Wednesday, March 30, 2011

Irshad Manji: Idola Kaum Liberal!

Adian Husaini
http://pemikiranislam.multiply.com/

assalaamu’alaikum wr. wb.

Sejumlah orang yang akan berdialog dengan kaum liberal saya beri saran agar jangan pakai dalil ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab, banyak kaum liberal yang sudah tidak percaya lagi pada keotentikan Al-Qur’an, sehingga tidak ada gunanya dalil Al-Qur’an untuk mereka. Memang ada diantara mereka yang masih percaya Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, tetapi banyak pula diantara mereka yang memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda.

Jika tafsirnya kita kritik, mereka pun tak segan-segan menyatakan, ”Itu kan penafsiran anda! Penafsiran saya tidak begitu!” Mereka banyak yang sudah berpandangan bahwa hanya Tuhan saja yang tahu penafsiran yang sebenarnya. Manusia boleh menafsirkan Al-Qur’an semaunya, dan semuanya tidak dapat disalahkan. Karena itu, ada yang menyatakan, bahwa perbedaan antara Islam dan Ahmadiyah, hanyalah soal perbedaan tafsir saja, karena itu jangan saling menyalahkan, karena semua penafsiran adalah relatif. Yang tahu kebenaran yang mutlak, hanya Allah saja.

Memang, soal utama antara Islam dan Ahmadiyah, adalah masalah tafsir. Tapi, ada tafsir yang salah dan ada tafsir yang benar. Semua manusia yang masih berakal (tidak gila), bisa saja menafsiran Al-Qur’an. Tapi, tidak semua tafsir itu benar, sebagaimana klaim kaum liberal. Ada tafsir yang salah. Misalnya, kalau ada yang menafsirkan ayat ”Wa-aqimish shalaata lidzikri”, bahwa tujuan salat adalah mengingat Allah. Maka, jika sudah ingat Allah, berarti tujuan sudah tercapai, dan tidak perlu salat lagi. Tafsir semacam ini tentu saja tafsir yang salah.

Contoh lain, dalam buku Eik Ghalthi ka Izalah (Memperbaiki Suatu Kesalahan) karya Mirza Ghulam Ahmad (terbitan Ahmadiyah Cabang Bandung tahun 1993), hal. 5, tertulis pengakuan Ghulam Ahmad yang mendapat wahyu berbunyi: ”Muhammadur Rasulullah wal-ladziina ma’ahu asyiddaa’u ’alal kuffaari ruhamaa’u baynahum.” Lalu, dia komentari ayat tersebut: ”Dalam wahyu ini Allah swt menyebutkan namaku ”Muhammad” dan ”Rasul”.”

Ayat tersebut jelas terdapat dalam Al-Qur’an (QS 48:29). Kaum Muslim yakin seyakin-yakinnya, bahwa ”Muhammadur Rasulullah” di situ menunjuk kepada Nabi Muhammad saw yang lahir di Mekah; bukan merujuk kepada Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India. Jika Ghulam Ahmad membuat tafsir bahwa dia adalah juga Muhammad sebagaimana ditunjuk dalam ayat tersebut, maka tafsir Ghulam Ahmad semacam itu jelas tafsir yang salah.

Akan tetapi, kaum liberal akan menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad juga berhak membuat tafsir sendiri, dan tidak boleh disalahkan atau disesatkan. Anehnya, kalau umat Islam punya pandangan dan sikap yang berbeda dengan kaum liberal, maka akan disalah-salahkan, dicap fundamentalis, radikal, tidak toleran, dan sebagainya. Jadi, kita dilarang menyalahkan yang salah, tetapi kaum liberal boleh menyalahkan pendapat yang tidak sesuai dengan mereka.

Sebagaimana pernah kita bahas dalam beberapa CAP, aksi kaum liberal dalam menyerang Al-Qur’an dari waktu ke waktu semakin brutal. Berlindung di balik wacana kebebasan, mereka tidak segan-segan lagi menyerang dan menistakan Al-Qur’an secara terbuka. Apa yang pernah terjadi di IAIN Surabaya tahun 2006, ketika seorang dosen menginjak-injak lafadz Allah yang ditulisnya sendiri, tampaknya hanyalah fenomena gunung es belaka. Sejumlah buku, jurnal, dan artikel terbitan kaum liberal di Indonesia sudah secara terbuka menyerang Al-Qur’an. Kita masih ingat, bagaimana jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang secara semena-mena menyerang Al-Qur’an, dengan menyatakan:

”Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”

Yang kita heran, orang-orang ini adalah bagian dari kalangan akademisi yang seharusnya menjunjung tinggi tradisi intelektual yang sehat. Tapi, faktanya, mereka sering mengungkapkan pendapat tanpa didukung oleh data-data yang memadai. Belakangan ini, kaum liberal di Indonesia sedang gandrung-gandrungnya pada seorang wanita lesbian bernama Irshad Manji. Kedatangannya di Indonesia pada bulan April 2008 disambut meriah. Dia dipuji-puji sebagai wanita Miuslimah yang hebat. Seorang wanita alumnus UIN Jakarta bernama Nong Darol Mahmada menulis sebuah artikel di Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Kata si Nong: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”

Hari Kamis (14/8/2008), saya diundang untuk menghadiri satu acara bedah buku tentang FPI di kantor Majalah Gatra. Tanpa saya tahu, penerbit buku tentang FPI tersebut (Nun Publisher) adalah juga penerbit buku Irshad Manji yang edisi Indonesianya diberi judul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Di sampul depan buku ini, Manji ditulis sebagai ”Satu dari Tiga Miuslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam.” Disebutlah buku ini sebagai ”International Best Seller, New York Times Bestseller, dan telah diterbitkan di 30 negara.” Pokoknya, membaca promosi di sampulnya, sepertinya, buku ini sangat hebat.

Tapi, sebenarnya, isinya kurang memenuhi standar ilmiah. Banyak celotehan Irshad Manji, ke sana kemari, hantam sana, hantam sini, tanpa ada rujukan yang bisa dilacak kebenarannya. Maka, saya heran, bagaimana kaum liberal sampai membangga-banggakan buku karya Irshad Manji ini? Seperti inikah sosok idola kaum liberal, sampai dijuluki ”lesbian mujtahidah”? Apa karena Manji sangat liberal dan secara terbuka menyatakan diri sebagai lesbi, maka sosok ini dijadikan idola?

Buku Manji ini menggugat sejumlah ajaran pokok dalam Islam, termasuk keimanan kepada keotentikan Al-Qur’an dan kema’shuman Nabi Muhammad saw. Manji secara terbuka menggugat ini. Ia katakan:

”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk Al-Qur’an. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof Muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan Al-Qur’an.” (hal. 96-97).

Cerita yang diungkap oleh Manji itu memang favorit kaum orientalis untuk menyerang Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. Cerita itu populer dikenal sebagai kisah gharanik. Riwayat cerita ini sangat lemah dan palsu. Haekal, dalam buku biografi Nabi Muhammad saw, menyebut cerita tersebut tidak punya dasar, dan merupakan bikinan satu kelompok yang melakukan tipu muslihat terhadap Islam. Karen Armstrong, dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet juga membahas masalah ini dalam satu bab khusus.

Kisah ”ayat-ayat setan” itu kemudian diangkat juga oleh Salman Rushdie menjadi judul novelnya: The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel yang terbit pertama tahun 1988 ini memang sangat biadab dalam menghina Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan istri-istri beliau. Menurut Armstrong, cerita dalam novel Salman Rushdi ini mengulang semua mitos Barat tentang Nabi Muhammad saw. sebagai sosok penipu, ambisius, yang menggunakan wahyu-wahyunya untuk mendapatkan sebanyak-banyak perempuan yang dia inginkan. Para sahabat nabi juga digambarkan dalam novel ini sebagai manusia-manusia tidak berguna dan tidak manusiawi. Tentu saja, judul Novel itu sendiri sudah bertendensi melecehkan Al-Qur’an.

Karen Armstrong mencatat: “It repeats all the old Western myths about the Prophet and makes him out to be an impostor, with purely political ambitions, a lecher who used his revelations as a lisence to take as many women as he wanted, and indicates that his first companions were worthless, inhuman people.”

Armstrong tidaklah keliru! Dan Umat Islam yang sangat menghormati Nabi Muhammad saw., tentu saja sangat tersinggung dengan penerbitan Novel Salman Rushdie yang sangat tidak beradab ini. Novel ini pun – dalam edisi bahasa Inggrisnya – sudah dijual di Jakarta. Rushdie diantaranya menggambarkan istri-istri Nabi Muhammad saw. sebagai penghuni rumah pelacuran bernama ”Hijab”. Rushdie juga menyebut Nabi Muhammad – yang dinamainya ”Mahound” – sebagai “the most pragmatic of prophets.”

Penulis novel yang menghina Nabi Muhammad saw. seperti Salman Rushdie inilah yang dijadikan rujukan oleh Irshad Manji dalam memunculkan isu tentang “ayat-ayat setan”. Memang, dalam bukunya ini pun Manji mengungkapkan, bahwa Salman Rushdie-lah yang mendorongnya untuk menulis buku ini. Manji menceritakan hal ini:

“Apa yang dikatakan Salman Rushdie padaku ketika aku mulai menulis buku ini teringat lagi saat aku berefleksi terhadap hidupku sejak penerbitan buku ini. Aku ingat ketika bertanya kepadanya kenapa dia memberikan semangat kepada seorang Muslim muda sepertiku, untuk menulis sesuatu yang bisa mengundang malapetaka ke dalam kehidupannya, seperti yang telah menimpa dirinya. Tanpa ragu sedikit pun, dia menjawab, “Karena sebuah buku lebih penting ketimbang hidup.” (hal. 322).

Dalam bukunya ini pun Irshad Manji menjadikan pendapat Christoph Luxenberg sebagai rujukan untuk menyatakan bahwa selama ini umat Islam salah memahami Al-Qur’an, yang seharusnya dipahami dalam bahasa Syriac. Tentang surga, dengan nada sinis ia menyatakan, bahwa ada human error yang masuk ke dalam Al-Qur’an. Menurut riset yang baru, tulis Manji, yang diperoleh para martir atas pengorbanan mereka adalah kismis, dan bukan perawan. “Nah, bagaimana bisa Al-Qur’an begitu tidak akurat?” tulisnya.

Pendapat Luxenberg bahwa bahasa Al-Qur’an harus dipahami dalam bahasa Aramaik ditulisnya dalam buku “Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache”. Pendapat ini pun sangat lemah dan sudah banyak artikel ilmiah yang menanggapinya. Dr. Syamsuddin Arif telah mengupas masalah ini secara tajam dalam bukunya, Orientalis dan Diabolisme Intelektual.

Menurut Syamsuddin, Professor Hans Daiber, misalnya, memberikan seminar terbuka tentang karya polemis itu selama satu semester penuh di departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, dimana ia ungkapkan sejumlah kelemahan-kelemahan buku itu secara metodologi dan filologi. Salah satu kelemahan Luxenberg, misalnya, untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1.900!

Namun, meskipun sudah dijelaskan secara ilmiah, orang-orang yang memang berniat jahat terhadap Islam, tetap tidak mau tahu dan mendengar semua argumentasi ilmiah tersebut. Irshad Manji, dalam bukunya ini, malah menyandarkan keraguannya terhadap Al-Qur’an pada pendapat Luxenberg (seorang pendeta Kristen asal Lebanon yang menyembunyikan nama aslinya). Kata Manji:

”Jika Al-Qur’an dipengaruhi budaya Yahudi-Kristen – yang sejalan dengan klaim bahwa Al-Qur’an meneruskan wahyu-wahyu sebelumnya – maka bahasa Aramaik mungkin telah diterjemahkan oleh manusia ke dalam bahasa Arab. Atau, salah diterjemahkan dalam kasus hur, dan tak ada yang tahu berapa banyak lagi kata yang diterjemahkan secara kurang tepat. Bagaimana jika semua ayat salah dipahami?” (hal. 96).

Tampaknya, penerbit buku Irshad Manji dan kaum liberal di Indonesia pun sudah tidak peduli dengan perasaan umat Islam dan kehormatan Nabi Muhammad saw. Mereka begitu mudahnya menokohkan wanita lesbian seperti Irshad Manji, yang dengan entengnya melecehkan Nabi Muhammad saw. dan Al-Qur’an. Mereka mungkin sudah tahu bahwa umat Islam akan marah jika Nabi Muhammad saw. dihina. Mereka akan senang melihat umat Islam bangkit rasa marahnya. Jika umat Islam marah, mereka akan tertawa sambil menuding, bahwa umat Islam belum dewasa; umat Islam emosional, dan sebagainya!

Kasus Irshad Manji ini semakin memahamkan kita siapa sebenarnya kaum liberal dan apa maunya mereka. Kita kasihan sekali pada manusia-manusia seperti ini. Apa mereka tidak khawatir, jika anak-anak mereka nanti ditanya oleh gurunya, siapa wanita idola mereka? Maka anak-anak mereka tidak menjawab lagi, ”Idola kami adalah Khadijah, Aisyah, Kartini, Cut Nya Dien, dan sebagainya” tetapi akan menjawab: ”Idola kami Irsyad Manji, sang Miuslimah Lesbian teman baik Salman Rushdie sang penghujat Nabi.” Na’udzubillahi min dzalika.

wassalaamu’alaikum wr. wb.
Sumber: http://pemikiranislam.multiply.com/journal/item/38/Irshad_Manji_Idola_Kaum_Liberal_

Tuesday, March 29, 2011

Naskah Teater Anak: Mata Kucing

Mata Kucing
Karya: Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Sinopsis
Adalah tentang permainan tardisi yang sering kali dimainkan anak-anak di pelataran pada malam bulan purnama. Awalnya mereka bermain dengan suka ria, namun kemudian salah satu dari mereka ada yang tidak sportif dalam permainan. Sasa lebih memilih tidur daripada mencari teman-temanya yang sedang bersembunyi ketika bermain petak umpet.

Mega, anak perempuan yang paling besar kemudian marah-marah dan mengajak meninggalkan Sasa yang tidur sendirian di pelataran.

Sasa mengigau, dan teman-temanya menganggap ia kesurupan karena ketakutan. Kemudian Uzan, dan Rio menyalahkan Mega. Uzan dan Rio tidak mau bertanggungjawab pada apa yang sedang terjadi pada Sasa. Mereka pun mulai bertengkar saling menyalahkan, lempar batu sembunyi tangan.

Sedang Kiki anak terkecil lebih suka bermain dari pada mempedulikan pertengkaran teman-temanya.

Setting:
Di pelataran rumah kampung pada malam bulan purnama

Tokoh:
1. Mega, anak perempuan yang paling besar. Sedikit terlihat jiwa kepemimpinannya. Pemikiranya agak mulai dewasa.
2. Sasa, anak perempuan yang suka membuat masalah. Seringkali tidak mau sportif dalam permainan.
3. Uzan, anak laki-laki yang sifatnya kadang egois. Ia tidak mau dipersalahkan.
4. Rio, anak laki-laki yang tidak punya pendirian. Selalu ikut apa kata Uzan.
5. Kiki, anak perempuan terkecil yang masih lugu.
***

Anak-anak bermain di pelataran. Mereka bermain “Pung-Pung Balung” kemudian menyusun semua telapak tangan. Masing-masing menggengem tiap jari jempol milik temannya dengan bernyanyi “Pung-Pung Balung”

pung pung balung
bumi merak bumi mancung
mekaro ndok sepiti pyar

Telapak tangan yang paling bawah terbuka di setiap akhir nyanyian. Kemudian mereka melanjutkan nyanyiannya dengan nyanyian “Yek Uyek Ranti”, sambil mengunyek punggung tangan, mereka bernyanyi

Yek-uyek ranti
Ono bebek pinggir kali
Nothol pari sak uli
Ditangisi mrebes mili
Serontang seranting
Ono bajing nyolong gunting
Guntinge mbok petoro
Uleno nang ngabean
Golekno payung abang
Abang-bang seronce
Sedelek ceplis

Pada setiap akhir lagu, salah satu anak mengangkat setiap telapak tangan ke kepala pemiliknya. Dan pada akhirnya masing-masing mengangkat kedua tangan, seakan memanggul keranjang di atas kepala. Salah satu diantara mereka kemudian menanyakan isi keranjang tersebut.

1. Mega: Kalian semua sedang membawa apa?
2. Anak-Anak: Membawa keranjang berisi hewan
3. Mega: Coba turunkan, saya ingin tahu

Anak-anak menurunkan isi keranjang sambil bersuara seakan suara hewan yang ada dalam keranjang. Lalu mereka memainkan menjadi hewan. Kemudian mereka adu kekuatan dengan suara-suara.

4. Uzan : (bersuara menjadi kambing)
5. Kiki : (bersuara menjadi burung)
6. Sasa : (bersuara menjadi kucing)
7. Rio : (bersuara menjadi ayam)
8. Mega : (bersuara menjadi tikus)

Suara hewan-hewan bersahutan seakan di margasatwa. Suaranya menjadi nyanyian. Kadang-kadang merdu. Kadang-kadang menakutkan.

“embek-embek cicit-cuit cicit-cuit meong-meong pethok-pethok cit-cit uwiing”

9. Uzan: Aku berbadan besar. Akulah kambing, merumput pada pematang sawah

10. Kiki : Aku si kecil tapi cantik. Aku terbang, dan hinggap pada pepohonan

11. Sasa : Akulah si manis. namun bertaring. Aku suka makan daging

12. Rio : Akulah si ayam. Suka memakan biji-bijian
13. Mega : Aku si tikus. tapi aku adalah si tikus putih yang cantik dan tidak menjijikkan
14. Heni : Akulah si nyamuk, centil, dan suka menggigit mereka yang malas bersih-bersih
Mereka berlari sambil meneriakkan tentang binatang yang dianggap mengganggu hidupnya.
Burung hinggap dan mematuk-matuk tubuh kambing

15. Fauzan : Aduh, tubuhku sakit. Tubuhku dipathok burung
Tikus mengejar burung

16. Kiki : Takut, aku dikejar-kejar tikus
Kambing menyeruduk kucing

17. Sasa : Waduh bahaya, ada si kambing bertanduk. Ia suka Menyeruduk
Tikus merebut makanan ayam

18. Rio : Dasar si tikus. Selalu saja menggangguku. Ia merebut Makananku
Nyamuk merasa aman. Ia leluasa terbang kesana-kemari

19. Heni : Uwiing, nyamuk tidak takut apapun, karena hidupnya nyamuk pada malam gelap-gulita, nyamuk juga tidak takut pada hantu, uwiiing…

Anak-anak berlarian, mereka seakan dikejar puluhan nyamuk

20. Anak-anak : (bernyanyi)

Banyak nyamuk digigit sakit
Aduh aduh, nyamuknya nakal

Anak-anak berlarian sambil mengibas tangannya, mereka terus bernyanyi sambil melakukan gerakan tari. Lama-lama mereka kelihatan lelah. Pelan-pelan tertidur.

21. Heni : Wah, mereka kok tidur semua ya, kalau begitu nyamuk juga mau tidur. Nyamuknya ngantuk. Nyamuknya tidur, uwiiiing…

Semua tertidur pulas, dengkuran mereka bersahut-sahutan.
Tak lama kemudian Sasa yang memerankan sebagai kucing bangun. Bergerak mengaum.

22. Sasa : Meong, meooong…..

Mega yang menjadi tikus itu bangun dengan ketakutan. Layaknya seekor tikus yang mau diterkam oleh seekor kucing

23. Mega : Mata kucing, mata kucing itu seakan mau menerkamku.

Satu persatu anak-anak terjaga dari tidurnya dengan rasa takut. Pelan-pelan mereka berkumpul bergerak menjauhi si kucing. Mereka bergerak dengan nyanyian.

“mata kucing, mata kucing, seakan menerkamku”

24. Mega : Ayo kita bersembunyi!
25. Anak-anak : Ayo….

Sambil menyuarakan suara binatang, anak-anak bersembunyi, sedang Sasa harus menutup matannya sambil bernyanyi meminta bantuan setan gundul untuk menemukan persembunyian teman-temannya.

26. Sasa : (bernyanyi)

Setan gundul temokno koncoku,
Sing gak koen temokno tak uyoi ndasmu

27. Kiki : Belum (belum menemukan tempat persembunyian)
28. Rio : Aku juga belum, aku masih mencari tempat persembunyian

29. Mega : Cuit
30. Uzan : Cuit

Sasa terus bernyanyi sedang teman-teman lain bercicit-cuit, seperti memainkan musik iringi nyanyian Sasa.

Anak-anak yang bersembunyi terus bercicit-cuit untuk mengeco Sasa. Sedang Sasa bergerak kebingungan sampai ia ketiduran. Suara cicit-cuit terus mencericit. Lama kemudian Sasa berhenti mencari dan kembali tidur.

31. Mega : Sssst, sepertinya ada yang tidak beres.
32. Uzan : Kenapa Mega?
33. Mega : Coba kamu lihat Sasa, si anak kentongan itu. Dia pura-pura tidur, dia tidak mau mencari kita.

34. Kiki : Hi Sasa, tidak boleh nakalan begitu!
35. Rio : Iya, tidak boleh cepat menyerah. kalau nakalan seperti itu permaianan kita tidak seru.

36. Mega : Aku punya ide.
37. Heni : Ide apa itu?
38. Mega : Anak yang nakal, yang tidak sportif dalam permainan kita nakali juga.

39. Uzan : Maksud Mega?
40. Mega : Kita tinggal saja dia, biar dia tidur di sini sendirian, biar digondol setan gundul.

41. Rio : Ya, aku setuju.

Anak-anak mulai meninggalkan arena permainan dengan melantunkan tembang dolanannya.

Setan gundul gondolen Sasa
Setan gundul gondolen Sasa

42. Uzan : Stop, sepertinya kali ini Sasa tidak pura-pura tidur. ia benar-benar tertidur.

43. Kiki : Ya, Sasa kan biasanya penakut. Tapi hari ini dia tidak takut.

44. Rio : Pasti dia tidur sungguhan. Andaikata ia tidur-tiduran, ia pasti bangun dan mengejar kita. Ia pasti takut sendirian.

45. Kiki : Kita klitiki aja dia, pasti ketahuan, apakah dia benar-benar tidur Atau pura-pura!

Mereka berempat jalan mengendap-endap sambil membawa setangkai sapu lidi. Mereka gunakan untuk mengkelitiki telingah Sasa. Sasa terbangun, tapi ia seperti orang yang sedang ngigau. Ia duduk, berdiri dan berjalan sambil mulutnya nggedumbel.

Setan gundul, temokno koncoku
Sing gak koen temokno tak uyoi ndasmu.

Sasa terus berjalan dengan mengucapkan beberapa kalimat setan gundul tersebut.

46. Rio : Wah bahaya, dia kerasukan setan
47. Mega : Maksud kamu keserupan?
48. Kiki : (Menangis karena ketakutan) Sasa kesurupan ya? Mae, mae, aku takut…

Sasa kemudian kembali lagi ke tempat semula dan terus bergumam memanggil-manggil setan gundul.

49. Uzan : Mega, bagaimana ini semua tejadi? Ini semua gara-gara kamu.

50. Rio : Ya, ini gara-gara kamu. Sasa kesurupan dan kiki menangis ketakutan

51. Mega : Apa, gara-gara aku. ini salah Sasa sendiri. Enak-enak main kok dia malah tidur.

52. Uzan : Tapi kenapa kamu ajak kita untuk meninggalkan dia tidur sendiri di sini?

53. Mega : Biar dia kapok. Lagian dia gak sportif. Waktunya jadi dia malah tiduran. Tidak mau mencari. Apa kemudian kita biarkan saja dia, sambil kita menunggu digigiti nyamuk.

54. Rio : Pokoknya, kamu harus bertanggungjawab. Kalau ayahnya marah, aku tidak ikut-ikut

55. Uzan : Ya, kamu sendiri yang salah. Bukan kita.
56. Mega : Hai, kalian nyrocos saja, chicken you are! Pengecut kau!

Mereka terus berdebat. Sedang Kiki terus menangis dan Sasa sudah tidak ngomel lagi. Ia kembali tidur sambil mendengkur.

Uzan dan Rio terus tidak mau kalah. Ia terus menyalahkan Mega. Mereka mengolok-olok mega dengan nyanyian.

57. Uzan dan Rio : (bernyanyi) Pokoknya dia yang buat ula, kita tak tahu apa
58. Mega : (bernyanyi) Hai, hai hai hai…
59. Uzan dan Rio : (bernyanyi) Pokonya dia yang buat ula, kita tak tahu apa
60. Mega : (bernyanyi) Hai, chicken chicken you are, Pengecut kau!

Don”t be chicken, jangan jadi pengecut kau!

61. Uzan dan Rio : (bernyanyi) Pokonya dia yang buat ula, kita tak tahu apa”
62. Mega : Stop

Dengan terlihat marah, mega membentak mereka. Spontan nyanyiannya berhenti

63. Mega : Teman, jangan lempar batu sembunyi tangan, ini masalah kita bersama, seharusnya kita hadapi dengan kesatria.
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

64. Uzan : Ayahnya datang!

Mereka berlarian mengisis ruang kosong dan saling bertabrakan. Mereka mengadu kesakitan

65. Mega : Rasakan kalian pengecut. Itu adalah batunya orang yang lempar sembunyi tangan.
Sasa tiba-tiba terbangun dan menceritakan mimpinya.

66. Sasa : Aku tadi tidur ya? Aku bermimpi bertemu dengan setan gundul. Setan gundul itu lucu sekali. (mengamati temannya yang kesakitan) Kenapa kalian mengerang kesakitan? Jatuh karena lari ya. Kenapa, takut sama setan gundul. Setan gundul alias tuyul itu imut, lucu.

67. Uzan : Hai, kucing, ini semua gara-gara kamu. Kamu merasa bersalah tidak ?

68. Sasa : Apa salah saya?
69. Rio : Hai, kamu tadi tidur apa kesurupan?
70. Sasa : Yang jalas aku bermimpi bertemu dengan setan gundul yang imut.

71. Uzan : Kamu sekarang sudah sadar belum? Jangan-jangan masih mengigau

72. Mega : Ayo kita jiwiti dia
Mereka bersama-sama menjiwit Sasa. Sasa mengerang kesakitan

73. Mega : Ternyata dia sudah sadar. Tidak ngigau lagi
74. Rio : Jangan-jangan dia masih kesurupan

Tiba-tiba Sasa menangis karena kesakitan

75. Kiki : Hayo hayo si Sasa menangis

Sasa mengerang menangis kesakitan. Mereka berdebat saling menyalahkan lagi.

76. Uzan dan Rio : Aduh, Mega lagi Mega lagi
77. Rio : Mega, kenapa kau selalu membuat ulah.
78. Uzan : Ya, tangan kamu banyak setannya. Selalu membuat masalah.

79. Mega : Hai, dasar kalian otak keyong, kenapa kalian selalu menyalahkan aku?

80. Rio : Siapa lagi kalau bukan kamu
81. Mega : Apa yang mencubit sasa tadi tangan saya sendiri?
82. Ucan : Tapi, kamu yang mengajak kan?
83. Mega : Dan kalian ikut kan?

Mereka kaembali berdebat sambil bernyanyi

84. Uzan dan Rio : (bernyanyi) Pokoknya dia yang buat ula, kita tak tahu apa
85. Mega : (bernyanyi) Hai, hai hai hai……
86. Uzan dan Rio : (bernyanyi) Pokonya dia yang buat ula, kita tak tahu apa
87. Mega : (bernyanyi) Hai, chicken chicken you are, Pengecut kau

Don”t be chicken, jangan pengecut kau

88. Uzan dan Rio : (bernyanyi) Pokonya dia yang buat ula, kita tak tahu apa
89. Mega : Stop, berhentiii! Aku muak dengan kepengecutan kalian!
90. Kiki : (berdiri) Kenapa orang besar sukanya bertengkar. Selalu

saja beranggapan dia yang paling benar. Kapan waktunya untuk bermain, bersendah-gurau

91. Uzan : Kiki, diam sebentar!
92. Kiki : Aku tidak suka pertengkaran
93. Uzan : Hai hai hai, sekali lagi diam!
94. Kiki : Apa semua masalah harus diselesaikan dengan pertengkaran?
95. Rio : Kiki, diam, jangan banyak bicara!
96. Mega : Hai teman, dia punya hak untuk bicara
97. Uzan : Tapi dia masih kecil
98. Mega : Apa kalian sudah besar?
99. Rio : Tapi paling tidak kita lebih besar darinya.
100. Mega : Tetapi bisa jadi dia lebih pantas bicara dari pada kalian.

Kiki bergerak menjauh dari perdebatan. Ia mencari tempat untuk menyendiri. Dan bernyanyi sendiri.

101. Kiki : (bernyanyi)
pung pung balung
bumi merak bumi mancung
mekaro ndok sepiti pyar

Sasa kemudian datang menghampirinya.

102. Sasa : Kiki, kenapa kamu bermain sendirian?
103. Kiki : Aku tidak suka pertengkaran
104. Sasa : Oh, jadi kamu bermain sendiri, karena yang lain pada suka
bertengkar. Kenapa mereka bertengkar?
105. Kiki : Ini gara-gara kamu.
106. Sasa : Ha, gara-gara aku, apa ya salah aku?(bingung) mereka
bertengkar gara-gara aku. Kiki, aku jadi bingung. Kiki,
apa salah aku?
107. Kiki : Cari sendiri!
108. Sasa : Ayo dong kiki, apa salah aku?
109. Kiki : Orang baik itu tahu kesalahan dan kekurangannya sendiri.
Lalu ia berusaha memperbaikinya.

Bertemu kembali dan meneruskan perdebatan

110. Mega : Sekarang ayo kita akhiri perdebatan kita.
111. Uzan : Tidak mau sebelum kamu mengaku bersalah
112. Mega : Apa, aku yang salah. Justru kalian yang bersalah
113. Rio : Hai hai hai… yang tadi mengajak untuk meninggalkan
Sasa itu siapa?
114. Mega : Kalian juga mendukung kan?
115. Uzan : Yang tadi mengajak untuk menjiwit Sasa siapa?
116. Mega : Kalian juga mendukung kan, ayo, masih menyalahkan
orang lain, masih tidak merasa bersalah, tetap lempar batu
sembunyi tangan!?
Mereka terus berdebat. Saling menyalahkan dan tidak mau saling mengakui kesalahannya.

117. Sasa : Oh oh oh… sekarang aku tahu kesalahanku. Ini semua gara-gara aku. aku tidak sportif dalam permainan. Satu keselahan kecil, akan menciptakan kesalahan-kesalahan yang lebih besar. Aku baru sadar, perbuatan yang tidak baik itu pasti membuat orang lain menjadi menderita.

Sasa kemudian berlarian meminta maaf pada teman-temannya.

118. Sasa : Minta maaf, minta maaf, minta maaf ya, aku minta
maaf….
119. Uzan : Hai diam. Kenapa kau berteriak-teriak?
120. Sasa : Minta maaf!
121. Rio : Kenapa meminta maaf?
122. Sasa : Aku bersalah
123. Uzan : Lihat Mega, Sasa saja mau minta maaf, lalu kamu
bagaimana? Kamu mau meminta maaf tidak?
124. Mega : Kamu sendiri bagaimana?
125. Uzan : Aku tidak bersalah, kenapa harus minta maaf
126. Rio : Ya, kita tidak bersalah, kita tidak perlu minta maaf
127. Mega : Dasar kepala batu, maunya yang paling benar.
128. Sasa : Orang-orang yang merasa dirinya sudah besar, mereka
selalu dirinya yang paling benar, padahal padahal mereka
adalah…… (berlari menggandeng tangan Kiki) Kiki Kiki
ayo kita bermain…

Sasa dan Kiki kembali bermain pung-pung balung. Sedang yang lain masih bertengkar, tidak mau damai. Kiki dan Sasa terus asyik bernyanyi. Mereka melanjutkan dengan nyanyian yek-uyrk ranti. Bergerak megal-megol seperti bebek.

TAMAT
Lamongan, Januari 2008
Sumber: http://sangbala01.blogspot.com/2010/11/naskah-teater-anak-mata-kucing_28.html

Kabar di Hari Minggu

Denny Mizhar
http://sastra-indonesia.com/

Hari minggu kali ini, menjadi hari yang tidak biasa bagi keluarga Arman. Kalau hari minggu biasanya mereka sekeluarga nyantai di rumah sambil nonton tv bersama-sama. Sulastri sebagai istri bekerja sebagai guru SD swasta di desa tempatnya tinggal juga libur. Dengan hari minggu mereka bisa berkumpul. Arman sebagai suami juga menghentikan semua pekerjaanya di sawah yang dipunya, walau cuma sepetak. Minggu yang tidak biasa, karena mereka di kagetkan surat yang datang dari anaknya. Surat tersebut dibawa oleh seorang laki-laki berbadan tinggi dan tegar. Tak sempat mengenalkan namanya. Ia bercerita. Sebelum bercerita tentang anak mereka, laki-laki itu membuka tasnya dan memberikan surat dari anak mereka.

Laras anak pertamanya, sejak lima tahun lalu tak pernah pulang. Ia pergi meninggalkan keluarganya. Waktu itu Lastri belum menjadi guru di SD yang terletak di kampungnya. Kepergian Laras memang berat buat keluarga yang ditinggalkannya. Laras punya adik dua, satu masih umur 4 tahun waktu itu, sedang adik ke duanya duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Kepergian laras adalah keterpaksaan yang harus dilakukannya karena ia beranggapan anak pertama punya tangung jawab pada keluarga. Keluarga pun harus merelakan demi hidup keluarganya. Pada masa-masa menjelang kepergian Laras, sawah yang dimiliki Arman terserang hama. Kenekatan Laras adalah jalan satu-satunya.

Lewat agen yang ada di kota dengan jarak tempuh kira-kira satu jam. Laras harus mengikuti pelatihan dahulu. Pelatihan ketrampilan bekerja: merawat anak, memasak, dan segala yang berkait dengan pekerjaannya. Laras dengan cepat bisa menguasai. Laras bisa pergi, karena agen yang mengurus segala administrasi buatnya segera membrangkatkan. Keinginan Laras bekerja dengan gaji yang banyak adalah harapannya. Laras pun pergi dengan pesawat dari agen tempatnya mendaftar menjadi pekerja. Sampai di tempat kerjanya, Laras dikenalkan dengan majikan yang telah memesan lewat agennya. Laras senang. Laras memang memiliki kebiasaan yang grapyak sama orang yang baru dia kenal. Begitu pula majikan yang baru dikenalnya. Majikannya punya seorang bayi sama persis seperti adiknya umur dari anak majikan barunya. Gaji Rp. 125.00 perhari, tapi gaji tersebut harus dipotong oleh agen yang memberikan pelatihan, menguruskan administrasinya hingga dia dapat bertemu dengan majikannya. Awal yang indah hingga tiga bulan berlangsung. Laras dapat mengirimkan uang gajinya pada ibunya ketika bulan pertama hingga ke tiga dilaluinya. Bulan-bulan selanjutnya, tak ada kabar lagi mengenai Laras. Sempat Arman menanyakan pada agen yang memberikan pelatihan dan mengurus administrasinya. Pengurus agen tersebut tak menjawab, bahkan tak tahu menahu. Saat itu satu tahun kepergian Laras. Agen tersebut mengatakan bahwa Laras sudah putus hubungan kemitraan sejak enam bulan yang lalu. Arman tak bisa berbuat sesuatu, harus meminta bantuan siapa dan di mana.

***

Anak muda yang tak sempat mengenalkan nama bercerita tentang Laras. Minggu menjadi duka bagi keluarga Arman dan Lastri. Berkali-kali mengucapkan penyesalan kenapa harus mengijinkan Laras pergi waktu itu. Di kampungnya baru pertama kali ada yang berangkat ke Malaysia, yakni Laras. Baru bulan ketiga laras di Malaysia banyak yang berangkat dari mulai anak-anak muda hingga orang-orang tua yang rela meninggalkan anak dan istrinya. Hal tersebut dilakukan karena melihat keberhasilan Laras mengirim uang pada keluarganya. Hampir sama yang dialami oleh tetangga Laras yang berangkat ke Malaysia. Datang-datang ada yang tak mebawa uang malahan membawa istri muda, begitupun anak-anak muda kampungnya Laras, ada yang berhasil dan kabar terus mengalir ke kampung. Ada juga yang bernasib sama seperti Laras, hanya sebulan, dua bulan memberi kabar lalu tak ada kabar.

Kesedian yang dirasakan oleh Arman berbuah senang walapun harus mengeluarkan air mata. Laras masih hidup.

“Lalu, laras sekarang di mana?”

“Ibu coba baca surat yang dari tadi Ibu pegang”

“Apa kabar Emak, Bapak, dan adek-adek. Laras harap sehat-sehat saja. Juga laras sekarang sehat. Ma’afkan Laras, tidak pernah memberi kabar. Laras sekarang sedang bekerja sebentar untuk cari uang buat pulang. Ma’af mak, nanti kalau Laras pulang tak membawa apa-apa. Hanya sesuatu yang berharga buat Laras. Semoga Mak juga senang. Bila ingin tahu kondisi Laras secara detail. Tanyalah pada yang membawa surat ini. Tahun depan mungkin Laras pulang. Sudah ya Emak, Bapak dan adik-adik. Laras mau bekerja dahulu. Bekerja seadanya untuk mencari uang saku. Semoga Tuhan masih mempertemukan kita.”

Singkat sekali surat yang ditulis Laras. Hingga keluarganya masih menyimpan tanya.

“Dik, ceritakan. Ada apa dengan Laras”

“Bu Lastri dan Pak Arman, harus tabah. Sejak empat bulan awal, Laras sudah tidak bisa berkirim surat dan mengirim uang lagi. Laras tidak digaji. Laras diawasi oleh majikannya. Jangn kaget ya, Bu. Laras diperkosa oleh anak majikannya. Lalu laras melambaikan tangan dari cendela. Jika ada isyarat begitu, maka itu adalah seseorang minta bantuan. Lalu kami mencari akal, bagaimana menyelamatkan Laras. Sebelum itu, Laras menjatuhkan kertas ke bawah lewat cenjela yang terbuka. Dari situ kami tahu, ada saudara sebangsa minta tolong. Kami masih berunding dengan teman-teman. Tapi ketika akan melaksanakan rencana kami. Laras sudah di bawa oleh polisi Malaysia. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mau melapor juga sudah jerah. Tak pernah mendapat perhatian dari petugas negara kita yang ada di sana”

Tangis Lastri semakin menjadi-jadi, Arman menenangkan bersama adik-adik Laras.

“Lalu, apa yang kalian lakukan”

“Kami tak berani mengunjungi Laras di penjarah. Kami juga takut sebab paspor kami mati. Kalau paspor mati, kami juga bisa masuk penjara”

“Apa, Adik, dan teman-teman adik tak mengurusnya”

“Kami sempat hendak mengurusnya. Ketika itu KBRI yang ada di Malaysia berjubel orang-orang sebangsa mengurus administrasi di sana. Tapi perlakuan petugas KBRI pada kami tidak membuat kami senang. Terutama saya. Bahkan saya hampir saja berkelahi karena harus menangkis pukulan tongkat yang hendak dijatuhkan di kepala saya. Hambir semua kena pukul. Karena saya merasa manusia yang harus diperlakukan layaknya manusia dan kecewa dengan perlakuan petugas KBRI yang ada di Malaysia. Saya pun balik tak mengurus paspor saya. Keberadaan saya pun ilegal. Saya merasa tidak aman diterotorial harusnya melindungi kami tapi malahan membuat kami menderita”

“Oh, ya dik. Saya lupa menanyakan nama njenengan”

“Nama saya Ahmad Pak. Tolong Pak, beritahukan pada tetangga bapak. Lebih baik bekerja di kampung sebagai petani dari pada harus pergi ke negeri orang yang tidak aman buat keselamatan. Tapi kalaupun harus bekerja di Malaysia lebih baik diperjelas agen yang akan membawanya. Kerja yang lumayan aman adalah bekerja di pabrik yang ada di sana. Keterjaminan tersebut karena ada undang-undang yang mengaturnya. Tapi lebih baik tidak Pak”

Pak Arman dan Bu Lastri senang tetapi juga resah. Apa yang dibawa anaknya. Kenapa harus terjadi begitu.

***

Minggu di tiga bulan sesudah Ahmad ke rumah mereka. Seorang anak kecil mengetuk pintu rumah mereka. Semua yang ada di dalam terheran. Siapa anak itu. Mereka bertanya-tanya. Dari belakang Laras dengan mententeng tas. Seketika air matanya keluar.Bedungan ketabahannya tak menahan. Mereka saling rangkul dan peluk.

“Itu yang Laras bilang di surat, Mak. Laras hanya bisa membawa itu. Mak dan Bapak pasti sudah dapat cerita dari Ahmad. Mak, ma’afkan Laras Mak. Laras tidak bisa berbuat sesuatu. Laras sedang berfikir. Bagaimana Fatoni kalau sudah besar nanti menanyakan bapaknya. Laras tidak tahu Mak”

Sulastri mengusap air matanya.

“Sudalah, nduk. Sekarang kamu istirahat dulu. Tenangkan dirimu. Ketika kondisi sudah membaik. Kita fikirkan nasib Fatoni. Emak dan Bapak telah menerima kamu dengan segala hal yang terjadi. Terpenting bagi Emak adalah kamu selamat”.

Fatoni berlarian di halaman rumah. Laras duduk menunguinya. Sambil menerawang matanya. Membayangkan nasib Fatoni di masa akan datang.

Lamongan-Malang, November-Desember 2010
(Terinspirasi dari cerita teman, mantan TKI di Malaysia)

Zadig, suratan takdir Voltaire (1694-1778) menjajal Leibniz (1646–1716)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Pengarang ini mungkin awalkali pembentuk alam cerita di kepalaku. Sastrawan produktif berkualitas filosof atas pilihan kata tepat di antara rerongga ruang-waktu takdir telah ditentukan, dalam setiap karyanya.

Tulisan ini, bentuk kegembiraan setelah berpisah sepuluh tahun lebih dengan bukunya “Zadig ou la Destinée.” Diterjemahkan dipengantari Ida Sundari Husen, terbitan Pustaka Jaya, cetakan pertama 1989 bertitel “Suratan Takdir.”

Mulanya kuperoleh di toko buku loakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), tetapi lenyap saat ngontrak di daerah Gedong Kuning Jogjakarta 2001. Kini kubaca ulang, selepas mendapatkan dari kritikus Maman S. Mahayana. Di sini kuucapkan terimakasih, pula pada buku-buku Voltaire yang lain atasnya.

Nama aslinya François-Marie Arouet. Adalah dunia bawah sadar, di tengah pula di atas, ia bangun hikayat Zadig berkesungguhan filsuf, tak lupa menghibur jejiwa haus hikmah. Telusurannya menembusi segala sekat hampir menaburkan seluruh ladang penalaran pembaca, tanpa menunjukkan sikap menggurui, kecuali mengolok-olok pribadi timpang dalam hayat.

Bangunan tokoh Zadig menempatkan pemikir asal Prancis itu sampai akhir jaman, dongengan dibalut atmosfir meyakinkan, antropologi, sosiologi, sejarah pun hayalan melambung perasaan. Selidiknya tak kurang sastrawan mempuni, unggul serayuan hisap seluruh sendi hayati, dijadikan bulir-bulir bermakna mahkota ilmu, demi sosok para pencari tak kenyang satu pengertian.

Sederhana bertutur kalimah, arif menyelesaikan soal, bentuk tidak terkira atas jangkauan harap ke masa depan kemanusiaan. Adanya pendapat dialah bara api dalam sekam revolusi Prancis, yang terus ditulis para sejarawan. Diselidiki puncak kemerdekaan berfikir, tak memihak kecuali untuk nasib baik umat seluruh jagad, serangga kecil (manusia) di antara triliyunan benda angkasa, hitungan sistematis kebenarannya.

Ia menaik-turunkan drajad nalarnya se-tukang kayu membuat kursi-meja, sengajakan ciptaannya mendiami ruang berdimensi kelayakan kajian wewaktu setelahnya. Karya-karyanya kekayaan terselimuti uap kesahajaan cerdas, kecerdikan muslihat mengolah cerita jadi mutiara tak habis dipunggah, terus menjelma patokan nasib para peneguknya.

Aku ingat betul saat jumpa bukunya, kubaca sangat girang di TIM sambil membawa nasib berkelana, dan terasa sontak melihatnya kedua. Tak lebih ingin mereguk ulang sampai hafal di luar kepala, demi perjelas sketsa pernah tegas, namun pudar diterpa terik bacaan. Ya siapa tahu jejakan nanti menembusi kabul pelbagai bidang terlayari sampan fikir pelita hati, di tengah malam atas ombak setiai kodratnya menari-nari pada muka angkasa.

Kepadanya kupanggil bapak, novelis filsuf Jostein Gaarder dapatlah kusapa paman, aku di sisi mereka jauh, dekat gunung Krakatau kini, saksikan jutaan tahun gelombang pemikiran bermain, dipermainkan tekanan angin, hawa musim tarikan jaman. Sebutir pasir tak berarti antara jemari raksasa sejarah; keganasan perang, musik halus kasih sayang, kebencian, rindu dendam, senyuman sinis ataukah menawan, aku di antara mereka.

Kisah Zadig dipahat bergurat-gemurai mengagumkan, setiap sudut memantulkan hikmah tersendiri. Cemooh cermin konyol membuka kelambu kemungkinan, sepanjang pembaca miliki daya duga keliaran merambahi daratan wangi, di sekitar nasib ditata purna, sejenis kitab panduan dalam menyikapi carut marut kehidupan.

Sosok-sosok wagu ditimpakan nasib mujur malang melintang bertimbangan sejumlah ilmu pengetahuan. Hukum-hukum dibentur lawan demi kemauan meloloskan gagasan gemilang, uap hasil suling dari macam-macam air perikehidupan;

Bau hianat, kelicikan, ditelanjangi demi keseimbangan logis, atur cerita dipertanggungjawabkan di meja penelitian. Benang jahit paduan-padan runtutan peristiwa, memperkuat bentuk diingini, mendapati perolehan lebih; kamus besar peradaban insan.

Kausalitas naik-turun ditimbang berat-ringan kasus diketengahkan, menyuguhkan masakan lezat, harum kembang terkenang di sudut terpencil kesunyian fikir. Kilau kebeningan kalbu menterjemah cecabang menggayuh gelombang bayu tarikan nafas. Dan para pemeriksa menemukan kemewahan selalu memantulkan kesadaran setubuh takdir mewaktu, meruang mekarkan abadi.

Walau novelnya terbentuk potongan kekisah pendek berbingkai judul perkuat isi dikandung, tiada satu kalimah tidak berjalin antara jalan-jalan dilalui. Semua mengerucut bebayang watak, katakter dihasrati pencerita. Tiada sosok kemayu berindah-indah kecuali pamrih patuhi sketsa dicanangkan, demi perekat keilmuan menempeli setiap tokoh dilakonkan.

Voltaire di jarak ditentukan, ibarat dalang kadang lebur sepermainan jemari, menunjuk ketajaman penanya pantas mendiami abad-abad di depan. Beginilah ruang-waktu dipelajari, peristiwa dimengerti sepundi-pundi kesantausaan umat mau menggali tanah usia, juga setiap misteri menunggui. Umpama punggung tak terjangkau mata, keberadaannya menutupi kekurangan yang ada.

Kepenuhan membuka kelambu kemungkinan melagukan keselarasan irama; hidup patut difikir ulang, seturun menemui kodrat semestinya. Gesekan masa mematangkan aura menafaskan kata menjelma laguan merdu nyawa di atas kemakmuran hikmah.

Jika kulukiskan, perjalanan Zadig mengalami kemalangan-kemalangan terpelajar, kesenangan-kesenangan hidup mendidik. Inilah kumandang merdu hayati di batok kepala, mengisi kalbu usaha musik diri, dengan alam seperistiwa makna puitika.

Ia pun suguhkan alur di balik pandang, berangkat ketabahan menguliti perjalanan Zadig. Kesabaran dituntun berjumpa pendeta, yang hampir menyamai pelajaran Nabi Musa di hadapan Khidir. Keserampangan itu kekonyolan sikap sepintas tak terdukung kebijakan, diperlihatkan sang guru, selalu diperdebatkan dalam perjalanan mencari keweruh agung.

Kedetailan tanda, wewarna kilatan sepintas tetapi tegas, menentukan esok jawaban purna, serupa tersingkapnya alam mulia sebelum dapati temuan-temuan dilakoni. Ini hadirkan corak bahwa ilmu pengetahuan sebatas pandang dan selidikan jauh kembangkan reribuan rahmat. Selaksa taburkan benih di ladang pengalaman berarti, hukum pasti yang sudah ditamankan Tuhan di bumi pekerti.

Yang mengejutkan, Voltaire menyebut asal rempah-rempah, bebumbu mahal dari dataran Tidore dan Ternate, daerah negeri kita Indonesia. Tak diragukan betapa luas wawasannya, pengendapan sejarah bentukan dongeng, tampak sekilas namun cerdas, berkehendak meraup seluruh isi dunia lewat sekali tarikan novelnya;

tak terbahtah, hampir sejauh karyanya bersimpan sumber mata air seirama gerak jaman demi kemajuan. Di sini keunggulan sastrawan selalu membuka lelembaran sejarah, wewatak manusianya tanpa memberi kecondongan kecuali berhak disandarkan ke alamnya; pengertian melimpah, tanpa ditutupi kepicikan faham yang dipastikan blunder kebingungan.

Sang pencerita mengemban ketahanan mempuni, keuletan dipadukan getah minyak memancar ke segenap penjuru malam gulita cemerlang, walau tanpa dinyalakan. Keberadaannya teduhkan fikir, tentramkan bathin, barangsiapa meneguk peroleh kehangatan purna, dan senantiasa diserang haus, sebab manisnya gugusan persembahan nan sederhana.

Suatukali pujangga Jerman Johann Wolfgang von Goethe berpendapat; “Dengan Voltaire terlihat dunia yang berakhir, dengan Rousseau dunia yang baru mulai.”

Ini terpantul kidungan kekaryaan menempuh jurang pesimis, persis lakon hidupnya banyak mengalami kemalangan, kegagalan tak henti, meski ditopang kemampuan intelektual. Zadig mewakili nasib pahit disamping kekokohan tajamkan pena, demi martabat ilmu di atas darah bagsawan. Dendamnya bertuah menancap kuat keyakinan, berujung runcung pena menggetarkan dinding-dinding salju Eropa.

Aku kira sulit dicari tandingan, sepak terjangnya mengancam menara-menara penguasa, kepandaian martabat budhi oleh pekerti kedekatan semua kawan. Juga menjadikan para pencemburu hadir membuatnya dijebloskan ke penjara, dibuang ke Inggris dan nasib buruk bertubi-tubi mendera mematangkannya. Demikian mental tangguh, selayar pancang tulisan mampu dikagumi semua jaman, di segala lapisan.

Ketika memasukinya dalam, aku mulai meragukan batas optimis atas seluruh kemampuan dikeluarkan, batasan pesimis oleh segala nikmat tercecap. Atau apa semestinya? Ketika kesengsaraan mendatangkan senang bertabah, sebaliknya kelezatan menggiring terlena?

Kiranya kesadaran baling-baling fikiran, keinsyafan permainan bumi dicetuskan Tuhan telah Voltaire pegang. Pengamat melihat gemawan kadang ragu bergelayut hendak hujan, tapi penggalian terdalam, tiada kemurungan bayang. Semua terpastikan gerak menentukan takdir lain; yang tertulis, begitu terlaksanakan, di langit tertinggi sekalipun demikian.

Itulah jumlah alur penalarannya, kala menakar daya kemampuaan berhadapan filsafat optimis Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), dongengan Zadig dibangun memangfaatkan tarian kisah menentukan. Seminimal mengadu kekuatan, sebelum benar-benar bertarung faham tak disukai, olok-olok semacam cara canda mematikan kaum pemikir;

menganggap enteng hal berat itu ringan, entah melalu pengulangan kalimah membentuk pengertian lain. Atau ditaruh di tempat-tempat tak semestinya berakibat njomplang, hingga tertolak gagasan musuh-musuhnya di depan hayalak.

Jiwa pengelanaannya tak luput ke Jerman, sebelum singgah di Jenewa mematangkan gagasan, dikala bertumbuk langsung bermusuhan dalam perang filosofis atas Rousseau, berpolemik melalu surat, serta karya tulis diterbitkan. Seperti mendapati lapangan sejuk, berderap kuda hasrat beringas, sisi berbeda sewaktu dahulu di samping kekasihnya, Madame du Châtelet.

Ataukah satu-satunya ambisi meneruskan pengarang Racine, terkenal hanya mengandalkan pena berbakat menulis. Ia telah buktikan, sudah melampaui orang-orang sejaman lebih, pun dunia tak segan memberi titel; abad XVIII Prancis bersebutlah abadnya Voltaire.

Sebagai penutup, aku membayangkan ramainya perkampungan yang dibabat alas semangatnya, mungkin masih bernama Ferney-Voltaire.

Bandar Lampung – Lamongan, Februari – Maret 2011.

Friday, March 18, 2011

Kepriyayian Humanis

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Dunia Priyayi Jawa sempat dijadikan bidikan empuk ketika berhadapan dengan dua ideologi yang dilahirkan pergolakan manusia di Barat. Yaitu Komunisme yang seperti hantu dan kapitalisme, si musuh bebuyutan yang belum sempat dikalahkan. Dua ideologi politik yang ternyata ideologi manusia yang memiliki kesamaan, membidik sistem kepriyayian (feodalisme) untuk diruntuhkan. Mungkin saja, feodal selalu dipandang buruk, sebagai segolongan penguasa (tuan tanah) yang memerintah rakyatnya (buruhnya) dengan sewenang-wenang, bertindak zalim, tidak adil dan tidak berperikemanusiaan. Seperti itu, pandangan kita secara umum mengenai feodal. Kedua ideologi ini secara tidak langsung menyerangi kepriyayian dikarenakan dalam kepriyayian tersebut mengandung semangat feodal. Entah bagaimana, seluruh priyayi dinisbatkan memiliki sifat feodal yang secara terang-terangan dan sembunyi terus dimusuhi dua ideologi modern. Baik komunis dan kapitalis terus menggerus sistem pemerintahan lama dengan cukup pengecut, membungkus diri dalam indahnya mitos demokrasi.

Sistem kehidupan kita sekarang, sebagaian besar dan nyaris seluruh umat manusia tergila-gila dengan kehidupan demokrasi. Sistem hidup yang menawarkan kesetaraan manusia dengan manusia lainnya. Setara dalam hal apa pun, bahkan mengindahkan norma budaya lokal (kepriyayian, maksud saya) yang sedari awal sudah diperhitungkan nilainya. Demokrasi memikat mata manusia yang menawarkan juga kebebasan. Hidup dengan cara sendiri, jalan sendiri, atau berbuat dengan sekehendak sendiri tanpa perlu menunggu perintah dari orang lain. Hidup merdeka tanpa harus merasa sebagai abdi bagi orang lain.

Memang, manusia yang merdeka terlepas dari perbudakan manusia satu atas manusia lainnya. Seperti pepatah, lepas dari mulut Harimau, akhirnya jatuh juga ke mulut Serigala. Karena menurut saya, manusia terlepas dari orang lain akan menjadi budak bagi dirinya sendiri. Tapi, kebanyakan dari kita memilih, lebih baik diperbudak diri sendiri ketimbang diperbudak oleh orang lain. Saya sengaja mengungkapkannya sebagai budak diri sendiri, sebab melalui diri manusia itu sendiri manusia menginginkan kemerdekaan dari orang lain, setelah itu akan masuk ke dalam lubang gelap keinginan (dirinya sendiri).

Bebas semau-maunya sendiri untuk mengikuti keinginan (nafsu) yang terkadang menipu kita terang-terangkan dan hebatnya lagi, kita (manusia) tidak mampu berbuat apa-apa. Teramat sulit untuk merdeka dari diri sendiri.

Demokrasi menawarkan mitos mengenai indahnya kemerdekaan. Karena menulis ini, saya langsung teringat dengan film Amerika berjudul The Patriot. Dalam film itu,tokoh Benjamin yang diperankan Mel Gibson sempat berujar, saya kutib bebas: Untuk apa kita menukar tirani yang keberadaannya sangat jauh di seberang lautan dengan tirani baru yang lebih dekat? Film The Patriot mengkisahkan kerasnya perjuangan manusia Amerika dalam mencapai kemerdekaan serta mendirikan sistem politik baru berlandaskan demokrasi.

Impian tentang kehidupan yang demokratis seperti mimpi indah, tentang malaikat penyelamat yang wajah aslinya belum kita ketahui. Ucapan Benjamin itu, baru-baru ini saya cermati ulang. Lalu saya membuat simbolisme, tirani yang jauh adalah orang lain sedangkan tirani yang dekat adalah diri manusia itu sendiri. Tirani yang jauh, semisalnya saja pemerintahan diktator Bapak kita H.M. Soeharto swargi, pernah mengekang kebebasan manusia, memenjarakan tubuh dan gerakan namun toh, nyatanya manusia masih bisa berbebas ria. Seperti Penyair Wiji Thukul atau W.S. Rendra yang tetap merdeka. Akantetapi, setelah kebebasan didapatkan dengan lengsernya Pak Harto, kemerdekaan yang tercermin dalam semangat itu seolah memudar. Manusia bertemu dengan penguasa dirinya yang baru, yaitu keinginan yang lebih kejam menindas jiwa.

Sebagaian besar manusia terpenjara dan diperbudak oleh dirinya sendiri. Kemerdekaan sebagai manusia tersamarkan oleh kemerdekaan keinginan (nafsu). Atau, barangkali kemerdekaan yang ditawarkan oleh mimpi indah itu hanya sebatas ilmu (sistem) pelembagaan atas keinginan-keinginan manusia? Jikalau kita menilik lebih jauh lagi mengenai permasalahan sosial di negara kita, kesemua itu tidak terlepas dari hasrat manusia dalam usaha memenuhi keinginan. Hasrat membawa pada kegelisahan yang menuntut untuk dipenuhi, kegelisahan membawa pada gerakan-gerakan.

Keadaan seperti ini sebagai penggambaran dari demokrasi yang, saya kira, memiliki lebih dari seribu wajah. Suatu kondisi hidup yang tidak menguntungkan rakyat kecil sebenarnya tidak dipengaruhi oleh sistem politik yang hanya sebatas teks. Entah itu masyarakat madani, demokrasi, monarki, feodal, sosialisnya komunis yang dengan masyarakat komunalnya, tetap tidak akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan manusia jikalau hanya sebatas ideologi teks. Semua memiliki keunggulannya masing-masing sebagai harapan indah, namun hanya menjadi pesan yang tidak tersampaikan apabila ideologi tidak dijalankan sebagai perilaku.

Idelogi yang baik untuk manusia adalah ideologi yang dalam wacana dan pelaksanaannya harus dilandasi dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta mutlak diperlukan adanya gerakan manifestasi ke dalam perilaku manusia. Ideologi yang baik merupakan ideologi yang tidak hanya sebatas wacana. Dunia jauh dari teks. Ideologi harus sebagai perilaku manusia yang murni.

Dunia kepriyayian dapat dipandang sebagai ideologi kemasyarakatan yang mana pola pemikirannya tidak terwacanakan. Kepriyayian sebagai ideologi yang langsung berada dalam dataran perilaku. Segolongan manusia yang dalam kehidupan manusia Jawa berada di tempat teratas. Akantetapi, priyayi itu sendiri merupakan jalan hidup manusia yang di dalamnya mencerminkan kehalusan laku serta penguasaan akan ilmu. Kehalusan laku dan penguasaan akan ilmu merupakan pandangan hidup masyarakat Jawa yang membawa pada kehidupan yang selaras.

Dunia priyayi sebagai ideologi yang humanis dapat kita saksikan dalam kehidupan priyayi yang dibangun (dipotret) oleh Almarhum Umar Kayam (30 April 1932 s.d. 16 Maret 2002) di dalam novel “Para Priyayi” (1992). Penggambaran yang simbolis namun membaca dalam cerita realis yang mengagumkan. Kehidupan manusia berstatus sosial nomor pertama di kehidupan masyarakat Jawa mencirikan mengenai kehalusan sikap, kepemimpinan, serta penjagaan atas kehormatan manusia terpejalar.

Sosok priyayi yang dihadirkan UK, menurut saya adalah sosok priyayi yang humanis. Status sosial nomor satu yang diduduki tidak lantas membuat priyayinya UK berpura buta dengan permasalahan orang lain yang ada di sekitarnya. Ciri dari humanisme seorang pemimpin yang jarang sekali kita temukan di dalam kehidupan realitas saat ini.

Semangat humanisme yang indah, walau hanya di dalam tingkatan keluarga. Humanisme kepriyayian yang UK hidangkan pada kita dapat ditelusur dari alur cerita. Misalnya saja, keterangan mengenai kepedulian yang dinasehatkan untuk kita: “Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri” (Para Priyayi, 2001: 15). Nasehat ini memberikan wejangan indah yang menenangkan. Apabila kita mengaitkan priyayi dengan seorang pejabat pemerintah, kalau semua pejabat kita memahami ini maka, tidak akan ada rakyat yang kelaparan. Akantetapi, perlu kita menggaris-bawahi bahwa kepriyayian tidak hanya berurusan soal status sosial, dia sebagai pegawai pemerintah atau bukan. Lebih dari pengertian itu, kepriyayian yang UK ketengahkan di sini adalah sosok yang memiliki ilmu pengetahuan.

Menjadi priyayi berarti menjadi individu yang pandai, yaitu memiliki ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk kebaikan bersama. Bersebab, orang yang berilmu dapat membawa jalan hidupnya yang tidak merugikan orang lain, bahkan dapat membawa keuntungan bagi masyarakatnya. Langkah gerak seorang priyayi tidak melulu memikirkan keuntungan diri sendiri, yang dengan kata lain, menggunakan kepriyayiannya untuk menindas orang lain demi keuntungan diri. Namun sebaliknya, kepriyayian itu dapat memberikan manusia pertolongan dari kesulitan.

Melalui “Para Priyayi” dapat kita temukan kehidupan sosok priyayi humanis yang berusaha sekuat tenaga menjalankan peran kepriyayiannya. Tugas dan wewenang yang berat, seperti tergambar dari kehalusan laku untuk “sepi ing pamrih, rame ing gawe, serta memayu hayuning bawana” atau “tidak mementingkan diri sendiri, menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, serta memperindah dunia”. Dalam novelnya, UK mengetengahkan berbagai ajaran kehidupan yang indah. Bahwa hidup tidak sekedar mengejar gemerlap materi (kekayaan), akantetapi dengan kepriyayian itu UK mengajarkan mengenai tujuan akan adanya keselamatan bersama.

Menjadi seorang priyayi, bagi UK tidak berorientasi pada jabatan dan kekayaan, namun lebih pada nilai cendekiawannya (menjadi seperti Lantip) yang dapat memainkan peran dengan sebaik-baiknya. Bahwa priyayi itu terpandang karena kepandaiannya, kalau hanya sekedar menginginkan kehidupan yang kaya, lebih baik menjadi saudagar (Para Priyayi, 2001: 48). Kepriyayian Jawa yang disodorkan UK adalah kepriyayian yang menghiasi dunia, menjaga, serta mewujudkan keselamatan semua manusia.

Pertemuan saya dengan UK terjadi setelah meninggalnya beliau. Tentu saja, sebuah pertemuan spesial melalui buah tangan, pikir, dan rasa yang sampai hari ini masih sering saya tengok. Pertemuan itu menjadi awal pertemuan saya (yang hanya seorang petani berdarah hitam; hitam sebab lebih banyak lumpurnya ketimbang darahnya) dengan priyayi humanis. Momentum yang membanggakan ketika saya menemukan pemahaman akan arti dari humanisme. Humanismenya kepriyayian UK tidak hanya mengajak berontak pada kesewenangan atau memihak pada mereka yang ditindas.

Sosok priyayi humanis ini menuntun saya untuk lebih jauh lagi mengoreksi diri. Menelusur sampai jauh hingga saya menemukan suatu cara: “memukul tanpa memukul”. Sudah sepuluh tahun beliau wafat, dan baru hari ini juga terpikir untuk menulis sesuatu.

Mumpung masih bisa menulis untuk sekedar bertanya, saya ingin memastikan apakah benar UK menolak sebagai priyayi “rural-agraris” seperti yang diungkapkan Darmanto Jatman dan lebih memilih menjadi priyayi “urban-industrial”? Sedari dahulu, saya mengira UK adalah sosok yang terus berada di ranah agraris itu, seperti nasehat Atmokasan pada Sastrodarsono: “Meski sudah jadi priyayi, jangan lupa akan asal-usulmu. Kacang masa akan lupa dengan lanjaran-nya.” (Para Priyayi, 2001: 48).

Jikalau saya, petani yang berdarah lumpur ini, tetap berusaha untuk menjadi manusia agraris. Bersebab, masih juga yang seperti Darmanto Jatman bilang bahwa Stephen Covey yang berangkat dari masyarakat urban industrial masih menggunakan hukum tabur-tuai (agraris), yaitu: Siapa yang menabur gagasan akan menuai perbuatan/ Siapa yang menabur perbuatan akan menuai kebiasaan/ Siapa yang menabur kebiasaan akan menuai karakter/ Siapa yang menabur karakter akan menuai nasib. Destiny!

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Selasa Pahing 15 Maret 2010

Gambaran Kelas Masyarakat Inggris

Olivia Kristina Sinaga
http://www.ruangbaca.com/

Ada begitu banyak kisah fabel. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia mungkin lebih mengenal si beruang kuning penyuka madu, Winnie the Pooh. Beruang yang memiliki ‘otak sangat sedikit’ ini menjalani hari-hari di A Hundred Acre Woods bersama teman-temannya, Piglet, Eeyore, Tigger, Rabbit, Owl, Kanga, Roo, dan seorang anak laki-laki kecil, Christopher Robin.

Fabel lain yang menyajikan petualangan dan hiruk-pikuk kehidupan para karakter binatang adalah The Wind in the Willows. Karya Kenneth Grahame yang terbit pertama kali pada 1908 ini tergolong karya klasik dalam sastra anak-anak. Karakter- karakter utama berpusat pada Mole (tikus tanah), Ratty (tikus air), dan Mr. Toad (katak).

Ada beberapa persamaan antara The Wind in the Willows dengan Winnie the Pooh karya A.A. Milne. The Wind in the Willows awalnya digunakan sebagai serial cerita sebelum tidur untuk anak tunggal Grahame, Alastair, dan ketika ia dikirim bersekolah, cerita berlanjut dalam bentuk surat. Milne menulis Winnie the Pooh dan temantemannya di A Hundred Acre Woods untuk anaknya, Christopher Robin, yang menjadi satu- satunya tokoh manusia dalam cerita tersebut.

Karakter-karakter dalam kedua cerita adalah binatang, keduanya telah diadaptasi ke layar kaca maupun perak, dan mengilhami musisi (ingat lagu Return to Pooh Corner yang dinyanyikan Kenny Loggins?), dan sama-sama berasal dari Inggris. Untuk ilustrasi yang memperindah buku masingmasing, Grahame dan Milne sepakat memanfaatkan talenta seni E. H. Shepard.

Tempo bertutur Grahame dalam buku ini kadang bergerak lambat dan cepat bergantian, seperti sungai Thames yang menjadi latar belakang cerita. Ritme cerita berpacu lekas jika Mr. Toad—pemilik Toad Hall— yang arogan, kaya, gampang tertarik pada satu hal secepat ia bosan dan berpindah pada hal lain, muncul di antara Mole yang lembut dan Ratty yangs antai, ramah, mencintai sungai dan melindungi Mole di bawah sayapnya. Di samping ketiga karakter tersebut ada teman mereka, yakni Badger (berangberang) yang tinggal di Wild Wood, figur penyendiri yang baik hati dan ‘membenci masyarakat’.

Kegilaan Mr. Toad akan petualangan seringkali menjeratnya dalam kesulitan. Untungnya, ia mempunyai teman-teman yang sabar dan baik hati serta siap menolongnya. Mole yang awalnya kagum (bisa dikatakan cenderung kaget) pada kehidupan di tepi sungai bisa beradaptasi setelah terus-menerus menghadapi Mr. Toad yang impulsif dan cepat puas akan dirinya sendiri. Ia berpindah dari satu obsesi ke obsesi lain, seperti rumah perahu dan kereta kuda.

Petualangan terpanjang karena kegilaannya itu terjadi saat ia menemukan mobil. Sederet kecelakaan menggiringnya ke penjara atas tuduhan pencurian, cara mengemudinya yang membahayakan nyawa binatang lain, dan sikapnya yang tidak menghargai polisi daerah setempat. Beberapa bab paling seru dalam buku ini merupakan rangkaian pelariannya. Untunglah Mr. Toad mempunyai teman-teman setia yang mengubahnya dan memenangkan kembali Toad Hall, yang telah dikuasai oleh para musang saat ia tidak ada.

Personifikasi karakter-karakter dalam The Wind in the Willows mewakili beragam kehidupan kelas dalam masyarakat Inggris. The Wind in the Willows seringkali dibandingkan dengan Animal Farm karya George Orwell karena di satu sisi merupakan komentar mengenai dinamika kelas dalam kehidupan negara asal grup musik The Beatles ini. Secara kasar ‘River Bankers’ (penghuni tepi sungai) merepresentasi kelas atas, sementara ‘Wild Wooders’ (penghuni hutan) merepresentasi kelas bawah.

Walau pada awalnya terbit tanpa ilustrasi, bertahun-tahun kemudian banyak versi dengan ilustrasi muncul. Mungkin karya E. H. Shepard, diterbitkan pada 1931, adalah yang paling populer. Grahame memang tidak hidup cukup lama untuk melihat hasil akhirnya. Namun, versi ini dipercaya sebagai karya yang ditandatangani Grahame karena ia senang dengan sketsa Shepard.

The Wind in the Willows banyak mengilhami lahirnya berbagai versi, bahkan sekuel dirinya. Edisi The Folio Society terbit tahun 2006 menyajikan fitur 85 ilustrasi, 35 di antaranya berwarna, oleh Charles van Sandwyk. William Horwood menciptakan sekuel The Wind in the Willows: The Willows in Winter, Toad Triumphant, The Willows and Beyond, The Willows at Christmas. Wild Wood oleh Jan Needle, terbit tahun 1981, dengan ilustrasi oleh William Rushton.

Buku ini merupakan penuturan kembali cerita The Wind in the Willows dari sudut pandang penghuni kelas pekerja Wild Wood. Mereka mengalami keterbatasan uang. Pekerjaan pun sulit diperoleh. Perspektif mereka sangat berbeda atas gaya hidup mudah Toad dan temantemannya yang kaya dan tidak pedulian. Beberapa insiden terkecil dari cerita aslinya diperjelas dalam buku ini—narator Wild Wood kehilangan pekerjaan yang sangat dibutuhkannya sebagai sopir Toad ketika Badger, Mole, dan Rat memutuskan untuk menghentikan kegilaan Toad menyetir. Klimaks buku ini datang saat Toad masuk penjara: para musang mengambil alih Toad Hall dan mengubahnya menjadi perkumpulan sosialis bernama Brotherhood Hall.

Beberapa film dan versi televisi The Wind in the Willows termasuk versi animasi Walt Disney tahun 1949, The Adventures of Ichabod and Mr. Toad. Tahun 1983 muncul animasi menggunakan boneka stop-motion, bukan gambar, oleh Cosgrove Hall, diikuti oleh serial televisi dan dibuat dengan gaya yang sama—versi ini dikatakan sebagai adaptasi yang paling setia. Lalu muncul animasi pada 1996 dengan bintang utama Michael Palin dan Alan Bennett sebagai Ratty dan Mole; mengikuti adaptasi The Willows in Winter. Di tahun yang sama muncul versi live-action yang ditulis dan disutradarai oleh Terry Jones.

Panggung teater tidak mau ketinggalan dalam mengadaptasi fabel ini. Milne memproduksi Toad of Toad Hall pada 1929. Alan Bennett, sebelum berperan sebagai Mole dalam film (1996) telah menulis adaptasi panggung The Wind in the Willows dan berperan sebagai karakter yang sama pada 1991. Mr. Toad’s Mad Adventures dihasilkan oleh Vera Morris. Tak ketinggalan untuk radio, Kenneth Williams membuat sebuah versi dari buku tersebut.

Para musisi pun terkena imbas lekatnya pengaruh buku anak-anak ini. The Piper at the Gates of Dawn, tajuk album pertama Pink Floyd dicomot dari judul bab 7 dalam buku The Wind in the Willows. Walau demikian, lagu-lagu dalam album tersebut, yang sebagian besar ditulis oleh Syd Barrett, tidak berhubungan langsung dengan isi buku. Album The Healing Game karya penyanyi-penulis lagu Van Morrison di tahun 1997 memuat lagu Piper at the Gates of Dawn. The Wind in the Willows juga merupakan judul lagu yang ditulis Alan Bell dan dinyanyikan oleh banyak artis, termasuk Blackmore’s Night.

Kenneth Grahame (1859- 1932) lahir di Edinburgh dan menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Berkshire, di mana ia dikirim pergi ke luar rumah saat berusia lima tahun setelah kematian ibunya. Ayah Grahame, yang tidak mampu mengurus keempat anaknya, menyerahkan mereka dalam pengawasan sang nenek. Walaupun diperlakukan dengan baik, anak-anak Grahame saling bergantung dalam penghiburan dan dukungan emosional. Kenangan masa kecil dan jam-jam yang dihabiskan di sisi atas sungai Thames itulah yang mengisi Grahame dengan materi untuk The Golden Age, Dream Days dan kemudian karyanya yang paling dikenal, The Wind in the Willows.

Grahame dikirim ke St Edward’s School pada usia sembilan tahun, yang menggiringnya lebih dekat pada hari-hari sederhana dan menyenangkan di tepi sungai. Rencananya untuk belajar di Oxford University terhempas karena kekurangan dana. Keluarganya pun berkeras menyuruh ia bekerja di Bank of England. Pada tahuntahun kerjanya di bank Grahame mulai menulis esai dan cerita. Ia sering menulis di The Yellow Book, media periodik yang mengkhususkan diri pada sastra dan seni, dan pada St James’s Gazette.

Ia bertemu Dr Frederick Furnivall pada 1886 yang mengenalkannya pada penulis-penulis lain: Tennyson, Browning, Ruskin, dan William Morris. Furnivall jugalah yang menyemangatinya dalam menulis. Pada 1893 Grahame menerbitkan koleksi esai berjudul Pagan Papers yang diterima dengan sangat baik. The Golden Age (1895) dan Dream Days (1898) memantapkan reputasinya lebih jauh dan membuatnya diingat lantaran pengertian yang luar biasa tentang pikiran anak-anak.

Pada 1898 ia menikahi Elspeth Thomson, yang melahirkan anak tunggal mereka, Alastair, pada tahun berikutnya. Setelah The Wind in the Willows terbit pada 1908, kesehatan Grahame memburuk dan memaksanya untuk mengundurkan diri dari pekerjaan perbankannya. The Wind in the Willows memberikan keuntungan besar untuk Grahame, sehingga ia bisa berhenti dari pekerjaannya di bank (yang ia benci walaupun tergolong pekerjaan terhormat dan berpenghasilan besar). Ia lalu pindah ke daerah pedesaan, seperti yang dilakukan tokoh-tokoh dalam ceritanya.

Grahame terus menulis artikel dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat. Setelah kematian tragis putranya, saat menjadi mahasiswa di Oxford University, Grahame mengucilkan diri di rumahnya dekat sungai Thames. Di rumah itu ia hidup hampir sebagai seorang pertapa hingga kematiannya, 1932.

Grahame melabuhkan karakterisasi para binatang yang sederhana dan riil dengan latar sisi sungai yang bersahaja tanpa menghilangkan kesenangan yang dihasilkannya. The Wind in the Willows merupakan ramuan petualangan dan moralitas yang sangat disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa, dan tidak diragukan akan terus disukai oleh generasi mendatang. Bukankah selalu ada anak yang haus akan kisah dan petualangan dalam dirinya, iya kan?

Matahari

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Matahari terdiri dari terik yang panjang, biasanya memancar di saat siang. Sementara fajar hanya menyimpan terik yang sebentar untuk kemudian menghilang digantikan matahari yang garang. Lalu senja datang sesaat untuk digantikan malam yang juga terasa panjang.

Siang dan malam adalah waktu yang menyita sebagian besar pengarang. Tak banyak sastrawan yang betah berada pada siang dengan terik sering kelewat panjang itu. sebagian besar seniman tak mendasarkan proses kreatifnya dengan matahari, tapi dengan bulan (baca: malam). Al-Hallaj, Nietzsche, Chairil hingga Goenawan, akrab dengan malam. Bahkan kita masih ingat secarik sajak Chairil tentang malam:

Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Sementara siang identik dengan gerah, bukan gelisah. Sangat jarang penyair betah berada pada tubir siang karena siang identik dengan panas (sekali pun siang tak jarang menduang atau hujan). Kita tak betah dengan matahari karena membuat kita gerah dan berkeringat. Kita tak bisa tidur dalam keadaan dipanggang terik yang garang. Sebaliknya; ketika kita kedinginan di malam hari, kita tidur dengan lelap.

Tapi di Prancis tahun 1942 terbit novel asing yang gandrung pada matahari yang asing: L’Etranger, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Orang Asing oleh Apsanti Djoko Sujatno. Pengarangnya adalah putra terbaik Aljazair yang menjadi warga negara Prancis setelah perang. Dia adalah Albert Camus, novelis dan dramawan yang tak jarang menggetarkan lantaran menulis dengan sangat bagus dan stilis.

Novel ini dianggap karya asing, lantaran kisahnya tentang matahari terasa asing bagi orang Prancis atau Eropa pada umumnya. Tapi Camus tak ambil peduli. Ia menampilkan citraan matahari yang asing tapi intim, aneh tapi menggugah.

Saya sedang memperhatikan gambar sampul L’Etranger dan Orang Asing, dan betapa indah matahari di situ. Pantas saja jika Merusault—si tokoh utama—takjub pada matahari dan berkali-kali melukiskan dengan sejumlah frasa dan sinonim. Matahari yang menyengat hamparan bumi yang gelap dengan cahaya yang menjanjikan, tidak sebagaimana novel musim dingin yang merayakan kesepian dan kesunyian diri jauh dari terik yang ganas dan bahana yang menggetarkan.

Meursault yang nyaris jadi nihilis itu, atau yang tak peduli dengan Tuhan dan menolak menemui pendeta dan menjadi pembunuh yang terhukum dengan tanpa rasa bersalah, tampak menimbulkan perasaan absurd. Orang Asing memang novel debutan Camus yang dipuji-puji oleh kritikus justru karena tema yang diangkatnya terasa asing. Matahari yang dilukiskan jauh dari kenyataan sehari-hari orang Prancis.

Camus tampak sengaja meneror borjuisme Eropa dengan menghadirkan novel asing dengan tokoh kere. Orang Asing adalah novel tipis syarat makna. Novel ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama banyak melukiskan matahari dengan berbagai variannya, yang tampak menggiring kita ke dalam perasaan absurd. Ketika Meursault berada di panti wreda membesuk jenazah ibunya, ketika malam berlalu dan fajar tampak begitu singkat, Meursault di bawa ke rumah penjaga pintu panti, mandi dan kemudian ke luar rumah. Pada saat itu Meursault menatap matahari yang indah. Ketika ia keluar, matahari telah sepenuhnya terbit. Di atas bukit-bukit yang memisahkan Marengo dari laut, langit dipenuhi warna kemerahan, tapi bukan seperti senja. Sementara angin yang lewat di atasnya membawa bau garam ke situ. Itulah sebuah hari yang indah sedang mempersiapkan diri.

Matahari terus mencengkram imajinasi pembaca. Camus memang pintar membawa pembaca ke dalam perenungan dan mendesak kita untuk ikut merasakan terik yang menyengat. Ketika matahari mulai naik sedikit lagi di langit, pada saat itu matahari mulai menghangatkan kedua kaki Meursault. Pada saat iringan jenazah ibunya melintas ke jalan menuju pemakaman, siang begitu terik, cuaca begitu memaksa. Meursault berpeluh. Orang-orang mengucurkan keringat. Iringan jenazah terus berjalan, sedikit lebih cepat. Pedusunan tampak berkilauan dilimpahi cahaya matahari yang asing itu. Sementara kilauan langit tak tertahankan hingga membuat aspal yang dilalui para penunggang jenazah ibunya, terasa meleleh.

Camus menampilkan tema matahari dualis. Perhatikan ungkapan-ungkapan tentang matahari dan turunannya melalui penuturan Merusault dalam detik-detik melepas peluru pistol ke arah orang Arab di depannya sebagai penutup bagian satu Orang Asing:

Sengatan matahari mencapai pipiku dan aku merasakan butir-butir peluh mengumpul di alisku. Mataharinya sama seperti waktu aku menguburkan ibu, dan seperti waktu itu, keningku terutama terasa sakit dan semua pembuluh darahku berdenyut-denyut bersama-sama di bawah kulit. Karena sengatan matahari tak tertahankan lagi olehku, aku melakukan suatu gerakan ke depan. Aku tahu bahwa tindakan itu tolol, bahwa aku tak akan terbebas dari matahari dengan jalan berpindah tempat selangkah. Tetapi aku telah melangkah, hanya satu langkah ke depan. Dan kali ini, tanpa bangkit, orang Arab itu mencabut pisaunya yang diacukannya kepadaku di bawah matahari. Cahaya memercik di atas logam dan peristiwa itu seperti mata pisau dan menyilaukan yang menikam keningku. Pada saat yang sama, keringat yang terjumpul di alisku mengalir semua ke pelupuk dan menutupinya dengan tirai yang hangat dan tebal. Aku tak dapat melihat akibat tirai air mata dan garam itu. Aku hanya merasakan dentang simbal matahari di keningku, dan samar-samar, kilatan seperti lembing menyilaukan dari pisau itu senantiasa di depanku. Lembing pijar itu menggigiti alisku dan menusuki mataku yang pedih. Pada waktu itulah semua bergoyang. Laut meniupkan hembusan yang pekat dan bergelora. Aku merasa seakan-akan langit seluruhnya menganga untuk mencurahkan hujan api. Seluruh tubuhku meregang dan aku menekankan tanganku pada pistol yang licin…dan saat itulah, dalam suara yang sekaligus kering dan memekakkan, semua ini dimulai. Aku mengibaskan keringat dan matahari. Aku mengerti bahwa aku telah menghancurkan keseimbangan hari, kebisuan luar biasa dari sebuh pantai tempat aku pernah merasa bahagia…

Masih ada lanjutan dari kutipan itu, yang memperlihatkan sosol Meursault sebagai pembunuh sadis seperti Sade. Tapi bukan itu yang ingin saya tonjolkan di sini. Camus mengerti betul bagaimana menerjemahkan terik matahari dalam sebuah cerita liris yang mengandung isyarat dan sugesti. Terik yang ganas dan memanjang itu, mengingatkan kita pada situasi perang dunia yang membahana dan merenggut jutaan nyawa. Camus memang tak menghadirkan sesuatu yang tenang dan sunyi, tapi semacam ”epidemi matahari” dengan cahayanya yang panjang dan mematikan.

Pada bagian kedua, Camus kembali melukiskan matahari yang asing itu. Dalam kalimat pembukaan nomor tiga bagian kedua, Meursault—nama yang berarti laut dan matahari kata Apsanti Djoko Sujatno—melukiskan musim panas yang disusul musim panas berikutnya sehingga udara menjadi panas bertambah panas. Jika sudah demikian, akan muncul sesuatu yang baru baginya. ”Perkaraku terdaftar dalam masa sidang yang terakhir di pengadilan, dan masa sidang itu akan berakhir dalam bulan Juni. Perdebatan dibuka dengan matahari yang memancar penuh di luar”.

Bayangkan jika manusia hidup dengan matahari terus-menerus. Bayangkan pula apa yang akan terjadi bila ada matahari bersemayam dalam jantung dan hati kita. Camus merasakan hidup yang asing, dengan matahari penantian. Meursault menjadi pembunuh dan tertuduh, yang merasakan kebosanan yang tak terlukiskan ketika berhadapan dengan orang-orang pengadilan. ”Bahkan di bangku tertuduh, selalu menarik mendengarkan diri kita dibicarakan orang”, tulis Camus.

Albert Camus seperti sedang meneror kita dengan menghamparkan tragisnya hidup sebagai paria. Mirip seperti kisah Keluarga Pascual Duarte, tak ada harga diri yang tercabik-cabik melebihi harga diri karena didera kemiskinan dan hidup dalam tuduhan sambil membayangkan tiang gantungan.

Matahari Camus bukan kemewahan, bahkan sejenis sampar yang mematikan. Tapi ada yang tak lengkap dalam pelukisan Camus tentang matahari. Ada sesuatu yang terasa kurang dari ganasnya matahari. Orang Asing memang bukan novel lengkap tentang matahari, tapi fragemen-fragmen yang muncul di sana-sini.

Tapi, sebagai pembaca, saya merasa lega justru karena ketidaklengkapan matahari yang dilukiskan itu. Dan saya bisa mencarinya ke tempat lain dalam karya yang lain. Dan saya menemukan kisah Nigel Watts—penulis novel biografi mengenai Rumi—dalam pendahuluanThe Way of Love—yang diterjemahkan ke Indonesia menjadi Jalan Cinta Rumi oleh Gramedia, 2003— mengenai matahari dalam diri kaum sufi.

Ada matahari dalam diri kita. Dan, matahari itu begitu terik menyengat sehingga sengatannya meski sekejab sanggup menghanguskan kita hingga menjadi abu. Ada pula matahari-matahari, yang berjalan dalam bentuk manusia. Jika kita membuka mata hati kita, kita dapat melihat mereka. Melihat jejak-jejak kaki mereka yang berasap, yang meninggalkan aroma dupa dari hati mereka yang terbakar. Namun, orang-orang seperti itu jarang; dan lebih jarang lagi yang bisa melihat mereka. Sedikit yang punya mata yang bisa melihat orang seperti Syams Tabriz, Matahari dari Tabriz.

Ungkapan ”Matahri dari Tabriz” biasanya dilekatkan pada sosok kesufian Jalaludin Rumi—sufi besar penulis Matsnawi. Julukan itu tampak tak sinkron dengan kesufian Rumi yang justru memuja malam dan pekatnya kegelapan. Gelar itu diberikan padanya mungkin lantaran hidupnya yang menyala oleh cahaya cinta ilahi. Ada satu kutipan syair Rumi dalam buku Nigel Watts yang agaknya perlu saya kutipkan juga di sini. Rumi mengatakan:

Akulah benih dalam api Kekasih
Panasnya membara hingga aku pun berpendar
Bajuku yang meleleh bebas berhamburan
Kekasih melebur, melebur, melebur
Aku tiada lagi, bahkan sampah pun tiada tersisa.

Atau perhatikan syair Hamusy—si pendiam—Rumi yang dikutip Nigel pada halaman 139:

Para penjaga, pergilah ke menara jagamu
Bawa kepadaku semua kabar tentang orang asing—
Siapa tahu Syams Tabriz telah melintasi jalanmu
Janganlah seorang pun menyebut dirinya Muslim
Kalau ia tak sanggup menyampaikan kabar
tentang matahari itu padaku

Rumi adalah kekasih Tuhan, cahaya mata batin, mutiara berkilau dan berharga tapi langka. Andaikan di Afganistan sekarang masih ada Rumi, saya tak tahu apakah Afganistan akan lebih tentram dan memilih doa diam ketimbang perang. Di dalam diri Rumi cahaya kerinduan senantiasa hidup dan menyala, tidak seperti kita yang justru redup dan pucat. ”Matahari tersembunyi di dalam diri kita”, tulis Nigel Watts; ”kita adalah batu koral yang tak berharga dan berlumuran lumpur”.

Terik matahari yang ganas dan panjang tak mampu menghanguskan Rumi menjadi abu menjadi debu. Rumi adalah perumpamaan manusia yang telah sampai pada puncak pendakian pada lotus terjauh. Rumi dengan ringan menari dan melayang menemu Tuhan pada terik siang.

__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Meraih Sukses dari Karya-karya Thriller

Angela
http://www.ruangbaca.com/

Awalnya adalah sebuah email tanda simpati. Tersentuh oleh penderitaan dan perjuangan Kapten James Yee, Prayudi—Chief Editor Pustaka Zahra—mengirim surat pada ulama militer yang dizalimi pemerintahnya itu.

“Saya sampaikan padanya bahwa saya dan teman-teman bersimpati atas perjuangannya dan berdoa untuk keberhasilannya,” kenang Yudi.

Siapa nyana, surat tanda simpati yang dikirim pertengahan tahun silam itu menjadi pembuka jalan kerjasama antara Pustaka Zahra dan Yee. Kebetulan saat itu Yee baru saja meluncurkan memoar tentang perjuangannya menghadapi fitnah dan perlawanan hukumnya terhadap negaranya sendiri. Buku berjudul For God and Country itu meledak di pasaran dan dipuji banyak media besar.

“Kami saling berkorespondensi sekitar September, dan Januari keluar izin dari agen Yee untuk menerbitkan bukunya,” kata Yudi.

Sepanjang masa penantian itu, Yudi mengakui, pihaknya terus berdebar-debar, khawatir izin tidak keluar. “Pesaing kami adalah penerbit-penerbit besar, mungkin saja izin penerbitan jatuh ke tangan mereka,” katanya.

Secara pribadi, Kapten Yee memberi izin pada Yudi dan teman- temannya untuk menerbitkan edisi bahasa Indonesia memoarnya. Rupanya surat simpati itu membuat Yee terkesan pada Penerbit Zahra. Padahal, mereka terhitung baru menerbitkan lini fiksi dan non fiksi umum.

“Setelah mengurus proses sana- sini, termasuk terjemahannya,

buku Yee kami luncurkan Maret silam,” kata Yudi. Proses ini terhitung cepat jika mengingat buku dalam versi bahasa Inggrisnya terbit hanya selang setengah tahun lebih. Buku Yee yang menelanjangi sikap paranoid Amerika pada umat Islam ini diterbitkan di bawah lini Dastan Books. Lini ini khusus menerbitkan buku fiksi dan non fiksi umum. Sebelumnya, saat pertama kali didirikan pada Juni 2002, Zahra lebih berkonsentrasi menerbitkan buku-buku Islam. Buku zikir dan doa menjadi fokus penerbit yang berlokasi di Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur, ini.

“Karena saat itu lingkup penerbitan buku Islam sudah mulai jenuh, kami berpikir untuk membuat lini buku-buku umum,” kata Yudi.

Setelah dua lini terdahulu yang membawahkan komik dan fiksi Islami, Dastan Books kemudian lahir pada Juni 2003. Lini baru ini rupanya membawa berkah tersendiri bagi Zahra. Saat lini lain di penerbitan ini mulai layu, Dastan justru melaju dengan buku-buku fiksinya. Mulanya, Yudi dan teman- temannya menerbitkan The Blind Owl sebagai proyek pertama. Fiksi karya sastrawan Iran fenomenal Sadeq Hedayat ini mendapat sambutan baik di pasar.

Terpacu oleh kesuksesan The Blind Owl, Yudi dan teman-temannya kemudian menerbitkan Perfume, fiksi thriller karya Patrick Suskind. Fiksi yang bercerita tentang seorang jenius kriminal yang menguliti kepala dan rambut 25 korbannya ini juga sama suksesnya. Bahkan sudah mengalami lima kali cetak ulang. Memoar James Yee juga laris manis. Bulan ini, buku setebal 300-an halaman itu sudah cetak ulang ketiga kalinya. “Cetak terakhir itu sekitar 20 ribu eksemplar,” katanya.

“Kami kemudian memutuskan untuk lebih serius menggarap buku fiksi umum,” kata Yudi.

Kesuksesan buku-buku Dastan memacu Yudi dan temantemannya makin rajin berburu naskah-naskah bagus untuk diterbitkan. Bahkan tidak jarang lulusan Fakultas Ekonomi tahun 1992 ini sudah “menunggui” naskah yang belum dicetak dalam versi aslinya. “Kami pasang mata dan telinga untuk bisa tahu naskah mana saja yang akan dicetak,” katanya.

Yudi, yang bertugas menilai buku yang layak terbit, terpaksa harus rajin membaca. “Saya menamatkan satu buku dalam tiga-empat hari,” katanya. Itu artinya sebulan ia bisa membaca sekurangnya 12 buku.

Untuk menerjemahkan karya- karya itu, Zahra yang dipimpin Muhammad Andy ini mempekerjakan ratusan penerjemah lepasan. Dari jumlah itu, penerjemah tetap biasanya hanya berkisar antara 10-15 orang. “Itu yang bisa bekerja cepat dan hasil terjemahannya sangat bagus,” kata Yudi. Untuk penerjemah berkualitas itu, pihaknya rela membayar Rp 15- 20 ribu per lembar.

Pekerjaan berburu buku diakui Yudi bukan pekerjaan mudah mengingat banyaknya penerbit besar yang juga melakukan hal serupa. Modal dan jaringan tentu saja mereka lebih jago. Tapi, namanya nasib, Dastan Books tidak jarang lebih dulu dihubungi agen buku di luar negeri. Mungkin karena kami selalu berkomitmen serius dalam menerbitkan buku-buku bermutu,” katanya.

Kalau pun tidak bisa membidik naskah yang belum diterbitkan, Yudi selalu memfokuskan buruan mereka pada buku-buku bagus dan pemenang penghargaan. “Kami utamakan jarak waktu penerbitan aslinya dengan terjemahan terbitan kami tidak lebih dari setahun,” katanya. Untuk satu naskah yang mendapat izin penerbitan, Zahra merogoh kocek setidaknya US$500.

Meski demikian, ada juga tawaran penerbit yang terpaksa ditolak oleh Dastan Books. “Kami pernah ditawari hak terjemahan pemenang Pulitzer,” kata penyuka fiksi thriller ini. Namun karena fiksi pemenang berkisah tentang perang saudara di Amerika, Yudi khawatir daya tarik fiksi berkurang. “Temanya tidak terlalu akrab dengan kebanyakan pembaca kita.”

Kini, dengan nama yang mulai dikenal orang, setidaknya sudah 10 fiksi yang mereka luncurkan. Buku-buku baru yang segera terbit di antaranya Cinderella Man, kisah hidup petinju legendaris Jim Braddock yang sudah diangkat ke layar perak. Lalu ada novel suspense Red Leaves karya Thomas H. Cook. Novel dengan gaya bahasa berputar-putar mirip jigsaw puzzle ini dinobatkan sebagai pemenang Edgar Award, penghargaan terkemuka untuk novel thriller, kriminal, dan pembunuhan.

Di kantornya yang terletak menjorok ke dalam di kompleks yayasan Fatimah—yang meliputi panti asuhan, koperasi, dan kedai buku, Yudi dan teman- temannya menyimpan impian yang tidak kecil. “Kami ingin menerbitkan setidaknya empat buku setiap bulan,” katanya. Dengan buku-buku bagus yang ia baca, buru, dan terbitkan, bukan mustahil impian itu tergenggam tangan.

Sunday, March 13, 2011

PLAGIATOR VS PENGARANG

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Pengarang yang mentalnya teriming-imingi keinginan menjiplak pesona karya para pendahulunya, ialah pengkarya yang tak memiliki keberanian mengeruk kesejatian di tengah peredaran sejarah. Terpedaya laluan kecil, lalu berhamburan bersuka ria, layaknya si bocah menyenangi permainan, tiada keinginan belajar lebih atas realitas. Sebayang-bayang terhapus, kala pamor yang dijiplak meningkatkan sorot cahaya, di siang hari jaman yang didengungkan.

Pilar-pilar keadaban insan tercipta oleh mereka yang sungguh menempuh nasib, bergulat pemahaman masa lalu ke jenjang dimungkinkan. Temuan dari kesadaran waktu dikumandangkan, bersegenap bacaan menguliti jatidiri, sebelum membangun segugus gagasan murni, sepantulan daya hidup menyerap-menggetarkan.

Tak terpungkiri, pergerakan hayat saling belajar, tentu tidak asal caplok menelan mentah sandaran yang ada. Harus menggapai bersemangat kuat, di sini fitroh mengangkat sumber mata air pribadi; tradisi juga wewarna menaungi. Ialah bebatuan berkarakter tinggi ditempa musim silih berganti soal membentuknya. Ikhtiar pengarang menuju alam-sesama dan saluran informasi yang menggerayangi.

Dalam pada itu, siapa pun pembawa hawa mentalitas menjiplak, menempati kesenangan rendah, surga terdangkal keramaian, manipulasi tak menghantar pencerah. Langkah tanggung, jauh dari tanggung jawab; keberanian palsu, tiada kemerdekaan, dan akrab siksaan. Bagaimana sanggup meloloskan seluruh hasrat kepengarangan, jika kaki-kaki lincahnya terjerat bebenang halus rayuan rendah?

Suatu bangsa mengalami tingkatan mutunya, jika penghuninya peduli-mampu mengudar karya pengarangnya. Yang siapkan diri menyunggi jaman dikandung gairah tertinggi; mendendungkan kebebasan tanpa dekte memincangkan ayunan, tak memicingkan pandangan yang ada.

Aku sebut satu saja, anak manusia benar-benar pengaruhi rentetan sejarah ke belakangnya; Voltaire, sastrawan Prancis berjasa besar untuk bangsanya juga bebangsa lain. Dia abdikan hidup demi prinsipnya, birahinya menanjak tak peduli laguan lama, terpesona sendiri dimasa-masa menempa, tiada waktu mencari-cari sewatak penjiplak.

Manusia-manusia unggul belajar kepada jiwa-jiwa paripurna, mematangkan nasib demi mentakdirkan nafas-nafasnya bersatu alam raya. Menyimak silang pendapat abad-abad lampau, maka telisiknya tidak terbodohi tak membodohi. Tapakan teliti mengudar kalbu fikiran, secahaya menerobosi lubang kunci pada pintu di malam gulita. Yang tersaksikan lorong cahaya tegas, andai menembus bidang air-sungai, meski terbengkokkan, nyata bergerak lurus.

Faham-faham abad lampau dipelajari ulang demi ketepatan berpijak, menyinauhi derajat maknawi realitas berhembusan. Politik siasat penguasa juga masa percobaan menjegal gagasan disimaknya dalam kurungan pelita. Renungan panjang kausalitas terpaparkan tanak hujatan keragu-raguan, dan was-was di sekitar meloloskan sikap kukuh disetiap lekukan kalimah.

Dalam kesusastraan Indonesia, ada beberapa pengarang ketahuan menjiplak namun masih disebut keberadaannya, juga karyanya yang lain meski bukan plagiat. Parahnya berbondong-bondong orang seolah hendak mengamini tak menolak. Yang terjadi kualitas bangsa belunder tidak mandiri, silau mental-mental tidak berpayah-payah. Maka sekali tradisi kebohongan didukung, jangan keliru disusul berikutnya, seperti biang kerok korupsi tak dipenggal, usah heran menjamur koruptor membeludak lagi.

Lebih edan sekaligus kumprung, orang-orang pernah njiplak ditokohkan. Alamak, memang tiada lain? Sekuat apapun yang ngincipi njiplak, tak patutlah dijadikan taulatan. Pribadi terpedaya muka, bukan kandungan isi menariknya. Sekadar mengada ataupun diadakan demi manipulasi sejarah.

Suatu bangsa masih mengedepankan penjiplak, jelas tak punya harga diri di mata bangsa lain. Ia telah merusak martabat, mencoreng muka negerinya dengan arang abadi. Otomatis tidak ada rasa hormat pada kaum pengarang. Pantaskah menjadi pembaharu meski karya lainnya baik? Tidakkah asal kepergokan itu, mentalnya dangkal kekanak-kanakan, juga bukti mengabaikan fitroh diberikan Tuhan.

Kebesaran bangsa terletak betapa keras anak-anaknya mengumpulkan puing berserak, mewujud impian moyangnya di hadapan lain. Bahwa lingkup nafasnya tradisi, budaya mengeram lama menjelma pondasi terpenting di tiap guratannya.

Dan sejarah berangkat dari pembenaran keliru akan jatuh ke jurang nista, hinalah meneguknya. Di sini sepatutnya berontak pada pendahulu picisan, memberondong umpat mereka yang bersikap kemayu mendukung penjiplak berkidungan kolosal pembenaran, mungkin ia teman lamanya.

Secara sederhana-hakikatnya, pengarang dalam hidupnya berusaha mencipta, mencari temuan anyar, mereka-reka pantulan hayat. Tentu tiada kesamaan nasib dengan lainnya, andai ada kemiripan, semata lagu kesejatian universal. Jadi rupa-rupa memirip-miripkan bukan temuan, sekadar pemalas tak menguliti masa-masa direguk, penyakit turunan tak menyehatkan hati fikir sesama.

Kesenangan semu, kelezatan kulit dicecap plagiator, mengelabuhi pembaca sekilas, tertipu sebab tidak berbaca ulang karya di samping semangat jaman pengarangnya. Terperdaya tampakan tanpa menelisik putaran keberadaan, atau kesadaran karya di belahan jiwa pengarang. Padahal itu bisa ditengok berapa rentang usia pengalaman, tampak di setiap lekukan kata kehadirannya atas ciptaan, ataukah sekadar sulapan.

Jalan-jalan pintas dilewati pemalas yang cepat terpuaskan meski pemalsuan; di mana kapan pun, pasti terlihat boroknya. Mentalitas nanggung di alam keraguan, tiada kehendak menanjak dan was-was mudahlah tertangkap.

Sejatinya, pembaca suntuk mengetahui sejauh mana kata-kata racikan, rakitan, atau sungguh dari jiwa sederajat capaian niscaya. Karena penyuntuk memahami kerasnya mbeteti sukma, menghardik watak picik yang diturunkan alam dangkal kerap memenggal jalur-jalur pencariannya dalam berkarya.

Yang terbuai tumpukan bebuku tanpa mencangkul ladang diri, tanpa mengeduk keberadaannya di antara bacaan. Sekadar menambah sampah nan buram tidak meyakinkan di belantara dunia.

Di tanjung karang menjulang; penggagas, penemu, pelopor, tidak kering kaki-kakinya oleh datangnya penimba, dibasahi guyuran para peneliti. Tonggak itu nancap menelisiki bawah sadar pembaca. Maka hanya penyetia hayatnya demi berkarya, datang kemudian mampu keluar dari jaring laba-laba.

Nyatalah pengetahuan penjiplak selebar daun talas, ragu memelanting, asyik bermain di wilayah sempit, hawatir terjatuh nan tak mampu menguap kembali. Padahal kejadian itu menghadirkan kemurnian dari pesona daun-daun. Atau yang terpikat kilau terlupa dirinya ada inti cahaya, serupa kemalasan yang mengambil untung kemenangan para pelaku sebelumnya.

Tiada dalam sejarah dunia, pengarang yang kepincut menjiplak menjadi pemersatu dan jelas tak punya ajaran. Atau ujaran-ujaran terpantul darinya tak layak dan tidak langgeng dinafaskan. Ia hanya pengacau temuan sebelumnya, tiada isme dibelakang namanya, dan tidak pantas menduduki kursi kepengarangan sejati.

Karena kerja mengarang berangkat dinaya lahir-bathin nalar-perasaan menyatukan tekad, menyusuri laluan belum terjamah, air ganjil tak tersentuh, membuka kelambu asing belum terfikir. Maka jikalau terdapati mencontek, wajib dipertanyakan, sebab kerahasiaan insan tidak sama meski keyakinan serupa. Penyakit serakah ini paling buruk daripada tamak pada benda. Karena mengarang mengolah ruh rasa memendarkan kesadaran puitika penyimaknya, dengan bobot seirama lebih.

Sebenarnya, olah cipta dapat dinilai turunan, pencarian, ataukah penggembira. Ini terlihat perjuangan dalam kehidupan, pengorbanan kemanusiaan. Tersebab tidak mungkin keyakinan cemerlang, kalau tidak ditempa ribuan soal jutaan masalah menggayuh. Minimal gagasan penulis sejati yang tak ke medan sosial langsung berwatak keras, karakter tanggung jawab dikeluarkan, telah ditimang selaksa menimbang nyawa di depan algojo;

pergulatan bersama masa-masa penciptaan, sebelum dihadapkan berpundi-pundi kemenangan, selepas sekapan. Kerangkeng nalar-hati menggemuruh, ruh karya meledak segunung memuntahkan lahar. Andai alunannya halus, telah melewati ketabahan tanpa pamrih, kecuali demi abadi ke tanah dijanjikan.

Panggilan menjadi pengarang semisal undangan berjanji, kesaksiannya dipertanggungjawabkan, nilainya kejujuran. Tepat hidupnya mandiri, dinamis menggalang kejayaan umat. Yang rasanya tidak berharap sepeser pun kecuali gagasan ditimbangnya lama diterima sewarna kain maslahat. Andai tak sampai, jiwanya dicukupkan kesaksian hari-harinya bersuntuk mempelajari lekukan hayat.

Seperti penyeru ta’at atas apa yang diserap, siap menanggung resiko terburuk pada segenap dinaya capaiannya. Keimannya pada ondakan penelitian, serupa kefahaman menyeluruh merasai udara sekeliling. Di sana mencecapi madu murni tempaan waktu, maka tiada mungkin dilepas sekejapan. Itu nirwananya, keintiman bathin kepuasan iman pada pencariannya tidak menyerah, kecuali diambil nyawanya oleh el-maut.

Lamongan, JaTim, Untuk 8 Maret 2011

Problematik Teater Remaja (SMA)

(Dialog Jambore Teater Remaja 2008) Pendopo TBJT, 2 Agustus 2008
Pemateri : Eko ‘Ompong’ Santoso (Yogjakarta) AGS Arya Dwipayana (Jakarta).
Pemandu : R Giryadi (Surabaya)
http://teaterapakah.blogspot.com/

Kendala Aktualisasi

Kendala utama yang banyak ditanyakan dalam forum dialog oleh para peserta Jambore Teater Remaja 2008, adalah sulitnya mengaktualisasi diri. Aktualisasi diri ini disebabkan kesalahan persepsi orang tua terhadap kegiatan teater. Rata-rata orang tua menganggap kegiatan teater tidak bermanfaat.

Hal ini seperti diungkapkan peserta dari Teater Lab 56 SMAN 1 Kalisat Jember. Dikatakannya bahwa problem utama berteater adalah tidak adanya kepercayaan orang tua terhadap kegiatan ini. Padahal menurutnya teater banyak manfaatnya. “Saya kesulitan mendapatkan ijin dari orang tua. Bagaimana bisa menjelaskannya?” katanya,

Dipihak lain ada juga yang menanyakan manfaat teater. Penanya dari teater Hitam Putih SMAN 1 Tuban ini lebih detail ingin menanyakan manfaat teater. “Kata Pembina saaya teater itu manfaatnya sangat luas. Apa yang dimaksud dengan luas?” tanyanya.

Mendapat dua pertanyaan itu, dua narasumber secara bergantian memberikan ilustrasi tentang manfaat teater dan mengapa teater selalu disalah artikan oleh orang tua. Eko Ompong Santoso memaparkan, bahwa semua kegiatan yang dilakukan pada dasarnya bermanfaat, asal semua dilakukan secara bersungguh-sungguh. Karena pada dasarnya berteater itu juga belajar memahami kehidupan. “Segala sesuatu yang kita lakoni dalam hidup ini bisa direfleksikan dalam teater,” kata Eko.

Lebih lanjut Eko Ompong memaparkan, bahwa sebenarnya teater merupakan bentuk terkecil dari kehidupan. Berteater pada dasarnya mencontoh segala hal yang terjadi dalam kehidupan. Kalau ada perbedaan persepsi dengan orang tua, Eko menyarankan hal tersebut jangan dijadikan beban tatapi sebagai tantangan.

Sementara itu, AGS Arya Dwipayana atau yang biasa disapa Mas Aji ini mempertegas pernyataan Eko Ompong. Menurutnya, tujuan teater tidak hanya sekedar panggung atau pentas saja. kalau orientasinya ke panggung, makna teater menjadi sempit. Teater terkait dengan proses yang sangat panjang. “Teater merupakan tempat untuk berlatih bermasyarakat dalam bentuk yang paling sederhana,” tegas Mas Aji.

Dipaparkannya, bahwa berteater itu didalamnya terdapat pelajaran bekerjasama, menghormati orang lain, tanggungjawab, disiplin, dan lain sebagainya. Drama atau teater juga bisa untuk dimanfaatkan untuk pembangunan karakter. Karena didalam teater juga dipelajari tentang olah rasa. Dia menconto beberpa sekolah di luar negeri mewajibkan pelajaran drama. Hal ini terkait dengan pembangunan karakter siswa. “Jadi kalau berbicara manfaat, manfaatnya sangat banyak,” kata Mas Aji.

Namun Mas Aji, memaklumi kalau banyak orang tua yang kurang memberikan perhatian pada kegiatan teater. Hal ini disebabkan pemerintah sendiri tidak mempunyai goodwill tentang kebudayaan. Menurutnya pembangunan bangsa hanya melalui pendekatan ekonomi. “Hampir-hampir semua pembangunan diorientasikan pada ekonomi,” katanya.

Tak salah kalau akhirnya banyak orang tua yang cari selamat. Mereka banyak mengarahkan anaknya untuk berkegiatan yang punya nilai ekonomi. karena itu untuk meyakinkan orang tua, Aji menyarankan agar para siswa giat berlatih, untuk membuktikan bahwa berteater juga ada manfaatnya. “Anggap saja larangan orang tua sebagai bagian dari proses berteater,” tegasnya.

Problim Teknis

Pertanyaan yang tidakkalah menariknya adalah tentang seluk beluk teater. Seluk beluk teater ini banyak ditanyakan oleh peserta dialog. Yang pertama ada yang menanyakan tentang perbedaan antar teater dan drama. Kedua ada juga yang menanyakan bagaimana cara berakting yang baik dan ketiga bagaimana metode menyutradarai yang baik.

Pertanyaan pertama disampaikan oleh peserta dari Teater Angin SMAN 2 Tuban. Dia mengaku masih bigung membedakan antara teater dan drama. Menurutnya selama ini dirinya tidak bisa membedakan apa yang dimaksud drama maupun teater.

Pertanyaan kedua disampaikan oleh peserta dari Teater Pandhan Room dari SMAN 2 Bangkalan dan juga dari teater Angin SMAN 2 Tuban. Kedua penanya ini mempertanyakan bagaimana tekni berakting yang baik. Penannya dari Teater Angin Tuban mengatakan, kalau dirinya sering terbawa dengan karekater yang pernah diperankan. Ia mencontohkan, pada penampilan pertama ia memerankan tokoh berkarakter garang seperti penjahat. Pada penampilan ke dua ia memerankan orang yang alaim. “Tetapi kendalanya saya sering terbawa dengan karakter peran saya yang pertama,” katanya.

Sementara penanya ketiga menanyakan tentang pendekatan penyutradaraan. Peserta dari SMAN 1 Papar, Kediri ini mengaku terkendala memilih pendekatan penyutradaraan. Menurutnya dengan metode otoriter (ditakor) ada kelemahanya, begitu juga dengan pendekatan (demokratis) juga punya kelemahan. “Kalau ditaktor, siswa cenderung melawan. Sementara kalau demokratis tidak akan memenuhi target,” katanya.

Mendapat pertanyaan ini Mas Aji tidak menjawab banyak, mengingat waktu yang sangat terbatas. Mas Aji mengatakan masalah perbedaan teater dan drama akan dijawab secara akademis oleh Eko Ompong Santoso. Tetapi dia memaparkan, pada dasarnya Indonesia punya sejarah yang panjang tentang pemahaman teater. Dia mengilustrasikan, kata teater tidak popular bagi sebagian orang misalnya orang betawi. Mereka menyebutnya Tonil. Hal ini menurut mas Aji karena factor sejarah. Di betawa misalnya menyebut tonil, karena dulu kebudayaan yang dibawa oleh penjajah Belanda disebut tonil, oleh Suryadi Suryadiningrat (KI Hajar Dewantara) disebut sandiwara. “Orang betawi tidak mengerti teater, tetapi tonil,” katanya.

Sutradara teater tetas ini menegaskan, kalau teater pasti berhubungan dengan panggung. Segala sesuatu yang dipentaskan di atas panggung disebut teater. Apakah disana ada konfliknya atau tidak, selama dipentaskan dalam panggung pertunjukan dinamakan teater. “Arti teater pada dasarya gedung pertunjukan,” katanya.

Sementara Eko Ompong lebih mempertegas pernyataan dari Mas Aji. Menurutnya drama berkaitan dengan sastra. Yang dimaksud drama adalah naskah lakon. Selum dipertontonkan naskah itu disebut drama (karya sastra). Kalau sudah dipertontonkan dinamakan teater.

Drama berkaitan dengan penulisan dan analisis naskah, seperti didalamnya ada konflik, latar (setting), penolohan, plot, alur, dan tema. Karena drama juga disebut cerita tentang kehidupan. “Kalau naskah itu kemudian dipentaskan dinamakan teater,” katanya.

Sementara itu menjawab pertanyaan lainnya, seperti bagaimana berakting yang baik dan bagaimana menyutradarai yang baik, Eko menegaskan hal itu tidak bisa dijawab sebelum ada pertanyaan apa? “Pertanyaan bagaimana hanya bisa dijawab kalau anda tahu dulu ‘Apa’?” kata Eko, bertanya balik.

Dipaparkan Eko, untuk mengetahui berakting yang baik, pertanyaannya bukan bagaimana, tetapi apa. Apa yang ada dalam naskah tersebut, apa tokoh, apa karakter, dan apa yang lainnya. “Kalau tidak tahu apa, tidak bisa menjawab bagaimana,” katanya.

Begitu juga dalam menyutradarai tidak bagaimananya yang ditanyakan, apa itu sutradara, baru bagaimana menyutradarai,, Seorang sutradara harus tahu apa itu sutradara berikut tugas dan fungsinya. Kalau pertanyaan ini tidak bisa terjawab, maka tidak mungkin seseorang bisa menyutradarai dengan baik.

“Jangan menjadi generasi ‘bagaimana’ atau piye. Tetapi jadilah generasi apa,” tegasnya.

Saran-Saran

Selain pertanyaan tersebut di atas, juga ada saran-saran yang disampaikan oleh Pembina teater di SMA. Saran petama hadir dari Harwi Mardianto, guru tetar dari SMKN 9 Surabaya. Ia menyarankan agar kegiatan jambore dimanfaatkan seoptimal mungkin, terutama untuk menjalin komunikasi.

Menurut Harwi, para peserta sebaiknya saling saring kepada peserta yang lain sehingga tahu kelebihan dan kelemahan masing-masing sekolah. “Orang teater harus kreatif. Jangan malas, orang teater tidak malas,” katanya.

Sementara dari Pembina SMAN 1 Papar, Kediri, menyarankan agar Taman Budaya Jawa Timur juga mengadakan festival teater remaja di daerah-daerah. Menurutnya agar panitia tahu persoalan teater di daerah yang sebenarnya. Begitu juga ia menyarankan agar panitia juga mengadalan pelatihan bagi pembina teater di daerah.

Surabaya, Agustus 2008

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: March 2011 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates