Saturday, April 30, 2011

Pernyataan Sikap LMND untuk Hari Buruh Internasional dan Hardiknas

Minggu, 01 Mei 2011

Oleh : Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi(LMND)



Hentikan Rezim Pembohong- Neoliberal

SBY-Boediono Bangun Persatuan Nasional

Untuk Kedaulatan dan Kemandirian Nasional



Kita sulit menemukan penjelasan rasional ketika harapan perbaikan kehidupan rakyat Indonesia dapat dibangun oleh Pemerintah SBY-Boediono diatas fondasi kebijakan Neoliberal yang menghancurkan kepentingan nasional. Bagaimana mungkin pemerintahan SBY-Boediono dapat menciptakan lapangan kerja jika sumber-sumber energi dan perekonomian nasional dari hulu sampai ke hilir justru diserahkan kepada asing.



Data Forum Rektor Indonesia pada 2007 menyebutkan bahwa dominasi korporasi asing yang saat ini menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia. Sektor ekonomi yang penting seperti perkebunan, ritel, telekomunikasi, transportasi penerbangan, air minum, dan sektor strategis lainnya juga telah dikuasai oleh asing. Sehingga tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi, yang diklaim pemerintah naik saat ini, tidak lain hanyalah pertumbuhan semu yang hanya dinikmati segelintir orang kaya.



Sungguh ironis ketika ada 150 orang terkaya Indonesia sekarang ini menguasai Rp 650 triliun rupiah, tetapi ada 105 juta lebih orang miskin, yang harus cukup dengan 18.000 per hari. Kehidupan mayoritas rakyat Indonesia saat ini hidup dari sector informal (72,7 juta) dan untuk bertahan hidup harus bersandar pada konsumsi yang dibiayai melalui utang, seperti kredit konsumsi, program sosial neoliberal (BLT, KUR, BOS, PNPM, dan sebagainya) yang dibiayai dengan utang, program stimulus ekonomi yang juga dibiayai utang, hingga kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri yang juga dibiayai dengan utang.



Bersamaan dengan proses penghancuran ekonomi nasional, sistem pendidikan nasional dibawah pemerintahan SBY-Boediono tidak lebih daripada praktek Politik Etis di zaman Kolonial. Pendidikan nasional tidak diarahkan untuk menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas sehingga dapat mengolah dan meningkatkan nilai tambah dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa.



Pendidikan nasional telah diselewengkan hanya untuk memenuhi pasar tenaga kerja murah dan pelayan jasa bagi modal-modal internasional yang telah mengeruk kekayaan alam bangsa ini. Menurut data, preferensi pekerjaan yang banyak diisi oleh lulusan perguruan tinggi adalah bidang jasa (52 persen), perdagangan, hotel, restoran (14 persen), dan pertanian (10 persen).



Bidang industri pengolahan hanya diminati oleh 8 persen lulusan. Sehingga tidak mengherankan jika saat industry nasional mengalami kehancuran, sistem pendidikan nasional justru menciptakan barisan pengangguran terdidik yang terus meningkat setiap tahunnya.



Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah pengangguran terbuka (S-1) pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, pada Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau menjadi sekitar 626.200 orang.



Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, maka pada Februari 2011 telah terjadi peningkatan pengangguran terdidik S1 sejumlah terdapat 1.275.100 orang. Jumlah ini belum ditambah dengan pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%.



Sementara itu, anggaran pendidikan sebesar 20% APBN yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah dalam realisasinya justru bukan didasarkan pada total jumlah APBN sebesar 1.229,5 trilliun. Fakta ini disampaikan oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, Hekinus Manao, bahwa pemenuhan amanat undang-undang dalam penyaluran anggaran pendidikan sebesar 20% diambil dari pos belanja pemerintah pusat pada APBN yang besarnya Rp 410,4 trilliun (Suara Pembaharuan, 2010).



Sehingga tidak mengherankan jika pendidikan nasional tidak menunjukkan perbaikan terhadap akses terhadap mayoritas rakyat miskin, kualitas sarana infrastruktur, kurikulum, tenaga pengajar dan kualitas lulusannya.



Dibawah Pemerintahan SBY-Boediono saat ini, kehidupan rakyat Indonesia telah nyata dikembalikan pada kondisi kolonial. Dan untuk melanggengkan kekuasaannya, kolonialisme akan terus melanggengkan keterbelakangan, kebodohan dan mentalitas inlander suatu bangsa.



Untuk memutus mata-rantai itu, bangsa ini membutuhkan pemuda-pemuda cerdas dan progressif, yang sanggup menjadi pembawa “obor” pencerahan untuk kemajuan bangsanya. Oleh karenanya, pada peringatan hari Buruh Se Dunia dan Hari Pendidikan Nasional 2011 ini, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi menegaskan bahwa jalan untuk bangkit mandiri dari keterpurukan bangsa saat ini adalah :



1.Melakukan Pencabutan terhadap berbagai UU yang berbau neoliberal (yang dibiayai oleh aing),UU 25/2007 tentang Penanaman Modal , UU 21/2002 tentang Ketenaga Listrikan,UU 2/2001 tentang Minyak dan Gas, UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau , UU 19/2003 tentang BUMN, RUU Pertanahan.



2.Melakukan nasionalisasi terhadap pertambangan asing dan sector-sektor strategis lainnya bagi pembangunan industry nasional.



3.Hapus hutang luar negeri yang menjadi instrument menciptakan ketergantungan terhadap ekonomi dan politik nasional serta membebani APBN.



Akhir kata, kami mengajak kepada seluruh gerakan rakyat, pemuda, mahasiswa dan pelajar untuk membangun dan memperkuat persatuan nasional guna meng-HENTIKAN pemerintahan Neoliberal SBY-Boediono.

Monday, April 18, 2011

Gerakan Pemuda dan Mahasiswa Menggelar Konferensi Pers

Senin, 18 April 2011



Jakarta–Gerakan pemuda dan Mahasiswa yang terdiri dari PMKRI,IMM,LMND, PMII,PII,SMI,KMHDI,KAMTRI,SENAT UKI,HIMAH,HMI MPO,dan GMKI, menggelar konferensi pers “Perubahan sudah tidak bisa ditunda” di Gedung Joang 45 JL. Menteng Raya 31, Jakarta Pusat.



Mereka mengajak seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Marauke bergerak bersama-sama mewujudkan 7 cita-cita perubahan diantaranya Indonesia merdeka dari penjajahan gaya baru demi terwujudnya kedaulatan dan kemandirian bangsa dan supermasi hukum tanpa diskriminasi.



Dalam konferensi pers itu, organisasi yang tergabung dalam Gerakan Pemuda dan Mahasiswa berbicara soal agenda perubahan Negara. Mereka menyimpulkan fakta historis telah mencatat peran strategis Pemuda dan Mahasiswa dari masa kemasa dalam mengawali pergerakan menuju perubahan dan cita-cita Bangsa dan Negara ini, kata Marsel saat membacakan kesimpulan konferensi pers.



Tak hanya itu Marsel menjelaskan, pergerakan pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan tak terlepas partisipasi aktif Pemuda dan Mahasiswa. Lanjutnya tujuan utama gerakan meniadakan bentuk penindasan, mengangkat harga diri Bangsa yang merdeka serta kemandirian dalam segala aspek kehidupan.



Frase yang tepat untuk menggambarkan pelbagai kondisi Bangsa Indonesia saat ini, pemimpin yang mengalami impotensi moral, pejabat eksekutif maupun legislatif yang bermental budak.



Kemiskinan yang akut, biaya pendidikan mahal, penjualan kekayaan alam kapada pemodal Asing, tandasnya. Menjauhi persatuan, serakah kekuasaan dan tak berjiwa Pancasila.



Perampok tanah milik Rakyat, pengingkaran terhadap kebhinekaan Indonesia merupakan masalah yang mengerogoti dan mengancam Indonesia, kata Marsel. Kini akibatnya cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk melindungi segenap Bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan Bangsa hanya menjadi formalisme dan deretan kalimat indah semata.( NSR )

Friday, April 15, 2011

Menteri Darwin Janji Pasokan Listrik Bertambah 5.500 MW

Sabtu, 16 April 2011

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh mengatakan, ta­hun ini pasokan listrik di In­donesia akan bertambah 5.500 megawatt (MW).

“Tahun ini Insya Allah (tam­bah) 5.500 MW,” kata Darwin di kantornya, kemarin.

Menurutnya, tahun ini rasio elektrifikasi harus bertambah 3 persen per tahun untuk konsumsi listrik di rumah tangga.

“Kapasitas Insya Allah ber­tambah 5.000 MW, itu sangat besar. Untuk diketahui saja sudah cukup lama kita berada di angka 25.000 MW, dan kalau 10.000 MW pertama (Fast Track Prog­ram 10.000 MW tahap I) selesai, pasokan terus bertambah,” jelas Darwin.

Darwin sebelumnya menyam­paikan, di 2014 harus mengejar rasio elektrifikasi sebesar 80 per­sen dengan cepat. Dengan de­mi­kian, ketersediaan listrik di In­donesia terus meluas.

“Di 2014, rasio elektrifikasi 80 persen, kelihatannya kita harus percepat 15 persen dalam 5 tahun. Jadi setahun 3 persen. Memang tak mudah dan ini tantangan berat,” ucap Darwin.

Untuk diketahui, kemarin, Kementerian ESDM melakukan pergantian eselon I dan II. Salah satu yang diganti yakni Dirjen Listrik J Purwono digantikan oleh Jarman.

Purwono diganti setelah men­jadi tersangka KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya.

Selain itu, pengangkatan peja­bat struktural Eselon II juga tertuang dalam Keputusan Men­teri Energi dan Sumber Daya Mi­neral Nomor 1032 K/73/MEM/2011 tanggal 11 April 2011.

Selain Jarman, Dede Ida Su­hendra yang sebelumnya men­ja­bat Kepala Sub Direktorat Per­lindungan Lingkungan Mineral dan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Ke­men­terian ESDM dirotasi menjadi Direktur Pembinaan Pengu­sa­haan Mineral pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.( RM )

Sumber berita:http://ekbis.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=24339

Apa Sebab Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila (Bagian Pertama)

Jumat,15 April 2011

Bungkarnoisme

Oleh : Ir.Soekarno



SAUDARA-SAUDARAKU sekalian



Saya adalah orang islam, dan saya keluarga Negara Republik Indonesia. Sebagai orang islam, saya menyampaikan salami slam kepada saudara-saudara sekalian, “assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.



Sebagai warga Republik Indonesia, saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian, baik yang beragama islam, baik beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional “Merdeka”!



Tahukah saudara-saudara, arti perkataan “salam” sebagai bagian daripada perkataan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu? Salam artinya damai, sejahtera. Jikalau kita menyebutkan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, berarti damai dan sejahterahlah sampai kepadamu. Dan moga-moga rahmat dan berkat Allah jatuh kepadamu. Salam ber-arti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu, saya minta ke-pada kita sekalian untuk merenungkan benar-benar akan arti perkataan “assalamu alaikum”.



Salam—damai—sejahtera!

Marilah kita bangsa Indonesia terutama sekalian yang beragama islam hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan-gerombolan yang menyebutkan assalamu alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat.



Salam—damai—sejahtera! Rukun—bersatu! Terutama sekali dalam didalam revolusi nasional kita belum selesai ini.



Dan sebagai warganegara yang merdeka, saya tadi memekikkan pekik “Merdeka” bersama-sama dengan kamu. Kamu yang beragama islam, kamu yang beragama Kristen, kamu yang beragama Syiwa Buddha, Hindu-Bali atau agama lain. Pekik merdeka adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta, menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya “sekali merdeka tetap merdeka”!



Pekik merdeka, saudara-saudara, adalah “pekik pengikat”. Dan bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imprealisme—dengan tiada ikatan penjajahan sedikit pun. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini, fase revolusi nasional belum selesai, jangan lupa kepada pekik merdeka! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah pekik “merdeka”!



Tatkala aku mengadakan perjalanan ke tanah suci beberapa pekan yang lalu, aku telah diminta oleh khalayak Indonesia dikota Singapura untuk mengadakan amanat kepada mereka. Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh-puluh ribu orang Indonesia berdiam. Mereka bergembira, bahwa Presiden Republiknya lewat Singapura. Mereka menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap-gempita, dan diminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk memberikan amanah kepadanya. Didalam amanah itu beberapa kali dipekikkan pekik “merdeka”.



Apa lacur? Sesudah bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok ke Rangoon, ke New Delhi, Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke Negara Saudi Arabia, sesudah bapak meninggalkan kota Singapura, geger….pers imprealisme Singapura, saudara-saudara. Mereka berkata: “Presiden Soekarno kurang ajar”. Presiden Soekarno menjalankan ill-behavior, katanya. ill-behavior itu artinya tidak tau kesopanan. Apa sebabnya pers imprealisme mengatakan bapak menjalankan ill-behavior, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini bukan negeri merdeka? Toh tahu, bahwa disini masih didalam kekuasaan asing, kok memekikkan pekik “merdeka”?



Tatkala bapak kembali dari tanah suci, singgah lagi di Singapura, bapak dikeroyok oleh responden-responden dan wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada bapak: “Tahukah PYM Presiden, bahwa tatkala PYM Presiden meninggalkan kota Singapura ddalam perjalanan ke Mesir dan tanah suci, PYM dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill-behavior, oleh karena PYM memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia disini memekikkan pekik merdeka? Apa jawab Paduka Yang Mulia atas tuduhan itu?”



Bapak menjawab: “jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warganegara Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia selalu memekikkan pekik “merdeka”! Jangankan di sorga, didalam neraka pun”!



Nah…saudara-saudara dan anak-anakku sekalian, jangan lupa akan pekik merdeka itu. Gegap-gempitakan tiap-tiap kali pekik merdeka itu. Apalagi sebagai bapak katakan tadi dalam fase revolusi nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia yang beragama islam, aku menyampaikan kepadamu salam “assalamu alaikum!” sebagai warganegara Republik Indonesia, aku menyampaikan kepadamu “merdeka!”



Saudara-saudara, aku pulang dari Bali—beristirahat beberapa hari disana—diminta oleh Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada inti malam memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanah, terutama sekali mengenai hal “apa sebabnya negara Republik Indonesi berdasarkan kepada Pancasila? Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.



Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas. Apa sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara-saudaraku dan anak-anakku sekalian, maka bapak minta kepadamu pimpinan agar supaya saudara-saudara diberi izin lebih dekat. Sebab, saudara-saudara tahu isi hati bapak ini, isi hati Presiden, isi hati bung Karno, kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.



Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara-saudara, insya Allah saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato disini bukan sekedar sebagai Soekarno. Bukan sekedar sebagai bung Karno. Bukan sekedar sebagai pak Karno. Aku berpidato disini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atasa Pancasila?



Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden Republik Indonesia disumpah atas Undang-Undang dasar kita. Saya tadi berkata, bahwa saya memenuhi permintaan Kongres Rakyat Jawa Timur dengan penuh kesenangan hati, ialah oleh karena saya ini sebagai Presiden Republik disumpah atas dasar Undang-Undang dasar kita. Disumpah harus setia kepada Undang-Undang dasar kita. Didalam Undang-Undang dasar kita, dicantumkan satu mukadimah, kata pendahuluan. Dan didalam kata pendahuluan itu dengan tegas disebutkan Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Indonesia yang bulat, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”. Malahan bukan satu kali ini Pancasila itu disebutkan didalam Undang-Undang dasar kita. Sejak kita didalam tahun 1945 telah berkemas-kemas untuk menjadi suatu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah mengalami empat kali naskah.



Sebelum kita mengadakan proklamasi 17 agustus, sudah ada naskah. Kemudian pada tanggal 17 agustus, satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk, satu naskah lagi. Kemudian sesudah itu, tatkala kita kembali kepada zaman Republik Indonesia Kesatuan, satu naskah lagi. Empat kali naskah, saudara-saudara. Dan didalam keempat naskah itu dengan tegas disebutkan Pancasila.



Pertama, tatkala kita didalam zaman Jepang, kita telah berkemas-kemas didalam tahun 1945 itu untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu naskah yang dinamakan “Charter Jakarta”. Didalam Charter Jakarta ini telah disebutkan dengan tegas lima azas yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk negara yang akan datang. “Ketuhanan yang maha esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.



Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada tanggal 17 agustus 1945, dengan tegas pula keesokan harinya, saudara-saudara, kukatakan dengan Undang-Undang Dasar yang kita pakai ini. Yaitu undang-undang dasar yang kita rencanakan pada waktu zaman Jepang dibawah ancaman bayonet Jepang; kita rencanakan satu undang-undang dasar daripada negara Republik Indonesia yang kita proklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945. Dan didalam Undang-Undang Dasar itu dengan tegas dikatakan Pancasila: “Ketuhanan yang maha esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.



Tatkala berhubung dengan jalannya politik, negara Republik Indonesia Serikat dibentuk (RIS), pada waktu itu dibentuklah Undang-Undang Dasar RIS. Dan didalam mukadimah Undang-Undang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila.



Kita tidak senang dengan federal-federalan. Segenap rakyat akan memprotes akan adanya susunan ini. Delapan bulan susunan federal ini. Delapan bulan susunan RIS berdiri, hancur lebur RIS, berdirilah negara Republik Indonesia Kesatuan. Dan Undang-Undang Dasar yang dipakai RIS ini diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara daripada negara Republik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi mukadimah yang mengandung Pancasila.



Jadi, dengan tegas, saudara-saudara, jelas! Empat kali didalam sepuluh tahun ini kita melewati empat naskah. Tiap-tiap naskah menyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku dengan karunia Alla SWT dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu antara lain setia kepada Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena itulah, saudara-saudara, rasa sebagai kewajiban jikalau diminta oleh sesuatu golongan akan keterangan tentang Pancasila, memenuhi permintaan itu.



Dan pada ini malam dengan mengucap suka syukur kehadira Allah SWT, aku berdiri dihadapan saudara-saudara. Berhadap-hadapan muka dengan kaum buruh, dengan pegawai, rakyat jelata, Pihak Angkatan Laut Republik Indonesia dan pihak tentara, dengan pihak Mobrig, pihak polisi, pihak perintis, dengan pemuda, dengan pemudi, berdiri dihadapan saudara-saudara dan anak-anak sekalian, yang telah datang membanjiri lapangan yang besar ini laksana air hujan. Aku mengucap banyak terima kasih kepadamu. Dan insya Allah, saudara-saudara, aku akan terangkan kepadamu tentang apa sebab negara Republik Indonesia didasarkan Pancasila.



Saudara-saudara. Ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara! Yah….jikalau diambil didalam arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan saja Pancasila adalah sementara, bahkan ketentuan didalam Undang-Undang Dasar kita, bahwa Sang Merah Putih bendera kita, itupun sementara! Segala Undang-Undang Dasar kita sekarang ini adalah sementara.



Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita pakai sekarang ini, malahan disebut Undang-Undang Dasar Sementara daripada negara Republik Indonesia? Apa sebab sementara? Yah…..oleh karena akhirnya nanti yang akan menentukan segala sesuatunya ialah konstituante.



Maka itu saudara-saudara, kita akan mengadakan pemilihan umum dua kali. Pertama, pada tanggal 29 september nanti, insya Allah, untuk memilih DPR. Kemudian pada tanggal 5 desember untuk memilih konstituante adalah Badan pembentuk Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk konstitusi. Konstitusi berarti Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tetap bagi negara Republik Indonesia, yang sampai sekarang ini segala-segalanya masih sementara.



Tetapi, saudara-saudara, jikalau ditanya kepadaku “Apa yang berisi kalbu bapak ini akan permohonan kepada Allah SWT? Terus terang aku berkata, jikalau saudara-saudara membelah dada bung Karno ini, permohonanku kepada Allah SWT ialah, saudara-saudara bisa membaca didalam dada bung Karno memohon kepada Allah SWT supaya negera Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila.



Yah…benar, bahwa segal sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata, bahwa Sang Merah Putih adalah sementara, adalah bendera Republik Indonesia pun sementara. Dan jikalau nanti konstituante bersidang, insa Allah, Saudara-saudaraku, siang dan malam bapak memohon kepada Allah SWT agar supaya konstituante tetap menetapkan bendera Sang Merah sebagai bendera negara Indonesia.



Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ii . jangan ada satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia.



Tahukah saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik Indonesia? Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apalagi bukan buatan bung Karno, bukan buatan bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna Merah Putih ini. Bukan beribu tahun, bukan dua ribu tahun, bukan tiga ribu tahun, bukan empat ribu tahun, bukan enam ribu tahun! Enaaaam….ribu tahun kita telah mengenal warna Merah Putih!



Tatkala disini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islam, belum ada agama Hindu, bangsa Indonesia telah mengagungkan warna Merah Putih. Pada waktu itu kita belum mengenal Tuhan dalam cara mengenal sebagai sekarang ini. Pada waktu itu yang kita sembah adalah matahari dan bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup itu matahari. Siang matahari, malam bulan. Matahari merah, bulan putih. Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih.



Kemudian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami akan hidup di alam ini. Kita memperhatikan segala sesuatu didalam alam ini dan kita melihat. Oh, alam ini ada yang hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk-makhluk yang bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak. “manusia dan binatang itu darahnya merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya putih”. Getih-getah. Cuma i diganti a. Dulu kita mengagungkan matahari dan bulan yang didalam alam Hindu dinamakan Surya Chandra. Kemudian kita mengagunkan getah-getih. Merah-Putih, saudara-saudara, itu adalah fase kedua.



Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia. Mengerti, bahwa kejadian manusia ini adalah daripada perhubungan laki dan perempuan, perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih.



Dan itulah sebabnya maka tidak turun-temurun mengagungkan merah putih. Apa yang dinamakan “gula-kelapa”, mengagungkan bubur bang putih. Itulah sebabnya maka kita kemudian tatkala kita, mempunyai negara-negara setelah mempunyai kerajaan-kerajaan, memakai merah putih itu sebagai bendera negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan Singosari, merah putih telah berkibar terus dirampas oleh imprealisme asing. Tetapi didalam dada kita tetap hidup kecintaan kepada merah putih.



Dan tatkala kita, mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908, dengan lahirnya Budi Utomo dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (National Indische Party), oleh ISDP oleh PKI, oleh Serikat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain-lain, maka rakyat Indonesia tetap mencintai merah putih sebagai warna benderanya.



Dan tatkala kita pada tanggal 17 agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu, dengan resmi kita menyatakan sang merah putih adalah bendera kemerdekaan kita.



Itu semua jika dikatakan sementara, ya sementara ! sebab konstituante belum bersidang. konstituate mau mengubah warna ini?? lho, kok menurut haknya, boleh saja. Sebab konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. penyusun, pembentuk konstitusi. Jadi konstituante misalnya hendak menentukan warna bendera Negara Republik Indonesia bukan merah putih, yah mau dikatakan apa?



Tetapi bapak berkata, bapak memohon kepada allah swt agar supaya warna merah putih tetap menjadi warna bendera bendera republik Indonesia.



Kembali lagi kepada Indonesia. Jika dikatakan sementara, yaaa….sementara!



Lagi-lagi bapak berkata ini berkata, allah swt, allah swt. Dan bapak pun bersyukur kehadirat allah swt, bahwa cita-cita bapak yang sudah bertahun-tahun untuk haji dikabulkan oleh allah swt. Lagi-lagi, allah swt.



Saudara-saudara, jikalau aku meninggalkan dunia nanti, ini hanya tuhan mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang, jikalau ditanya oleh malaikat: hai….Soekarno, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang paling engkau ucapkan syukur kepada allah swt? moga-moga saudara-saudara aku bisa menjawab–ya…bisa menjawab demikian tau tidaknya itu tergantung dari pada allah swt: “tatkala aku hidup didunia ini, aku telah ikut membentuk negara republik Indonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia”.



Sebagai sering kukatakan saudara-saudara, negara adalah wadah. Jikalau aku diberi karunia oleh allah swt mengerjakan pekerjaan satu ini saja, allahu akbar, aku akan berterima kasih setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnya, wadahnya saja yang bernama negeri ini. Didalam wadah ini ada masyarakat. Wadah yang dinamakan negara ini adalah wadah untuk masyarakat.



Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada membentuk masyarakat. Membentuk wadah adalah sebenarnya bisa dijalankan dalam satu hari—wadah yang bernama negeri itu.



Tidaklah, saudara-saudara, dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa oleh suatu konperensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk negara ini, dibentuk negara itu. Misalnya, dahulu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah negara Cekoslowakia sekedar dengan coretan pena dari suatu konperensi kecil. Membentuk negara…., gampang! Dulu disini pernah dibentuk negara Indonesia Timur, negara Pasundan, hanya dengan dekrit Van Mook, saudara-saudara! Tetapi mencoba membentuk masyarakat, susah!.



Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, berpuluh-tahun, kadang-kadang berwindu-windu, berabad-abad. Masyarakat apapun tidak gampang dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus menerus. Baik masyarakat islam, maupun masyarakat kristen maupun sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekrit saudara-saudara, dengan satu tulisan, dengan satu unjau nafas manusia. Membentuk masyarakat makan waktu!



Yah…, aku bermohon kepada tuhan, diperbolehkanlah hendaknya ikut membentuk masyarakat pula. Masyarakat di dalam wadah itu.



Tetapi aku telah bersyukur seribu syukur kepada tuhan, jikalau nanti aku bisa menjawab kepada malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini antara lain-lain ialah telah ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama negara dan wadah ini buat suatu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih daripada satu juta manusia saudara-saudara, wadah ini bukan kok cuma buat satu juta manusia itu saja. Tidak! wadah yang bernama negara, negara yang bernama republik Indonesia itu adalah wadah untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari sabang sampai marauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka ragam, beraneka adat-istiadat, beraneka suku. Bertahun-tahun aku ikut memikirkan ini. Nanti jikalau allah swt memberikan kemerdekaan kepada kita, dulu berpikiran demikianlah bapak, jikalau negara republik Indonesia telah berdiri, segenap rakyat Indonesia yang 80 juta. Negara harus didasarkan apa?



Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif didalam pergerakan, aku lebih-lebih lagi memikirkan hal ini. Tatkala dalam zaman Jepang, tetapi oleh karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan kita sendiri, tatkala fajar telah menyinsing, lebih-lebih kupikirkan lagi hal ini. Wadah ini hendaknya jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-sekuatnya. Wadah untuk segenap rakyat Indonesia, dari sabang sampai marauke yang beraneka agama, beraneka suku beraneka adat-istiadat.



Sekarang aku menjadi presiden republik Indonesia adalah karunia tuhan. Aku tidak menyesal, bahwa aku telah memfomulirkan pancasila. Apa sebabnya? barangkali lebih daripada siapa pun di Indonesia ini, aku mengetahui akan keanekaan bangsa Indonesia ini, aku mengetahui publik Indonesia aku berkesempatan sering-sering untuk melewat ke daerah-daerah. Sering-sering aku naik kapal udara. Malahan jikalau didalam kapal udara aku sering-sering, katakanlah, main gila dengan pilot. Pilot terbanglah tinggi, lalu akan tanya kepadanya:

“Saudara pilot, berapa tinggi ?”

“12.000 kaki paduka yang mulia”

“kurang tinggi, naikkan lagi”

“13.000 kaki”

“Hahaa…kurang tinggi bung!”

“14.000 kaki”

“kurang tinggi!”

“15.000 kaki”

“kurang tinggi”

“16.000 kaki”

“kurang tinggi”

“17.000 kaki”

“kurang tinggi”



“sudah tidak bisa lagi, paduka yang mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon’.



Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu.



Aku terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Aku melihat tanah air kita. Allahu akbar, cantiknya bukan main! dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang diucapkan oleh Multatuli didalam kitab “Max Havelar”, bahwa Indonesia ini adalah demikian cantiknya, sehingga ia sebutkan “Indulinde de zich daar slingert om den evenaar als een gordel van smaragd”. Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat daripada zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa! Indahnya demikian.



Ya…, memang saudara-saudara, jikalau engkau terbang 17.000 kaki diangkasa dan melihat kebawah, kelihatan betul-betul Indonesia ini adalaha sebagai ikat pinggang yang terbuat dari zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa, berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu pulau saudara melihat. Dan tiap-tiap pulau itu berwarna-warna. Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai tanah air kita ini, saudara-saudara. Lebih daripada 3.000 pulau, bahkan kalau dihitung dengan yang kecil-kecil, 10.000 pulau.



*)Pidato di Surabaya, 24 September 1955

LMND Menyerahkan Gurita Hitam ke KPK

Jumat 15 April 2011

Jakarta –puluhan Aktifis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Jam 11.14, mengelar aksi teaterikal didepan gedung KPK, dan menyerahkan gurita hitam yang ditempel uang palsu kepada KPK, tak hanya itu masa juga menghambur-hamburkan uang palsu diatas gurita hitam.

Kata Aldo dalam naskah yang dia bacakan aksi teaterikal ini kami buat sebagai simbol bahwa mengambarkan peran pemimpin dalam gedung istana gurita hitam. Tuturnya alkisah dari sebuah Negri hitam yang mana didalamnya praktek korupsi kolusi dan nepotisme (KKN ).

Dia juga menjelaskan aneh bin ajaib praktek haram terkutuk itu dilakukan dengan sangat leluasa keji dan tanpa hati nurani. Barang siapa tunduk padanya akan bahagia dan dijamin hidupnya dengan syarat rela menghitamkam hatinya berani menindas rakyatnya dan harus setia pada dusta.

Dalam orasi Rifai ketua Eksekutif Wilyah Jabotabek mengatakan dalam istana presiden hari ini terjadi begitu banyak korupsi , dan hari ini Negara kita semakin miskin begitu banyak, pengngguran dan kemiskinan, jelasnya kami berharap agar KPK dapat menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang terjadi di Negri ini.

Tuturnya dalam orasi kami mewakili segelintir Mahasiswa Indoneisa yang resah dan gelisah karena salah satu cita-cita besar perjuangan reformasi 1998 yakni pemberantasan korupsi kolusi neptisme (KKN) sampai keakar-akarnya, perlu diketahui kami kaum mahasiswa menyimpulkan bahwa situasi pemberantasan korupsi di Negara ini telah berjalan mundur.

Tambahnya kami dan rakyat sudah merasa muak melihat berbagai sandiawara hukum yang berlarut-larut seperti Century, Gayus,maupun Miranda. Tampak jelas bagi kami, para koruptor itu masih terlalu kuat bagi KPK.

Sambil menyerahkan boneka gurita hitam ke KPK yang diwakili oleh Pak Priharsa bagian humas KPK , Lamen Hendra Saputra ketua umum LMND mengatakan Gurita hitam ini kami berikan kepada KPK khususnya pak Busro, sebagai simbol kegelapan kepemimpinan dan penanganan hukum khususnya dalam hal korupsi, tuturnya, boneka gurita hitam ini harus dismpan diatas mejah Pak Busro, Lamen juga mengatakan, Liga Mahasiswa Naional untuk Demokrasi mengucpkan selamat menjalankan tugas, karna masih begitu banyak persoalan-persoalan korusi di Negri ini. ( NSR )

Wednesday, April 13, 2011

Teaterawan Rodli TL, Dewa Kesenian Lamongan, Jawa Timur

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Totalitas ampuh menggerakkan seluruh tubuh dan jiwa, memancarkan sorot tajam ke segenap penjuru panca indra para insan. Laksana tersedot magnetik, partikel-partikel berbaur mencipta gugusan kesadaran, melampaui hari-hari bangkitkan aura terang, kian sumringah di mana pun sampainya.

Menggempur batu-batu kemalasan, membasmi keminderan, menghardik kepicikan melalui membaca, menyimak ladang kemungkinan. Merangsek kendali fikir menancapi tiang-tiang pancang fitroh diugemi berkeseluruhan hidup bergema. Kumandang lakon-lakon dimainkan, di kedalaman ceruk kehidupan.

Rodli TL, teaterawan jebolan UNEJ, kukira sangat berjasa di dunia teater dewasa ini di Lamongan. Yang lain dilingkup kota Mbah Lamong hanya mengaku-aku senior, tetapi jarang berkesenian, perannya sehangat kucing membina komunitas, kembang-kempis mengikuti musim-musim.

Sedangkan ia merambah sampai masyarakat awam teater di desanya yang berbau kental ajaran Islam, lewat pelbagai pendekatan sejarah kesusastraan dimasa Rasulullah SAW misalnya. Ia salah satu penggerak, sehingga komunitas-komunitas teater makin semarak, sedari sejarah perteateran.

Dosen UNISDA itu, setiap hari disibukkan mendidik anak-anak melalui kursus bahasa Inggris, disamping membina teater anak Sang Bala. Ia juga seorang novelis, novelnya “Dazedlove,” Reportoar Mahasiswi Demonstran, terbit tahun 2006, tidak luput menulis naskah-naskah drama, cerpen &ll.

Awal kehadirannya kuragukan, tapi semenjak mendirikan rumah dibentuk panggung teater, tiada keraguan sekali pun padanya. Ini kukira menjawab kekurangan pemerintahan Lamongan, yang dulu berjanji mendirikan Gedung Kesenian, tapi masih dalam angan sampai sekarang.

Pada acara International Teacher Art Award 2008, diselenggarakan Pusat Pembinaan Pengembangan Pendidik Tenaga Kependidikan Seni Budaya Yogyakarta. SDN Canditunggal mengusung pertunjukan “Past Game” karya Rodli TL, menyabet double winner, terbaik internasional tingkat SD, SLTP, dan mendapat penghargaan Guru Berprestasi dari Mendiknas.

Prestasinya terulang di Festival Seni Internasional III, karya terbaik I kategori guru Seni Budaya tingkat Sekolah Dasar. Kala mementaskan “Kaum Klepto” dihadapan ratusan penonton di auditorium pertunjukan PPPPTK-SB, 3 Agustus 2010. Menyisikan komunitas teater dari USA, Perancis, Belanda, Jepang, Tailand, Inggris, Gambia, Malaysia dan negara-negara lain. Namun sayang pemerintahan Lamongan, belum menaruh perhatian pada komunitas teater Sang Bala.

Sebab semangatnya murni dari kalbu terdalam, terus menggeliati waktu perubahan. Dan jejak langkahnya menggiurkan para teaterawan, menambah matang sikapnya di dalam dunia teater. Mendirikan rumah panggung teater, demi mengukuhkan mentalitas komunitas teater yang ada di Lamongan, Gersik, dan kota sekitarnya.

Ia pantas dijadikan cermin terbaik atas keterbatasan mengelilinginya. Tak memiliki laboratorium memadai, menjelma pemicu membaktikan seluruh jiwa raganya. Totalitas tersebut, tidak lebih pantulan proses kreatif semasa jadi mahasiswa di kota Jember, dan beberapa lawatannya.

Aku teringat menaiki motor berdua ke Jember, diriku diperkenalkan teaterawan sekaligus sutradara muda; Tomtom. Selanjutnya mementaskan naskahku bertitel “Zaitun; Cahaya di atas Cahaya” di kampus UNEJ dan IAIN Surabaya, garapan “Teater Tiang” di bulan Juli 2007.

Ingatanku memusat di alun-alun kota Lamongan, awal tahun 2006. Di sana letak kami biasa berkumpul; Haris del Hakim, AS Sumbawi, Anis CH, Rodli TL, Imamuddin SA, Syaiful Anam Assyaibani. Setidaknya dari situ, pernah membuahkan sesuatu meski tidak bertahan lama;

Majalah “Gerbang Massa,” “Jurnal Sastra Timur Jauh,” terakhir “Jurnal Kebudayaan The Sandour,” semua tebal digerus watak percepatan dunia penulisan di bawah kaki-kaki kami masih belia. Selain mengadakan kegiatan sastra ke pesantren, sekolahan; ajang bedah buku, lomba karya cipta, yang sempat berjalan “Van Der Wijck Award.”

Sebelum hengkang demi mentafakkuri nasib masing-masing diri, kami sempat membuat blog beralamat http://forumtjk.blogspot.com/ dan perpisahan atau jarak tersebut, lebih mengukuhkan badan-badan pribadi menuju takdir yang menempa;

Anis CH hijrah ke Gersik mengajar, AS Sumbawi merantau, meneruskan pendidikan di kota Malang, Haris del Hakim ke kota pahlawan Surabaya. Hanya sesekali bersapa di dunia maya, ataupun bertemu di acara sastra pula menghadiri pementasan teater;

Imamuddin SA, Syaiful Anam Assyaibani atau Javed, disibukkan mengajar, sehingga perjumpaan guyub di atas melempem. Tetapi jiwa kami terus menyala, mematangkan diri meski tak kerap bertatap muka. Demikian keakrapan kami bersama teaterawan kita, lantas kini kufokuskan kepadanya:

Kepiawaian Rodli TL berolah tubuh dan menebarkan kata-kata di panggung, tidak kuragukan sejak awal. Raganya mampu dijelmakan seair menggemai decak ombak, lewati ritme tertentu melalui jari-jemarinya. Kadang seangin lentur, tarian disusupi keindahan musik jiwanya, keseluruhan sampai walau sedikit menggeser kakinya.

Itulah pantulan dirinya mengerami ketabahan bermeditasi di dalam ruangan jiwa, membentengi kesemangatan berkesabaran purna. Sehingga tak lewar, dan hampir gerak-geriknya dihitung, reflek sekalipun terpampang mawah, sedari terbitkan matahari ketekunan. Serupa tiap persendian kata, sedang kalimah membahana, mengarungi sampan kehendak terdalam, dari lakon yang dicanangkan.

Sedikit sekali aku temukan orang sekualitas dirinya. Hanya khusyukkan profesi, ringan berkorban demi pengetahuan masa depan, diberkahi keajaiban. Bayangan ini mengingatkan aku pada sosok teaterawan kota Lampung, Iswadi Pratama; pengalaman melimpahi hidup, menaburi benih berharga teruntuk sesamanya menjadi berkah.

Aku dengar pemerintahan JaTim mulai melirik prestasinya, ialah pantas. Setidaknya Gedung Pertunjukan Teater “Sang Bala” didirikannya, membuktikan keseriusannya berkesenian, yang kerap dibuat ajang pentas para teaterawan, seperti di Hari Teater Sedunia, 27 Maret 2011 lalu.

Berjubel orang datang menyaksikan para teaterawan menampilkan karya-karyanya, lebih menggetarkan warga kampung turut menikmati, meski disambut rintikan gerimis. Kembang perjuangan ini, bebuah gerilyanya memasyarakatkan teater di desa Candi Tunggal, Kalitengah.

Malam sakral tersebut, komunitas-komunitas teater sekitar Lamongan memeriahkan panggung Sang Bala, yang letaknya jauh dari kota. Di pelosok desa dengan jalan aspal rusak parah, tetap antusias mengunjungi dan saling berbagi pengetahuan.

Acaranya: “Teater Anak Sang Bala” dengan lakon “Kaum Klepto,” Sutradara Rodli TL, “Teater Kotak Hitam” mementaskan naskah bertitel “Membunuh Hayalan” Pimpinan kelompok ini Ubaidilah. Teater “Lata” memanggungkan “Segitiga Setan,” Sutradara Welly KS, “Teater 99” memainkan karyanya “Keris 7 Lengkok” Sutradara Sarkadek.

“Teater Pembuat Sejarah” menyuguhkan “Nasihat Abah,” atas Sutradara Godek, “Teater Nafas Kata,” menampilkan “Anak Angin,” sedang “Teater Roda” membawakan “Suatu Waktu Hidup Seorang Aktor.” “Komunitas Teater Almazr” naskah lakon “Lam Yasyhur,” Sutradara Roki, terakhir “Pantomim Psikopat” oleh Arif STKW. Maka semoga perteateran di Lamongan kian dahsyat, atas jiwa-jiwa muda memerdekakan bangsa, amin.

Dari Diskusi Tentang Sjahrir

Rabu, 13 April 2011

Editorial : Berdikari Online

Tanggal 9 April 1966 merupakan tanggal meninggalnya salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia, atau juga seorang tokoh bangsa, Sutan Sjahrir. Dalam rangka peringatannya, sebuah diskusi dilangsungkan di Newseum Café kemarin, Senin (11/3). Diskusi ini menghadirkan pembicara masing-masing sejarawan, Dr. Rusdi Husein, budayawan, Jokosaw, dan wakil dari Jaker, AJ. Susmana. Dari diskusi ini terangkat sebuah persoalan yang, baik oleh peserta diskusi maupun para narasumber, dipandang relevan dengan situasi Indonesia saat ini, yaitu menyangkut taktik-taktik politik dalam perjuangan melawan penjajahan bentuk lama (kolonialisme), dengan perjuangan menghadapi penjajahan bentuk baru atau neoliberalisme.

Adalah benar, bahwa tiap-tiap generasi menghadapi situasi yang berbeda, sehingga dibutuhkan taktik-taktik yang sesuai dengan konteks situasinya. Namun garis besarnya dapat dilihat dari sejarah yang tampak seperti berulang, dengan berakar dari situasi perkembangan kapitalisme di dunia. Indonesia menjadi bagian di dalam sistem dunia ini.

Pada masa pra-kemerdekaan, Soekarno beberapa kali menulis tentang “imperialisme modern”, termasuk dalam pledoinya berjudul “Indonesia Menggugat” di hadapan pengadilan kolonial. Sambil mengutip beberapa teoritisi Marxis, oleh Soekarno, “imperialisme modern” dijelaskan sebagai bentuk ekspansi kapital dari Eropa, untuk menemukan bahan mentah, mencari pasar, dan mencari sasaran eksploitasi tenaga kerja murah lewat investasinya. Imperialisme modern juga membawa serta “politik etis” dan “politik pintu terbuka” yang sedikit memberikan kebebasan. Saat itu, investasi di sektor industri terjadi dalam skala besar (terutama pabrik gula), demikian pula pembangunan infrastruktur (seperti jalan dan kereta api) untuk menyokong kebutuhan kapital.

Di masa rezim orde baru, dan terlebih sejak reformasi tahun 1998, investasi swasta asing yang eksploitatif justru telah dianggap sebagai malaikat penolong oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur pun terus dilakukan secara masif, dan hanya untuk memenuhi kebutuhan modal besar. “Politik pintu terbuka” terhadap kepentingan modal dari seluruh negeri pun sedang dijalankan. Nilai-nilai ‘etis’ diperkenalkan secara ilusif, seperti dalam konsep-konsep “demokratisasi”, “hak asasi manusia”, atau “pemerintahan bersih”, yang sesungguhnya tidak dapat berjalan di atas situasi penghisapan besar-besaran terhadap sumber-sumber kehidupan rakyat. “Imperialisme modern” yang lebih modern, sedang kembali mengambil tempatnya, baik di dunia maupun di Indonesia.

Sejarah mencatat kiprah tiap-tiap tokoh politik menghadapi “imperialisme modern” di jamannya. Di dalamnya terdapat persetujuan ataupun ketidaksetujuan, terhadap pemikiran dan sikap politik masing-masing; antara taktik konfrontasi dan diplomasi, pilihan merdeka bertahap atau merdeka 100%, memilih kawan dan lawan, dan sebagainya. Kondisi perjuangan ini tidak lepas dari situasi internasional yang krusial. Para tokoh dapat suatu waktu dituduh sebagai kolaborator Jepang (misalnya terhadap: Soekarno dan Hatta), antek Belanda (Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifudin), boneka Soviet (Muso dan Tan Malaka), atau bergerak tanpa kiblat internasional meski tak terhindar dari stempel tertentu. Namun, keseluruhan perdebatan tersebut tetap berada di atas satu platform, yaitu Indonesia Merdeka.

Tidak terkecuali bagi Sjahrir. Meskipun, banyak kritik dialamatkan kepadanya, yang dinilai sebagai sosok yang terlalu intelektualis, kebarat-baratan, dan bahkan sempat berada di kubu pemikiran anti-nasionalisme. Beberapa dari tuduhan tersebut dapat diklarifikasi, seperti dukungannya terhadap pemberontakan PRRI-Permesta, dan lainnya (seperti ketidaksepakatan dengan Soekarno mengenai konsep nasionalisme) dapat dikonfirmasi. Tetapi seperti apa pun kejadiannya, Sutan Sjahrir merupakan salah satu tokoh terpenting dalam tongkak sejarah kemerdekaan Indonesia.

Sekarang rakyat Indonesia membutuhkan kemerdekaan penuh dari penjajahan bentuk baru. Dalam perkembangan “imperialisme modern” yang lebih modern ini, dibutuhkan telaah dengan cakupan yang lebih luas, sesuai luasnya jangkauan masalah yang telah diciptakan oleh sistem ini, baik sektoral maupun teritorial. Masih belum cukup banyak rakyat yang mengetahui neoliberalisme dan dampak-dampaknya. Dan lebih tidak memadai uraian solusi, berupa taktik-taktik politik bagi massa rakyat menghadapi neoliberalisme yang hadir di berbagai lapangan kehidupan. Namun, di tengah kekurangan itu, usaha perlawanan telah terjadi, dan niscaya akan terus terjadi. Perjuangan kemerdekaan Indonesia telah melalui usaha yang berat, dan dengan dinamika yang hidup di tengah rakyat. Banyak bahan berharga dapat dipelajari dari sejarah ini. Karenanya, kajian-kajian yang sedang dan akan dilakukan mengenai gagasan di masa lalu maupun kontemporer, perlahan tapi pasti akan menjawab berbagai persoalan. Di sini, keterbukaan untuk menjalin persatuan nasional seluas-luasnya di atas kepentingan seluruh rakyat merupakan salah satu tawaran yang patut dipertimbangkan.

Saturday, April 9, 2011

Waktu di Sayap Malaikat

Asarpin
http://www.lampungpost.com/

Dari sekian banyak penyair yang menulis tentang waktu, hanya sedikit sajak yang sungguh-sungguh menghadirkan pergulatan tentang waktu.

KALAU Voltaire membayangkan waktu sebagai ukuran keabadian, sesuatu yang panjang, saya hendak menegaskan di sini: waktu dapat dijadikan bahan tes bagi autentisitas seseorang. Kalau dia penyair, keautentikan dirinya sebagai penyair akan terlihat ketika ia menggarap soal waktu. Autentik atau tidak puisi yang dihasilkannya, juga dapat dilihat dan dirasakan oleh pembaca ketika ia membicarakan soal waktu.
Salah satu penyair yang tak begitu dikenal, tapi telah menghasilkan buku kumpulan sajak yang unik dan bentuk yang menyempal, adalah Nurel Javissyarqi. Lewat analekta sajak bertajuk Kitab Para Malaikat (2007), Nurel menghadirkan tafsiran waktu dalam bingkai filsafat dan ajaran kebatinan Jawa yang tak mudah dicerna, tapi autentik dan kuat.

Dari segi bentuk, sajak-sajak Nurel cukup unik: setiap ujung larik sajaknya ditandai dengan huruf atau angka romawi. Tentu saja kita bisa berdebat tentang fungsi angka-angka romawi dalam baris larik sajaknya. Bisa jadi hal itu hanya sekadar tempelan, seni dekorasi tanpa punya maksud dan makna apa-apa. Atau bisa juga sebuah kelatahan, sekadar pemenuh garis kalimat, sebagaimana kita bisa juga memperdebatkan tanda baca yang tumpang tindih dan sepintas mubazir dan menyalahi aturan seperti yang dimaui para penggiat bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kalau saya boleh berbaik sangka, tentu saja semua itu dikerjakan dengan perhitungan yang mengandung misi tertentu. Angka-angka itu tak lagi sekadar kekenesan atau keisengan serta sekadar pemenuh garis kalimat. Bisa jadi hal itu justru menjadi penegas bahwa kitab puisi yang dihasilkannya tak lain adalah kitab waktu.

Secara tematik, selain persoalan waktu, Kitab Para Malaikat banyak menampilkan tema seputar eksistensi. Namun, tema saja tak cukup untuk menegaskan hakikat keindahan sebuah puisi. Kita mesti juga menggali bentuk dan wawasan estetik sang penyair lebih jauh. Dan sajak-sajak Nurel tampak memberikan kesan "menyempal" dilihat dari segi bentuk. Di dalamnya kita temukan campur-baur berbagai gaya dan bentuk dan pengucapan: ada aforisme, bentuk esai, bentuk cerita, sajak dengan kandungan doa dan mantra.

Karena telisik ini lebih memfokuskan pada penyelaman karakter tema, dengan fokus pada persoalan waktu, maka jadilah telisik ini amat sempit dan picik. Keputusan menjadikan waktu sebagai bahan "autopsi" di sini karena begitu bayak dijumpai isyarat tentang waktu. Ketika si aku sedang asyik melakukan tamasya bahasa ke berbagai cenayang dan lumbung, si aku merasakan kekaguman terhadap waktu. Ada waktu di mana ia mengagumi setiap mil yang pernah dijelajahinya, setiap makanan yang pernah dicicipinya, setiap pribadi yang pernah dikenal atau "ditidurinya".

Sebagai (salah satu) bahan tes bagi autentisitas, waktu karena itu bukan hal sepele dan main-main dalam sajak-sajak Nurel. Bahkan banyak sekali urusan di muka bumi yang terpaut dengan waktu muncul di situ. Banyak hal yang bahkan begitu tergantung dengan detik, menit, hari atau tahun. Kita bisa saja tak memahami ucapan seorang tokoh dalam sajaknya ketika menyebut "waktu di sayap malaikat", atau ketika ia menulis "waktu terselip di jemari, menyibak ilalang memeluk senjakala". Namun, karena kita merasakan penghayatan sang penyair

Terhadap waktu begitu intens dan syarat makna, maka layaklah kita memberi predikat autentik terhadap larik sajaknya tersebut.

Atau kita ambil contoh satu larik lagi, ketika Nurel bicara tentang perempuan dan waktu. Ia pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari. Apa yang dimaui sang penyair dengan larik semacam itu? Adakah ia hendak menegaskan bahwa kitab puisi yang dihasilkannya tak lain adalah kitab waktu? Lalu kalau memang begitu, apa masalahnya?

Waktu adalah takaran, timbangan. Sebuah tinanda sekaligus isyarat. Waktu dapat menjadi ukuran terhadap hal-ikhwal. Ia bisa dinyatakan lewat bilangan, lewat angka, atau waktu kuantitas. Tapi ada juga waktu kualitas yang tak terkait dengan angka atau bilangan. Waktu psikologis atau waktu eksistensialis, atau waktu filosofis, adalah penanda waktu di luar urusan kuantitas, tapi bisa terpaut dengan sifat atau karakter.

Waktu juga bisa bermakna penantian. Waktu dibayangkan sebagai seutas tali kebisuan, atau seutas waktu yang membisu. Wajah haru biru menerima pautan waktu, rintik menerobos gersang, tulis Nurel. Sesapu debu juga daun-daun bersegaran setelah muka kemarau memanggang, inilah hangat asmara mencerna ufuk timur raya(XIII:LXXXIV) /Anak-anak sungai menggelinjak ke bebatuan,/Terpotong tanggul kakikaki mungilmu (XIII:LXXXV)/ Selembut tanya harapan tersengal keputusasaan/Terlempar arus kesadaran berasal hempasan (XIII:LXXXVI). Dalam larik itu, ada pautan waktu, juga tentang harapan atau obsesi.

Ada hubungan antara kata dan waktu. Dan Nurel Javissyarqi tampak berusaha menggenapkan waktu dengan menghubungkannya dengan sejarah dan kata serta membayangkan waktu masih berupa potongan-potongan tahun cahaya. Di saat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?/mewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya,/siapa yang dahulu menempati lautan es cahaya?

Dimensi waktu ternyata jauh lebih relevan ketimbang dimensi ruang. Sebab, seperti kata seorang penyair lirik mengingatkan, puisi tak terikat oleh waktu, dan tidak dapat pula dibelenggu oleh waktu. Ia bisa melintasi waktu, melampaui dimensi waktu. Dan malaikat, kita tahu, bukan makhluk sejenis manusia yang kasat mata yang terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Kita juga tahu peran malaikat dalam penyebaran misi kemanusiaan dalam agama-agama dunia.

Malaikat adalah makhluk yang sejajar dengan setan atau iblis. Seandainya tak ada malaikat di surga, apa arti wahyu bagi manusia dan kemanusiaan. Seandainya tak ada iblis di surga yang menggoda Adam, maka kita tak akan mengenal kitab suci di dunia, dan mungkin juga dunia tak akan pernah dihuni makhluk bernama manusia.

Waktu, dengan kata lain, menjadi bagian tak tepisahkan dari manusia, alam, dan Tuhan. Hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi memiliki pemahaman tentang waktu. Nurel mencoba menafsirkan riwayat sang waktu dengan imaji seper sekian juta tetes cahaya kepak sayap malaikat. Di bagian akhir kitabnya ia mengutip satu pernyataan Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi dalam Daqooiqul Akbar.

Itulah kesaksian-kesaksian Nurel, atau goresan-goresan pengalaman kreatif yang melatari lahirnya antologi sajak yang penuh imaji kesufian yang liar ini. Ia tak puas jika tak menjelaskan apa dan bagaimana serta di mana sajak-sajak ini mengendap dan kemudian lahir sebagai sebuah kitab sajak yang jalin-menjalin antarberbagai tema dan pengalaman. Baik pengalaman luka maupun bahagia, baik pengalaman sakit maupun sehat, kekosongan maupun kepenuhan.

Asarpin, Pembaca sastra
Sumber: http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2011040922020927
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: April 2011 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates