Sunday, February 27, 2011

KORUPSI, MUSUH BESAR REVOLUSI

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Ini kata-kata terkepal padat kan menumpas kejahiliaan, memotong lengan busuk, membakar sampah bertumpuk demi damai perjuangan. Musik yang didengungkan bangsa berkeniscayaan memberkah kemenjadian -sentausa.

Di sini tiada impian, itu hanya pemilik bersuka angan kemalasan, lalu uang licik melicinkan hasutan. Selera manipulasi pengetahuan di atas kepicikan. Mereka mengorbitkan kacungnya berpropaganda pembodohan dan sebagian kita riang mengikuti tariannya, padahal selepas itu ribuan siksa mendera.

Plakat kemayu menghisap seluruh daya di televisi, di jalan-jalan menyayati pepohonan dipakunya gambar kaum koruptor. Betapa mudah kita memberi hak suara yang belum jelas pejuangannya, rupa pemanis buatan dipastikan mencipta kepedihan lama.

Tarian itu kampanye menyenangkan sesaat, kemudian kekayaan negeri dikeruknya habis tuntas. Yang terpampang menyediakan kabar seimbang, padahal segenap kasus tiada diselesaikannya becut.

Atas matangnya perhitungan, para jahanam seenaknya mendapati remisi dengan alasan tidak berakal, setelah menghabisi perbendaharaan lewat pangkat jabatan. Sementara maling-maling kelas teri, meringkuk di tahanan pengab tak ber-prikemanusiaan.

Kata-kata tegak ini terhimpun sehitam kesumat atas semua kelas tidak membiak, tambah ambruk ke jurang kebinasaan. Olehnya aku kumpulkan keseluruhan jejiwa kepadanya, aku salurkan melalai jari-jemari mengeras.

Inilah lesatan sehabis menyusuri lorong gemerlap keangkuhan; tiada mata lembut memandang para pengemis, pengamen, anak-anak terlantar di kota-kota terutama Ibukota, yang tersisikan dianggap kotoran tak dimanusiakan.

Tidakkah nyanyian kenyang mereka berasal jumlah gaji tak masuk nalar. Sedang di sana-sini kelaparan melanda, mengguncangkan iman, dan penyakit menderai warga miskin yang tidak dipedulikan pemerintah.

Mereka kencangkan dasi, kaca-kaca mobilnya tertutup rapat melewati pemukiman kumuh. Ini kudu dipercepat pemberangkatannya, membocorkan kerakusan dunia dengan menarik simpati suci, mengoreksian langkah, guna tidak keblusuk kembali.

Kita cukupkan dagelannya keluar masuk bui, tetapi masih dihormati bak pahlawan kesiangan. Kalau kita sedikit saja menahan letih, akan sanggup memurnikan tanah air pertiwi, menjebol waduk-waduk kurang berfungsi.

Penderitaan bertumpuk, kemanjaan sebahan menunggui kaki kesemutan. Melangkahlah, santuni yang benar butuh. Tak guna menyokong keluyuran, menghabisi gaji sekadar ugal-ugalan. Sementara di tempat sidang terlelap atau memandang sebelah mata ketimpangan, njomplang.

Sudah cukup kekumprungan para petinggi, seolah lelangkahnya demi kepentingan bangsa; pengawalan ketat, jalan-jalan disteril mempermudah laluan. Tapi selepas di kantor ongkang-ongkang kaki, terbukti banyak hal mendesak malah diabaikan.

Penggusuran tidak manusiawi, tiada lahan pengganti pemerataan. Kian berlomba mengeruk untung bagi perutnya buncin meledak, atau digerus cacing-cacing busuk seperti fikiran jahatnya.

Menimbun kekayaan tidak abadi, mencipta kebijakan yang meresahkan rakyat, bebahan tambang dikeruk bangsa asing. Atau dijual untuk tampang menterang yang sejatinya keropos, demi muka kejayaan segelintir ialah para pemilik hasrat serakah.

Ini suara-suara dibawah sadar membaca, mawas bercermin tidak mudah tertipu warna bendera. Tak terhanyut laguan iming-iming janji muluk keluarnya gedebus.

Mulut-mulut bungkam membuktikan ketakpercayaan, perdagangkan ilmu untuk nikmat sesaat. Bencana oleh ulah pakolah bejat, serupa begejil menghisap darah anak-anaknya, maka mari menerbangkan ini.

Ini nafas batu, tiada embun selain hati nurani yang setiap pagi memaafkan. Namun bebatu ditimpa siang terik keangkuhan, menggiring perasaan senjakala mematikan.

Tiada niatan memakmurkan bangsa berpengetahuan di atas kekayaan termiliki, tetapi semakin melindasi batu-batu oleh kendaraan berlesatan, tiadanya andap ashor sopan santun sesama.

Dan bebatuan di tangan tertindas menjelma awan, kelak menutupi cahaya kebangsaan. Kan gelap jalanan kesibukan menggila mencari kedudukan benda. Mendung menyebar di ubun-ubun, hujan batu ke mulut tamak, kepala lunak dimanja ketakutan hari depan. Pada hari ditentukan gelap semuanya, tak ada yang melintasi jalan-jalan raya.

Yang takut hujan deras, orang-orang di panggung bersegala kelicikan menyembunyikan kepemilikan. Yang bernasib pekat mengalami kesulitan gulita; betapa terang memandang para begundal terbirit ke selokan hukum-hukum turunan, penjajahan.

Ingatlah gerhana matahari tak datang setiap waktu, manfaatkan menumpas para pesolek menjerumuskan wewatak pembodohan berulang. Tengok buku “Doktrin Revolusi Indonesia” disusun S. Soedarman dan R.S. Jitno, penerbit Narsih Surabaya, Djalan Pasarkembang no 5, Djanuari 1963, pada Lampiran:

Keputusan Dewan Pertimbangan Agung tentang Perintjian Persoalan-persoalan pokok dan Program umum Revolusi Indonesia jang diambil dari Manifesto Politik Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1959, pada bagian 5 halaman 95, yang menyoal: Tentang Musuh-Musuh Revolusi Indonesia, sebagaimana kupetik di bawah ini dengan ejaan sekarang:

“Mengenai musuh-musuh yang sebenarnya dari Revolusi Indonesia adalah sangat penting, agar jangan sampai musuh dijadikan teman dan teman dijadikan lawan dalam revolusi. Semangat daripada Manifesto Politik ialah semangat melawan imperialisme disemua lapangan. Jadi tidak disangsikan lagi, bahwa musuh Revolusi Indonesia adalah imperialisme.”

Lanjut: “Jadi imperialis mana saja yang mencoba-coba memperdayakan Republik, yang membantu kontra-revolusi atau menjalankan sabotase-sabotese ekonomi adalah musuh-musuh Rakyat Indonesia.”

Dan srigala imperialisme kini membungkus tubuh-tubuhnya berbulu domba menujukkan gigi-gigi runcing cemerlangan di podium politik. Mencuci bersih bentuk korupsi saat kampanye, tatkala menduduki jabatan, sabotase-sabotase dilakukan;

membakar pasar-pasar tradisional, mengusir pedagang kaki lima tidak memberikan tempat layak, menggusur rumah-rumah penduduk serta pekuburan bersejarah. Menumbangkan bangunan peninggalan perjuangan, diganti gedung menjulang tak menyisakan uang sepeser pun bagi rakyatnya terjepit kelaparan.

Keangkuhan kian hari meraksasa. Imperialis tak hanya dari asing, juga bangsa sendiri berwatak sinting. Berhasrat mengeruk untung tak peduli sesamanya, mereka memperdayai republik menjadi kelinci percobaan, di atas konsep perekonomian yang tak bernafas kerakyatan.

Lamongan, Lampung, Jogja, februari 2011

PUISI DI RAGANGAN BUIH

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Tahun ini, seorang anak keponakan saya, Vivi Sudayeni memenangkan lomba Cipta Puisi di Sragen, dalam perayaan Memperingati 10 Nopember, di mana sebuah sanjak bernapaskan kepahlawanan berhasil diciptakannya dengan bagus sekali. Tahun sebelumnya, diamenjuarai lomba baca puisi. Sebenarnya, kalau hanya lomba baca puisi, saya tidak begitu puas. Kepuasan itu justru lahir karena melihatnya, bahwa diapun mampu menciptakan puisi-puisi yang merekam aneka pengalaman masa remajanya yang intens. Lebih daripada itu, di kabupaten yang kecil itu, belum banyak saingan yang memadai, diantara generasi muda. Maka, sungguh suatu kelebihan jikalau dirinya mencoba menggubah untaian sajak, dan ternyata dapat pula membawakannya di depan umum. Dalam soal lain semacam ini, barangkali bukan soal daya minat yang berkembang, bagi gadis-gadis di bawah usia 17 tahun, melainkan juga bagaimana dengan tendensi untuk menyaring dan mendulang butiran intan kata per-kata, hingga sanpai kepada saripati yang mentes. Kemenakan saya yang lain, seperti Dian Ramadianti mahir sekali menciptakan lagu-lagu untuk sejumlah puisi yang ada, kemudian menyanyikannya, dengan gubahan yang memikat. Tapi di SMP itu, dia belum timbul “greget”nya untuk menciptakan puisi.

2.
Selama beberapa tahun terakhir, kota-kota kebupaten di Jawa seakan berlomba memperingatai Hari Chairil Anwar, yang konon adalah hari wafatnya, bukan hari kelahirannya. Pada peringatan-peringatan semacam itu, banyak puisi tercipta dandipergelarkan, baik dideklamasikan, dilagukan, didramatisasikan, maupun dibawakan dengan cara-cara khas remaja bersangkutan. Ada gejala yang umum, bahwa kaum muda berkecendrungan romantik, bahkan sentimental—hingga puisi-puisi mereka berkesan mendayu-dayu,membinarkan rasa cinta yang lembut, namun agak cengeng. Kalau kita, para angkatan tua ini meluangkan waktu untuk menyimak trend dari persajakan masa kini, kita niscaya menemukan kenyataan-kenyataan berikut : pertama, ada terasa himbauan patriotik, yang bukan muncul dari dasar jiwa, melainkan karena pengaruh pelajaran-pelajaran di sekolah. Jadi belum mendarah daging. Kedua, terdapat keinginan untuk menunjukkan harga diri, dalam rangka pengungkapan eksistensial. Ketiga, terdapat ambisi keremajaan, agar secepatnya dikenal di kalangan mitra sepergaulan, agar terangkat namanya (walau seketika, dan secepat itu padam nyalanya), dan dianggap menokohi kawan-kawan sebaya. Tapi hal itu masih ditambah oleh kenyataan, bahwa penulisan puisi memerlukan tanggungjawab moral yang besar. Remajawan yang kepingin bersyair, umumnya belum menyadari, sejauh mana gema karyanya. Maka seringkali terasa, dia belum tahu, mana kikis, mana tembok pembatas, mana batas kerawanan—mereka menulis dan menulis, dan menyita seluruh waktu. Jika umurnya dewasa sedikit, ada upaya untuk menggapai tataran lebih arif. Dalam banyak hal, bukankah komunikasi kewilayahan kecil lebih memberi bukti betapa kompetisi di jalur senior-yunior meminta kejujuran?

3.
Selama tahun 1988 dan 1989 lalu, saya menyaksikan dua sahabat penyair masing-masing Kuswahyo SS Raharjo dan Muhammad Nurgani Asyik tampil di Auditorium “Karta Pustaka”–gedung persahabatan Indonesia-Belanda yang terkenal di Yogyakarta—yang mendapat sambutan gemuruh yang mengesankan. Penyair yang disebut terdahulu menyanyikan tentang suasana pedesaan yang menentramkan, yang segar dan masih menyimpan rindu. Namun diapun mempertanyakan, kenapa dalam damai semacam itu, tiba-tiba kita merasa mendapat tantangan yang mengejutkan. Sedangkan Nurgani menyampaikan amanatnya tentang kehidupan teduh di tengah suasana teknologi yang berlangsung di bumi “yang dilanda risau”. Paling tidak puisi-puisi yang disampaikan kedua penyair kuat Yogyakarta tersebut, yang masing-masing menyanyikan puisinya, dengan segala kemungkinan yang dapat disentuh, yang lekat dengan pesta sukmawi, yang sudah barang tentu pantas disimak. Suatu kelebihan, bahwa arena di “Karta Pustaka” sudah dapat memberikan suatu lantunan yang baik bagi puisi-puisi Indonesia, karena bila Kuswahyo yang berdarah Jawa ini aktif dan menekuni musik dan gamelan, maka Nurgani yang berdarah Aceh sangat mendalami musik modern disamping musik klasik. Tentu saja, konsert kecil yang dipersiapkam untuk mendukung pentas-gelaran kedua penyair tersebut mengundang perhatian yang semarak, karena menggugah bangkitnya warna-warna baru jagad perpuisian nasional masa kini, yang di daerah lain belum pernah disentuh.

4.
Kebanggaan dapat juga kita rasakan, kalau kita lihat di Surabaya, di mana gedung Lembaga Persahabatan Indonesia_Amerika di Jl. Dr Sutomo(kini pindah di Damarhusada Indah), secara aktif memberikan kesempatan kepada artis daerah untuk mengunjukkan kebolehannya. Dalam hal begini, puisi tradisional dan puisi nasional memperoleh porsi seimbang; karena geguritan Jawa yang disampaiakan oleh Mitra Susatra Surabaya, berikut pembacaan Macapatan oleh kaum sepuh dalam Wusana Citra, paling tidak dua bulan sekali dapat tampil, bahkan dengan instrument ala kadarnya, yang disediakanoleh tuan rumah. Sedangkan bagi para penyair muda yang bersanjak dalam kelompok Penyair Surabaya Post, bahkan dapat secara bebas triwulan sekali mengajak penyair-penyair kota-kota lain, untuk bersama-sama menggunakan arena ini. Disamping itu, maka Dewan Kesenian Surabaya yang memiliki pentas-pentas yang pantas, secara khusus juga sering mengundang sejumlah penyair, baik dari kabupaten-kabupaten sekitar, dari propinsilain, maupun dari Luar Jawa(yang sudah barang tentu memerlukan akomodasi yang cukup mahal, honorarium lumayan, yang hanya lembaga milik pemerintah yang mampu memenuhinya!), dan selama dua puluh tahun terakhir sudah memperlihatkan kesanggupannya. Saya dengar, Mitra Sastra di Universitas Diponegoro Semarang juga memiliki sanggar terpadu di sebelah utara kota, untuk pembacaan puisi yang kini mewabah. Tidak ketinggalan Kelompok Kopisisa di Purworejo, yang bekerjasama dengan Radio Khusus Pemerinntah Daerah, tahun silam menampilkan acara pembacaan puisi beberapa kota, disusul oleh Arena Budaya dari IKIP Muhammadiyah Purworejo, yang tidak ketinggalan tahun ini membuka forum Pengadilan Puisi Penyair Lima sekawan dari tiga kota. Prospek-prospek yang terllihat menunjukkan gabungan niat serius, antara gairah berkarya cipta sastra, apresiasi kepada kaum awam dan pemasyarakatan puisi. Suatu kenyataan, yang sudah barang tentu menggembirakan karena segi ini ternyata juga memperolah perhatian Pemda yang dengan sejumlah anggaran bisa memacu aktivitas kesenian di kota-kota kabupaten, hingga berkesinambungan.

5.
“Berjagalah di batas harapan dan impian,” kata Chairil Anwar. Saya pikir, ucapan ini adalah simbolik. Harapan seorang pejuang, jikalau dilukiskan oleh sastrawan, maka ia langsung memperlihatkan momentum pengabdian terus menerus, kepada dunia yang diyakini bakal jadi miliknya. Tentunya, saya mengumpamakan sebagai kemilikan positif-altruistis, bukan sesuatu yang egoistis. Secara demikian, akan terasa, bahwa dalam membela Tanah Air, maka penyerahan total hidup kita menjadi tanggungjawabpaling utuh pula. Kita bukan mendewakan patriotisme sebagai idaman yang susah dijangkau. Yang dipentingkan dalam andaran ini, sebagai orang muda, pengisian waktu-waktu yang dimiliki, dan bagaimana sang waktu diperas untuk mewakili kadar-karya yang dirajut. Kalau berbicara tentang impian, maka dimaksudkan di sini, sesuatu yang memberikan penorama terindah bagi”suatu corak budaya yang lebih esensial”—ketimbang hal-hal yang cuma berkembang wantah di kaki langit. Jadinya, kalau menyebut apa yang diharapkan dan apa yang diimpikan—danmenuangkan ide-ide orang muda, sasarannya pun harus memberikan penonjolan buat dipikirkan pada garap-lanjut. Harus dijumlahkan pula inventarisasi masalah yang masuk hitungan, karena saatnya tiba untuk dibawa gagat-lahir karya sastra hendaknya lalu menyumbangkan arus yang kuat, sebelum si empunya mahir berbicara dengan matabajak dan cangkulnya. Sejauh inipun, kalam yang berujung runcing senantiasa siap jemput!

6.
Alhasil, apakah begitu berjubel penyair muda dewasa ini harus dinantikan kiprahnya, pada hari-hari perayaan nasional, ataukah hanya hari-hari biasa, yang dialami sebagai insan biasa, di tengah riuh rendahnya pasar sepanjang hayat ini? Manusia memerlukan tebing pengganti, di kala tebing-tebing kalinya yang rengkah menunggu perbaikan, agar air takkan melimpah dan menjadi air bah yang menenggelamkan diri sang penyeberang. Catatan terhadap karya-karya yang rumpil, serta bagaimana mengawetkan sejumlah petikan buahkalam yang membanjir, mengundang media massa-cetak dan media elektonik untuk mengangkatnya sebagai jemputan seadanya. Para penyimak gubahan nan menyemak, nakal melihat jadwal-jadwal persoalan di dalam kehidupan penyair, jikalau hendak memberikan penilaian lebih adil. Di kabupaten, kotamadya, kota administratif dan distrik-distrik kecil, darimana tampil pengarang-pengarang puisi yang subur, semerbak, dan merimbun seperti dewasa ini, bukan kritikus handal yang dibutuhkan, melainkan pembaca sabar-setia, yang dalam kesehariannya adalah pemegang rubrik puisi di radio, atau bisa juga redaktur sastra yang tahan berjam-jam membacai ragam karya belang-bonteng, centang perenang. Kalau ini tidak terdapat, kita bakal kehilangan tugas seleksi, sortiran, bahkan penentuan peringkat, ditinjau segi praktisnya karena, pergelaran puisi pada dasarnya, mengundang orang-orang yang kepingin mencicipi saja, “kayak apa” bakat alam yang terpendam. Masih langka penyelaman puisi serius, oleh publik selektif, pada kurun-kurun gelisah begini.

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI; DALAM SUATU PENCARIAN

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

PENGANTAR

Seluruh dari kita, pastinya sepakat kalau saya mengatakan kehidupan manusia ini selayaknya perjalanan dari suatu tempat menuju suatu tempat yang lain. Dalam perjalanan itu, kita akan menemukan berbagai persoalan, entah persoalan yang menyenangkan maupun yang tidak kita senangi. Pun, selayaknya dalam perjalanan juga, dapat dipastikan kita melewati suatu jalan yang kita pilih. Terdengar menyenangkan saat membayangkan keadaan ini, berjalan dalam suatu perjalanan yang kita ingini, di jalan sendiri yang kita pilih, dengan menggunakan kendaraan yang dipilih juga sendiri kemudian diusahakan, demi menuju ke suatu tempat juga yang sudah kita tentukan.

Dalam perjalanan itu, seringkali menemukan berbagai macam hal yang berbeda dari apa yang ada di dalam pikiran. Misalnya saja, kita bertemu dengan seseorang yang memiliki jalan lain dengan tujuan yang (mungkin saja) sama dengan kita. Namun, banyak sekali perbedaan yang akan kita temukan, entah itu jalan, kendaraan, atau sikap dan cara pandang seseorang tersebut di dalam menjalani perjalanan(hidup)nya.

Tulisan ini, adalah uraian mengenai aspek-aspek perjalanan yang termuat di dalam surat Sekuntum Bunga Revolusi, X : I-XCI dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat (2007) karya Nurel Javissyarqi yang diterbitkan oleh Pustaka Pujangga.

Perjalanan di dalam surat ini terekam, yang menurut saya merupakan pencerminan dari kehidupan sang penyair itu sendiri, tentang bagaimana dia menentukan sikap dalam hidup dan cara menjalani kehidupannya. Lebih jauh dari itu semua, si penyair yang terus saja menisbatkan diri sebagai “pengelana” secara tidak langsung mengumpulkan berbagai pengalaman perjalanan yang (semoga) dapat memberikan manfaat untuk kita yang membacanya. Bukan suatu hal yang baru, ketika kita membaca perjalanan orang lain dan menemukan pengalaman di sana sebagai guru untuk mendidik jiwa kita sendiri.
Dari sini, kita bisa mengambil manfaat dari ungkapan “belajar dari pengalaman orang lain” yang mana, sastra merupakan pencerminan sosio-budaya masyarakat (Teuuw, 1990: 11) yang terekam oleh seorang sastrawan. Dalam analisis ini, untuk mengetahui pengalaman yang terdapat di dalamnya, menurut saya, lebih tepat jika kita mendekati menggunakan skema Fenomenologi yang memandang objek sebagai kesatuan dengan bertumpu pada pengalaman intuitif (Eagleton, 1983: 87). Nilai pengalaman yang diracik Nurel Javissyarqi coba kita pahami dalam konteksnya sebagai seorang pengelana. Walau tidak setiap kita ingin menjadi pengelana, namun mari kita mengikuti sang Nurel Javissyarqi dalam menskema dan menorehkan pengalaman.

JALAN

Hal pertama yang ingin saya uraikan, tidak pada tujuannya akantetapi lebih pada jalan mana yang akan kita pilih. Sebab, tujuan sudah ada di dalam gambaran, jikalau manusia hidup tujuannya beraneka ragam, dan berhenti dengan mati. Karena itu, sebelum kita sampai pada mati, alangkah lebih baiknya kita menentukan jalan terlebih dahulu. Seperti yang juga diungkapkan NJ di bait pertama Sekuntum Bunga Revolusi, yaitu:

Sebelum jauh tulisan ini melangkah, ingin menyapamu terlebih dulu;
apakah mimpi perlahan mulai sirna oleh sorot matahari realita menempa jiwa,
entah masih ada, malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa (X: I) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)

Sebelum tulisan ini jauh melangkah, begitu NJ membuka tulisan ini dengan bahasa yang teramat sederhana namun sudah memberikan kita patokan. Ini menyoal langkah, berarti ini menyoal perjalanan. Pada tahap ini, NJ sama sekali tidak menanyakan mengenai kabar, tapi jauh pada penggerak langkah manusia, yaitu mimpi. Manusia melangkah dalam suatu perjalanan perjuangan karena dorongan mimpi atau keinginan. Pergerakan manusia tidak terjadi begitu saja, melainkan dikarenakan adanya stimulus atau rangsangan (Woodworth dan Schlosberg dalam Walgito, 2002: 9). Stimulus atau rangsangan dapat berupa apa saja, salah satunya adalah gerak yang dilakukan karena mimpi (atau cita-cita/ keinginan).

Untuk membawa seseorang di dalam suatu perjalanan, maka pertanyaan mengenai mimpi yang diusahakan cukup realistis, mengingat mimpi itu yang menjadi rangsangan sekaligus menjadi bahan bakar. Keberadaan dari mimpi ini, bisa saja hilang atau berganti karena berbagai faktor, salah satunya keadaan yang tidak mendukung. Misalnya saja, saya ingin menjadi seorang polisi namun karena saya tidak begitu baik (tidak tahan) berlari, maka otomatis saya gagal. Tapi tunggu sebentar, karena ini mimpi, saya pun berniat mengusahakan sampai pada titik-titik tertentu agar cukup terhormat ketika menyerah. Lalu, saya mendengar adanya isu (katakan saja sebagai gosip murahan) bahwa dengan uang pelicin, yang tadinya saya payah dalam berlari, ya tentu saja karena jalannya sudah licin.

Taraf untuk mencapai mimpi itu sudah berada di depan mata, ibarat tinggal melangkah sejengkal dan mimpi akan segera terwujud. Namun dasar apes juga nasib manusia, uang yang dipersyaratkan untuk melicinkan jalan agar bisa berlari dengan baik jumlahnya banyak. Katakan saja, lima puluh juta sedangkan saya hanya memiliki lima puluh ribu. Kontan, mimpi itu pun gagal dan sirna begitu saja mengingat berbagai kelemahan yang tidak sanggup saya tutup dan perbaiki. Karena itu, cukup masuk akal saat NJ mengatakan: “mimpi perlahan mulai sirna oleh sorot matahari realita menempa jiwa”.

“Sorot matahari realita menempa jiwa” suatu ungkapan yang kali ini memang terkesan lebih komunikatif. Dari kalimat ini, membawa kita untuk merenung arti dari sebuah matahari yang telah menghanguskan mimpi. Matahari sebagai guru, sekaligus tantangan bagi seseorang untuk memperkuat dirinya. Mimpi atau cita-cita ini, walau mungkin saja gagal diraih, manusia hendaknya tidak boleh menyerah begitu saja. Karena, kehilangan mimpi berarti dia kehilangan rangsangan untuk bergerak. Akantetapi, diketika kegagalan itu menjadi penghalang dalam perjalanan, kita mesti mengubah cara pandang mengenai kegagalan itu sendiri. Nurel Javissyarqi sudah menjawabnya, dengan menyatakan kalau kita terus gagal, maka: “matahari realita menempa jiwa”.

Kegagalan sebagai penyemangat, medan untuk terus berlatih dalam memupuk mimpi-mimpi manusia. Tidak ada kegagalan dalam konteks ini, melainkan kita diarahkan untuk menempuh cara lain. Cita-cita tetap harus terwujud, akantetapi hal yang paling penting adalah hakekat dari cita-cita itu sendiri. Misalnya, kembali pada cita-cita menjadi polisi. Polisi dengan seragam hanya semacam wadah yang membawa manusia pada hakekat dari polisi itu sendiri. Sedangkan cita-cita tidak berbatas pada wadah itu sendiri, tidak terbatasi pada bentuk karena lebih mementingkan pada hakekat serta nilai yang ada di dalamnya. Hakekat (nilai) dari polisi adalah semangat untuk mengabdi pada masyarakat dengan memberikan ketenangan, dan pengayoman pada masyarakat demi tegaknya keadilan.

Suatu kasus yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan realitas, bahwa adanya keberadaan polisi di sekitar mereka justru tidak mendatangkan ketenangan, pengayoman maupun penegakkan keadilan. Polisi justru menjadi suatu kondisi yang ditakuti oleh masyarakat. Hal ini, dikarenakan para polisi yang ada di dalam kasus tersebut tidak memiliki cita-cita menjadi polisi, yang sehingga penyelewenangan dari wadah (simbol) itu terus terjadi. Bagaimana bisa menjalanka hakekat kalau individu tersebut tidak mengerti dengan hakekatnya. Jabatan yang diemban pun sebatas pada profesi yang sering diselewengkan bukan sebagai jati diri yang mesti ditegakkan. Kalau saja polisi tidak hanya sebagai profesi namun juga sebagai jati diri maka hakekat polisi itu akan tercipta.

Mimpi yang tidak tercapai kemudian menjadikan setiap kegagalan menjadi tempaan namun manusia tidak kehilangan hakekat dari mimpi-mimpinya itu, maka si individu yang bermimpi menjadi polisi itu akan mencari jalan lain. Jalan yang tentu saja dimana dia mampu menjalankan sifat mengabdi, memberikan rasa aman, pengayoman dan keadilan pada masyarakatnya, tanpa harus menjadi polisi. Katakan, M.D. Atmaja gagal menjadi polisi namun tidak kehilangan hakekat, maka saya pun akan berusaha lebih baik lagi. Bukan lagi menjadi polisi, tapi bagaimana menjadi Bupati, Menteri, bahkan Presiden RI.

Dalam lingkup perubahan wadah (simbol) tentang menjadi yang tidak kehilangan hakekat dapat terlaksana di sini. Menjadi Bupati, pengayoman, perlindungan itu dapat saya lakukan tanpa harus berlari. Tentu saja, saya tidak mesti capek berlari kalau saya tidak korupsi dan kepergok orang-orang yang iri. Jadi, selama manusia masih memegang esensi maupun hakekat dari mimpinya, maka dia patut untuk terus memelihara dan mencari jalan lain demi pelaksanaan dari nilai yang menjadi tujuan kehidupannya. Hal ini, yang NJ ketengahkan dan seminimal mungkin terbaca: “malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa”.

“Alunan sejati rasa” itulah yang disebut dengan hakekat dari suatu tujuan (mimpi) manusia. Saya ini ingin menjadi apa? Lalu bagaimana? Caranya seperti apa? Selama “malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa” terus terjaga, manusia tidak akan lelah dalam pergerakannya. Dia masih memiliki ruh dari mimpi yang sirna karena matahari realitas, atau setiap tembok kegagalan yang menutup jalan.

Seseorang yang telah memilih jalan hidupnya, akan dengan setia melangkah untuk mewujudkan mimpi yang dia tuju. Di sana, kita akan menemui perjuangan berat yang terkadang begitu berat di dalam pikiran, jikalau kita tidak melangkah. Berat itu karena hanya ada di dalam pikiran, namun ketika telah melangkah maka jalan itu terlewati seiring dengan proses, seperti yang diungkapkan Nurel Javissyarqi dalam ayat berikut:

Ia berkata; wujud tintaku darah kematian dan setiap torehan kata,
usiaku dikurangi serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci (X: X)

Adakah kesia-siaan pada ruang belum terisi sekalipun?,
ia berucap; inilah keindahan, ketinggian seni bagimu (X: XI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)

Saya menemukan makna esensial dari jalan yang ditempuh oleh seseorang dalam perjalanan hidupnya, yaitu dalam kalimat “wujud tintaku darah kematian” yang merujuk pada nasib manusia. Hal ini dilihat dari nasib manusia yang sudah ditulis dalam Kitab Langit, yang di sana dikatakan bahwa nasib manusia sudah diciptakan sebelum manusia itu diciptakan. Ungkapan “darah kematian” sebagai goresan akhir yang mau tidak mau mesti kita terima dengan seabrek perangkat yang ada, diantaranya kesabaran dan keikhlasan.

Dengan melaksanakan apa yang namanya kepasrahan manusia pada takdir kehidupan, manusia itu secara tidak langsung sudah menjalani fase kehidupan yang tinggi. Bentuk dari penyerahan dan cinta yang dalam ungkapan manusia Jawa dijabarkan melalui kebijaksanaan: urip mung sakdermo nglakoni (Hidup hanya sekedar menjalani suatu hal yang sudah Tuhan tentukan). Jikalau manusia sudah mampu melaksanakan nilai kebijaksanaan hidup itu, maka manusia akan lebih mampu untuk menjalankan aspek nrimo atas apa yang Tuhan kehendaki.

Sikap nrimo dalam masyarakat Jawa seringkali diucapkan dalam menghadapi suatu kondisi, yang dibarengi dengan permasalahan nasib sebagai pandhum (pembagian). Manusia Jawa cenderung menilai yang terjadi bukan suatu persoalan besar dan menyerahkan semua kejadian pada kebaikan dan kebijaksanaan Tuhan dengan mengatakan nrimo ing pandhum yaitu menerima pembagian nasib dari Tuhan dengan sebaik-baiknya kesabaran dan keikhlasan.

Masyarakat Jawa, dalam menjalani kehidupannya mengacu tiga aspek utama yaitu rila (rela atau ikhlas), nrimo (menerima) dan sabar (kesabaran) yang hanya bisa dicapai dengan tapa atau mau melaksanakan laku (jalan hidup) yang sudah diniatkan atau dapat dikatakan sebagai kewajiban manusia itu sendiri (Mulder, 1984: 41). Aspek-aspek kehidupan di atas sebagai laku hidup yang menjadi idaman setiap manusia Jawa, sehingga dalam kehidupan mereka akan mendapatkan puncak dari jalan spiritual yang namanya slamet. Kita perlu mengingat bahwa slamet dalam budaya Jawa tidak hanya merujuk pada sistem dunia (mikro kosmos) melainkan pada sistem ketuhanan (makro-kosmos).

Ketika kita, manusia, mampu menjalankan tiga hal mendasar, maka bagi kita sudah cukup untuk mencari kebahagiaan dunia, dan akhirat. Karena itu, tidak suatu hal yang mengada-ada ketika Nurel Javissyarqi lalu mengatakan: “usiaku dikurangi serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci”. Bahwa, tahapan-tahapan dari rela (ikhlas), menerima, dan sabar dapat membawa manusia pada tingkatan tinggi dalam perjalanan spiritualitas. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya “Madarijus Salikin” (2009) mengenai persinggahan-persinggahan dalam menuju keesaan Allah menyatakan bahwa ikhlas, menerima (yang juga disebut dengan ridha) dan sabar merupakan persinggahan tertinggi yang dapat dicapai manusia.

Jalan, yang diniatkan untuk menggapai suatu tujuan, apalagi itu menyangkut dala persoalan spiritualitas, maka kita akan dituntut untuk menuju pada kekosongan. Yang saya maksudkan dengan kekosongan ialah, mengenai satu tujuan yang dibarengi dengan ikhlas, ridha, dan sabar untuk mensatukan tujuan hidup. Saya membacanya dalam “ruang belum terisi” yang memberikan saya pemahaman akan ruang kosong dan di sana hanya ada keheningan untuk melangkah di jalan spiritualitas. “Ruang belum terisi” sekali lagi bukan tanpa tujuan, namun di sana adalah ruang hidup manusia yang dapat dikatakan sebagai ruang tanpa pamrih atau keinginan selain menuju kepada-Nya.

Dan Nurel Javissyarqi pun menyatakan: “inilah keindahan, ketinggian seni bagimu” yang mengisyaratkan pada peletakan dasar dan tujuan dari suatu perjalanan. Saya mengatakan, ruang kosong sebagai jalan tanpa pamrih yang menuju pada-Nya, sehingga dalam konteks ini, saya pun kembali menegaskan, apabila perjalanan hidup manusia diyakini hanya menuju pada-Nya, bukan pada keduniawian, maka manusia itu akan mendapatkan keindahan yang tidak terkira. Tampat yang di dalanya terkandung “ketinggian seni” karena seni sebagai ruh di dalam kehidupan.

Seni sebagai ruh dari kehidupan, yang mana para pemikir lama mengatakan kalau seni (di dalamnya adalah sastra) sebagai media yang dapat dijadikan, atau berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia (Aristoteles dalam Ratna, 2007: 70). Hal ini senada dengan ungkapan Imam Al-Ghazali (Abdul Hadi W.M., 2004: 34) yang menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan karya seni terhadap jiwa manusia sangat besar, dan karenanya menentukan pembentukan moral dan penghayatan keagamaannya. Di sini lah, bagaimana seni menjadi ruh dari kehidupan, kalau seni bernilai buruk maka kehidupan manusia di dalam masyarakat pun akan ikut buruk, dan sebaliknya kalau nilai seni yang ada di kehidupan masyarakat baik, maka masyarakat itu akan menjadi baik. Dia (seni) sebagai ruh, guru, dan pensuci jiwa manusia.

Seni adalah ruh, yang lahir dari kedekatannya dengan Tuhan, yang mengacu pada keselarasan dan kebenaran. T.S. Eliot (dalam Abdul Hadi W.M., 2004: 4) menyatakan bahwa kebudayaan (baca: tingkah laku masyarakat) tidak akan bisa mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai keagamaan. Budaya, saya tekankan sebagai tingkah laku masyarakat, dan tingkah laku secara pribadi, yang mana di dalamnya pun perlu dilandasi dengan nilai keagamaan. Nilai keagamaan akan membawa manusia pada tujuan yang tidak mengarah pada duniawi, akantetapi mengarah kepada hakekat dari kehidupan, yaitu Tuhan itu sendiri.

Tuhan, dalam tradisi Jawa dapat kita temui tidak di Mekah, tapi di dalam hati sanubari setiap manusia dan hidup manusia sendiri harus menjadi doa terus menerus kepada Yang Mahakuasa (Mulder, 1984: 11). Karena Tuhan ada di dalam hati, maka manusia harus lebih memperhatikan pertimbangan hati dalam penempuhan jalan, sehingga hati sebagai penunjuk sekaligus peneterjemah atas perjalanan hidup manusia yang panjang. Oleh karena itu, mari kita cermati bagaimana Nurel Javissyarqi mengetengahkan suara hati di dalam perjalanannya:

Inilah nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu
takkan habis walau jutaan kaki merayap di punggung malam (X: XVI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)

“Nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu” begitu Nurel Javissyarqi melukiskan suatu perjalanan manusia. Kita masih berada di tahap jalan hidup, jadi ini masih membicarakan masalah jalan yang seharusnya lebih mengedepankan hati untuk menjadi pentunjuk arah dan penterjemah atas setiap persoalan. Perjalanan hidup manusia yang menempuh jalan untuk menuju pada-Nya, seperti perjalanan berat untuk mendaki “pebukitan seribu” yang mana bertemu dengan seribu keinginan manusia yang terkadang mengecoh tujuan awal.

KEBIJAKSANAAN

Menjalani babak kehidupan yang berada di jalan mengusahakan mimpi, hal lain yang perlu diperhatikan adalah nilai kebijaksanaan. Nilai ini menentukan bagaimana kita memandang dunia dan sekaligus bagaimana dunia memandang kita sebagai diri yang berdiri merdeka. Kenapa saya mengatakan merdeka, karena mereka yang berjalan di jalan untuk mengukir impian adalah orang yang merdeka, melangkah sekehendak hati. Kemerdekaan hidup yang paling mendasar adalah kemerdekaan dari kemauan, yang di dalamnya bisa meraup aspek hati dan pikiran. Bersebab itulah, seringkali kita mendengar ungkapan: “bisa saja kalian penjarakan tubuhku, tapi tidak pikiran dan jiwa”.

Kebijaksanaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kemerdekaan pikiran dan jiwa. Gerakan untuk mencapai bijaksana dibutuhkan adanya kekuatan dari dalam diri untuk menghadapi realitas yang berbeda dari apa yang namanya bijak dan ideal. Realitas kadangkala jauh dari apa yang namanya ideal, begitu juga realitas jauh dari apa yang namanya bijak. Dan kebijaksanaan di sini, adalah mengenai bagaimana kita berjalan dengan selaras dengan realitas itu sendiri. Pada diri manusia, ada keidealan yang diidamkan dan kebijaksanaan yang diyakini, yang musti diselaraskan. Selaras tidak merujuk pada pengekoran atas realitas, namun berjalan seiring tanpa harus berkonflik atau menciptakan penyakit-penyakit yang dibaca kebencian.

Saya menemukan, bagaimana Nurel Javissyarqi mengajak kita untuk menjalani laku hidup yang dipenuhi dengan kebijaksanaan. Tidak perlu memandang buruk orang lain, atau menyalahkan pihak lain atas suatu realitas yang tidak ideal. Hal ini nampak dalam:

Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya
dengan ketentuan membuta, ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar,
nalar mentah keluar terlalu dini, reranting menunggu lebat sayapnya (X: II) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57)

Kebijaksanaan itu perlu bagi manusia, baik secara pribadi maupun kolektif. Ia (kebijaksanaan) sebagai nilai moral yang mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan, dan secara lebih khusus pada Tuhannya. Kebijaksanaan dan juga moral menyangkut permasalahan kepatutan, hal yang tidak patut dan dilaksanakan menjadi gerakan yang tidak bijaksana dan sekaligus tidak etis. Karena penyimpangan itu tidak patut dilakukan oleh seseorang, meskipun itu adalah benar namun ada etika kolektif yang harus individu hormati.

Sehingga dengan demikian, kebijaksanaan bersinggungan erat dengan apa yang namanya moral (akhlak) untuk mencapai keselarasan sehingga terlaksananya etika manusia. Moral (akhlak) sebagai bagian dari jiwa manusia yang tertanam, yang dapat menciptakan gerakan tanpa pertimbangan dari pemikiran dan pertimbangan (Al-Ghazali dalam Tafsir et al, 2002: 14). Dalam pelaksanaan hidup, manusia tidak berdiri seorang diri namun sebagai makhluk sosial yang dalam proses kehidupan membutuhkan interaksi. Untuk melangsungkan kehidupan yang baik, diperlukan kebijaksanaan untuk menuju keselarasan sosial agar nilai dari masyarakat (maksud saya adalah kerukunan atau keselamatan hidup) dapat terjaga.

Kebijaksanaan melahirkan keselarasan, yang di dalamnya dibangun dengan apa yang bernama etika. Secara lebih jauh, ini akan menciptakan adanya keselarasan sosial yang berangkat dari etika kebijaksanaan. Dalam khasanah masyarakat Jawa, etika kebijaksanaan dianggap sebagai nilai untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat dan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh lingkungan itu (Magnis-Suseno SJ, 1985: 214). Lebih jauh lagi menyoal etika, menurut Franz Magnis-Suseno (Tafsir et al, 2002: 15-16) sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan untuk mengetahui bagaimana seseorang menjalani hidup; mengenai bagaimana individu membawa diri, bersikap, dan tindakan dalam mencapai tujuan hidup.

Nilai dari etika yang diketengahkan oleh Nurel Javissyarqi dapat diketahui dalam kalimat: “Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya dengan ketentuan membuta”. Lebih dahulu kita melihat pada sisi ideal, kemudian pada realitas dan dengan kebijaksanaan, kita menafsirkan suatu realitas untuk melakukan suatu gerakan. Tentu saja, suatu gerakan yang bijak, karena bagaimana pun juga kita “datang terlambat”. Ucapan “datang terlambat” dapat ditafsir sebagai segolongan generasi muda yang menemukan dunia hasil dari pembentukan generasi tua. Kita ini, yang muda, sebagai generasi terlambat yang tidak seharusnya dengan sikap sok pintar (mungkin karena sudah merasa modern dengan pendidikan barat) kemudian menggurui generasi tua dengan kasar.

Bukan berarti kita tidak boleh melakukan kritik, akantetapi kita harus melihat keadaan yang melatar-belakangi dari proses pembentukan budaya dari generasi terdahulu. Melihat proses, kalau tidak sesuai dengan keidealan yang dapat dilihat dalam: “ketentuan membuta” untuk mencari tahu aspek apa yang kurang sampai pembentukan budaya atau kondisi masyarakat tidak bisa mendekati ideal. Jadi, tidak langsung menyalahkan, melainkan menenggok sebab akibat, karena bagaimana pun juga hal ini masuk ke dalam etika, keselarasan sosial.

Apabila dilihat lebih jauh di aspek yang juga bersinggungan, kita akan memasuki pada suatu nilai penting yang disebut dengan hormat untuk mencapai kerukunan yang sekaligus keselarasan sosial. Geertz (dalam Magnis-Suseno SJ, 1985: 38) mengemukakan dua pola yang menetukan dalam pergaulan masyarakat Jawa, yaitu kaidah kerukunan yang memfokuskan manusia dalam setiap situasi agar bersikap sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan konflik dan kaidah hormat yang menuntut manusia untuk membawa diri, menunjukkan sikap hormat sesuai dengan derajat kedudukannya.

Dua kaidah ini, oleh Franz Magnis Suseno (1985: 38) disebut dengan Prinsip Rukun dan Prinsip Hormat yang merupakan kerangka normatif dalam bentuk konkret semua interaksi. Hubungan dua prinsip kehidupan yang saling mendukung, saat kita memposisikan untuk menghormati generasi tua karena kita ini sebagai generasi yang “datang terlambat”, maka secara tidak langsung kita sudah melaksanakan prinsip hormat dan kerukunan secara bersamaan. Dua prinsip ini, membawa pada keselarasan sosial yang memberikan keselamatan pada kita. Sebab, selain karena ketidak-tahuan kondisi-situasi pada masa dimana generasi tua melakukan proses pembentukan tersebut, falsafah Jawa membawa pada pengertian yang lebih hakekat. Mulder (1984: 17) mengungkapkan bahwa, “Bila seseorang menghormati saudara tua, orang tua, guru dan rajanya, maka orang itu menghormati Tuhan”.

Jadi, Nurel Javissyarqi pun berpesan: “tak seharusnya menghakimi” karena, “ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar”. Dengan tidak terburu-buru menghakimi suatu generasi atas suatu kondisi, kita diajak Nurel Javissyarqi untuk menilik lebih jauh ke masa itu. Hakekat dan belajar dari alam, bahwa tidak setiap bunga menjadi buah, hendaknya memberikan pendeskripsian lebih jauh. Melihat untuk mengetahui kemudian memahami situasi serta kondisi menjadi hal yang lebih baik, ketimbang menghakimi karena suatu realitas. Dalam petikan kalimat tersebut, kita dapat mengambil berbagai kebijaksanaan yang Nurel Javissyarqi sematkan di surat ke X ayat II ini.

Jikalau di sana ada akibat, tentu saja ada sebab. Suatu kejadian atau fenomena merupakan pembentukan dari fenomena yang ada sebelumnya. Memahami suatu keadaan yang menjadi pendorong atas lahirnya suatu ketidak-patutan. Sikap seperti ini, akan membuat kita tidak dengan mudah menghakimi suatu persoalan. Karena kita sudah memahami latar-belakang pembentukannya, sampai kondisi yang tidak kita inginkan terjadi dalam kehidupan realitas. Mungkin saja, yang menurut Nurel Javissyarqi katakan sebagai: “nalar mentah keluar terlalu dini” atau “reranting menunggu lebat sayapnya”. Sehingga tidak bijak kalau kita menilai sesuatu dengan tidak melihat latar belakang dari permasalahan atau kondisi yang ada.

Kebijaksanaan yang dimiliki seseorang tidak hanya mengarah pada perilaku dalam kehidupan kolektif seseorang, akantetapi juga merasuk ke dalam diri dan menjadi jati diri bagi seseorang tersebut untuk bersikap. Inilah yang dikatakan sebagai kebijaksanaan diri, yang dalam Sekuntum Bunga Revolusi, Nurel Javissyarqi mengungkapkannya dengan bahasa berikut:

Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya,
barangkali compang-campingmu sanggup menggedor kemampuan semu (X: VI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).

Manusia yang memiliki kebijaksanaan diri akan mengarahkan perilaku diri untuk lebih realistis, tanpa harus menyiksa diri. Hal ini membawa dirinya untuk mengekang pamrih serta meninggalkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting. Kalaimat “sayap-sayap bertumpuk” dapat kita pandang sebagai suatu keadaan yang di sana terlihat mengenai kemegahan atau suatu kebanggaan ketika memutuskan untuk menumpuk sayap. Seperti burung, sebut saja Cenderawasih yang memiliki sayap-sayap indah, membuatnya mempesona dan terlihat agung. Suatu keindahan yang dari “sayap-sayap bertumpuk” itu tadi.

Hal yang Nurel Javissyarqi tekankan pada aspek fungsional dari keberadaan sayap tersebut. Ingin mengatakan pada kita semua, untuk apa memiliki sayap yang bagus, indah, bertumpuk dan nampak anggun kalau justru sayap (kemegahan) itu memberati diri saat kita ingin terbang? Salah satu nilai yang dikandungi burung adalah bagaimana cara hidup dia dengan sayap tersebut, yaitu terbang di angkasa raya dengan penuh kemerdekaan. Burung yang terbang di angkasa dapat dinisbatkan sebagai simbol dari kebebasan (dan kemerdekaan).

Menjadi burung, sama halnya menjadi manusia yang merdeka. Kehidupannya hanya dipengaruhi oleh angin, begitu saya seringkali mendengar kebebasan dari Nurel Javissyarqi. Burung yang terbang memiliki kebebasan, angin sebagai salah satu kawan yang dapat dikatakan sebagai penunjuk arah, sedangkan angin sendiri sebagai khas dari kemerdekaan itu sendiri. Jika manusia yang memiliki keagungan, namun tidak mampu terbang dengan kebebasan, berarti manusia tersebut seperti burung yang dipenjarakan ke dalam sangkar. Keindahannya hanya mendatangkan bencana untuk dirinya sendiri, kehilangan kebebasan yang menjadi ruh bagi kehidupannya.

Terkadang, kebanyakan diantara kita yang lebih memilih untuk hidup di dalam kemewahan dengan menukar dari kebebasan, entah itu kebebasan secara badaniah maupun kebebasan dalam hal ruh (akal dan hati). Kemewahan yang saya maksudkan di sini tidak berkisar pada material, tetapi juga termasuk di dalamnya pola pikir. Kemewahan dari segi materi sudah menjadi kejelasan yang akan mengangkat prestise, namun ada hal lain yang dari segi pola pikir. Misalkan saya, dalam suatu diskusi kita sering menemukan berbagai macam istilah yang luar biasa, namun terkadang dengan menggunakan istilah-istilah tersebut, kita justru kehilangan makna yang seharusnya kita pahami.

Karena itu, Nurel Javissyarqi mengatakan, “cabuti bulu-bulunya” kalau kemewahan tidak mendatangkan apa-apa bagi individu tersebut. Sikap untuk mau membuang beberapa aspek yang tidak terlalu penting, akan membuat diri kita semakin ringan untuk melangkahkan kaki menuju kebebasan.

Hal lain, yang dapat saya dapatkan dalam kalimat ini: “Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya” adalah mengenai kesederhanaan. Baik kesederhanaan secara fisik, gerakan, maupun di dalamnya pola pikir. Tidak perlu, kita menggunakan istilah yang tinggi-tinggi untuk mengatakan mengenai sesuatu hal, tapi katakan dengan sederhana. Sebab, misal di dalam suatu pembicaraan, ketika kita menggunakan istilah yang tinggi, bisa saja orang yang kita ajak bicara tidak paham dengan istilah kita sehingga maksud dari pembicaraan tidak tersampaikan.

Kesederhanaan di dalam hidup, seperti singkatnya yang akan membentuk kebebasan dan keanggunan tersendiri, yang tentu saja lebih mampu merasuk ke dalam isi ketimbang pada keindahan bentuk. Untuk itu, saya sangat sepakat ketika Nurel Javissyarqi mengatakan: “compang-campingmu sanggup menggedor kemampuan semu”. Indah itu bukan terletak pada bentuknya, melainkan pada isi yang ada di dalamnya sehingga tidak ada lagi, “kemampuan semu” tersebut. Jangan bangga ketika orang melihat kita intelek ketika kita menggunakan bahasa yang super rumit namun kita tidak memahami apa yang sebenarnya kita katakan. Lebih baik, berbicara dengan sederhana sehingga kita dan orang lain paham dengan apa yang ingin kita sampaikan.

Nilai kebijaksanaan yang lain, juga kita temukan mengenai hakekat dari kesadaran manusia dalam melakukan sesuatu. Semisal di ayat berikut:

Kesadaran pejuang mengikuti awan-gemawan gerilya,
aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna,
menggelinjak bertemu akar pohon dari batin kutub kekuatan (X: XII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).

Manusia yang bijak adalah manusia yang sadar dengan apa yang dia lakukan, untuk mempelajari sesuatu dari alam. Manusia (yang modern) yang mengembalikan diri pada alam raya, menjadikan alam sebagai guru, dan sekaligus kawan dalam perjalanan. “Mengikuti awan-gemawan gerilya” merupakan pengungkapan untuk hidup dalam kebebasan, dimana seperti awan yang tidak bergantung pada apa pun selain angin. Kemana angin berhembus, di sana awan akan melaju. “Mengikuti awan-gemawan gerilya” tidak mengisyaratkan pada kekosongan tujuan, melainkan lebih pada keinginan yang ada di dalam diri. Keinginan itu diselaraskan dengan angin, yang mana mengalir sesuai dengan kodratnya.

Menjalani hidup dengan mengalir, seperti angin, pun juga demikian seperti layaknya air. Angin dan air, lebih kurangnya memiliki sifat yang sama. Bersatu dan membentuk wadah (tempat) dan ketika keduanya bertemu halangan, maka mereka tidak akan menghancurkan jikalau kekuatan yang dikandungi sedikit. Mereka (air dan angin) akan mencari jalan lain, membelok. Lain halnya ketika, angin dan air mengandungi kekuatan yang besar, maka segala sesuatu yang menghalangi perjalanan mereka akan dihancurkan.

Sikap hidup untuk mau mengalir seperti angin dan air merupakan bagian dari kepasrahan diri terhadap takdir yang Tuhan Yang Mahakuasa. Selain itu, manusia tersebut juga mampu untuk menimbang kekuatannya sendiri, untuk terus melangkah dengan menghancurkan penghalang atau membelok dan mencari jalan lain ketika dirinya dirasa tidak mampu mengatasi rintangan yang ada. Kemampuan untuk menakar kekuatan diri sendiri, kemudian mengakuinya merupakan kebijaksanaan hidup. Menjadikan hidup manusia tidak ngongso atau memburu napsu tanpa perduli dengan keadaannya sendiri membuat hidup menjadi lebih tenang dan bahagia.

Semisalnya dalam peperangan, ketika seorang tentara merasa mampu untuk mengalahkan lawannya, maka dia akan terus menggempur untuk mengalahkan musuh. Akantetapi, diketika dirinya merasa tidak mampu dia akan mundur untuk mengatur strategi lain agar bisa menang, atau setidaknya mencari jalan lain agar tidak perlu berhadapan dengan musuh. Sikap untuk mau menakar kemampuan diri adalah sikap para Pandawa yang diketika mengalami kekalahan biasanya mundur sejenak untuk mencari strategi yang biasanya muncul dari sosok Semar kemudian maju kembali. Sedangkan, seseorang yang tidak mampu mengenal kemampuan diri akan menjadi seperi Buta Cakil yang terus berperang walau menyadari akan kalah. Dan Buta Cakil sebagai satria yang tidak pernah mundur itu selalu saja kalah ketika berhadapan dengan Pandawa. Manusia yang berperang dengan tanpa memperhitungkan kekuatan sendiri, entah akan mengalami kemenangan atau kekalahan maka manusia tersebut dapat dikatakan sebagai manusia yang konyol.

“Mengikuti awan-gemawan gerilya” dapat diungkap sebagai jalan hidup yang mengalir bersama angin untuk mencapai keselamatan serta kebijaksanaan. Lalu “aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna” sebagai pengungkapan diri dalam perjalanan mengenal diri sendiri dalam usaha mencari pengetahuan terdalam. Guru yang paling baik bagi manusia adalah pengalaman yang mana pengalaman tersebut muncul dari dirinya sendiri. Dalam ilmu mengenai jalan hidup manusia Jawa, mereka memandang kalau guru sejati satu-satunya adalah diri sendiri (Beatty, 2001: 267).

Dengan demikian, ketika manusia sudah menelusur dirinya sendiri, bahwa manusia Jawa pun seringkali mengungkapkan kalau Kitab Suci Quran itu sebagai kitab yang kering yang artinya sebagai tulisan, sementara Tuhan juga menurunkan kitab yang basah yang di sana menyimpan ilmu pengetahuan yang luas. Masyarakat muslim Jawa yang tradisional menganggap Quran sebagai objek yang suci tetapi, sejauh mengenai rincian pesan-pesannya, ia adalah buku yang tertutub (Beatty, 2001: 172). Dalam kepercayaan Islam Kejawen memandang dunia sehari-hari sebagai teks kuncinya dan tubuh manusia sebagai kitab sucinya (Beatty, 2001: 219). Sehingga, cukup relevan kalau Nurel Javissyarqi mengungkapkan “menyusuri seluruh lekuk tubuhnya mencari makna” karena di sana kita akan menemukan “akar pohon dari batin kutub kekuatan”.

Dengan memahami kehidupan dan tubuh manusia sendiri sebagai kunci dan guru bagi manusia, maka manusia tersebut akan menemukan hakekat dari kekuatan spiritual. Jawa memandang lebih dari sekedar teks yang dibaca dengan alunan merdu tanpa mengetahui apa hakekat dari isi teks tersebut. Quran membawa suatu pengetahuan, namun lebih banyak dari kita yang mengetahui huruf Arabnya tanpa mengetahui maksud yang ingin Allah sampaikan pada manusia. Dengan mempelajari diri, berguru pada kehidupan dan memahami Quran sebagai pesan yang harus dilaksanakan, manusia akan mendapatkan kebijaksanaan.

BERTAHAN DALAM JATI DIRI

Kita tidak mungkin hidup sendiri dengan meninggalkan orang lain. Bukan suatu pilihan bijak ketika kita kemudian memilih untuk lari ke suatu perbukitan yang sunyi, menutup diri dengan manusia yang lain. Manusia bijak adalah manusia yang mampu berada di tengah masyarakatnya, berkomunikasi untuk belajar dari manusia lain, alam raya dan lebih jauh pada Tuhan. Ilmu sosiologi memandang manusia sebagai makhluk sosial yang keberadaannya saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain. Keadaan ini membawa manusia untuk berada di tengah-tengah masyarakat yang di dalamnya terdapat adanya jati diri kolektif.

Manusia dalam kerangka sebagai mahluk sosial harus bersinggungan dengan suatu keadaan yang mana disebut sebagai proses sosial dan interaksi sosial. Proses sosial memandang bagaimana individu di dalam kelompok sosial dalam rangka melahirkan interaksi sosial. Selanjutnya, Kimbal Young dan W.Mack Raymond (Soekanto, 1990: 67) mengatakan bahwa interaksi sosial sebagai kunci kehidupan sosial. Interaksi sosial inilah yang pada akhirnya akan melahirkan suatu bentuk identitas sosial (kolektif). Di dalam interaksi sosial, hendaknya, seseorang tidak kehilangan identitas diri sendiri, yang berperan sebagai jati diri perseorangan. Walau pun di dalam suatu interaksi sosial, terkadang manusia kehilangan jati diri karena melebur ke dalam identitas kelompak, namun identitas diri perlu dipertahankan.

Identitas diri seseorang ini yang pada nantinya akan disebut dengan kepribadian, yang mana dia sebagai organisasi biologis, psikologis dan faktor sosiologis yang menjadi dasar bagi tingkah laku seorang individu (Roucek dan Warren, 1984: 31). Identitas diri yang dimiliki oleh seseorang harus tetap dipertahankan, karena identitas ini yang digunakan untuk membedakan dirinya dengan kelompok sosial tempat dimana manusia hidup.

Seperti halnya di dalam suatu karya sastra, seorang penulis dia berada di dua dimensi edentitas, yaitu identitas diri dan identitas kelompok. Ungkapan yang menyatakan, kalau sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1990: 11). Kekosongan budaya di sini dapat dipandang sebagai interaksi sosial yang dilakukan oleh seorang penulis. Akantetapi, dalam interaksi sosial, dalam suatu penciptaan karya sastra dapat dipastikan kalau seorang sastrawan masih memegang identitas diri. Sebab, karya itu dimulai dari identitas diri yang mana berperan sebagai tolok ukur atas suatu penilaian yang akhirnya melahirkan karya.

Identitas diri, adalah mengenai siapa diri kita, berdiri dalam lingkup golongan yang mana, dan bagaimana ide atau pemikiran kita mengenai suatu keadaan masyarakat. Identitas diri ini yang menjadi semacam ciri khas bagi seseorang di dalam menanggapi kondisi lingkungan sekitar. Walau terkadang, keadaan lingkungan berusaha mempengaruhi, sebab jika kita mengumpamakan kehidupan ini dengan sungai, identitas kolektif sebagai arus. Apabila kita tidak sekuat tenaga (dengan serius) mempertahankan identitas diri maka kita pasti akan terseret arus kolektif yang biasanya kuat menarik.

Sudahkah diawali pergesekan ini serasa salju tambah memikat panasnya
saat daging jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan (X: VII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).

Dalam ayat ini, saya menemukan adanya penekanan untuk memiliki identitas diri dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun, dia berada di dalam arus identitas kolektif, seseorang individu mesti memiliki identitas diri yang kuat demi keberadaan dan eksistensi dirinya sebagai anggota masyarakat. Hal penting untuk terus berpegang pada identitas diri adalah keberanian yang terbaca dalam: “Sudahkah diawali pergesekan ini serasa salju tambah memikat panasnya” karena dengan terus berpegang pada identitasnya sendiri, seseorang akan mendapatkan tekanan, entah dari dirinya sendiri yang merasa terkucil atau dari kelompoknya.

Bahkan, hal yang menarik dari keberanian untuk terus bertahan dalam identitasnya sendiri, Nurel Javissyarqi ungkapkan dalam simbolisme “salju” yang justru terasa “panas”. Bukankah menjadi hal yang aneh ketika merasakan salju sebagai sesuatu yang memiliki sifat panas? Kita pasti akan menolak hal ini, sebab sifat dari salju secara faktanya memiliki sifat dingin. Akantetapi, penyimbolan yang dilakukan Nurel Javissyarqi dalam ayat ini untuk memberikan penekanan, bahwa ketika kita ingin berada pada taraf menjalani identitas pribadi, kita akan menemukan hal-hal yang tidak terduga. Bisa dibilang sebagai keajaiban dari hikmah yang memberikan kita pelajaran mengenai hidup, atau sebagai tantangan yang musti dijalani dengan “jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan”.

Keberanian dari sikap ini, karena memang sudah didasari dengan keyakinan yang kuat. Seseorang berani untuk mempertahankan pemikirannya (ideas) karena dia yakin dengan apa yang sedang ditempuh (atau diperjuangkan). Kata “genggaman keyakinan” mengisyaratkan pada kebulatan tekat yang tidak mudah diusik oleh resiko ketika si individu melawan identitas kolektif. Sebenarnya bukan melawan, melainkan hanya lebih memperlihatkan karakter pribadi sebagai seorang manusia.

Kemudian, Nurel Javissyarqi mengungkapkan suatu kelebihan lain yang dimiliki seseroang yang memiliki identitas diri di tengah identitas kolektif dalam ayat:

Kenanglah ikan-ikan Bethik bertubuh daging gurih
tersebab hidupnya melawan arus terus menerus (X: VIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 57).

Penyimbolan yang perlu di dasari dengan pemahaman akan kehidupan seekor ikan. Dalam hal ini adalah ikan Bethik, yang memiliki tubuh yang kuat, keras sisiknya, kemudian memiliki duri yang kuat dan juga tajam. Saya secara pribadi tidak terlalu memahami bagaimana kehidupan ikan ini, namun saya cukup merasa familir karena sedari kecil saya hidup di pedesaan dan saat kecil terkenal ngglidik di sepanjang sungai. Ikan Bethik yang dagingnya gurih karena ia melawan arus, saya mencoba memahami, apakah ada hubungannya saat hidup melawan arus maka daging kita akan menjadi gurih?

Ya, tentu saja, ini hanya bangunan simbolisme yang mengacu kepada jati diri seseorang. Kalau kita membuat perbandingan, misalnya dalam peribahasa “Gajah mati meninggalkan gadingnya, macan mati meninggalkan kulitnya” yang mana merupakan suatu penggambaran mengenai jati-diri yang menjadi spesial di mata orang lain. Yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, adalah karakter. Hal tersebut (karakter maksud saya) yang akan paling dikenang ketika kita jauh atau bahkan mati. Sehingga, Nurel Javissyarqi berpesan pada kita untuk memiliki karakter tersendiri sebagai manusia, sebagai jati diri yang membuat kita berbeda dari orang lain.

Mempertahankan jati diri di tengah identitas kolektif memang sangat berat, seperti melawan arus terus menerus, akantetapi di akhirnya nanti, kita sendiri yang akan merasakan. Bagaimana kita menjalani hidup, atau bagaimana kita menghadapi realitas yang serba pelik dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada di dalam pemikiran kita. “Melawan arus terus menerus” menjadi simbol bagi perjuangan, pelajaran dan guru yang tidak terkira manfaatnya. Karena, Nurel Javissyarqi menyadari, akan tiba saat dimana kita manusia, akan menggunakan kekuatan kita sendiri. Hal ini diungkapkan dalam ayat:

Di sini bergejolak birahi sejati, menenggelamkan jiwa di lumpur semesta,
karamnya kapal ditakdirkan, warisan pemberontak menantang (X: XXXVIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 58)

DALAM HENING, MEMETIK BUNGA REVOLUSI

Revolusi di sini bukan pergerakan sosial yang terjadi di suatu masyarakat dalam perubahan besar yang disertai kekacauan sosial, ekonomi maupun kekacauan politik. Itu, sebutan revolusi untuk sebuah tatanan yang buruk, dipenuhi dengan pembusukan jati diri dan penyelewenangan kekuasaan oleh mereka yang tidak tahu dengan caranya berterima kasih. Akantetapi, revolusi yang saya tangkap dari Nurel Javissyarqi adalah perubahan yang besar dari perjalanan panjang kehidupan manusia.

Manusia yang sudah dengan ketatnya ritual melaksanakan laku perjalanan batin, akan menemui perubahan besar di dalam dirinya. Perubahan ini lebih merujuk pada aspek batin, ketimbang pada badaniah yang tidak mengartikan apa-apa dalam perjalanan hidup manusia. Ketika, perjalanan telah terlewati, kita (manusia) akan menemukan suatu babak yang mana merasuki hening, hidup hanya ada dirinya sendiri sehingga:

Mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam,
tiada kehidupan selain nafas dicukupkan baginya seorang (X : LIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 59)

Permainan bahasa yang cukup indah, ketika Nurel Javissyarqi mengatakan: “mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam” dimana kita diajak untuk memojokkan diri dalam kesunyian. Sunyi, tidak berarti kosong atau senyap, namun Sunyi, kalimat ini mengingatkan saya pada ungkapan bijak Ibu Theresa (Jejak Tanah, 2002: 143) yang mengatakan kalau buah dari sunyi itu doa. Kebijaksanaan yang memberikan saya batu pijakan untuk menulis beberapa kata dalam subbab ini. Sunyi, yang bagi saya memberikan pengertian mengenai suatu ruang renungan, ruang ketiadaan yang disana saya bisa memikirkan sesuatu mengenai kehidupan yang serba kompleks ini. Sunyi adalah ruang kosong, di suatu tempat yang tidak harus kosong. Di dalam keramaian, apakah kita bisa menemukan ruang kosong yang dimaksud? Tentu saja bisa, karena ruang kosong ini mampu kita dapatkan di ruang yang penuh sesak dengan berbagai kepentingan. Biasanya, menurut pendapat saya, ruang kosong ini sebagai celah hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Dalam tradisi Jawa, ada pohon bernama Kemuning, yang menyimbolkan mengenai keheningan, atau kebeningan. Keberadaan heneng, wening, dan bening menjadi kesempatan bagi manusia untuk lebih banyak diam dan belajar dari tanda-tanda. “Kelopak sunyi” itu yang memuat tanda-tanda yang akan membawa kita manusia ke “akar-akaran terdalam”. Apabila kehidupan selayaknya pohon, maka akar dapat dianggap sebagai suatu kesejatian, awal mula dari kehidupan manusia yang mana sebagai tempat berdiri dan sebagai jalan dalam memperoleh sumber kehidupan.

Akar, apabila dalam skema Pohon Filsafat (2007) yang dikemukakan Dr. Stephen Palmquis, akar sebagai bagian dari metafisika. Di dunia Jawa, pandangan mengenai metafisika seringkali disebut sebagai dunia Numinus, yaitu alam kehidupan sehari-hari. Numinus sebagai hakekat dan cahaya ketuhana, yang membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik.

Konteks “akar-akaran terdalam” yang diungkapkan Nurel Javissyarqi dapat dikatakan sebagai kebenaran hakiki yang berada di dalam mitos. Esensial dari kebenaran yang ada, sehingga manusia yang sudah mencapai pemahaman akan kebenaran ini tidak lagi membutuhkan barang lain dalam pencukupan kehidupannya. Seperti para pertapa yang hanya napas, tanpa makan atau minum untuk meluangkan waktu lebih banyak dalam usaha pendekatan diri pada Hidup (Tuhan).

Ketika pemahaman dan jalan hidup sudah sampai ke sini, maka manusia akan mengalami puncak, kenikmatan ketika manusia bisa melihat cahaya biru (ndaru):

Jiwa-jiwa merdeka bertarian dalam selubung ketinggian biruanya cahaya
sematang malam dipanjatkan asap kemenyan mewangi doa-doa berterbangan,
kelepak sayap lembutnya menarik maksud perjuangan perdamaian abadi (X : XCI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 61).

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 26 Februari 2011

Saturday, February 26, 2011

Cerpen, Dialog, Naratif

Asarpin
http://www.lampungpost.com/

Suatu hari saya ditanya oleh seorang teman yang kebetulan merasa mengikuti perkembangan cerpen kita. Katanya: apakah yang membedakan cerpen dengan naskah drama? Saya jawab: tidak ada bedanya, dan banyak cerpen itu berupa drama dan drama itu berupa cerpen.

Tentu saja teman saya itu tak puas dengan jawaban itu. Ia tetap penasaran. Lalu, setelah sejenak berpikir, ia pun mengajukan pertanyaan yang lain lagi: Apa perbedaan antara cerpen yang selama ini dimuat di Kompas dengan cerpen yang dimuat di Koran Tempo?

Terus terang saya tak berhak menjawab pertanyaan semacam itu. Selain harus membutuhkan penelitian serius, sementara tak ada ruang di sini untuk memaparkan secara panjang-lebar persoalan itu. Tapi kalau mau dipaksakan untuk dijawab, maka perbedaan cerpen yang terbit di dua media nasional itu, adalah:

Pertama, cerpen di Kompas banyak dialog, sedanngkan di Koran Tempo jarang dialog, atau hanya naratif. Kedua, cerpen Kompas realis, sedangkan cerpen Koran Tempo tidak.

Tentu saja jawaban saya itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi saya kira, sebagian besar orang melihat perbedaan yang sama, di samping perbedaan yang lain. Saya cukup sering mengikuti cerpen yang dimuat di dua harian nasional itu, dan tentu saja saya pernah mendengar kritikus sastra mengungkapkan kecenderungan tema dan gaya cerpen yang dimuat di kedua media itu.

Jawaban itu tak perlu dianggap sebagai kesimpulan ilmiah. Ia hanya generalisasi berdasarkan gejala luar yang tampak menonjol. Dan bukan soal ini yang ingin saya bicarakan. Sebab, seperti sudah banyak diketahui, cerpen yang banyak menampilkan dialog dengan yang monolog atau naratif sama-sama punya peluang sebagai cerpen yang baik atau jelek. Nilai sebuah cerpen tidak diukur dengan itu.

Seorang bijak di bidang penulisan cerpen pernah bersaran: sekarang ini dirasakan perlu adanya porsi yang seimbang antara cerpen yang menampilkan dialog dengan cerpen tanpa dialog. Terlalu banyak menekankan dialog tentu saja bisa menjadi cerpen yang cengeng dan terasa ringan, dan minus dialog bisa menjadi serius dan lambat.

Jarang ada cerpenis yang lihai dan piawai membangun dialog. Banyak dialog dalam cerpen yang ternyata lemah. Hanya beberapa pengarang yang berhasil menampilkan dialog yang cerdas dan mengejutkan, seperti Umar Kayam, Sutardji, dan Seno. Selebihnya gagal. Dialog yang dibuat justru membuat cerita kehilangan nyawa dan karakter menjadi lemah.

Sementara itu, cerpen naratif cukup digemari akhir-akhir ini. Kelebihannya terletak pada narasi dan tuturan yang segera akan memperlihatkan apakah si penulis cerpen berbakat atau tidak. Saya termasuk jatuh cinta pada cerpen yang tidak ada dialog.

Cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma sebagian besar bermain di wilayah eksperimen berbahasa dan satu-dua cerpen dialognya cukup berhasil. Seno menampilkan dialog dan naratif yang cukup seimbang. Ada kalanya ia melonggarkan dialog, tapi sering juga ia mengetatkan dialog itu hingga iramanya jadi unik dan menarik. Kedua-duanya cukup diperhitung. Seno kadang memberontak terhadap asas penulisan cerpen sehingga cerpen-cerpennya terasa bebas. Sementara itu, cerpen-cerpen Isbedy terasa ringan dan enteng karena begitu banyak dialog yang fungsinya kurang diketatkan. Andaikan dialog-dialog itu diketatkan, maka ia akan bunyi dan iramanya akan menggema.

Karena Koran Tempo banyak menampilkan cerpen eksperimen, maka ada anggapan bahwa cerpen-cerpen yang dimuat di koran ini lebih banyak yang bagus dibandingkan dengan yang dimuat di Kompas. Apakah ini bukan sebuah perbandingan nilai yang kacau? Ya, tapi betapa sulit membahas sebuah cerpen tanpa penilaian. A. Teeuw saja melakukan penilaian. Yang namanya penilaian sudah pasti akan bicara soal baik dan buruk, gagal dan berhasil.

Bagaimana cerpen-cerpen di Lampung Post? Izinkan saya menyampaikan sedikit pengalaman membaca cerpen di harian ini. Tentu saja banyak cerpen yang justru menampilkan dialog karena ada anggapan bahwa cerpen tanpa dialog bukan cerpen. Tapi beberapa kali pula harian ini menurunkan cerpen tanpa dialog, dan bagus.

Saya merindukan ruang untuk cerpen dan kolom di Lampung Post diisi oleh tulisan naratif. Rubrik Buras dan Nuansa sayangnya jarang atau tidak pernah menghadirkan tulisan naratif. Kualitasnya pun makin lama makin merosot dan jadi rutin. Membacanya cepat letih karena dialog yang ditampilkan menjadi seperti kuda beban yang sayangnya tidak serbabisa. Eksplorasi berbahasa tidak pernah jadi pertimbangan. Hanya kolom Refleksi Djadjat Sudrajat yang muncul tiap Minggu itu yang dapat diandalkan. Dan Djadjat memang bukan lagi berbakat, tapi ia adalah Goenawan Mohamad-nya Lampung.

Iswadi pernah menulis beberapa cerpen di Koran Tempo yang naratif dan enak dibaca, walau belum tentu perlu. Arman beberapa kali menurunkan cerpen naratif, dan bagus. Muhammad Amin, di pendatang baru di jagat cerpen di Lampung, juga punya bakat menghadirkan cerpen naratif yang kuat.

Edgar Allan Poe adalah cerpenis yang sangat bakhil dengan dialog. Cerpen-cerpennya jarang sekali ada dialognya. Mungkin ia tak percaya dengan dialog sebagai kunci yang membuat tokoh cerita jadi hidup, konflik bisa terbuka secara bebas, dan emosi bisa bangkit. Minusnya cerpen kita yang menampilkan konflikpenokohan selama ini karena terlampau girang pada dialog.

Seandainya gaya Allan Poe diterapkan dalam esai, saya membayangkan esai naratif ternyata juga cerpen naratif. Prosa naratif—baik berupa esai maupun cerpen—adalah prosa tertua yang di mulut nenek moyang kita berwujud penuturan-penuturan atau dongeng-dongeng. Sarana mendongeng yang ampuh adalah dengan mengurangi dialog.

Salah satu pengarang yang pandai mendongeng, dan dongengannya selalu berhasil, adalah Salman Rushdie. Salah satu prosanya yang menebar pesona adalah Harun dan Lautan Dongeng. Novel ini berkisah di sebuah kota yang sedih, tentang seorang sobat muda bernama Harun. Bapaknya adalah Rasyid Khalifa, lelaki yang dikenal sebagai Raja Dongeng paling masyhur di sentero Alifbay. Sementara ibunya, Soraya, adalah perempuan yang pintar bernyanyi.

Rasyid Khalifa dikenal juga sebagai Rasyid Sang Samudera Khayal. Namun bagi musuhnya, yang alergi terhadap sebuah dongeng, Rasyid Khalifa adalah Raja Omong Kosong. Apa yang didongengkannya hanya omong kosong. Tak ada kebenaran, semuanya khayalan ompong yang membuai dan menghanyutkan. Mungkin juga sebuah kemewahan terselubung. Kalau bukan sebuah laku-borjuis.

Keluarga kecil itu tinggal di sebuah lantai bawah rumah sederhana yang berdinding merah muda dan berjendela warna hijau limau. Sementara di lantai atas tinggal Pak Sengupta dan istrinya, Oneeta. Keduanya tak memiliki anak. Sang istri begitu perhatian pada si Harun. Tapi Pak Sengupta tak peduli pada Harun. Namun, ia selalu bercakap-cakap dengan Soraya, ibunya Harun. Dan Harun merasa kurang suka lantaran lelaki ini begitu kritis terhadap ayahnya.

Pernah, pada suatu hari Pak Sengupta menjelek-jelekkan si Raja Omong Kosong kepada Soraya, dan Harun mendengar dengan jelas kata-kata penuh kebencian yang meluncur dari mulut lelaki itu. “Sumimu itu, kepalanya terpaku di udara dan kakinya melayang di atas bumi. Apa gunanya dongeng-dongeng itu? Hidup bukanlah sebuah buku cerita atau toko lelucon. Semua kenangan ini akan berujung tidak baik. Apalah gunanya dongeng-dongeng yang tak mungkin terjadi di alam nyata?”

Singkat cerita, hasutan Sengupta berhasil. Soraya– ibu Harun dan istri Rasyid Khalifa–minggat bersama Sengupta dan meninggalkan sepucuk surat penuh kebencian pada Raja Omong Kosong yang sedang sedih itu. Begini bunyi suratnya: “Kau hanya tertarik pada kesenangan, seorang lelaki yang bermartabat mestinya tahu bahwa hidup adalah urusan serius. Otakmu penuh dengan dongengan, sehingga tak ada lagi tempat untuk kenyataan. Pak Sengupta tak punya imajinasi sama sekali. Dan itu baik buatku.”

Tetes air hujan menitik di atas surat itu, jatuh bergulir dari rambut Harun yang kebetulan ada di situ. “Apa yang musti kulakukan, Nak,” Rasyid berkata mengiba di hadapan anaknya. “Mendongeng adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa kulakukan,” kata Rasyid Khalifa.

Itulah dongeng yang menggetarkan, haru dan di sana sini muncul gelak tersembunyi. Kepiawaian Rushdie mendongeng mengingatkan kita pada kisah-kisah fantastis Jorges Luis Borges. Bahkan buku Harun dan Lautan Dongeng bisa memulihkan nama Rushdie di masa lalu yang heboh itu.

Asarpin, Pembaca sastra

Friday, February 25, 2011

Lawan Kebohongan Aksi LMND Lampung Selatan Dihadang Preman Bayaran

Tadi sekitar 30an anggota LMND Lampung selatan mendatangi kantor DPRD Lampung Selatan untuk melakukan penyegelan gedung DPRD Lamsel dengan alasan gedung DPRD selalu kosong, jarang sekali ada aktifitas disana.



Ternyata setelah kami telusuri beberapa anggota dewan menyatakan bahwa DPRD Lampung selatan sedang mengalami defisit anggaran, ujar Ahmad Zailani ketua LMND Lampung Selatan. selanjutnya Zay panggilan akrabnya menuturkan bahwa ironisnya ditengah-tengah kosongnya kas daerah anggota dewan tersebut sering melakukan jalan-jalan keluar kota bahkan keluar Negri, dengan dalih study banding dan itupun menggunakan angaran Pemda Lampung Selatan.



Masa Direpresif Oleh Preman



Aksi masa didepan kantor DPRD Lampung Selatan yang sudah berjalan kurang lebih setegah jam, tiba-tiba ada sekelompok orang yang menghampiri masa yang akan menaiki tangga menuju pintu masuk kantor DPRD Lamsel, dan mereka langsung merampas atribut aksi berupa spanduk, panji-panji dan atribut lainnya yang dibawa oleh masa aksi dengan tujuan menghentikan aksi masa yang akan meyegel kantor DPRD, bahkan sempat melakukan pendorongan secara paksa untuk membubarkan masa aksi.



Ahmad Zainal mengatakan bukan tidak beralasan aksi yang kami buat hari ini, penyegelan kantor DPRD Lamsel ini memang dikarenakan tidak pernah ada aktifitas yang bermanfaat bagi masyarakat, dan yang mereka lakukan itu sangat menyimpang dari janji kampanye mereka yang konon katanya akan menjadi penyambung aspirasi rakyat saat kampanye pemilihan legislatif tahun 2009 kemarin.



Untuk itu kami mengecam tindakan refresif dari preman bayaran dan menuntut agar para anggota DPRD Lampung Selatan menghentikan aktifitas "pembohongan publik" yang merugikan Negara, dan meminta agar ketua DPRD Lampung Selatan segera mundur dari jabatannya karena tidak bisa lagi menjalankan fungsinya sebagai penyambung aspirasi rakyat, selanjutnya kami akan mengusut tuntas siapa dalang dari gerakan kontrak revolusioner yang menghalangi aksi kami, bahkan melakukan intimidasi dan sempat melakukan tindakan kekerasan ujar Zainal ketua Eksekutif Kota LMND Lampung selatan.

Warga Bima Resah Atas Tindakan Kepolisian

Semua warga Bima yang ikut aksi pencabutan SK tentang xplorasi tambang resah terhadap tindakan aparat kepolisian atas aksi yang mereka lakukan kemarin, yang berakhir dengan kekerasan atau penembakan terhadap masa aksi, akibat dari tindakan kepolisian itu ada beberapa warga yang terkena tembak diantaranya Ahmad Spdi 23 tahun, Mustaja 24 tahun, Kaharudin 28 tahun,Sudirman 25 tahun,Muhtar 38 thun,Land 30 tahun, Abubakar 42 tahun, dan dua orang ditahan yaitu Yakub dan Sudirman.



Karena keresahan warga yang ikut Aksi, Jumat 25/02 sekitar Jam 15.30 semua ingin menyerahkan diri kepolresta Bima, sementara hasil dialog mereka pada pasca aksi kemarin bahwa pihak polres mengatakan kami tidak akan bisa menahan orang yang tidak bersalah karena yang suda teridentifikasi hanya 31 orang saja.



Warga tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh kapolres Bima, mereka tetap berantosias agar semuanya ditahan. kami bingung masyarakat tidak mengizinkan kami untuk berangkat jika tidak menahan mereka semua kata salah satu anggota kapolres Bima pada pasca Aksi kemarin.



Dari kemarin hingga saat ini, masyarakat tetap semangat menyerahkan diri mereka kepolresta Bima untuk ditahan karena mereka tidak sepakat jika hanya sebagian yang ditahan. Nsr

Thursday, February 24, 2011

PILGUB EPISODE YANG DIULANG-ULANG

Oleh : ADI PRIANTO,SH[1]



Situasi politik saat ini di Sulawesi Tengah sedang menghadapai Pemilihan Gubernur Periode 2011-2016, lima pasang calon sudah mendeklarasikan diri ke public. Pasangan Aminudin Ponulele-Luciana Baculu(ADIL)adalah pasangan yang didukung penuh oleh Partai Golkar, pasangan Longki Janggola-Sudarto(LONGKI’s)didukung enam partai politik: Gerindra,Hanura,PPP,PKPB,PDP dan Patriot. Pasangan Ahmad Yahya-Ma’ruf Bantilan(AY-MB)didukung oleh Demokrat dan PKB. Pasangan Rendi Lamajido-H.B Paliundju (SUKARELA) didukung PAN,PDS,PDK,PIB dan PBR. Pasangan Sahabudin Mustafa-Amir Mahud(SAFA)didukung partai politik non seat; PPI, Partai Kedaulatan, Partai Pelopor, PAKARPANGAN, PPI, PBB, PDK, PMB, PNI Marhaen, PPRN, PIS, PPPI, PNBK, Republikan, PKD, PKNU, Barnas dan PPD. Partai yang tidak menyatakan mencalonkan kadernya atau bertarung di Pilgub kali ini adalah PDIP dan PKS, pada awal-awalnya PDIP menggadang-gadang Rendi Lamajido yang didorong tetapi secara resmi DPP PDI tidak memberikan rekomendasi kepada Rendi Lamajido. PKS menggadang-gadang dua nama kadernya, ketua wilayah PKS; Zainudin Tambuala dan anggota DPR-RI; Akbar Zulfakar Sipanawa sebagai wakil yang akan bertarung, hasil akhirnya tidak ada satupun kader PKS yang dipinang dan PKS bersikap tidak bertarung di Pilgub kali ini.



Aminudin Ponulele merupakan ketua DPRD Provinsi Sulawesi tengah yang sebelumnya pernah penjabat sebagai Gubernur periode 2001-2006, Luciana Baculu adalah istri Bupati Buol, Amran Batalipu, adalah mantan Camat Lipunoto. Longki Janggola merupakan Bupati Parigi-Moutong dua periode yang saat ini masih menjabat sebagai Bupati, Sudarto adalah mantan Bupati Luwuk dua periode juga merupakan purnawirawan TNI dan anggota DPD periode 2009-2014. Ahmad Yahya adalah wakil Gubernur pasangan H.B. Paliudju periode 2006-2010 sementara pasanganya, Ma’ruf Bantilan adalah mantan Bupati Toli-toli dua periode. Rendi Lamajido adalah pengusaha yang terpilih sebagai anggota DPR-RI dari partai PDI-P dapil Sulawesi tengah periode 2009-2014, periode sebelumnya adalah anggota DPD Sulawesi Tengah, H.B. Paliudju adalah Gubernur Sulawesi Tengah Periode 2006-2010 yang juga pernah menjabat sebagai Gubernur Periode 1996-2001, purnawirawan TNI. Sahabudin Mustafa adalah Rektor Universitas Tadulako (UNTAD) yang menjabat selama dua periode, dan Amir Mahmud adalah rektor Universitas Al-Khairat. Dari profil calon Gubernur yang akan bertarung adalah wajah-wajah lama, majunya H.B. Paliudju sebagai calon wakil Gubernur merupakan langkah taktis setelah penolakan yudicial review Undang-undang Pemerintah Daerah yang membatasi masa jabatan Gubernur dua periode. Ma’ruf Bantilan dan Longki Janggola merupakan kader partai Golkar yang kemudian dicap sebagai kader pengkhianat oleh pengurus wilayah Partai Golkar pada saat deklarasi ADIL pada tanggal 27 Januari 2011 di GOR Siranindi, Sahabudin Mustafa kader Golkar yang tidak pernah disebut-sebut pekhianat pada saat deklarasi pasangan ADIL.



Bagaimana dengan persiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU PROPINSI) saat ini? KPU sedang mempersiapkan daftar pemilih yang akan memilih pada Pilgub nanti, Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pilgub 2011-2016 masih mengacu pada Pilpres 2009, mempersiapkan DPS KPU menggunakan Daftar Pemilih Pemilih Potensial Pemilu (DP4) yang kemudian dibenarkan adanya kelebihan/kekuarangan jumlah DPS ditiap kabupaten. Pilpres 2009 jumlah DPS Kab. Parigi-Moutong sebanyak 272.852 pemilih, pengumuman KPU Propinsi jumlah DPS Kab. Parigi-Moutong sebanyak 293.523 pemilih[2] dan memilik selisih 20.671 pemilih versi KPU Kab. Parigi-Moutong. Kel. Donggala Kodi Kec.Palu Barat DPS Pilgub sejumlah 6.017[3], jika dibandingkan dengan Pemilihan Walikota 2010 untuk Kel.Donggala Kodi sejumlah 5.97 pemilih dan memiliki selisih 45 pemilih[4]. DPS di Kecamatan Palu Timur berkurang sebanyak 701 pemilih dari DPT Pilwakot 2010 mencapai 51.166 pemilih sehingga DPS Pilgub Kecamatan Palu Timur sebanyak 51.166 pemilih, Kel. Besusu Barat berkurang dari 9.722 pemilih DPT Pilwakot menjadi 9.449 pemilih, Kel. Besusu Tengah DPT Pilwakot sejumlah 5.526 pemilih menjadi 5.462 pada DPS Pilgub, kel. Lasoani dari jumlah DPT Pilwakot 5.638 pemilih menjadi 5.628 dalam DPS Pilgub, Kel. Poboya dari DPT Pilwakot 2010 sejumlah 1.117 menjadi 1.054 pemilih dalam DPS Pilgub[5]. Untuk Kel. Layana dan Kel. Tondo mengalami penambahan, untuk Kel. Lolu utara berkurang 338 pemilih dari DPT Pilwakot sebanyak 9.209 dari jumlah DPS Pilgub sejumlah 8.871 pemilih[6]. DPS Poso untuk Pilgub terjadi penurunan jumlah pemilih sebesar 4.603[7] dari jumlah DPT Pemilukada 2010 sebesar 142,151 pemilih.

Pertarungan Pilgub periode kali ini sama halnya pertarungan periode sebelumnya, pertarungan tokoh-tokoh tua yang terikat pada gengsi marga, pertengahan tahun 2010 bakal calon yang mengemuka dan menjadi wacana yang menguat adalah Longki Djanggola, H. B Paliudju, Rendi Lamajido dan Aminudin Ponulele. Longki Djanggola menguat dan mendahului dari calon yang lain dengan menggunakan metode publikasi produk rokok, memasang gambar Longki Djanggola pada semua bengkel, rumah makan, warung kelontongan, perempatan jalan, jalan protokol, kampung, desa dan dusun terpencil, tidak ada tepat yang terlewatkan diseluruh Kabupaten. H. B. Paliudju halayak mengetahuinya tetap maju dan bertarung ketika tim kuasa hukum H. B. Paliudju mengajukan yudisial review soal jabatan gubernur dua periode pada akhir tahun 2010 dan pengunduran voting day yang dijadwalkan awal oleh KPU, alasan dari pihak Gubernur melalui Asisten II kepada masa aksi Front Masyarakat Peduli Pemilukada (FMPP) Sulteng pada tanggal 24 November 2010 mengatakan bahwa anggaran PILGUB belum dianggarkan oleh DPRD Propinsi. Sama halnya pun dengan Rendi Lamajido dan Aminudin, Rendi Lamajido melakukan pemasangan iklan dimedia cetak dan baliho diseluruh kabupaten. Dalam catatan kami selama akhir tahun 2010 hanya empat calon yang mengemuka dalam bursa pencalonan Pilgub 2011-2016, peta politik berubah ketika bulan Januari 2011 pasangan SAFA maju dalam bursa Pilgub. Situasi pemetaan politik berubah total diakibatkan Sahabudin Mustapa adalah putra daerah Parigi-Moutong dan Amir Mahmud adalah kader Al-khairat yang aktif, Al-khairat adalah organisasi keagaaman yang berpusat di Sulawesi tengah, penyebaran anggota dan struktur Al-khairat merata disemua Kabupaten. Dari fakta ini maka akan memberikan gambaran akan terjadi pemecahan suara pasangan Longki’s di bagian Sulawesi timur, perwakilan dari Sulawesi timur ada Sudarto, Rendi Lamajido dibagian Kabupaten Luwuk, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Poso, karena di Kabupaten yang sudah disebutkan merupakan basis terbesar dari Sudarto, untuk Rendi Lamajido sendiri di kabupaten tersebut yang mendongkrak Rendi Lamajido menjadi Anggota DPD periode 2004-2009 dan anggota DPR-RI Periode 2009-2014. Yang paling panjang penentuan maju atau tidak pada pilgub periode ini hanya partai Golkar, ini disebabkan Aminudin Ponulele tidak memberikan ruang kepada kader-kader muda partai Golkar untuk bertarung, Ma’ruf Bantilan adalah kader Golkar yang didepak setelah tidak mendapatkan persetujuan menjadi bakal calon wakil Gubernur lewat partai Golkar, keputusan ini membuat beberapa pimpinan Partai Golkar mengundurkan diri, Arena Parampasi, pimpinan Golkar Kabupaten Sigi mengudurkan diri dari jabatan ketua, sama halnya juga dengan sekertaris Partai Golkar Kabupaten Toli-toli.



Episode yang terus diulang-ulang pada Pilgub kali ini adalah konflik yang sengaja ditebar menjelang voting day, pada Pilgub peride 2006-2011 koflik berbau SARA di daerah bekas konflik SARA sengaja dibuat, pemboman pasar babi Maesa dan Pasar Sentral Poso pada bulan Desember 2005, pemboman dilakukan tepat sebelum pelakasanaan Pilgub, tetapi karakter koflik yang ditebar kali ini bukan berkarakter isu SARA tetapi bentrok antara pemuda. Dalam catatan kami konflik pertama kali dibentuk dengan pengkondisian situasi/daerah untuk tidak nyaman dengan sms gelap, sms pengkodisian tersebut berisi seluruh masyarakat untuk berhati-hati karena ada penculikan yang menggunakan mobil/motor berplat DN, sms ini merebak diawal bulan desember 2010. Sms pengkondisian memakan korban, mobil escudo DN 913 AE dirusak warga di Desa Loli Kabupaten Donggala[8]. Konflik yang sengaja ditebar kemudian merembet masuk kedalam kota Palu pada Muswil KNPI Sulteng dan penyerangan kantor AJI oleh Front Pemuda Kaili (FPK) pada akhir bulan desember 2010, konflik ini terus dibuat dan beraktifitas dalam kota Palu pada tanggal 16 Januari 2011 yang terjadi antara pemuda jalan Anoa dan pemuda pasar Masomba yang mayoritas etnis Bugis, pemicu awal mula dari konflik ini adanya acara “dero” dijalan Darusallam yang berhenti tiba-tiba akibat adanya lemparan batu dan terikan provokatif[9], konflik ini berkarakter SARA(etnis kaili versus etnis bugis) yang memakan korban 4 orang dirawat pada Rumah Sakit Tentara, salah satu korban tertembak pada jarak 4-5 meter, dari penuturan korban Kompi(30 tahun) dan Agus (31 tahun) ada teriakan “apa juga orang kaili” tidak tahu siapa orangnya dan dari mana asalnya teriakan itu[10]. Konflik selanjutnya di Desa Solove dan Vatunonju Kabupaten Sigi pada tanggal 22 Januari 2011, konflik ini melibatkan pemuda yang bertetangga kampung hanya persoalan pacar seorang pemuda diganggu oleh seorang pemuda dari kampung tetangga. Bentrok juga terjadi di daerah yang sama, antara desa Tulo dan Kota Rindau Kabupaten Sigi, 2 orang kena lemparan batu dan kena peluru senapan angin dibagian perut[11], bentrok di Dolo 5 orang yang ditetapkan tersangka[12]. Di akhir bulan Januari terjadi lagi bentrok di tempat lain di Kabupaten Sigi, bentrok antara desa Potoya dan desa Karawana pada tanggal 31 Januari 2011, awal masalahnya salah seorang pemuda dikeroyok oleh sepuluh orang yang tidak dikenal[13]. Konflik dengan modus yang sama terjadi juga Kecamatan Palu Utara, antara pemuda Labara dan Panau pada tanggal 29 Januari 2011[14]. Bentrok lainnya terjadi di Kabupaten Buol pada tanggal 28 Januari 2011 antara pelajar SMU 2 Buol dan SMK Amirullminin[15], bentrok pelajar ini terjadi selama dua hari berturut-turut. Bukan hanya konflik yang di daerah-daerah terror pun dilakukan, ancaman bom diarahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Ampana Kabupaten luwuk[16].



Daerah yang berkonflik, khususnya wilayah Kabupaten Sigi dan Kecamatan Palu Utara memang memiliki sejarah konflik yang sudah ada, konflik lama di wilayah masing-masing antara bentrok/tawuran pemuda sehingga memperkuat asumsi lewat fakta bentrok tersebut bahwa konflik yang sengaja ditebar adalah terencana dan bermuara pada Pilgub 2011-2016. Untuk menguatkan asumsi konflik ini sengaja ditebar selain dengan perbandingan dan sebaran konflik adalah konflik vertical yang siap melendak, antara rakyat dan apparatus Negara, konflik tambang Poboya, antara penambang rakyat dan pihak PT. Citra Palu Mineral (CPM), merupakan anak cabang perusahaan Bumi Resorse. Konflik Poboya terjadi ketegangan akhir bulan desember 2010 dan awal bulan januari 2011, karena pihak PT. CPM akan melakukan aktifitas eksploitasi diareal yang menjadi penambangan rakyat, bahkan pihak PT. CPM dalam memasukan alat berat mereka meminta pengawalan dari pihak POLDA Sulteng sebanyak 200 orang anggota BRIMOB, konflik vertical selanjutnya adalah kasus RAMADHAN BERDARAH di Kab.Buol, kasus RAMADHAN BERDARAH sampai saat ini hanya berakhir pada tindak pidana ringan yang dikenakan pada pelaku kekerasan terhadap Kasmir Timumun, sehingga membuat masyarakat Buol kecewa dan ketertiban hukum sudah tidak berlaku lagi di Kabupaten Buol, aturan lalu lintas tidak berlaku dan judi togel merebak di seluruh kampung Kabupaten Buol, pihak Polisi pun tidak berani melarang atau membuat tindakan hukum yang tegas. Kedua konflik vertical ini sudah membara dan tinggal menunggu pemicunya, kedua konflik vertical ini justru malah dibuat diplomatis. Konflik Poboya yang dulunya pihak POLDA Sulteng sangat keras tiba-tiba membuka ruang dialog antara Pemuda BATARA (Barisan Pemuda Tara) ketua adat dan pihak PT.CPM. Kabupaten Buol untuk memutasi isu RAMADHAN BERDARAH dengan cara membuka ruang seluas-luasnya kepada gerakan AKBAR, komite aksi pada tanggal 10 Mei 2010 meminta Bupati turun dari jabatanya karena terindikasi korupsi, untuk membuka kembali kasus korupsi yang melibatkan Bupati Buol, Amran Batalipu, seperti kasus Ahli Fungsi hutan dan kepemilikan alat berat. Kedua konflik vertical ini tidak dibuka karena akan merugikan seluruh calon kandidat yang akan maju bertarung pada Pilgub, asumsi lain dari sebaran konflik yang dibuat adalah untuk kepentingan pembengkakan anggaran pengamanan Pilgub, dari ketatapan APBD Propinsi untuk pengamanan pada Pilgub sebesar Rp.382 juta untuk seluruh wilayah di Sulawesi Tengah, dan sampai saat ini pihak keamanan terus mengusulkan anggaran keamanan menjadi Rp.800 juta. Pertanyaan dasar dari konflik yang ditebar, kenapa jumlah konflik tidak jauh dari Kota Palu sebagai jantung aktifitas politik, daerah Sigi dan daerah pinggiran lainnya dipilih untuk kepentingan publikasi dan pembentukan opini publik, karena kota Palu merupakan jantung dari aktifitas media yang ada di Sulteng, jangakauan media nasional dan local ke daerah konflik merupakan pilihan jumlah konflik lebih banyak dari daerah pinggiran Kota Palu.



Konflik yang ditebar sejalan dengan hingar-bingar kasus korupsi yang terjadi sebelum pelaksanaan voting day, kasus korupsi di Sulawesi Tengah terbagi dua, pertama kasus sudah ditangani oleh lembaga hukum, kedua kasus korupsi yang diarahkan kepada salah satu calon kandidat yang akan bertarung pada Pilgub kali ini. Kasus korupsi yang paling banyak disoroti oleh publik adalah kasus korupsi KPU Donggala pada Pemilukada Sigi sebesar Rp. 12 Milyar, dalam kasus korupsi KPU Donggala terperiksa adalah bendahara dan ketua KPU Donggala,Amir Mahmud[17], dan yang dijadikan tersangka hanyalah bedahara KPU Donggala, Hariyanto Abdul Tanga[18], kasus korupsi KPU Donggala ditagani olehKejakasaan Tinggi Sulawesi Tengah. Kasus Suap Jaksa di Kab.Buol yang dilaporkan oleh KOMPAS(Koalisi Demokrasi untuk Pemeritahan Amanah dan Bersih), merupakan front gerakan di Sulawesi tengah yang terdiri dari NGO dan ormas-ormas,dilaporkan kepada KEJATI Sulteng pada tanggal 17 Januari 2011. Korupsi Rumah Sakit Undata dalam hal pengadaan alat penghancur sapah, kasus Korupsi RS Undata ditangani oleh KEJATI Sulteng dan sampai saat ini belum memperjelas status penahanan ketua panitia lelang, Haldi Dzulmantap dan pejabat pelaksana tekhnis kegiatan, Abdul Azis[19]. Dana APBN tahun 2007-2008 untuk penanggulangan bencana menjadi lahan korupsi bagi pejabat yang ada di Sulawesi tengah, pengadaan bronjong di DAS sungai Palu yang melibatkan kepala BWSS III dinas Pekerjaan Umum, korupsi di daerah-daerah lainnya adalah Korupsi APBD Kab.Morowali tahun 2010 yang di sidangkan di Pengadilan Negeri Pso merugikan keuangan Negara sebesar Rp.5,5 Milyar dengan terdakwa Gemawati Hambuako dan Linme J. Werokila[20]. Kasus korupsi yang telah teruraikan diatas adalah kasus korupsi yang yang masuk pada areal satu dan dalam penanganan lembaga hukum, kasus korupsi yang masuk pada areal kedua adalah laporan dan temuan BPK-RI pada penggunaan keuangan di Bank Sulteng , RSU UNDATA dan Dinas Pendapatan Propinsi, dari ketiga kasus ini kemudian DPRD Propinsi memanggil Gubernur Sulteng, H.B Paliudju untuk mengklarifikasi temuan BPK-RI tersebut[21]. Temuan BPK-RI terhadap penggunaan keuangan di Bank Sulteng menyangkut penyertaan modal kredit yang mengalir ke Pemerintah Daerah Parigi-Moutong, perkembangan terakhir kasus penyertaan modal kredit terus didorong oleh DPRD Propinsi dan eksekutif. Kasus pembangunan Gedung Wanita (GW) yang saat ini diselidiki oleh pihak KEJATI Sulteng terus bergulir, kasus pembangunan GW awalnya melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Provonsi dan pihak penegak hukum, dari hasil pertemuan RDP kemudian pihak KEJATI sulteng terus melakukan penyelidikan, kasus GW membuat H. B. Paliudju merasa terganggu, dari beberapa kali statement H.B. Palidju dimedia masa mengatakan kalau kasus GW ini sangat berbau politis.



Kondisi perlawanan di Sulawesi tengah selama bulan januari terjadi disektor petani dan buruh, pada tanggal 21 Jnauari 2011[22] masa dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) dengan jumlah masa ratusan melakukan aksi mengenai kekesarasan terhadap petani dan perampasan tanah di Sulawesi Tengah, FPR memfokuskan isu pada kekerasan yang dilakukan oleh pengusaha PT. POSO ENERGI terhadap petani penggarap di desa Peura, Kec. Pamona Utara Kab. Poso. Gerakan perlawanan spontan pun terjadi di Kab.Buol yang dilakakukan oleh pegawai RSU BUOL[23] dengan aksi protes menuntut menu makanan yang diperuntukan kepada tenaga/pegawai dilingkungan RSU BUOL yang tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG), aksi ini hanya terjadi dalam lingkungan rumah sakit dengan menuliskan karton berisi kalimat-kalimat protes. Masih di Kabupaten yang sama terjadi PHK yang dilakukan pengusaha SPBU[24], pengusaha mem-PHK karyawannya sejumlah 5 orang dan bentuk perlawanan karyawan spontanitas mendatangi kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.



Gerakan perlawanan mahasiswa hampir dikatakan sepi, pasca aksi hari anti Korupsi front yang dibentuk bersama oleh organisasi gerakan mahasiswa eksternal, Aliansi Mahasiswa Peduli Bangsa Indonesia (AMPIBI), tidak lagi terkonsolidasikan dengan baik untuk merespon momentual dibulan januari , dikarenakan AMPIBI persoalan teknis pasca aksi hari anti korupsi se-dunia 2010, AMPIBI dibebani dana ganti rugi sebanyak Rp.15.000.000,- untuk mengganti soundsystem yang dirusak oleh aparat keamanan. Organisasi internal kampus, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) diseluruh universitas/sekolah tinggi Kota Palu sebagai jantung gerakan perlawanan tidak terpecah mengenai BEMNUS VS BEMSI, kebanyakan BEM di Kota Palu tenggelam dalam aktifitas kegiatan internal kampus;seminar,workshop dll. Disituasi Pilgub pun BEM dan AMPIBI tidak terlibat untuk mengintervensi situasi politik Pilgub secara terbuka, hanya saja seluruh kekuatan mahasiswa Universitas Tadulako secara individu didiorng untuk terlibat dalam pemenangan tim SAFA.



Penulis adalah Ketua Wilyah LMND Sulteng dan anggota KPW PRD Sulteng

Revolusi PSSI

Oleh : Lamen Hendra Saputra*

Pada tahun 1930-an, Soeratin dan kawan-kawan seperjuangannya telah memotori berdirinya organisasi sepak bola, yaitu Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI), yang diperuntukkan untuk perjuangan anti-kolonial. Dalam menjalankan perjuangan anti-kolonialnya, tidak jarang PSSI harus berseteru dengan perkumpulan sepak bola kolonial Belanda, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), bahkan seringkali terjadi aksi boikot pertandingan antara PSSI dan NIVB.

Kini, 80 tahun setelah peristiwa itu, giliran PSSI yang mulai digugat dan diboikot oleh sebagian masyarakat sepak bola Indonesia. Beberapa hari terakhir, masyarakat pencinta bola menyaksikan bagaimana pertikaian antara PSSI dengan Liga Primer Indonesia (LPI), sebuah kompetisi baru di luar kompetisi resmi milik PSSI, Liga Super Indonesia (LSI).

Sekarang ini, PSSI dipimpin oleh orang yang pernah tersandung kasus korupsi, yaitu Nurdin Halid. Tidak sedikit poster dan kecaman yang ditujukan terhadap terdakwa kasus dana simpan pinjam petani cengkeh (SWKP) sebesar Rp115,7 milyar ini, diantaranya: “Nurdin Mundur, Nurdin koruptor!”

Terkait maraknya praktik korupsi di tubuh PSSI, seorang wartawan Kompas, Anton Sanjoyo, pernah membeberkan beberapa dugaan korupsi di organisasi sepak bola nasional tersebut. Anton mengutip pernyataan dari Ketua Umum Persebaya Surabaya, Saleh Ismail Mukadar, yang terang-terangan menyatakan bahwa sepak bola di lingkungan PSSI, termasuk Liga Super Indonesia, sarat dengan suap dan pengaturan hasil. Hampir semua manajer dan wasit pernah melakukan suap dan disuap.

Jika pada masa perjuangan kemerdekaan PSSI telah menjadi organisasi politik anti-kolonial, maka sekarang PSSI telah berubah menjadi “sarang koruptor”. Jika dulu orang-orang PSSI adalah para pejuang anti-kolonial, maka sekarang ini isinya kebanyakan orang-orang yang hendak mencari “fulus”.

Sejarah kelahiran sepak bola Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan anti-kolonial. Karena itu pula, ajang kejuaraan sepak bola seringkali menjadi tempat untuk bergeloranya semangat nasionalisme. Bukankan Soeratin pernah berkata dengan sangat tepat: “Kalau di sepak bola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda”.

Oleh karena itu, persoalannya bukan ikut “nimbrung” dalam pertikaian PSSI versus LPI, tetapi mendesakkan perombakan total terhadap PSSI. Sudah tiba saatnya mengembalikan PSSI sebagai organisasi politik anti-kolonial, dan juga dengan mengembalikan sepak-bola sebagai sarana perjuangan anti-kolonial.

* Ketua Umum EN LMND

Tolak Pembatasan BBM Bersubsidi

Ratusan aktifis Mahasiswa dan Pemuda turun berunjuk rasa kejalan menuntut penolakan terhadap pembatasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Mereka ini GERAP, KAMMI, GMNI UKI, CGM UBK, LMND, BEM UIC, FAM UMT, FAM YAI,KAM LAKSI 31,PPM,SDR,SMURAI,FPPI,IMAN dan RAKBER tergabung dengan Aliansi Gerakan Rakyat Tolak Pembatasan BBM Bersubsidi, hari kamis 24/02.

Massa Aksi melakukan longmarch dari depan gerbang monas menuju kekantor energy dan sumber daya mineral (ESDM), kantor Mentri Perekonomian dan Istana Negara .

Kata korlap dalam Orasinya Ketika Subsidi segera diganti, ini sangat merugikan Rakyat banyak karena secara otomatis bahan pokok akan ikutan mahal dan menteri yang bekerja sama dengan Asing harus diusir dari Bangsa ini karena akan merugikan bangsa ini.

Mereka menuntut, mengusir perusahaan minyak asing dan nasionalisasi aset-asetnya untuk Rakyat, Tangkap mafia dan perkuat infrasruktur industry minyak nasional, Turunkan harga BBM dan kebutuhan pokok, Mendesak menteri-menteri yang gagal mensejahterakan Rakyat untuk segera mundur dari jabatannya, Adili SBY–Boediono karena telah melanggar pasal 33 UUD 1945.

BBM Kebutuhan yang Harus Dipenuhi

Sejak reformasi sampai saat ini, pengguna BBM sudah bisa hitung jari. Hanya kalangan menengah yang bisa menikmati,sementara menengah kebawah tanpa dibatasi pun kemampuannya sangat sulit untuk memenuhi, apalagi kalau dilakukan pembatasan subsidi.

Konsumsi BBM menjadi tulang punggung bagi rakyat miskin untuk menjalankan kehidupan ekonominya. Hampir 80% rakyat Indonesia ekonominya tergantung dengan BBM, jika itu langkah maka kebutuhan hidup pun seperti telur di ujung tanduk, kata Lamen Hendra S.

Hingga aksi ini berakhir, perwakilan dari pemerintah terhadap peserta aksi tidak direspon, mereka pun membubarkan diri.Nsr

Monday, February 21, 2011

Laporan Dari Presidium Nasional Ke-II PRD

Selama tiga hari, yaitu dari tanggal 17-19 Februari 2011, Presidium Nasional (Presnas) ke-II Partai Rakyat Demokratik digelar di Jakarta. Sekitar tiga puluhan orang hadir dalam pertemuan itu. Empat belas orang adalah anggota presnas pusat, sedangkan sisanya adalah anggota Presnas dari daerah-daerah.
Ketua Steering Committe, Rudi Hartono, yang membuka pertemuan penting itu menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran para anggota Presnas dan perjuangan berat kawan-kawan daerah untuk menghadiri pertemuan ini.
“Saya merasa senang karena kehadiran anggota Presnas Ke-II lebih banyak bila dibandingkan dengan Presnas pertama. Ini sebuah kemajuan dan sekaligus menunjukkan semangat untuk membangun partai,” katanya.
Ia lalu menarik secarik kertas dari sakunya. “Saya harus menyampaikan apresiasi terhadap kawan dari Maluku, yaitu kawan Elyas. Beliau adalah peserta dari tempat terjauh, tetapi paling pertama tiba di Jakarta,” katanya berseloroh.
Semangat Presnas
Lebih dari enam bulan sejak presnas yang pertama, seluruh kader dan anggota PRD bahu-membahu untuk membangun partai. “Kami membenamkan diri dalam perjuangan petani Tanjung Medang,” kata Eka Subakti, ketua PRD Sumsel saat menjelaskan aktivitas partai di daerahnya.
Sementara itu, Rahmad dari KPW Lampung bercerita mengenai keberhasilan PRD dalam memimpin perjuangan petani untuk merebut kembali haknya di Lampung Barat dan Lampung Tengah. “Perjuangan petani sedang berkobar di tanah lampung dan partai telah mengambil peran untuk terlibat dalam perjuangan itu.”
Dengan tidak kalah semangatnya, Ashmad Rifai yang datang beberapa saat menjelang acara menceritakan perjuangan partai di Nusa Tenggara Barat, tempat dimana kaum tani juga sedang mengambil peranan penting dalam gerakan massa.
“Beberapa saat lalu, tiga hari menjelang Presnas, kaum tani di Bima ditindas oleh aparat keamanan. Puluhan petani ditangkap dan sebagian besar lainnya menghilang dari kampung mereka,” kata ketua KPW PRD Nusa Tenggara Barat ini.
Inilah sekilas cerita para anggota Presnas menjelang pertemuan dimulai. Di berbagai tempat, terutama sekali di Riau, NTB, Sultra, Sumsel, Lampung, dan lain-lain, PRD telah memainkan peranan penting dalam perjuangan bersama dengan kaum tani.
Sementara itu, cerita lain datang dari partai di Jawa Timur. Di kota yang dikenal dengan perjuangannya yang heroik pada tanggal 10 November, Surabaya, PRD telah mengambil peran aktif dalam perlawanan terhadap ide pembangunan tol tengah kota. “program ini akan menggusur sedikitnya 4500 rumah rakyat. Partai telah menggelar aksi berkali-kali bersama rakyat untuk menolak rencana keblinger ini,” terang Sekretaris KPW PRD Jatim Hendraven Saragih.
Dari bagian timur Indonesia, yaitu Maluku, PRD telah mengibarkan benderanya di tengah-tengah perjuangan rakyat. Elyas selaku ketua partai dari provinsi penghasil rempah-rempah ini menjelaskan bagaimana partai melakukan advokasi-advokasi terhadap berbagai persoalan rakyat.
Pekerjaan Politik Partai
Pada sesi sidang yang pertama, yakni tentang politik, KPP dan KPW melaporkan pekerjaan politik partai semenjak enam bulan pasca presnas pertama.
“Kita telah menjalankan kampanye anti-imperialisme, menggalang front persatuan di segala arena politik, dan merespon sejumlah momentum politik,” ujar Sekjend PRD Gede Sandra saat menyampaikan laporan politik.
Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono menceritakan pekerjaan politik KPP dalam menggalang sekutu untuk pembangunan front anti-imperialisme. “Partai telah berusaha mendekati berbagai kekuatan politik dari berbagai spektrum. Di situ kami telah mengkampanyekan garis politik partai tentang anti-imperialisme,” katanya.
Agus jabo juga menyampaikan perkembangan politik nasional, terutama kecenderungan politik partai-partai di parlemen. “Belum ada kekuatan politik di parlemen yang secara terang menegaskan dirinya sebagai anti-imperialis. kalaupun ada yang mengaku nasionalis, tetapi mereka sangat ragu-ragu untuk tegas bersikap anti-imperialis.”
Sejurus dengan itu, laporan KPW-KPW juga menggambarkan pekerjaan politik PRD untuk memperluas front anti-imperialisme dengan berbagai kekuatan politik, baik melalui kekuatan politik parlemen maupun aksi-aksi massa.
“Kawan-kawan di NTT sedang membentuk sebuah front strategis bernama Front Rakyat Anti-imperialis Neoliberal (FRAIN), dan punya perspektif untuk menjadi front permanen di masa depan,” ujar Bedi Roma, dari KPW PRD NTT.
Front Anti-Imperialisme Seluas-Luasnya
Dalam pendiskusian situasi nasional, hampir seluruh peserta presnas menyepakati bahwa serangan neoliberal di Indonesia sudah sampai tahap yang mendalam dan cukup luas di berbagai bidang seperti ekonomi, politik, dan sosial-budaya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Rudi Hartono, Deputi Kajian dan Bacaan KPP-PRD, bahwa neoliberalisme telah menghancurkan ekonomi produksi di dalam negeri, yakni meliputi penghancuran produksi pangan, penghancuran produksi kecil dan menengah, dan penghancuran pasar di dalam negeri.
“Situasi itu menyebabkan ketergantungan yang sangat besar ekonomi nasional terhadap asing. Hampir semua barang kebutuhan hidup didapatkan atau diimpor dari negeri-negeri imperialis,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Arie Ariyanto, ketua deputi politik KPP-PRD, yang menjelaskan soal bagaimana neoliberalisme mereproduksi dirinya sebagai jalan untuk mengatasi krisisnya.
“Supaya tidak disebut privatisasi, maka mereka menggunakan istilah IPO (Initial Public Offering). Juga istilah pencabutan subsidi BBM diganti dengan istilah yang lebih halus, yaitu pembatasan subdisi.”
Adalah sangat menarik, dan tentu bukan kebetulan, bahwa, kendati basis ekonomi rejim berkuasa di Indonesia sudah hancur, tetapi mereka masih bisa membiayai dirinya dari kucuran utang dan korupsi, dan juga mempertahankan kekuasannya dengan berbagai sogokan dan kanalisasi.
Masalah lainnya disebabkan oleh ketiadaan kekuatan oposisi yang signifikan. “Oposisi sangat luas dan terpecah-pecah, sehingga tidak bisa menjelma menjadi signifikan,” kata Dominggus Oktavianus, ketua Deputi Hubungan Internasional KPP-PRD.
Kawan AJ Susmana menegaskan soal pentingnya usaha tidak kenal menyerah untuk membangun persatuan nasional anti-imperialis seluas-luasnya. “Ada sentimen anti-imperialisme yang muncul saat pilpres 2009, tetapi gagal dilanjutkan oleh Mega-pro hingga saat ini,” katanya.
Kader PRD yang dikenal dengan kemampuan filsafatnya ini menjelaskan bahwa partai harus bisa menarik kekuatan-kekuatan anti-imperialis di berbagai partai politik, ormas, maupun di dalam pemerintahan.
“Kepemimpinan nasional (SBY-Budiono) sekarang ini mencerminkan dirinya sebagai antek imperialisme alias pengecut. Karena itu, serangan kita seharusnya difokuskan kepada kepemimpinan nasional, sembari mengorganisir dan melipatgandakan kekuatan anti-imperialis,” tegas AJ Susmana.
Ada masalah dengan ketiadaan garis pemisah yang tegas antara kekuatan yang teridentifikasi sebagai pro-imperialisme dan anti-imperialisme. Sebagian besar politisi hanya menganggap parpol sebagai kendaraan politik, bukan sebagai alat perjuangan.
Diskusi di bidang politik melahirkan rekomendasi yang sangat tegas, yaitu: membangun persatuan nasional anti-imperialisme seluas-luasnya, dengan musuh pokoknya adalah pemerintahan (SBY-Budiono).
Pembangunan Ideologi
Neoliberalisme tidak hanya menjajah secara ekonomi dan politik, tetapi juga menaklukkan gagasan-gagasan nasional dan martabat manusia. Oleh karena itu, PRD memandang pentingnya membangun propaganda yang sistematis dan bersifat massal.
Penggunaan azas pancasila oleh PRD dianggap sudah sangat tepat dan berkontribusi dalam memudahkan partai untuk mempropagandakan anti-imperialisme di kalangan massa rakyat. “Dengan menggunakan pancasila, kita lebih mudah untuk menjelaskan sosialisme, demokrasi, dan nasionalisme kepada massa rakyat,” ujar Babra Kamal, ketua KPW PRD Sulsel, yang menceritakan pengalamannya saat mensosialisasikan PRD kepada massa luas.
Hanya saja, sebagaimana diakui juga oleh sebagian besar pengurus partai di daerah, pelaksanaan pendidikan anggota belum berjalan secara maksimal dalam perjalanan enam bulan pasca presnas pertama. “Ini catatan penting buat anggota presnas dan harus segera dibenahi di masa mendatang,” kata Ketua Deputi Pendidikan dan Kaderisasi KPP-PRD, Data Brainanta.
Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan di daerah, antara lain; masih kurangnya tenaga pengajar, pembuatan kurikulum dan silabus yang belum selesai, dan persoalan teknis lainnya.
Di bidang agitasi dan propaganda, presnas PRD juga menegaskan perlunya membangun koran partai yang bisa menjangkau massa rakyat secara luas, terutama koran cetak. Disamping itu, untuk memassalkan berdikari online sebagai bacaan massa rakyat, maka kader juga perlu memberikan pelajaran kepada massa tentang bagaimana cara mengakses berdikari online melalui ponsel.
Diskusi di bidang ideologi menghasilkan rekomendasi: (1) pendidikan kader dan anggota. (2) penyelesaian kurikulum pendidikan, (3) mencetak editorial Berdikari Online di daerah-daerah, (4) partai harus membuat lembaga riset, (5) membuat website partai, (6) membuat pelatihan skill pada massa untuk mengakses berdikari online, (7) pendidikan keahlian, (8) kerjasama-kerjasama dengan lembaga atau juga universitas untuk pendidikan bersama, (9) penentuan petugas pendidikan di daerah.
Pembangunan Struktur
Hampir setahun pasca kongres dan enam bulan pasca presnas pertama, anggota PRD telah berhasil membangun struktur partai di 20 Provinsi dan di 31 kota/kabupaten. Disamping itu, partai juga sudah berhasil diperkuat oleh 326 kader dan 252 anggota.
Menurut Binbin Firman Tresnadi, Kepala Biro Organisasi KPP-PRD, salah satu penyebab belum tercapainya target pembangunan struktur partai adalah belum terciptanya kesepahaman antar seluruh kader partai mengenai konsepsi pembangunan partai (party building).
Disamping itu, persoalan lain yang dianggap mengganggu adalah persoalan koordinasi kader di berbagai lapangan pengorganisiran (organisasi massa, parpol, dan lain-lain). Untuk mengatasi persoalan koordinasi ini, forum presnas menyepakati untuk menggunakan mekanisme rapat koordinasi (rakor), yang akan diselenggarakan secara reguler di semua tingkatan (KPP, KPW, KPK, KPC, dan KPDL).
Dalam soal pendanaan dan logistik, presnas juga menyimpulkan bahwa partai belum berhasil membangun unit usaha yang terintegrasi secara nasional dan dikelola secara profesional.
Salah satu rekomendasi dari diskusi bidang organisasi adalah pemenuhan target pembangunan struktur partai menjadi 21 KPW (wilayah), 63 KPK (kota/kabupaten), dan 189 KPC (kecamatan hingga presnas ke-III mendatang. Selain itu, presnas juga menetapkan target perekrutan anggota sebanyak 5000 orang dalam enam bulan kedepan.

Intervensi pemilu 2014
Sebagaimana yang sudah diamanatkan oleh Kongres VII-PRD mengenai respon pemilu 2014, forum presnas juga bersepakat untuk menempatkan respon pemilu 2014 sebagai bagian dari taktik pembangunan partai.
Untuk itu, sebagai konsekuensinya, penentuan dapil prioritas untuk elektoral akan diletakkan pada basis-basis pengorganisiran partai. Kerja politik partai harus terus tertuju pada kampanye anti-imperialisme, pembangunan struktur, dan perekrutan kader dan anggota seluas-luasnya. Sedangkan dapil hanya konsekuensi dari kerja-kerja tersebut.
Ditambahkan, bahwa kendaraan politik untuk menuju pemilu 2014 akan disesuaikan dengan geopolitik masing-masing daerah. selain itu, dijelaskan pula bahwa penentuan jumlah caleg per-dapil akan disesuaikan dengan kekuatan basis. “Kita harus menempatkan jumlah kader untuk caleg berdasarkan kekuatan basis kita. Ini juga untuk mengukur kekuatan partai.”
Sebagai target utama dalam pilpres 2014, forum presnas bersepakat untuk menjadikan target merebut DPRD Tk.II (kota/kabupaten) sebagai target paling realistis untuk intervensi pemilu 2014.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Forum TJK Indonesia: February 2011 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates