra bukan proses panjang tanpa ujung lagi. Sajak-sajak yang saya baca belakangan ini, sebagaimana yang saya dapat dalam diskusi ‘Halte Sastra’ Dewan Kesenian Surabaya (DKS), pada tanggal 11 juli 2009, hanya meributkan persoalan keindahan dan derai bunyi. Bahkan para penyair sekarang pun, sibuk menahbiskan dirinya. Menunjukkan dirinya sebagai penyair yang liar, penyair agung dengan rancaknya bunyi kata, atau sebagai dewa penyair karena ia telah mampu memiliki banyak ‘anak didik’ yang menulis puisi seperti gayanya.

Sungguh suatu ‘keibaan’ yang mendalam, yang saya dapat ketika selesai membaca sajak-sajak di sebuah halaman koran di setiap Minggu pagi. Saya mendapati kerja karya sastra tak ubahnya kerja para artis. Demi ketenaran dan keonaran dirinya, para penyair rela memperdagngkan apa pun. Walau yang diperdagangkan itu esensi dan nilai-nilai luhur kepenyairannya. Nilai-nilai eksistensi yang menempatkan seorang penyair yang memiliki kepekaan mata batin.

Kalau dulu Roland Barthes menegaskan adanya kematian pengarang, maka sekarang tibalah waktunya kematian karya di tangan pengarang. Karya yang tidak memiliki arah ke mana dia berjalan untuk hidup dan menghidupi nilai-nilai kemusiaan yang mengilhami pengarangnya. Kematian karya di batas derai bunyi dan gemerlap keindahan imajinasi pengarangnya.

*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=276038842274

Gaya Hidup “delete” Kritik Seni “enter” Promotor Seni

Afrizal Malna*
Kompas,6 Mei 2007

HAMPIR selama dua minggu, sejak awal April kemarin, saya beberapa kali sempat bertemu dengan Boedi S Otong, sutradara Teater Sae yang hidup sebagai performer di Eropa sejak awal tahun 1990-an.

Selama dua minggu itu saya cenderung terlalu memaksakan diri untuk bisa bertemu dan ngo- brol dengannya. Tubuh dan jiwa saya terasa sakit dan tidak siap untuk bertemu dengan siapa pun waktu itu.
Saya merasa berada dalam tekanan yang datangnya tidak jelas. Seperti ada makhluk yang mau meledak dalam tubuh dan jiwa saya. Tapi saya tidak memberi tahu keadaan ini kepada Boedi. Mungkin dia bisa merasakannya seperti keringat yang merembes lewat alis matanya.

Lalu kami sempat terperangkap dalam tema pembicaraan di sekitar wajah kekuasaan: Kenapa di wajah sebagian teman-teman kesenian kini memiliki semacam “selubung kekuasaan”? Kami berdua mungkin juga bagian dari wajah itu. Kita tidak bertemu dengan seniman atau dengan seorang teman, melainkan bertemu dengan kekuasaan yang sosoknya tidak jelas.

Apakah kesenian itu? Dan apakah menjadi seorang seniman itu? Kesenian tidak bisa dijaga oleh wacananya sendiri. Kesenian menjadi ember bocor justru lewat kehidupan senimannya.

Progresivitas gaya hidup membuat sebagian seniman kehilangan kesadaran kelasnya dan membiarkan kehidupan sosialnya dikonstruksi lewat kelas sosial yang menjadi super-ego tak sadarnya. Hubungan-hubungan politik, terutama yang dekat dengan pemerintahan, parlemen, dan partai politik, membuat sang seniman rela menjadikan dirinya sebagai “agen politik” dengan kesenian sebagai obyeknya.

Sensitivitas klik dan intrik juga bermunculan di sini, seperti virus sosial yang membuat hubungan-hubungan dalam lingkungan kesenian menjadi kumuh. Setiap telinga dan mulut seperti memiliki sumbu kompor dan korek api. Masalah kemanusiaan dan sosial kian terabaikan dalam hubungan-hubungan itu. Identitas kemanusiaan tertanggalkan hanya untuk memperbesar gaya hidup kesenimanan.

Rezim gelap dan teater tidur

Dalam kondisi itu, ada dua hal yang mungkin kita tertarik menanyakannya: di manakah peran kuratorial (legitimasi, visi) dan kritik seni (pengembangan wacana-wacana kritis kesenian) kini?

Peran kuratorial lebih menonjol di seni rupa dalam membuat pemetaan seni rupa, terutama lewat forum-forum bienale seni rupa. Walaupun “pesan” yang dibawa para kolektor papan atas sedikit banyaknya ikut bermain. Hubungan seni rupa dalam kondisi ini kian dekat dengan gejolak ekonomi. Karena itu, manajemen dan infrastruktur seni rupa memerlukan banyak perubahan dalam memasuki fenomena ini.

Tetapi, di bidang seni lain peran ini gelaplah sudah. Sebagian kesan yang muncul justru bukan pemetaan kuratorial, melainkan klik dari rezim yang berkuasa.

Rezim seni ini sebagian merupakan “rezim gelap” yang tidak mengamati langsung kehidupan kesenian yang bergerak di sekitarnya. Mereka hanya bermain di tingkat networking dan meninggalkan subyeknya sendiri.

Teater kini mungkin tampak sedang tidur, dan beruntung tidak memiliki rezim yang menentukan keberadaannya (mungkin karena tidak terlalu menguntungkan).

Teater yang mengesankan sedang meninggalkan ruangnya sendiri dan tidak terlalu mengambil sikap atas tumbuhnya performance art. Teater yang kehilangan pernyataan.

Teater kampus tumbuh di mana-mana dan ikut merayakan narasi yang bukan datang dari dunianya sendiri. Tetapi, ketika teater kembali membaca aktor dan tubuh seperti apa yang sedang dialami oleh dunia di sekitarnya, mungkin teater akan bangun dan terkejut ketika menyaksikan bahwa jam di tangannya telah berpindah mencekik lehernya sendiri.

Jurnalisme gaya hidup

Tetapi, apa kabar peran kritik seni?

Uh. Kritik seni masih membawa masalah lamanya: Kesulitan melakukan identifikasi karya, lalu hanya bermain di tingkat konsep dan tema; menggunakan karya yang dikritik hanya sebagai obyek justru untuk membicarakan teori-teori yang digunakannya. Kritik yang cenderung menempatkan diri di atas karya seni.

Kritik seni menjadi lipstik untuk karya yang dipuji, dan menjadi comberan untuk karya yang dianggap jelek. Kritik yang masih bermain di tingkat apakah karya yang dibahas bagus atau jelek, dan bukannya lebih berurusan dengan fenomena seni yang dibawa sebuah karya.

Padahal, bagus dan jelek sebuah karya seni bukanlah urusan kritik seni, melainkan urusan pasar. Pasar bisa subyektif di tingkat konsumen, tetapi bisa obyektif di tingkat pembentukan pasar. Kritik seni yang perannya berubah menjadi pendapat konsumen atau pendapat pasar adalah kritik seni yang sebenarnya lebih menjalankan perannya sebagai “promotor seni”.

Bergesernya peran kritik seni menjadi promotor seni sebenarnya berhubungan dengan dekatnya kritik seni atas media massa, bersamaan itu dengan lemahnya peran akademis dan penelitian.

Media massa, terutama karena provokasi media tv, membuat politik jurnalisme kian mendekati dirinya sebagai “jurnalisme gaya hidup” yang menggunakan kecantikan, kekerasan, dan selebriti sebagai performance dan politik pembacaannya. Kesenian yang bermain di lapis bawah cenderung tidak mendapatkan ruang dan kritik, bersaing dengan kesenian dari seniman selebriti.

Karena itu pula medan baca kesenian cenderung kehilangan halaman lain oleh jurnalisme gaya hidup seperti ini, di mana kritik seni lebih menjalankan perannya sebagai promotor seni.

Pendidikan dan tradisi

Pada pihak lain, dunia akademis, baik sastra maupun disiplin seni lainnya, hampir tidak memiliki sumbangan untuk pengembangan wacana seni dewasa ini, kecuali dari ilmu-ilmu komunikasi dan antropologi seni.

Dunia pendidikan juga harus menerima nasibnya seperti media massa, di mana budaya saintis dalam kehidupan kampus kian tergantikan oleh budaya gaya hidup (konsumerisme). Menjadi mahasiswa sama seperti memasuki gaya hidup, siswa dan mahasiswa masuk tv, tv juga masuk ke sekolah dan ke kampus.

Dunia pendidikan seni seperti sibuk dengan urusan birokrasi, proyek pertunjukan, dan soal-soal teknis kesenian. Cenderung melahirkan seniman yang cukup tangguh secara teknis, tetapi basis intelektualnya untuk mencipta cukuplah miskin.

Pendidikan tari paling menderita dalam hal ini karena hanya mahasiswa tarilah yang paling dibebani untuk mewarisi tradisi dibandingkan dengan disiplin seni lain yang lebih memiliki kebebasan untuk mencipta. Tradisi yang umumnya lahir dari sikap “melakoni”, oleh pendidikan hanya diperlakukan sebagai pola-pola teknik dalam metodologi penerapannya. Gaya hidup membuat “salonisasi tradisi” tak terhindarkan berlangsung lewat pendidikan tari.

Tradisi kehilangan kelanjutannya dalam konteks perubahan yang dibawa oleh generasi selanjutnya. Dalam fenomena ini tradisi sebenarnya bukan diwariskan ke generasi di selanjutnya, melainkan ditaklukkan dan diringkus untuk sebuah kemasan gaya hidup.

Ketika politik identitas dibiarkan dikuasai gaya hidup, tradisi pun terancam kehilangan sejarahnya sendiri.

* Afrizal Malna, Penyair
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/05/esai-gaya-hidup-delete-kritik-seni.html

Saturday, September 17, 2011

Kepenyairan: Sewindu Kepergian Linus Suryadi di Yogyakarta

Agni Rahadyanti
Kompas, 01 Agu 2007

PARA sahabat, keluarga, kelompok seniman, dan masyarakat umum memperingati sewindu meninggalnya penyair Linus Suryadi AG di Pendopo Karta Pustaka, Yogyakarta, Senin (30/7) malam. Selain membaca puisi karya-karya almarhum, mereka yang hadir juga saling berbagi pengalaman kebersamaan dengan Linus.

Sejumlah budayawan dan seniman yang hadir, seperti Bakdi Soemanto, Iman Budi Santosa, Suminto A Sayuti, Landung Rusyanto Simatupang, Jenifer Lindsay, dan Dorothea Rosa Herliany, berbaur bersama masyarakat umum dalam suasana penuh kekeluargaan.
Beberapa sajak Linus, seperti Borobudur, Syair Orang Hilang, dan Para Penayub, dibaca bergantian oleh para seniman. Karya-karya lainnya dalam kumpulan puisi Langit Kelabu juga turut dibacakan. Sambil menikmati menu-menu favorit Linus, seperti jadah bakar dan wedang rondhe, mereka yang hadir juga mengapresiasi karya-karya Linus dalam musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Untung Basuki dan Lono Lastoro Simatupang.

Selain mengenang karya dan kedekatan penyair kelahiran Kadisobo, Sleman, yang meninggal 30 Juli 1999 itu, kegiatan ini juga diselenggarakan untuk memberikan sumbangsih bagi perkembangan dunia sastra di Tanah Air.

“Linus Suryadi adalah sosok penyair yang sangat istimewa. Ia tak hanya dikenal di Yogyakarta, tetapi juga sudah menjadi milik dunia. Prosa lirik Pengakuan Pariyem yang merupakan masterpiece Linus, misalnya, sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing,” kata Landung.

Ia menambahkan, sangat ironis ketika masyarakat lokal terlambat mengapresiasi karya-karya Linus. “Melalui acara ini, kami berharap agar masyarakat tak cepat melupakan karya-karya Linus dan jasa-jasanya bagi sastra Indonesia,” ungkapnya.

Salah satu jasa Linus yang banyak dikenang para sahabat adalah totalitasnya dalam mengenalkan sastra kepada anak-anak muda. “Linus sangat gigih memperkenalkan puisi kepada anak-anak SMA. Dia tak pernah lelah menyelenggarakan berbagai lomba menulis puisi untuk siswa-siswa sekolah. Ketika menjadi juri, ia sangat teliti dan bekerja tanpa mengenal waktu,” ungkap Direktris Karta Pustaka Anggi Minarni yang mengenal Linus sejak tahun 1991.

Meski kemajuan teknologi saat ini mempermudah akses anak-anak muda untuk mengekspresikan diri lewat puisi, Anggi melihat belum ada sosok yang mampu menggantikan Linus dalam mendorong anak- anak muda membuat puisi yang sarat makna.

Sahabat Linus yang juga Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Suminto A Sayuti mengungkapkan, para seniman saat ini dapat menghidupkan kembali semangat Linus, berteman dengan semua pihak tanpa terjebak dalam eksklusivitas. Linus dikenal sebagai pribadi yang banyak berperan dalam memperkenalkan sahabat-sahabatnya dengan tokoh-tokoh yang sudah lebih dahulu dikenalnya. Ia menjadi simpul bagi ikatan persaudaraan di antara para seniman. “Semangat inilah yang perlu terus kita gali, bagaimana pertemuan antarseniman tak sekadar pertemuan, tetapi pergaulan pun menjadi media untuk menjaga karya dan kehidupan masing- masing,” kata Suminto.

Semasa hidupnya, Linus dikenal sebagai pribadi yang ramah dan tulus dalam berteman. Sampai akhir hayatnya, tiga fragmen epos Ramayana yang masing-masing berjudul Dewi Anjani di Sendang Grastina, Dewi Anjani di Pinggir Telaga Madirda, dan Sugriwa di Padepokan Grastina belum terselesaikan.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/kepenyairan-sewindu-kepergian-linus.html

Dua Sayap Mochtar Lubis

Yayat R. Cipasang*
Pikiran Rakyat, 13 Sep 2008

PELUNCURAN buku Nirbaya, Catatan Harian Mochtar Lubis Dalam Penjara Orde Baru, belum lama ini di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), menjadi ajang pertemuan generasi muda dan orang tua pelaku sejarah seperti penyair Taufiq Ismail, dramawan Ikranegara, dan pengacara senior Adnan Buyung Nasution. Hadir pula tokoh pers seperti Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, tuan rumah Jacob Oetama serta pengamat pers dari UNESCO Arya Gunawan.
Peluncuran buku setebal 142 halaman ini sekaligus menjadi ajang diskusi antargenerasi yang menarik dan saling menghormati. Ketika anak muda bertanya sangat kritis, tokoh tua seperti Ikranegara memberikan penjelasan layaknya orang tua kepada anaknya. Santun, lembut, dan menyejukkan.

Tidak ada intonasi tinggi, tidak ada pernyataan emosional. Tak ada sikap defensif dari orang tua yang maunya menang sendiri. Tiba-tiba saya rindu, seandainya diskusi di BBJ itu dapat dipraktikkan di arena yang lebih luas, damailah Indonesia ini.

“Kenapa Mochtar Lubis tak mau memaafkan Pramoedya Ananta Toer hingga meninggal dunia?” tanya seorang muda bersemangat.

Ikranegara yang juga menjadi peserta diskusi bedah buku mencoba memberikan penjelasan. Ia bertutur dengan suara halus dan dengan intonasi vokal terjaga—maklum dia terkenal sebagai dramawan.

“Adikku yang tadi bertanya saya bisa menjelaskan mengenai kenapa Mochtar Lubis tidak bersedia memaafkan kesalahan Pramoedya. Kendati secara pribadi ia telah memaafkannya. Cuma ada persoalan yang mengganjal, terutama berkaitan dengan dosa-dosa pada saat Pramoedya aktif di Lekra yang memberangus aktivis sastrawan non-Lekra,” kata Ikranegara yang lebih banyak menghabiskan waktunya di Amerika Serikat.

Masmimar Mangiang, dosen FISIP Universitas Indonesia yang menjadi pembicara dalam diskusi itu juga memberikan pembelaan kepada Mochtar Lubis. Bahkan, Masmimar sempat terbata-bata dan menangis saat mengenang jasa-jasa dan perjuangan yang tak pernah lelah dari seorang Mochtar Lubis untuk membuat pers Indonesia merdeka dan bebas dari intervensi.

Disebutkan Masmimar, Mochtar Lubis adalah sastrawan yang pertama kali mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan alat tulis kepada Pramoedya yang tengah ditahan di Pulau Buru.

“Mochtar Lubis sulit memaafkan karena ada yang mengganjal ketika Pramoedya tak bersedia meminta maaf telah memberangus dan membakar buku,” ujar Masmimar.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto yang mengabadikan Mochtar Lubis untuk sebuah award menyatakan, penulis novel Harimau! Harimau! itu adalah sosok yang multitalenta. la menjadi seorang wartawan dengan sikapnya lebih keras dari batu granit.

Dalam majalah IPI Report (The International Journalism Magazine), edisi paruh kedua tahun 2000, Mochtar Lubis adalah satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam kategori “50 Press Freedom Heroes”, disejajarkan dengan 49 tokoh kebebasan pers lain di dunia.

Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis telah menjadi salah satu ikon perlawanan pers terhadap kekuasaan yang mencengkeram dalam dua periode waktu, masa Sukarno dan masa Soeharto.

“Indonesia Raya melontarkan kritik-kritik tajam atas ketidakberesan pemerintah yang ada. Pemerintah pun gerah dengan kritik-kritik tajam dan selalu berusaha untuk menutup media ini,” kata Ignatius yang menjadikan Indonesia Raya bahan skripsinya pada kuliah sarjana di FISIP UI.

Zaman Orde Baru pun tak jauh beda. Pemerintahan Soeharto sudah lama menandai koran yang membongkar perkara korupsi di Pertamina (sekitar tahun 1969 hingga 1973) tersebut. Akibatnya, ketika koran ini melaporkan secara telanjang protes mahasiswa di Jakarta atas kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, koran ini malah ditutup bersama dengan 11 koran lain di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Makassar.

Penuturan mantan Menteri Penerangan kala itu, Mashuri Saleh, Soeharto yang memerintahkan penutupan belasan koran pada 1974. Surat kabar Pedoman sebagai salah satu koran yang ditutup, sebenarnya sudah meminta maaf kepada Soeharto lewat beritanya di hari terakhir, namun tak ayal koran ini juga harus ditutup.

Sejak itu, peraih penghargaan tahun pertama Ramon Magsaysay, dan sejumlah wartawan lain dari koran Indonesia Raya dilarang untuk masuk ke dalam aktivitas media massa lagi.

Sebuah pengekangan hak masyarakat sipil yang sudah biasa dilakukan Soeharto pada zaman itu. Jadilah Mochtar Lubis menulis di terbitan luar negeri dan lebih aktif mengurusi penerbitan Yayasan Obor yang ia dirikan pada 1978.

Di luar karier kewartawanan, Mochtar Lubis yang meninggal pada 2 Juli 2004 juga seorang sastrawan dengan kritik sosial yang tajam seperti dalam buku Senja di Jakarta dan Jalan tak Ada Ujung. Namun, sebagai budayawan ia pun dikenal sangat tajam, terutama dengan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Juli 1977 berjudul Manusia Indonesia.

Taufiq Ismail, sastrawan Angkatan ‘66, menyebut Mochtar Lubis memiliki dua sayap. Pertama, sayap wartawan yang dilampiaskannya lewat Indonesia Raya dan kedua sayap sastrawan yang diekspresikannya lewat majalah sastra Horison.

**

Penjara Nirbaya yang dibangun pemerintah kolonial terletak di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur atau masuk kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Penjara ini sudah tak berbekas berganti menjadi perumahan padat penduduk.

Pada zaman Soeharto, penjara ini menjadi tempat menahan orang-orang yang disebut Orde Baru sebagai tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia dan para “pembangkang” pemerintah seperti Bung Tomo, Hariman Siregar, Rahman Tolleng, Sjahrir, Adnan Buyung Nasution, dan Mochtar Lubis.

Saat masuk pertama kali ke Penjara Nirbaya, 4 Februari 1975, Mochtar Lubis sudah bertemu dengan tahanan yang dituduh Orde Baru sebagai terlibat G 30 S/PKI. Mereka itu di antaranya Soebandrio, Omar Dhani, Jenderal Pranoto, Astrawinata (bekas Menteri Kehakiman dalam Kabinet Soekarno) dan bekas Menteri P dan K Soemardjo.

Catatan harian di Penjara Nirbaya ini ditulis pada 1975 dan pertama kali terbit dalam bahasa Belanda empat tahun kemudian. Sementara untuk terbit dalam bahasa ibu membutuhkan waktu yang sangat panjang hingga 30 tahun setelah melewati perjalanan panjang hingga ke Australia. Maklum catatan harian yang diketik dalam bentuk fotokopian itu hanya dimiliki peneliti dari Murdoch University, David T. Hill. Ia mendapatkan naskah itu saat melakukan penelitian dan menulis disertasi tentang Mochtar Lubis pada 1980-an.

Catatan harian Nirbaya lebih pendek bila dibandingkan dengan catatan harian di zaman Orde Lama yang berjudul “Catatan Subversif”. Ini karena jangka penahanan di Penjara Nirbaya lebih pendek, sekitar satu bulan. Sementara itu untuk menghasilkan “Catatan Subversif” Mochtar “harus” ditahan 10 tahun (22 Desember 1956-17 Mei 1966).

Catatan harian di Penjara Nirbaya sangat humanis, kritis, melankolis, dan juga lucu. Kisah lucu, misalnya tergambar pada catatan harian 14 April 1975. Mochtar Lubis sangat detail menggambarkan kelucuan saat projek Taman Mini Indonesia Indah akan diresmikan Ibu Tien Soeharto.

“Wah, kemarin tetangga kami projek Mini mencoba bunga api yang akan memeriahkan pembukaannya nanti. Puas juga kami selama lima belas menit dihibur oleh kembang api berwarna-warna. Ada tahanan yang tiap kali sebuah kembang api padam, lalu berteriak: Ayo, Mpok Tien, bakar lagi dong!”

Sementara dalam catatan harian Minggu, 9 Februari 1975, Mochtar Lubis beretoris pada dirinya sendiri mengenai alasan penahanan dirinya.

“Cukup banyak kawan-kawan menyampaikan pada saya agar dalam menyampaikan kritik, terutama pada penguasa-penguasa orang Jawa, kritik tidak boleh langsung tetapi harus tidak langsung, sindiran yang amat halus hingga tidak menyakitkan, harus pakai cara ular berputar-putar tak mencapai sasaran seperti yang dipraktikkan Jacob Oetama dari Kompas.”

Ah, andai saja Mochtar Lubis tahu bahwa yang membuka peluncuran bukunya tersebut dalam edisi bahasa Indonesia di BBJ adalah orang yang dikritiknya, Jacob Oetama, entah apa jadinya.

Namun, inilah yang harus dicontoh kalangan pers dan tokoh nasional lainnya. Jacob Oetama kendati dalam buku tersebut dikritik cukup pedas oleh Mochtar Lubis, tidak marah, tidak dendam atau tidak mutung. JO, demikian ia sering disapa membuka peluncuran buku Mochtar Lubis ini dengan khidmat dan penuh hormat.

“Tokoh pers seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, BM Diah, S. Tasrif secara prinsip berbeda paham dan sering bertengkar lewat tulisan. Namun secara pribadi mereka ini berteman,” kata Masmimar Mangiang memberikan gambaran.

Andai saja semua tokoh dan elite nasional kiwari seperti mereka. Damailah Indonesia!

***

Mochtar Lubis meninggal 2 Juli 2004 dalam usia 82 tahun. Ia dikenang sebagai tokoh investigative journalism di Indonesia. Masterpiece karya jurnalistiknya adalah pengungkapan korupsi di Pertamina dengan tokoh utamanya Ibnu Sutowo.

Seperti ditulis www.transparansi.or.id, harian Indonesia Raya termasuk yang paling rajin menulis korupsi, kolusi, dan nepotisme di Pertamina. Mochtar Lubis mengibaratkan Pertamina sebagai sapi gemuk yang habis badan akibat diperah pemimpinnya sendiri. Keberhasilan media cetak mengendus KKN di Pertamina merupakan prestasi luar biasa lantaran mengakses data keuangan Pertamina saat itu sangat mustahil. Transparansi audit keuangan masih menjadi sesuatu yang langka.

Harian ini menulis pada edisi 30 Januari 1970 bahwa simpanan Ibnu Sutowo, pendiri dan direktur utama Pertamina, mencapai Rp 90,48 miliar. Jumlah yang fantastis dibandingkan dengan kurs rupiah saat itu yang hanya Rp 400. Harian yang akhirnya diberedel pemerintah ini juga menulis akibat jual beli minyak lewat jalur kongkalikong Ibnu Sutowo dan Jepang, negara dirugikan sampai 1.554.590,28 dolar AS.

Pada tahun 1975, Ibnu Sutowo mewariskan utang 10,5 miliar dolar AS. Utang ini nyaris membangkrutkan Indonesia. Penerimaan negara dari minyak saat itu hanya 6 miliar dolar.

Ibnu Sutowo memang mundur dari posisi dirut (1976), tetapi utang dan dugaan korupsi itu tidak pernah sampai ke pengadilan. Jauh sesudah itu baru terbongkar kasus simpanan 80 juta dolar di berbagai bank milik almarhum H. Thaher, salah satu direktur pada zaman Ibnu. Melalui pengadilan yang berbelit-belit, Pertamina akhirnya memenangi perkara tersebut.***

* Yayat R. Cipasang, Direktur Eksekutif Institute for Press, Broadcasting and Cultural Studies.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/09/pustaka-dua-sayap-mochtar-lubis.html

Thursday, September 15, 2011

Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri*

Ignas Kleden**
Kompas, 04 Agu 2007

Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.

Dalam sebuah esainya Sutardji menulis “puisi adalah alibi kata-kata”. Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.

Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.

Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.

Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.

Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Bagi saya, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad.

Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tetapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujudkan apa yang telah dia deklarasikan.

Mantra

Sutardji mengatakan bahwa bagi dia menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan kata kepada mantra adalah mengeluarkan kata dari konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri.

Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai “Pantun” yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember 1997).

Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.

Di sini Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun dari Barat, yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu kita ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.

Cara yang ditempuhnya ialah mengambil satu dua pantun dan mengubah sampiran pantun itu dengan bunyi-bunyi yang tidak ada maknanya secara leksikal, tetapi tetap mempertahankan persyaratan formal pantun berupa jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris kalimat, dan persamaan bunyi pada akhir kalimat. Ternyata bahwa setelah sampiran diubah ke dalam bunyi-bunyi yang tanpa makna, pantun itu tetap utuh dan masih dapat dinikmati juga.

Pulau pandan jauh di tengah

di balik pulau angsa dua

hancur badan dikandung tanah

budi baik dikenang juga

Oleh Sutardji dua kalimat sampiran dalam pantun ini diubah dengan bunyi-bunyi yang tak ada maknanya dalam kode leksikal sebagai berikut:

Cacau landan taktak zizangah

tuta kadu pagara mua

hancur badan dikandung tanah

budi baik dikenang jua

Atau sebuah pantun lainnya:

Kalau ada sumur di ladang

bolehlah saya menumpang mandi

kalau ada umurku panjang

bolehlah kita bertemu lagi

Oleh Sutardji dua kalimat sampiran itu diubah dengan bunyi-bunyi tanpa makna sebagai berikut:

Zuku zangga tukali tangtang

zegeze geze papali podi

kalau ada umurku panjang

bolehlah kita bertemu lagi

Dengan cara ini Sutardji membuktikan bahwa sampiran sama sekali tidak dan tidak perlu berhubungan dengan isi pantun dalam kandungan pesannya. Kita tahu, keterangan umum tentang sampiran biasanya dihubungkan dengan alasan fonetik dan alasan estetik. Sampiran diharuskan terdiri atas jumlah suku kata tertentu dalam tiap baris, dengan suku kata terakhir yang harus mengandung persamaan bunyi dengan suku kata terakhir dari bagian isi yang menjadi pasangannya.

Rima pada pantun mengikuti formula ab/ab, yang berarti akhir baris pertama harus mempunyai kesamaan bunyi dengan akhir baris ketiga, sedangkan akhir baris kedua mempunyai rima dengan akhir baris keempat. Di sini hubungan sampiran dan isi hanyalah hubungan formal menyangkut struktur pantun, tetapi tidak ada hubungan substansial antara keduanya.

Menerobos batas bahasa

Meski demikian, Sutardji maju selangkah lagi dan menyatakan bahwa sampiran, justru karena tak mengandung makna tertentu, memperlihatkan the other side of language atau sisi lain dari bahasa, karena makna dalam isi pantun diperhadapkan dengan sampiran yang tanpa makna tertentu. Dengan demikian, pantun menjelma menjadi dialektik antara sense dan nonsense, atau kontestasi antara makna dan tanpa-makna.

Rupa-rupanya keadaan tanpa makna itu tetap dibutuhkan dalam bahasa umumnya dan dalam puisi khususnya, karena dia menjadi kontras yang membuat makna semakin tampak seperti halnya cahaya lampu hanya menjadi nyata dalam gelap dan tidak tampak di bawah sinar matahari.

Dengan demikian, kalau mantra adalah sisi lain dari makna dalam kata, maka sampiran pada pantun adalah sisi lain dari makna dalam kalimat. Pada mantra fonem-fonem yang digabungkan tidak menghasilkan makna, dan atas cara itu membawa orang keluar dari dunia kata-kata yang bermuatan makna yang telah dibakukan.

Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.

Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.

Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.

Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.

Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.

Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini.

hai Kau dengar manteraku

kau dengar kucing memanggilMu

izukalizu

mapakazaba itazatali

tutulita

papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu

tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco

zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege

zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang

ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu

ku zangga zegezegeze aahh….!

nama nama kalian bebas

carilah tuhan semaumu

Dalam sajak ini dua kalimat pertama “Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu” adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.

Kode leksikal

Nama dan kode-kode yang digunakan penyairnya adalah bunyi-bunyi seperti mapakazaba, itazatali, tutulita, dan seterusnya. Betapa pun gelapnya kode tersebut, dalam berbagai pengulangan dapat kita rasakan intensitas suatu hasrat yang tak terucapkan dengan bahasa, yaitu bunyi-bunyi seperti zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze, tetapi rupanya seruan-seruan magis itu tak sanggup juga mendekatkan wujud yang tak terbatas atau yang kudus itu kepada penyair, yang akhirnya berkata dengan pasrah, dan mungkin dengan putus harapan: “nama nama kalian bebas/carilah tuhan semaumu”.

Perjuangan dengan yang tak terbatas, yang ilahi, atau yang kudus dapat kita amati dengan lebih jelas dalam sajaknya yang berjudul Shang Hai. Teknik yang diterapkan penyair di sini adalah menerjemahkan kata-kata dalam kode leksikal ke dalam tanda-tanda non-leksikal.

Semantik diterjemahkan menjadi semiotik sebagaimana dikatakan oleh Emile Benveniste. Meski demikian, penggunaan kode-kode non-leksikal itu disusun dalam suatu struktur yang dengan mudah membuat kita menerjemahkannya kembali ke dalam kata-kata biasa dalam kode leksikal. Hubungan di antara signifier (tanda non-leksikal) dan the signified (kode leksikal) tidak dibuat eksplisit, tetapi memberi kemungkinan bagi pembaca untuk menemukannya.

Ping di atas pong

pong di atas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

tak ya pong tak ya ping

ya tak ping ya tak pong

kutakpunya ping

kutakpunya pong

pinggir ping kumau pong

tak tak bilang ping

pinggir pong kumau ping

tak tak bilang pong

sembilu jarakMu merancap nyaring

Ada tiga cara membaca sajak ini. Cara pertama adalah cara semiotik yang melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu sebagai tanda dan hubungan antartanda. Cara yang kedua adalah cara semantik yaitu melihat hubungan kode leksikal dengan makna.

Cara yang ketiga adalah cara hermeneutik yaitu melihat hubungan antara kode bahasa dengan makna, dan hubungan makna dengan konteks kebudayaan yang luas. Cara ketiga inilah yang akan saya gunakan dalam membaca sajak Shang Hai.

Dibaca dengan cara hermeneutis maka sajak itu dapat menunjukkan suatu perjuangan eksistensial untuk memihak makna atau tanpa makna, persaingan antara percaya dan rasa sia-sia, tukar-menukar antara benci dan rindu, atau pingpong antara ada dan tiada.

Ping di atas pong

pong di atas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

Ada sesuatu yang intens dan tegang dalam larik-larik tersebut yang kita tak tahu sepenuhnya apa. Akan tetapi, untuk keperluan penafsiran, kita secara eksperimental dapat mengganti fonem ping dan pong dengan kata-kata yang ada dalam kode leksikal bahasa Indonesia. Sebagai contoh gantilah fonem ping dengan kata-kata seperti: ada, percaya, rindu, dan dekat, dan gantilah fonem pong dengan kata-kata seperti: tiada, sia-sia, benci atau jauh maka akan terasa ketegangan itu.

Dengan peralihan ke dalam kode leksikal, maka larik-larik di atas akan berbunyi:

Ada di atas tiada

tiada di atas ada

ada ada bilang tiada

tiada tiada bilang ada

mau tiada? bilang ada

mau mau bilang tiada

mau ada? bilang tiada

mau mau bilang ada

ya tiada ya ada

ya ada ya tiada

Atau kalau kita menggantinya dengan kode leksikal lainnya, maka kita dapati larik-larik berikut:

Rindu di atas benci

benci di atas rindu

rindu rindu bilang benci

benci benci bilang rindu

mau benci? bilang rindu

mau mau bilang benci

mau rindu? bilang benci

mau mau bilang rindu

ya benci ya rindu

ya rindu ya benci

Sajak ini termasuk sajak Sutardji yang paling mempesona saya karena hanya dengan dua fonem yang tak ada maknanya secara leksikal kita diberi ruang yang lapang untuk membangun makna tentang dialektik yang keras di antara dua jenis energi yang diberi nama “ping” dan “pong”.

Makna baru

Dialektik ini rupanya tak menghasilkan suatu sintesa yang memuaskan, sehingga akhirnya meledak dalam kalimat terakhir sajak yang berbunyi sembilu jarakMu merancap nyaring. Anda tahu “merancap” adalah bunyi senjata tajam yang sedang diasah. Maka, jarak dengan yang tak terbatas telah menjadi sembilu yang terus diasah dengan denting bunyi yang nyaring.

Namun, di sinilah Sutardji berhadapan dengan kontradiksinya sendiri: usaha untuk keluar dari makna akan membawa kita kepada makna baru, seperti yang terjadi pada setiap metafor. Penghancuran makna mengharuskan kita untuk melakukan penciptaan makna, sementara dekonstruksi makna akan membawa kita kepada rekonstruksi makna.

Bunyi-bunyi yang tak ada dalam kamus pada akhirnya harus diterjemahkan kembali dengan kata-kata dalam kode leksikal, sebagaimana mantra diterjemahkan menjadi doa, dan mistik diterjemahkan menjadi lirik. Sebagai contoh sajak Sutardji Shang Hai yang baru kita uraikan dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Sonet: X. Sajak ini dimulai dengan pertanyaan:

Siapa menggores di langit biru

siapa meretas di awan lalu

siapa mengkristal di kabut itu

siapa mengertap di bunga layu

Dan ditutup dengan pertanyaan:

siapa tiba-tiba menyibak cadarku

siapa meledak dalam diriku

: siapa Aku

Setelah bertanya dan mengaduh dengan berbagai pertanyaan yang serba gelisah, muncul juga jawaban berupa suara dalam diri orang yang bertanya: siapa Aku, siapa Aku yang menggema dalam dirimu? Demikian pun, kesimpulan Sutardji yang terungkap dalam kalimat sembilu jarakMu merancap nyaring dengan mudah mengingatkan kita akan rindu dendam dan mungkin juga frustrasi Amir Hamzah dalam sajaknya PadaMu jua”, yang baik saya kutipkan beberapa baitnya sebagai perbandingan:

Satu kekasihku

aku manusia

rindu rasa

rindu rupa

Di mana Engkau

rupa tiada

suara sayup

hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

engkau ganas

mangsa aku dalam cakarmu

bertukar tangkap dengan lepas

Permainan antara rindu rupa dan rupa tiada, dan pergantian tangkap dengan lepas pada Amir Hamzah kurang lebih paralel dengan sembilu jarakMu merancap nyaring pada Sutardji, yang menyatakan kegelisahan dan rasa penasaran ini dengan lebih jelas dalam sebuah sajaknya yang lain:

Kuharap isiNya kudapat remahNya

kulahap hariNya kurasa resahNya

kusangat inginNya kujumpa ogahNya

kumau Dianya kutemu jejakNya.

Daya pukau

Kalau yang tak terbatas itu dihayati juga sebagai yang kudus, maka pengalaman dengan yang kudus itu, menurut penyelidikan fenomenolog agama, Rudolf Otto, dihayati sebagai perjumpaan dengan mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.

Orang tertangkap dalam daya pukau, tetapi terlepas kembali dalam rasa gentar, bertukar tangkap dengan lepas seperti dikatakan Amir Hamzah. Pada beberapa penyair Indonesia daya pukau itu terasa lebih menonjol dan penyair melantunkan sukacita akan kepenuhan pengalaman itu. Chairil Anwar dalam pembukaan sajak Doa berkata:

Tuhanku

dalam termangu

aku masih menyebut namaMu>kern 200m<>h 8333m,0<>w 8333m< yang dapat kita bandingkan dengan beberapa kalimat dalam sajak Rabindranath Tagore: I will utter your name, sitting alone among the shadows of my silent thoughts I will utter it without words, I will utter it without purpose Chairil menutup sajaknya dengan stanza berikut: Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling Larik-larik itu terdengar bagaikan parafrase pengalaman penyair Inggris, William Blake, ketika berkata dalam sajaknya: Hold infinity in the palm of your hand and eternity in an hour Sutardji jelas mengalami keterpukauan itu, tetapi berkali-kali merasa bahwa yang dekat tetaplah jauh, yang nampak tetap tersembunyi, daya pukau tetaplah menyebar rasa gentar. Ambivalensi tanggapan dan suasana hati ini dapat ditemukan secara intens dalam berbagai sajaknya tetapi muncul dalam nada rendah yang amat simpatik dalam sajak yang berikut ini: Siapa dapat meneduh rusuh dalam hatiku dalam hatimu siapa dapat membalut luluh yang padamu yang padaku siapa dapat turunkan sauh dalam hatiku dalam hatimu siapa dapat membasuh lusuh apa kautahu apa kautahu? Pelanggaran kategori Kalau semantik diterobos melalui mantra, maka sintaksis diterobos melalui categorial transgression atau pelanggaran batas kategori sebagaimana dimaksudkan oleh Paul Ricoeur. Pelanggaran batas kategori ini dilakukan oleh Sutardji dengan beberapa cara, direncanakan ataupun tidak. Di beberapa tempat jelas-jelas dia memakai kata benda dalam fungsi sebagai kata sifat. Yang paling mawar yang paling duri yang paling sayap yang paling bumi yang paling pisau Ada dua hal terlihat dalam contoh ini. Di satu pihak kata benda digunakan sebagai kata sifat, sementara di lain pihak kata benda dapat diberi bentuk superlatif. Kita dapat bertanya mengapa gerangan penyairnya mengatakan “yang paling mawar” dan bukan “yang paling harum”, “yang paling duri” dan bukannya “yang paling tajam”, atau “yang paling sayap” dan bukannya “yang paling bebas”? Salah satu jawaban yang mungkin ialah ajektif harum, tajam, dan bebas dalam perasaan penyair sudah mengalami devaluasi arti yang terlalu parah akibat tekanan konvensi sosial atau hipokrisi moral, sehingga dia mengambil substantif sebagai gantinya. Sementara itu, dia ingin memastikan bahwa kalau ada bau harum yang terbit dalam perasaannya, maka itu adalah harum mawar dan bukan harum parfum misalnya. Di sini pelanggaran kategori diterapkan untuk mengejar presisi dan kepenuhan makna yang dituju. Penyimpangan lainnya dilakukan dengan menyamakan dalam fungsi atributif yang sejajar kata-kata dari berbagai jenis kata yang berbeda. Larik-larik berikut ini dapat memberi ilustrasi: Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau tak aku yang paling rindu? Atau larik-larik lainnya: Yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu Dalam bait yang dikutip pertama kita bertemu dengan jenis-jenis kata sebagai berikut: derai adalah kata benda, rumit kata sifat, larut kata sifat, pijak kata kerja, sayap kata benda, tunggal kata sifat, tidak kata keterangan, aku kata ganti dan rindu kata kerja. Semua kata-kata ini diberi bentuk superlatif dengan bantuan kata keterangan “paling”, sementara menurut tata bahasa, superlatif hanya dikenakan pada kata sifat. Dalam bait lainnya kita melihat pasangan kata-kata dalam kedudukan sebagai predikatif, tetapi tidak selalu simetris berdasarkan jenis katanya. Sungai dan derai memang simetris karena keduanya kata benda, juga gantung dan sambung adalah simetris karena keduanya kata kerja. Akan tetapi, gairah dan resah tidak simetris karena gairah adalah kata benda sementara resah kata sifat. Juga tahu dan waktu tidak simetris karena tahu adalah kata kerja sedangkan waktu kata benda. Atas cara yang sama tanah dan tunggu juga tidak simetris, karena tanah adalah kata benda dan tunggu kata kerja. Dekonstruksi bahasa Suatu percobaan Sutardji lainnya yang patut dicatat ialah usahanya mendistorsikan kata-kata dalam kode leksikal dengan makna yang jelas ke bentuk-bentuk kata yang keluar dari kode leksikal sehingga tidak mempunyai makna lagi. Frase seperti “sepisau luka sepisau duri” dapat kita pahami melalui kode leksikal. Akan tetapi, oleh Sutardji perkataan “sepisau” dipelesetkan menjadi “sepisaupa sepisaupi” yang sudah sulit dipahami dengan menggunakan kamus. Sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya kedalam nyanyi Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari. Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi dan asonansi secara maksimal. Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa. Untuk mengambil sebuah contoh saja: Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala Anu puteri pesonaku! datang Kau padaku! Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan ringan saja dia menulis “kakekkakek”, “bocahbocah”, atau “terkekehkekeh”. Atau “minumminum”, “senyumsenyum”, “jingkrakjingkrak” dan “nyanyinyanyi”. Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik, kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif. Begitulah, catatan-catatan ini mudah-mudahan memperlihatkan sekadarnya bahwa jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di Indonesia semenjak 1990-an, Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi. Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Atau, untuk memakai kata-kata Sutardji sendiri, puisi adalah ibarat “senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi” tetapi dekonstruksi melalui puisi adalah ibarat “cuka dalam nadi luka dalam diri”. * Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun. Dalam penerbitan ini seluruh catatan kaki dihilangkan. ** Ignas Kleden, Sosiolog, Penulis Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Grafiti, Jakarta, 2004 Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/puisi-dan-dekonstruksi-perihal-sutardji.html
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: September 2011 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates